bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Senin, 22 Oktober 2012

Elang, Let Me Be With You 2

**2**
http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg

21 Maret 2010
Langkah kedua setelah jatuh adalah mengetahui namanya. Bagaimana saya mengetahui namanya, dia sempat menanyakannya. Pertama kali mengetahui namanya rupanya menjadi hal yang paling penting juga. Sayang sekali banyak orang yang menghapus kenangan tentang pertama kali seseorang mengetahui nama cinta dengan alasan momen itu terjadi begitu saja. Paling seringnya adalah seseorang itu mampu mengenang ketika pertama bertemu atau pertama jatuh cinta. Saya masih menyimpan semua kenangan itu, beruntung sekali, sehingga bisa saya ceritakan kepadanya sambil tersenyum.


Kita tidak pernah tahu bila kita akan jatuh cinta.tapi apabila saatnya telah tiba, raihlah dengan kedua tangan dan jangan biarkan dia pergi dengan sejuta rasa tanda tanya di hati.


--- ELANG PISDANA ---

Tidak tahu bagaimana ceritanya, setelah OSPEK dan resmi diperbolehkan menggunakan pakaian putih abu-abu, aku, Falia, Ratih, dan Anang menjadi sering berkumpul berempat. Hingga Ratih meminta tukar tempat duduk dengan Renita. Karena Renita memang tidak tahan duduk di belakang bersama tiga anak sok heboh di kelas ini, dengan senang hati menerima permintaan Ratih.
Kami mulai bersahabat.
“Hei, perempuan rumpi. Aku tahu nama preman-preman itu,” Anang tiba-tiba muncul dan duduk di meja kantin sekolah bersama Falia dan Ratih.
Mendengarnya, bakso yang belum selesai aku kunyah langsung tertelan, membuatku tidak bisa bernafas tiba-tiba. Anang langsung menepuk-nepuk punggungku.
Anang ini unik sekali, berhati perempuan tapi memang asli laki-laki. Aduh, punggung bekas tepukan tangan Anang terasa sakit sekali seperti baru saja terkena timpuk bola voli. Hei, Anang! Kamu punya niat menolong atau ingin menghancurkan tulang punggungku?!
“Siapa namanya?”
“Anak yang bermuka bulat sekali bernama Nicholas di kelas 3 IPS 1. Anak yang rambutnya dicat merah bernama Abdul Muis dan anak yang agak lumayan pendek namanya Fredi Arya Sanudirta, mereka berdua kelas 3 IPA 4,”
“Terus?” Tanyaku penasaran dengan ketiga orang yang belum Anang sebutkan.
Hehe sebenarnya hanya satu saja sih yang aku tunggu. Antara Ramadhan, Elang, dan Prakoso. Siapakah nama pemilik wajah tampan itu?
“Anak yang paling tampan namanya Elang Pisdana, anak yang paling kurus karena narkoba namanya Prakoso Syarif. Dan, anak yang botak namanya Ramadhan Ali. Mereka bertiga satu kelas di kelas 3 IPS 3,” jawab Anang.
Oke. Elang Pisdana. Aku yakin dia yang disebut Anang paling tampan. Karena beberapa kali memang Anang menyebut anak itu si tampan. Soalnya memang preman sekolah yang satu itu asli tampan. Cuma kalah tenar dan aura tampannya tertutup dengan pamor badung yang melekat di dirinya.
 “Tahu dari mana,?” Tanya Ratih.
“Dari berbagai sumber. Bertanya kepada orang-orang. Ternyata mereka berenam memang sudah terkenal badung di sekolah,”
Gigih sekali, kamu, Nang!
“Pantas wajah mereka seram sekali,” celetuk Falia. “Kecuali si tampan itu, sih,” tambahnya pelan.
“Iya. Tapi setampan apapun, kalau preman, nggak jadi tampan, ah. Yang tampan itu ketua basket sekolah kita, Kak David,” seru Ratih kemudian sambil meneguk teh botol.
“Hmm, banyak yang tampan dan keren di sekolah ini. Punya prestasi semua, lagi. Wakil ketua OSIS, Ketua ekskul elektronik, ketua ekskul renang. Mario, Arya, dan Wayan temen sekelas kita kalau diperhatikan lumayan tuh. Lalu kemarin aku melihat beberapa anak kelas dua dan kelas tiga yang berseliweran di sekolah juga banyak yang cute,” kata Falia ikut-ikutan.
“Tapi aku sukanya sama Elang Pisdana,” kataku tiba-tiba sambil kembali mengunyah bakso yang kuahnya sudah dingin. Spontan mereka bertiga tersedak dan berebut teh botol kepunyaan Anang yang masih penuh isinya.
Nggak waras,” umpat Falia setelah berhasil memenangkan perebutan teh botol, sementara yang lain masih batuk-batuk. Bahkan Anang sampai muntah di tempat membuat penghuni kantin menjerit karena jijik.

***

Dua bulan di sekolah, aku menjadi punya hobi baru. Melirik kelas Elang kalau hendak dan dari kantin sekolah. Atau celingak-celinguk ke arah lapangan kalau-kalau ada Elang muncul. Tapi, aku tidak pernah menemukan sosok Elang Pisdana. Di kantin tidak ada, di kelas tidak ada, di lapangan tidak ada, perpustakaan apa lagi.
Atau jangan-jangan di belakang sekolah, ya?
            “Kamu cari siapa, Sa?” Tanya Ratih yang ikut berdiri di pinggiran kelas lantai dua sambil ikutan celingak-celinguk. Karena beberapa kelas di lantai satu hendak diubah fungsi menjadi ruang beberapa ekstrakurikuler baru, beberapa kelas 1, termasuk kelasku, satu bulan yang lalu harus pindah ke lantai dua, satu deret dengan kelas 3 IPS, salah satunya kelasnya Elang.
            How Lucky I am.
            “Elang,” jawabku pelan.
            “Ya Tuhan, ini anak masih saja nggak punya otak,” celetuk Anang yang sudah ikut bergabung berdiri di pinggir tembok balkon sekolah. “Kamu nggak  melihat anak-anak tampan di lapangan? Atau yang sedang berjalan seliweran di bawah kita itu? Banyak anak tampan. Gila, kamu, ya,”
            “Iya, aku gila, gila karena Elang. Kemana, ya, si Elang?”
            “Di belakang sekolah, pasti sedang merokok,” jawab Falia asal. “Masih ingat waktu pertama kali kita melihat mereka di halaman belakang sekolah? Mereka semua sedang merokok,” tambah Falia sok tahu.
            “Sa, ini surat buat Elang?” Tanya Ratih yang baru keluar dari dalam kelas. Melihat surat pink itu, aku langsung mengambilnya dari tangan Ratih lalu kusimpan ke kantong baju.
Sembarangan ambil surat orang!
            “Surat buat Elang?” Tanya Anang melotot. “Sini aku baca,”
            Enak saja! Tidak boleh.
            “Jangan, ah. Buat Elang, bukan buat kamu,” tolakku cepat. Kemudian aku melirik ke arah Ratih. ”Ratih, untuk apa kamu ambil ini dari tasku?”
            “Mau taruh dompet kamu. Tadi kamu memintaku memasukkan dompet ke tas kamu,” jawab Ratih. “Tapi, benar itu buat Elang?”
            “Iya,” jawabku.
            “Kapan kamu mau kasih surat itu?” Tanya Anang.
            “Nanti, pulang sekolah,” jawabku.
            Pulang sekolah, aku menunggu Elang di depan sekolah sampai kaki pegal-pegal ditemani Falia, Anang, dan Ratih. Tapi, sampai sore, Elang tidak muncul-muncul. Ketika lima anak badung muncul dari jauh dengan motor masing-masing, spontan Falia, Anang, dan Ratih bersembunyi di pohon depan sekolah hingga lima preman sekolah menghilang dari pandangan.
            Kecil sekali nyali kalian?
            “Nggak ada Elang di antara mereka,” celetuk Ratih setelah keluar dari tempat persembunyiannya. Ia berdiri di sampingku.
            “Pulang, yuk,” ajak Falia diikuti Anang yang memaksa ingin pulang segera. Karena aku bertahan untuk menunggu Elang sebentar lagi, akhirnya sore itu aku ditinggal sendirian, menunggu Elang.
Tidak sia-sia. Lima menit kemudian, Elang muncul dengan motor besarnya, sementara helm ala Moto GP dia gantung di salah satu setang motor. Melihat Elang, dari jauh aku sudah berdiri siap di gerbang mencoba menghalangi Elang.
Berhasil. Motor Elang berhenti tepat di depanku.
            “Kamu mau mati?”
            “Aku ada perlu sama kamu,” jawabku cepat.
            “Kamu siapa?”
            “Aku Gelisa, anak kelas 1-4,”
            “Anak baru? Perlu apa sama aku?”
            Tanpa jawab, aku langsung menyodorkan surat pink yang sudah kubuat semalam kepada Elang. Elang cuma melirikku sebentar sambil keheranan.
            “Apa itu? Kamu kira aku punya tampang tukang baca?”
            Iya, kamu punya tampang tukang baca. Ambil surat ini, lalu baca.
            “Ini surat, Lang, bukan materi pelajaran,”
            “Aku nggak mau,” tolaknya sambil pergi meninggalkanku di depan gerbang sekolah. Sementara aku, sambil menggenggam surat pink menatap kepergian Elang hingga hilang di belokan jalan.
            Haiss! Sombong sekali! Tapi masih saja tampan.
Read More......

Elang, Let Me Be With You 3

**3**

http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg
24 Maret 2010
Langkah selanjutnya adalah menikmati. Saya memang orang yang pertama kali jatuh sehingga berani mengambil langkah mengejarnya hingga ia bisa jatuh kepada saya. Adakah mengejar itu sambil berjalan santai? Saya belum pernah mendengar, karena itu saya berlari mengejarnya. Berkali-kali saya mendapat umpatan karena saya terlalu cepat berlari, agresif menurut sahabat-sahabat saya dan dia. Tapi saya tidak peduli. Efek jatuh sudah membuat saya benar-benar tidak lagi mengenal malu dan putus asa.


Tidak ada cinta dalam diam. Cinta selalu menggerakkan pemain utamanya. Dengar saja jantungnya, “dug dug dug” cepat sekali. Dengar saja suara hatinya, tidak pernah diam untuk mengungkapkan cinta.Lihat saja bola matanya, ia bergerak ke arah cintanya berada, dan ketika sangat malu tertangkap bola mata cinta, bola mata itu akan dengan sangat cepat bergerak ke arah lain. Saya benar telah jatuh, dan saya bergerak untuk cinta.


--- BERLARI UNTUKNYA ---

Tanpa basa-basi, aku langsung memberi surat pink yang kemarin kepada Elang. Lalu dengan cepatnya kabur meninggalkan Elang di parkiran. Pagi ini aku sudah mengatur strategi ini, agar Elang tidak menolak suratku lagi.
Setelah merasa sudah jauh dan aman, aku berhenti dan mencari tempat persembunyian untuk mengintip Elang yang masih di parkiran. Berharap Elang membaca suratku.
            Aku tidak mau ditolak lagi seperti kemarin.
            Selesai parkir dan menaruh helm di atas setang motor, Elang tengak-tengok ke segala penjuru. Tidak lama dari itu, akhirnya Elang membuka suratku.
Aku tahu pasti kamu akan membaca surat itu.
            Elang menyeringai sinis ala preman, seolah baru saja mendapat ancaman dari lawan agar jangan macam-macam di sekolah. Beberapa detik kemudian surat itu ia robek lalu dibuang ke tong sampah.
Wah, surat yang mengenaskan, harus berakhir di tong sampah. Aku gagal. Tapi setidaknya Elang tahu kalau aku menyukainya. Syalalalala.

***

Aku menghampiri Elang di gedung kosong halaman belakang sekolah, tempat biasa ia berkumpul bersama kelima preman sekolah lain. Seperti biasa juga, kelima preman sekolah lainnya juga ada bersama Elang, sedang mengobrol bercanda sambil merokok. Dari kejauhan, terdengar sesekali tawa dari mereka berenam, bahagia sekali.
Ada suara Elang, itu artinya Elang memang ada di antara mereka.
            “Untuk apa kamu ke sini? Masih baru sudah berani,” anak yang bernama Ramadhan marah waktu melihatku jalan pelan-pelan mendekati mereka.
            “Siapa?” Tanya yang lain sambil menengok ke arahku, yang hasilnya membuatku hampir mati ketakutan karena dilihat oleh enam pasang mata preman sekolah sekaligus.
            “Maaf, aku ada perlu sebentar sama Elang,” kataku memberanikan diri tapi dengan terbata-bata. Mendengar itu, Elang spontan melotot ke arahku. Aku yang hampir mati karena ketakutan, berubah menjadi hampir mati karena terpesona oleh matanya.
Ya ampun! Aku sudah gila.
            “Apa lagi?” Tanyanya sambil berdiri mendekatiku. Elang dengan gaya ala premannya menghembuskan asap rokok ke mukaku. Secara reflek aku memejamkan mata dan menahan nafas sebentar.
            “Aku mau bicara sama kamu, Lang,”
            “Bicara apa?”
            “Agak jauh sedikit, bisa, nggak? Aku malu,”
            “Di sini saja, cepat. Sebentar lagi bel istirahat bunyi, aku mau masuk kelas,”
            Dengan ragu-ragu, akhirnya aku memberanikan diri mengatakannya di sini, di depan kelima preman sekolah. “Aku mau menjadi pacar kamu, Lang,”
            Lima anak di belakang langsung tertawa sampai ada yang tersedak asap rokok sendiri. Muka Elang langsung merah, mungkin juga mukaku sekarang. Tapi aku tidak peduli, aku sudah mengumpulkan keberanian sejak tadi pagi dan tidak berencana lari sampai mendapat jawaban Elang.
            “Kamu nggak waras, ya,” Kata Elang kemudian sambil menatap tajam mataku.
            “Kamu mau, nggak, jadi pacar aku?” Tanyaku lagi.
            “Nggak,” jawabnya hampir bersamaan dengan bunyi bel masuk tanda istirahat siang sudah berakhir. Mendengar jawaban Elang dan bel sekolah, aku langsung balik badan dan berlari ke kelas dengan jantung berdegub kencang.
Hari ini untuk pertama kalinya, aku merasakan adegan saling tatap lama dengan mata Elang dari jarak yang begitu dekat. Aku senang sekaligus gugup sekali.
Mata itu, mata itu, mata itu! Ya ampun!
            “Bagaimana, Sa?” Tanya Anang cepat ketika aku baru saja duduk di bangkuku di kelas.
            “Sa, kamu kenapa?” Tanya Falia yang ikut penasaran sambil menggoyang-goyang pundakku. Aku masih diam sambil senyum-senyum sendiri karena kejadian saling tatap tadi.
            “Elang menerima kamu, ya? Benar, Sa?” Tanya Ratih kemudian dengan wajah ikut sumringah. Lama aku diam, akhirnya aku sadar, dan langsung menggeleng-gelengkan kepala.
            “Kenapa kamu senyum-senyum, Sa?” Tanya Falia lagi.
            “Matanya membuat dag-dig-dug,” jawabku sambil senyum-senyum bahagia. Mereka bertiga bengong melihat tingkahku.

***

            Hari-hariku di sekolah dipenuhi oleh Elang Pisdana, kakak tingkatku di sekolah. Telingaku suka cepat menangkap obrolan para siswa hingga staf guru yang menyebut nama Elang di dalam percakapan mereka. Di sana, biasanya aku mendapat informasi-informasi tentang Elang.
            Menurut salah satu dari mereka, Elang sering sekali mendapat hukuman karena tidak mengerjakan PR dan sering protes dengan guru yang sedang mengajar di depan kelas.
Keenam preman sekolah malas sekali untuk urusan mengerjakan PR, sehingga sering mendapat hukuman untuk masalah ini. Tapi, beberapa guru memang mengagumi mereka lantaran dengan kebadungan tersebut, mereka masih tergolong siswa sepuluh besar di kelas, sehingga mereka masih bisa dipertahankan oleh sekolah. Tapi beberapa guru memang tidak menyukai sikap mereka yang dianggap tidak menghormati guru. Apalagi jika merasa bosan dengan cara guru mengajar, mereka tidak segan-segan membolos atau izin ke toilet sampai jam pelajaran berakhir.
            Ketika sedang asyik menguping pada suatu siang, bel masuk tanda istirahat berbunyi. Spontan aku, Anang, Falia, dan Ratih meneguk minuman masing-masing dengan cepat, karena pelajaran selanjutnya adalah pelajaran geografi yang gurunya super galak.
Setelah itu, tanpa pikir panjang, kami berempat langsung berlari bersama-sama menuju kelas.
            Anang larinya paling cepat, sehingga Anang memimpin di depan. Falia dan Ratih bergandengan tangan di belakang Anang. Aku, karena tidak bisa berjajar bertiga bersama Falia dan Ratih, terpaksa memilih posisi di belakang, menjadi ekor.
            Eits, aku tiba-tiba melihat Elang dari ujung jalan sama-sama sedang menuju tangga.
Kelasku dengan kelas Elang memang sama-sama di lantai dua. Mungkin karena aku tidak bisa lepas pandangan dari Elang, aku spontan tersenyum ke arah Elang dan melambai sok akrab kepada Elang. Elang sempat melihat aku, tapi dia sama sekali tidak menghiraukanku. Pura-pura tidak lihat, masih sambil jalan santai menuju tangga.
            “Cepat, Sa! Lihat, Pak Sodikin sudah keluar dari kantor,” Teriak Ratih sambil menunjuk-nunjuk Pak Sodikin yang baru keluar dari pintu kantor hendak menuju tangga. Melihat itu, dengan gugup aku langsung naik tangga tanpa menengok lagi ke arah Elang.

***

Aku berlari menghampiri Prakoso, salah satu dari enam preman sekolah. Ia sedang menungguku di depan rumah sehingga aku harus bergegas menghampirinya. Dari atas motor ia melihat kedatanganku melalui celah helm sambil berteriak menghitung pada angka ke-47. Aku menghampirinya dengan nafas tersengal-sengal. Ia menyuruhku cepat menghampirinya setelah aku selesai mengganti bajuku.
Entah aku hendak dibawa kemana. Tapi aku tidak terlalu khawatir, karena menurutnya ini untuk bertemu dengan Elang.
            “Gesit sekali,” kata Prakoso. “Ayo naik,”
            “Kita mau kemana?” Tanyaku cepat masih sambil mengatur nafas.
            “Naik. Mau lebih dekat sama Elang, nggak?” Tanyanya. Spontan aku mengangguk dan langsung naik ke jok belakang motor besar Prakoso, tanpa merasa khawatir sedikitpun dibonceng oleh seorang preman sekolah yang kabarnya suka sekali naik motor dengan kebut.
            “Kita mau kemana?” Teriakku ketika motor mulai melaju mendahului kendaraan-kendaraan lain.
            “Nanti kamu akan tahu,” Jawab Prakoso sambil menancap gas lebih kebut dari sebelumnya. Aku memejamkan mata karena mulai merasa takut. Dengan memegang pinggiran jok kuat-kuat, aku menggantungkan hidup di sana agar tidak jatuh atau terjengkang dari motor. Ini pertama kalinya aku naik motor secepat ini, wajahku terasa ditampar-tampar, perut mulai mual beberapa detik, dan rambut  berkibar tertiup angin kencang sekali.
            Ya Tuhan, lindungi aku! Perjuanganku terhadap Elang Pisdana begitu besar, semoga tidak sia-sia. Bantu aku Tuhan! Bantu akuuuuuuu....
            Beberapa menit kemudian, motor sudah tidak melaju kencang, dan berbelok ke sebuah kompleks kumuh. Dalam selang waktu beberapa menit saja, motor berhenti di sebuah kapling tanah agak luas menyerupai lapangan yang lumayan jauh dari perumahan warga dengan rumput-rumput yang tumbuh tinggi. Terdengar tawa dan obrolan dari beberapa laki-laki yang tidak asing di telingaku. Kelima preman sekolah lainnya.
            “Di sana ada Elang?” Tanyaku sambil tengak tengok ke tengah lapangan yang gelap gulita. Tapi beberapa titik berwarna merah yang menurutku adalah rokok-rokok yang terbakar tampak melayang-layang sendiri di udara.
            “Nggak percaya?” Prakoso balik bertanya. “Elang! Kamu masih di sana, kan?” Teriak Prakoso kemudian ke arah tengah lapangan. Elang menjawab dengan berteriak juga.
            “Wah, pacar baru, ya?” Teriak salah seorang dari mereka, entah suara milik siapa.
            “Nanti akan tahu!” Jawab Prakoso sambil menyuruhku untuk turun dari motornya. Setelah turun dari motor, aku segera menyisir rambut menggunakan jari-jari dengan kesusahan, sebelum menghampiri Elang. Prakoso sempat melirikku sambil tersenyum lalu menarik tanganku untuk berjalan bergabung bersama mereka.
            ”Eh, anak baru itu,” celetuk seseorang di antara mereka setelah aku dan Prakoso berhasil bergabung bersama mereka. Lambat laun akhirnya aku bisa melihat wajah-wajah mereka. Satu di antara mereka tengah berbaring di rerumputan sementara sisanya duduk santai berdekatan satu sama lain.
            “Untuk apa kamu bawa dia kesini?” Tanya Nicholas sambil bangkit dari tidurnya. Sekarang aku bisa mengenali mereka satu persatu, semuanya, termasuk Elang yang duduk di samping Nicholas menggunakan jins biru dan kaos oblong berwarna putih bergambar bendera Negara Inggris.
            “Iseng,” jawab Prakoso santai sambil duduk bergabung mendekat kepada mereka. Prakoso tampaknya memilih di paling ujung dekat tempat aku berdiri dan mulai menyalakan sebatang rokok. Ia tampak sedang tersenyum menatap Elang sambil menghirup asap pertama.
            “Iseng? Mau diapakan anak baru ini?” Tanya Fredi Aria sambil menatap tajam ke arahku. Spontan aku menutup dadaku dengan kedua tanganku cepat sambil menoleh ke arah Prakoso.
            “Enaknya diapakan?” Tanya Prakoso lagi-lagi tersenyum.
“Prakoso, kamu sama nggak warasnya sama dia,” umpat Elang sambil berbaring di atas rumput.
            “Hei, jangan macam-macam ya,” ancamku dengan terbata-bata. “ Kalau kalian macam-macam, orang tuaku bakal cari kamu, Prakoso. Tadi aku sempat pamit dengan mama kalau mau menemui kamu,”
            “Kamu mau diapakan?” Tanya Prakoso dengan wajah menahan tawa.
“Aku serius. Kalau aku nggak pulang, orang tuaku akan cepat mencari anak yang bernama Prakoso,” ancamku dengan tegas. Sekarang aku mulai merasa khawatir berada di antara mereka malam ini. Entah pikiran darimana, seharusnya aku tadi tidak mau diajak oleh Prakoso ke tempat yang mereka sebut basecamp ini.
            Akhirnya Prakoso tertawa sampai terbatuk-batuk. Tidak lama kemudian Prakoso menarik tanganku agar duduk juga disampingnya. Karena tenaganya begitu kuat, ia berhasil mendudukkan aku dengan paksa. Laki-laki walaupun kurus ternyata masih punya tenaga yang kuat.
            “Lihat ke atas,” perintah Prakoso sambil menghirup asap rokok dan menghembuskannya ke depan. Masih dengan hati-hati dan waspada tingkat tinggi aku menatap ke atas dan takjub sedetik kemudian dengan bintang-bintang yang hampir menutupi langit. Seperti coklat misis yang berada di atas roti tawar, bertaburan asal.
            “Kampung,” umpat Abdul Muis kemudian setelah melihat wajahku.
            “Wah, ini seperti di Planetarium, ya,” celetukku sambil tersenyum senang sekali.
            “Besok aku ajak lagi ke sini, mau?” Tanya Prakoso.
            “Siapa bilang dia boleh ke sini lagi? Nggak diizinkan,” timpal Nicholas cepat sebelum aku sempat mengangguk.
            “Sejak kapan aku harus minta izin untuk bawa orang lain kesini?” Tanya Prakoso.
            “Kamu mau dihajar? Kita selama ini nggak pernah bawa siapa-siapa ke sini. Ini tempat punyaku, harus izin dari aku,” jawab Nicholas dengan suara yang meninggi.
            “Persetan sama izin kamu,” kata Prakoso cepat.
            Mendengar itu, Nicholas langsung bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Prakoso dengan wajah garang. Melihat itu, Prakoso bangkit untuk meladeni Nicholas. Ketiga preman lainnya, tidak termasuk Elang, langsung ikut bangkit untuk menjauhkan mereka dan menahan agar tidak terjadi perkelahian.
            “Bodoh semuanya,” umpat Elang sambil bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan kami, berjalan menuju ke tempat dimana lima motor terparkir. “Prakoso, kamu yang memulai, segera selesaikan,” tambah Elang dengan santai.
            “Prakoso, bawa dia pulang,” kata Ramadhan sambil menarik tanganku untuk berdiri. Ramadhan kemudian mendorong-dorong tubuhku dan Prakoso untuk pergi meninggalkan Nicholas dan lapangan ini. Beberapa detik kemudian, Elang pergi bersama motornya tanpa pamit. Aku masih dalam diam menatap kepergian Elang tidak merasakan kerasnya Ramadhan mendorong-dorong tubuhku.
            Elang sudah pergi.
            “Malam ini nggak asyik. Kita mau kemana?” Tanya Prakoso sebelum ia naik ke atas motornya.
            “Pulang,” jawabku.
            “Pulang?” Tanya Prakoso. Aku mengangguk dengan pasti.
Read More......

Elang, Let Me Be With You 4

**4**
http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg

3 Januari 2010
Saya tidak pernah jatuh sekali lagi selain kepadanya. Saya tidak bisa tidak melihatnya dan menggerakkan bola mata ke arah lain. Ternyata alam yang bersama saya mengarahkan saya hanya kepadanya, sama sekali tidak ke arah lain. Jadi saya mengikuti petunjuk alam saja. Dia bahkan tidak akan bisa memaksa kepada siapa saya harus jatuh sekali lagi. Jika alam menyuruh saya jatuh lagi kepadanya untuk kedua kalinya dan ketiga kalinya, seharusnya dia tidak boleh menolak. Untuk apa dia memaksa saya jatuh kepada orang lain? Tentu saja dia boleh melakukannya, lakukan saja, maka aku lebih tidak akan bisa jatuh kepada orang lain.


Memang menyakitkan mencintai orang yang tidak mencintai kita. Tapi akan lebih menyakitkan jika kita mencintai seseorang tapi tidak pernah memiliki keberanian untuk menyatakan cinta kepadanya.


--- BERLARI UNTUKNYA Episode 2---

            Di kantin. Anang, Falia, dan Ratih menjadi salah tingkah tiba-tiba setelah Prakoso bergabung bersama di meja kami. Anang beberapa kali menjatuhkan sendoknya sendiri dan Ratih berkali-kali tersedak tanpa sebab setiap Prakoso mulai berceloteh. Falia tidak terlalu parah, tapi pandangannya selalu ke bawah meja, seperti tengah menjaga sepatu-sepatu dari sosok maling yang iseng.
            Prakoso berkali-kali juga mempermainkan Anang yang memang sejak awal bertemu dengan preman sekolah selalu berwajah ketakutan. Mata Prakoso sering melotot iseng ke arah Anang, dan ketika wajah Anang berubah ketakutan, Prakoso akan tersenyum puas, atau menahan tawa dengan senang.
            “Kalau mau mengganggu kami, pergi saja,” kataku kemudian karena juga merasa tidak nyaman dengan kehadirannya.
            “Nggak mau,” jawab Prakoso enteng.
            Kamu itu orang aneh. Tiba-tiba saja menjadi sering menemuiku. Kamu tahu rumahku dan datang dengan semau hatimu. Aku sebenarnya sudah merasa sangat kesal karena kamu sering mengancam kalau aku tidak mau menemuimu di depan rumah. Apalagi kamu selalu bermain-main dengan menghitung waktu agar aku segera menemuimu.
            “Sejak seminggu yang lalu kamu aneh,” kataku.
            “Aneh bagaimana?”
            “Sering bergabung bersama kami setiap jam istirahat pertama. Ada apa sebenarnya?”
            “Sedang suka ke kantin ketimbang di halaman sekolah,” jawab Prakoso. “Oh ya, aku sudah bilang kalau aku suka kamu?” Tanya Prakoso tiba-tiba.
            Anang, Falia, dan Ratih kompak tersedak, membuat Prakoso terkikik senang sekali. Aku langsung menoleh ke arah Prakoso diikuti tiga pasang mata milik ketiga sahabatku.
            “Kenapa?” Tanya Prakoso masih santai.
            “Kamu playboy, ya?” Tanyaku tiba-tiba. Itu yang baru saja kupikirkan.
            “Aku suka kamu sejak SD. Kamu nggak ingat kita dulu satu sekolah SD?”
            “Jangan main-main, ya,” kataku cepat.
            “Serius,” jawab Prakoso masih santai seperti tadi. Dia tersenyum mengaduk-aduk es yang mengapung di dalam gelas berisi teh manis. Tadi Prakoso merebut gelas itu dari hadapanku, tanpa izin dan tanpa rasa bersalah. Sementara ketiga sahabatku tampak mencuri lirik ke wajah Prakoso, dengan wajah yang sama terkejutnya denganku.
            Kita pernah satu sekolah?
            “Nggak ingat,” jawabku pelan.
            “Kejadian kita waktu di SD, kamu nggak ingat sama sekali?”
            Aku mengggeleng pelan sambil mencoba mengingat-ingat. Prakoso tampak menghembuskan nafas menahan kesal.
            “Huh, di sini juga nggak asyik, aku ke kelas saja kalau begitu,” kata Prakoso sambil bangkit dari duduknya meninggalkan meja kami. Aku menatap kepergian Prakoso hingga menghilang sambil mengobrak-abrik isi memoriku tentang sosok bernama Prakoso yang menurutnya pernah hadir dalam hidupku ketika masih kecil.
            Maksud Prakoso adalah dia suka sama aku sejak SD? Begitu? Wah, rupanya dia juga anak yang tidak waras. Bukankah ketika itu terlalu kecil untuk seorang anak menyukai seseorang?
            “Hidup kamu rumit, Sa,” celetuk Falia tiba-tiba.
            “Kenapa rumit?”
            “Suka dengan preman, sekaligus disukai teman preman yang juga preman,” jawab Falia sambil geleng-geleng kepala dengan ekspresi mengasihaniku.

***

            Prakoso kembali membawaku ke sebuah kapling yang menyerupai lapangan tempat dimana keenam preman sekolah sering berkumpul. Malam itu gerah sekali, langit juga gelap sehingga tidak ada bintang di atas sana. Dengan pelan-pelan aku mengikuti Prakoso di belakang untuk berjalan bergabung bersama mereka di tengah rerumputan.
            Dengan cepat tiba-tiba Prakoso ambruk hampir menimpa tubuhku. Aku menjerit kaget melihat apa yang terjadi. Di hadapanku berdiri seseorang entah siapa tampak tengah menatap Prakoso yang tersungkur di atas rumput liar. Mataku masih belum bisa beradaptasi dengan kegelapan ini.
Seseorang itu Elang.
Akhirnya aku bisa lihat dengan jelas orang yang berdiri di dahadapanku.
            “Kamu nggak pernah mengerti apa maksudku,” kata Elang kemudian ketika Prakoso sedang mencoba bangkit berdiri.
            “Aku nggak perlu mengerti,” jawab Prakoso.
            “Bawa dia pulang, sebelum kita semua berkelahi lagi malam ini,” perintah Elang dengan nada yang sama santainya dengan Prakoso.
            “Nggak mau,” jawab Prakoso.
            “Kamu mau dihajar?” Teriak Nicholas tiba-tiba menghampiri dan langsung menendang Prakoso dengan kuatnya. Prakoso mundur beberapa langkah dan terjatuh sekali lagi dengan bunyi debam yang lebih hebat dari sebelumnya. Nicholas memang sedang tidak main-main. Melihat Nicholas hendak melanjutkan aksinya, Elang menahan Nicholas diikuti dengan ketiga lainnya yang sedari tadi hanya menonton.
            Kalian mau berkelahi?
            “Kamu, pulang sekarang!” Teriak Elang sambil menoleh ke arahku. Wajahnya masih tenang seperti biasanya, tapi suaranya terdengar marah sekali. “Kamu masih nggak tahu kalau kami pada akhirnya berkelahi hanya gara-gara kamu?”
            Aku?
Aku menggeleng cepat.
“Dia nggak tahu apa-apa. Aku yang memaksa dia ikut. Jangan ganggu dia,” kata Prakoso cepat.
“Kamu pulang sekarang!” Teriak Elang sambil mendekat ke arahku. Tapi tiba-tiba Prakoso memukul Elang sebelum sempat mendekatiku hingga Elang mundur dua langkah. Aku berteriak histeris khas perempuan, seperti di sinetron yang pernah kutonton.
“Dia suka kamu, berengsek!” Teriak Prakoso kemudian kepada Elang.
Iya, aku suka kamu, Elang!
“Jadi ini semua salah aku? Oke. Akan aku selesaikan,” kata Elang sambil menarik tanganku untuk menjauhi mereka dan berjalan ke arah motor-motor yang terparkir. Prakoso tampak tengah mengejar kami di belakang.
Aku hendak dibawa kemana? Tolong! Prakoso, kamu harus menolongku!
“Jangan macam-macam,” ancam Prakoso setelah berhasil menggapai tangan Elang.
Elang hanya menepis tangan Prakoso dan kembali berjalan mendekat ke motor Elang yang terparkir tak jauh dari motor Prakoso dan motor lainnya. Elang naik ke atas motornya dan menyuruhku duduk di belakang sambil berteriak karena awalnya aku bersikeras menolak untuk naik.
Tapi aku hendak dibawa kemana?
Beberapa detik kemudian, Elang membawaku menjauh dari tempat itu, entah hendak kemana. Motor melaju lebih kencang ketimbang Prakoso waktu pertama kali, membuatku memejamkan mata dan menunduk berlindung di punggung Elang. Aku berpegang erat pada jok di antara pahaku, sambil berdoa kepada Tuhan agar aku tidak terjatuh.
Aku bermimpi? Tapi ini mimpi menyeramkan sekaligus menyenangkan.
Ini pertama kali aku berada satu motor dengan Elang. Aku senang sekali, sekaligus mual. Perutku menjadi penuh tiba-tiba.
Aku ingin muntah sekarang.
Sedetik kemudian aku muntah pada akhirnya di punggung Elang, membuat Elang melaju lebih pelan dan berhenti setelah meminggirkan motornya dari tengah jalan.
            Mampus. Aku akan mati di sini.
            “Maaf, Lang. Tadi kebut sekali, perutku jadi mual,” kataku pelan terbata-bata ketika Elang menoleh ke arah punggungnya. Elang tidak menghiraukanku. Ia sibuk membersihkan punggungnya. Tak lama kemudian ia turun dan mendekat ke bawah pohon. Elang kemudian menggosong-gosokkan punggung ke batang pohon hingga akhirnya ia membuka kaos oblong yang berwarna gelap itu.
            “Turun!” Perintah Elang setelah menatapku dengan kesal. Mendengar itu, aku cepat turun dari motor. Elang dengan cepat melempar kaosnya kepadaku dan berjalan naik ke atas motornya. Tanpa berkata apa-apa ia melaju meninggalkanku, dengan telanjang dada.
            Aku sempat memanggil Elang berkali-kali sampai Elang menghilang di kegelapan. Menyadari kesendirianku, aku mulai tengak-tengok ke jalan mencari taksi yang lewat. Untung aku berada di daerah yang tidak terlalu sepi, sehingga beberapa menit kemudian aku berhasil mendapatkan taksi untuk pulang.

***

Selanjutnya, karena Prakoso, aku menjadi banyak tahu tentang kegiatan mereka, aku tahu bahwa predikat preman yang mereka miliki karena mereka berenam adalah anak yang terlalu bebas berekspresi dan tidak terlalu mempedulikan aturan sekolah yang terlalu mengikat.
Dasar anak badung.
Mereka sama saja seperti siswa lainnya, hanya saja memang lebih aktif dan berani dibanding anak lain. Karena sudah terlanjur dicap preman oleh siswa lain, mereka sering iseng bertampang sok galak dan melotot ke arah siswa yang memperlihatkan wajah ketakutan. Karena menurut Prakoso, setelah itu, mereka akan menjadikan kejadian itu sebagai cerita yang lucu dan bersama-sama akan tertawa terpingkal-pingkal di halaman belakang sekolah.
Wah, kalian nakal sekali. Iseng?
Pada akhirnya aku banyak bertanya tentang Elang Pisdana. Prakoso dengan santai menjawab dan bercerita tentang Elang kepadaku. Di antara cerita itu, satu cerita tentang Elang yang membuatku kagum pada diri Elang, bahwa Elang ternyata seorang anak yang cerdas dan tidak pernah membolos pelajaran hanya karena malas belajar. Elang berencana kuliah di Inggris, ia sangat menyukai seni lukis. Elang adalah anak tunggal dari sebuah keluarga yang bercerai. Ayahnya di Surabaya sebagai jaksa wilayah sekaligus pengusaha penyewa traktor untuk pertambangan. Ayah Elang yang sepenuhnya mengatur dan membiayai hidup Elang. Sedangkan ibunya yang keturunan China tinggal di Amsterdam bersama suami baru sejak satu tahun yang lalu. Elang tinggal bersama Tante Ayu, tante dari pihak ayahnya di kota ini.
Begitukah kamu, Lang?
“Bagaimana dengan aku? Apa yang kalian pikirkan tentang aku?” Tanyaku cepat pada Prakoso suatu hari.
“Cewek unik yang pemberani,” jawab Prakoso. “Kami selalu heran dengan wajah kamu yang selalu tersenyum lebar kalau bertemu kami, nggak seperti anak lain yang ketakutan. Apa kamu benar-benar nggak waras?”
Kamu juga pasti menganggapku tidak waras. Ya, menurut Falia, Anang, dan ratih, aku cewek tidak waras yang jatuh cinta dengan salah satu preman seperti kalian.
“Kenapa bukan aku saja yang kamu sukai?” Tanya Prakoso tiba-tiba.
“Kamu terlalu kurus seperti pengguna narkoba,” jawabku cepat. Prakoso terkekeh.
“Kami bebas narkoba,”
Read More......