bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Rabu, 16 Februari 2011

MEMORIAM


Keesokan paginya aku datang lagi ke kantor Erwin. Masih seperti hari kemarin, pagi ini hanya menemukan officeboy yang sedang mengepel lantai disebuah ruangan yang biasa digunakan untuk menerima tamu, aku tahu karena beberapa kali datang kemari, Erwin menyuruhku duduk di sofa ruangan itu. Lama aku mengamati gerak gerik officeboy tersebut dari balik jendela, lalu terhenti dengan kedatangan dua motor dari pintu gerbang. Masih dengan posisi yang sama, aku berdiri di teras depan pintu sambil pura-pura tak melihat pengendara motor yang mulai mendekati pintu kantor.

”Kamu lagi? Sebenernya kamu mau apa dari Erwin?” Tanya salah satu pengendara tadi setelah bertatapan denganku. “Kamu mencari seorang bapak?” tanyanya pelan sambil tersenyum.

“Hah? bukan,”jawabku setelah mengerti pertanyaannya. “saya Cuma mau minta tolong Erwin,” jawabku kemudian.

“Oh, perempuan yang kemarin? Pantas saja seperti pernah lihat,” kata pengendara satu lagi tiba-tiba sambil tersenyum padaku. “Nunggu di dalem aja,” ajaknya sambil mempersilakan aku masuk ke dalam kantor.

“Erwin ditugasi ke pabrik timur kemarin sore. dia gak ke kantor hari ini,” kata pengendara yang menyapaku pertama kali tadi sambil melenggang santai masuk ke dalam kantor, tanpa menoleh ke arahku sedikitpun.
“Apa?” tanyaku sambil berteriak.

“Oh, mungkin memang benar. Memang ada sedikit masalah disana. Pabrik pembuatan minyak makan disana mau dibeli perusahaan besar,” jawab pengendara yang masih setia bersamaku itu.

“Oh, kalau begitu, terima kasih. Salam aja buat Erwin,” kataku sebelum akhirnya meninggalkan kantor Erwin.


(empat bulan yang lalu)

Galang duduk sila di lantai balkon apartemen. Rambutnya yang agak gondrong dan kaos oblongnya yang agak besar beberapa kali bergoyang bergelombang diterpa angin. Akhir-akhir ini angin berhembus kencang, apalagi jika berdiri di balkon lantai sebelas ini. Suara yang khas terdengar ketika Galang menyeruput kopi susu panasnya disana, membuat aku ingin mendengarnya lebih jelas lagi sambil mengamati bibirnya.

“Apa harus pulang hari ini?” Tanyaku sambil berdiri bersandar kusen pintu balkon. Aku melipat tanganku ke dada untuk menahan rasa dingin dari hembusan angin. Galang menoleh ke arahku, lalu mengangguk sambil menyeruput kopi susu sekali lagi.

“Udah bangun?” tanya Galang kemudian sambil memberi aba-aba dengan tangan agar aku mendekat kepadanya, tanpa menggeserkan duduk silanya.

“Sekarang udah siang,” jawabku. “Kecewa? Mau pulang tanpa pamit lagi?” Tanyaku agak ketus. Galang seperti menahan wajahnya untuk tidak tersenyum, lalu kembali menatap pemandangan kota yang terlihat begitu kecil itu.

“Sini lah,” katanya kemudian sambil bergerak mencondongkan tubuhnya ke arahku. Ia menyuruhku duduk di pangkuannya. “Sini,” perintahnya lagi. Dengan agak malas aku menjatuhkan tubuhku di pangkuannya dengan mendekap kedua tanganku sendiri lebih erat satu sama lain. Aku terdiam kemudian, karena aku merasakan hangat sekarang.


“Ayo naik gunung,” bisiknya pelan sambil menatap mataku. “Sekali-kali kita naik gunung,”

“Pengen. Tapi belum bisa sekarang,” jawabku pelan.

“Yah, ibu pembaca berita ini. Payah,” ejek Galang cepat sambil mengusap rambutku dengan kasar. Aku tersenyum saja mendengarnya. “Ibu pembaca berita,” panggilnya pelan sambil memelukku dan mengayunkan tubuhku pelan ke kanan dan ke kiri. Aku menjadi semakin hangat sekarang.

“Aku ibu orang hutan,” kataku. Tiba-tiba saja Galang tertawa setelah itu.

Semalam aku mengajaknya menikah dan berkata aku akan lebih baik menjadi ibu orang hutan, yang menemaninya bekerja bersama hutan setiap hari ketimbang membawakan berita pagi atau malam di sebuah stasiun televisi lokal yang masih berumur 4 tahun itu.

Lama kami terdiam dalam ritme ayunan syahdu ini sampai sebuah ponsel yang ada di atas meja makan mengharuskannya bangkit dan melepaskan pelukannya. Ia berjalan dengan santai meraih ponselnya, sementara aku duduk santai sambil menyeruput kopi susu Galang masih di teras balkon sambil mengamati pemandangan kota yang sungguh baru kusadari sangat tidak tertata. Tapi dengan tata letak yang sembarangan itu, ketika malam, lampu-lampunya seperti bintang-bintang bertaburan yang pindah dari langit ke permukaan bumi. Aku dan Galang menyukai sensasi ini. Walau ujung-ujungnya ia berkata kalau suasana ini seperti ia berada di puncak gunung

“Minggu depan Erwin ngajak naik gunung,” teriak Galang sambil berjalan menuju kamar mandi.

“Lagi? Udah dua minggu kalian naik gunung. Erwin gak ada kerjaan? Pabrik apa yang ngeliburin pegawainya setiap sabtu dan minggu?” Tanyaku mulai kesal.

“Pabrik bokapnya lah,” jawab Galang datar.

“Aku gak suka kamu naik gunung,” kataku agak berteriak sambil akhirnya bangkit dari dudukku tapi masih berdiri di teras balkon. “Aku gak suka kamu naik gunung. Setiap bayangin kamu di atas sana, aku selalu marah, marah karena kamu akan memeluk Rani disana, atau menggenggam tangannya selama perjalanan,”

Mendengar itu, Galang berhenti melangkah. Diam menunduk sejenak menatap lantai, lalu menggerakkan badan ke arahku dan menatap tajam mataku. Kami saling bertatapan lama pagi itu. Dan berakhir dengan hilangnya Galang ke dalam kamar mandi. Selanjutnya air keran mulai mengalir di dalamnya.


***

Dengan menyewa guide akhirnya aku naik gunung. Perjalanan pertama kalinya selama dua puluh tujuh tahun aku hidup. Penyesalan meradang di dada, mengingat perjalanan ini seharusnya bersama Galang, bukan tiga orang guide ini. Hayalan bergandengan tangan dengan Galang dalam mencapai puncak yang selama ini ia agung-agungkan, atau puncak lain, membuatku meneteskan airmata. Aku merindukan Galang.

Satu jam perjalanan sudah membuatku lelah. Sungguh tidak semudah apa yang aku pikirkan selama ini. Dan aku merasa marah sekarang, mengingat inilah hobi Galang dan Rani. Hingga mereka melakukan akad nikah di salah satu gunung dengan melakukan perjalanan menggunakan helikopter. Mungkin ini alasan aku tak punya keinginan kuat untuk menaiki gunung walau bersama Galang sekalipun. Tapi tidak kali ini. Aku sungguh punya tekat kuat untuk mencapai puncak gunung ini. Aku akan berusaha sekuat tenaga.

Tanganku di tarik tiba-tiba ketika hendak menggapai tangan salah satu guide untuk naik ke jalan yang agak lebih terjal. Aku hampir terpeleset ketika akhirnya aku bisa menyeimbangkan tubuhku. Sebentar kulihat wajah Erwin lalu tiba-tiba hilang dari pandangan. Kepalaku dengan cepat menoleh ke kiri, dan kubiarkan mata ini teru memandang tanah dan rumput basah yang ada di dekat kakiku. Baru saja Erwin menampar wajahku. Panas dan Pedih terasa pipi ini sekarang.

“Gak punya malu!” teriak Erwin kemudian. “Untuk apa kamu kesini? Hah?” teriakannya makin keras.

“Untuk apa kamu kesini? Aku bisa kesini tanpa bantuan kamu,” aku malas menjawab pertanyaannya.

“Gunung gak sudi kamu disini. Pulang!” Teriak Erwin sambil menyeret tanganku. Setelah tertatih beberapa langkah, ahirnya aku bisa menahan tubuhku sendiri untuk berhenti dari tarikan Erwin. Aku bersusah payah melepaskan tanganku dari cengkraman Erwin. Sempat kulihat tiga guide yang aku sewa hanya diam menyaksikan adegan ini.

“Kalo gunung gak sudi, biar dia sendiri yang buat aku mati disini,” kataku sambil membalikkan badan meninggalkan Erwin. Dengan cepat tanganku dicengkram lagi dan ditarik lagi untuk berbalik arah. Aku mengerahkan tenaga lebih kuat lagi untuk lepas dari cengraman yang sudah terasa sakit ini.

“Tahu? Ini jalur ilegal. Gunung ditutup karena cuaca buruk. Dan aku gak sudi kamu mati di gunung ini. Pulang!” Teriak Erwin lagi.

“Peduli apa kamu sama aku?” tanyaku.

“Aku gak peduli sama sekali sama kamu. Aku Cuma gak mau kamu mati disini. Cari tempat lain!”

“Terima kasih untuk dia jeleknya. Tapi aku gak bakal mati,” kataku mulai marah. Aku menjadi tidak suka dengan Erwin. Teringat selama seminggu ini aku menahan diri dihina olehnya, aku melihat raut kebenciannya padaku hampir setiap hari. Kalau saja aku tahu ada fasilitas guide, tidak perlu aku memintanya mengantarkan aku ke puncak gunung ini.

“Kamu bakal mati!” teriaknya.

“Kalau memang doa kamu dikabulin aku mati disini, aku mau. Aku mau mati di tempat Galang mati,” bantahku dan di akhir kata, pipi yang sama terkena tamparan lagi. Terasa lebih pedih dari sebelumnya. Marahku sudah tak bisa ditahan. Aku membalas untuk menamparnya, lalu memukulnya membabi buta hingga sangat lelah dan akhirnya aku diam setelah mendapat tamparan sekali lagi.

“Kemarin sekali lagi Rani nangis untuk Galang dan untuk kalian. Dia sengsara, pelacur!”

“Kamu pikir Cuma Rani yang nangis? Cuma dia yang sengsara?” kataku. “Kamu pulang sekarang!” perintahku.

“Gak punya malu!” teriak Erwin sambil berjalan cepat meninggalkan aku.


***

Melihat berita di tv dan koran membuatku marah. Berita itu di tv memang sekilas saja, karena yang menjadi topik utama pada berita pagi di televisi swasta nasional ini adalah tentang korupsi yang entah sampai kapan terselesaikan. Berita di koran lokal pun tidak memenuhi seperempat halamannya. Untung saja dia bukan artis ibukota sehingga tak perlu harus tersiksa dengan melihatnya di program berita selebriti.

Aku kesal pada pelacur yang tak punya malu itu. Dia mati di gunung tempat Galang mati empat bulan lalu. Kesal karena perempuan itu masih mendendangkan kisah cintanya tanpa rasa bersalah sedikitpun. Seharusnya sebagai sesama perempuan, dia tahu apa yang dirasakan Rani. Betapa hancurnya Rani ketika ia tahu perselingkuhan Galang tepat ketika Galang tengah dipersemayamkan di kediaman mereka. Perempuan itu muncul dengan tidak tahu malu dan menceritakannya tanpa dosa dan penyesalan.

Aku ingat Rani yang tangisnya menjadi-jadi ketika melihat perempuan itu tengah menangisi Galang di depan matanya, mengusap-usap kepalanya dengan penuh kasih sayang, bahkan berani mencium bibir Galang yang terkatup kaku itu. Dasar Pelacur!

“Galang kurang ajar! Aku sempat mengagumi kamu karena besarnya cinta kamu ke Rani dan memprediksi kalian bersama sampai tua. Kamu satu-satunya laki-laki yang gak mungkin begitu, bagiku begitu, brengsek!” Teriakku sambil meremas-remas koran yang tadi ada di hadapanku.

Untung saja ada kebaikan ketika itu. Galang mati dalam perjalanannya bersama Rani, dan beberapa teman di clun, terpeleset ketika hampir tiba di kaki gunung, dan mati dalam pelukan Rani di dalam ambulans menuju rumah sakit. Entah mengapa mengingat itu agak melegakan dan memudarkan rasa benci untuk Galang.
Read More......

Selasa, 15 Februari 2011

LOKER NOMOR 7 _ BAGIAN 2


cerita yang lalu ...

Sudah sebulan lebih Raras masuk SMA, pengaduan Raras terhadap lokernya yang bernomor 7 belum juga diindahkan pihak sekolah. Selama ini Raras harus bersusah payah setiap membuka lokernya. Setelah mengalami kejadian hilangnya barang-barang Raras yang ada di dalam loker seusai pelajaran olahraga, akhirnya Raras pindah loker ke nomor 31 yang kosong.

Berharap sang pencuri mengembalikan barangnya, Raras membuka kembali loker itu. Kebetulan sekali ia masih menyimpan kunci loker nomor 7. Setelah dengan susah payah membuka loker seperti biasanya, ia menemukan sebuah surat dari dalam loker.


^^^
19 agustus 2010, kamis
07.10

Ketika melewati loker nomor 7, Raras teringat kata-kata Fetra dua hari yang lalu. Berdiri di depan loker nomor 7, lalu menggeledah dompet pensil, mencari kunci loker nomor 7 yang masih ia simpan. Lupa diberikan kepada penjaga sekolah dan tidak ada guru yang meminta kunci loker itu. Ia dengan susah payah mencoba membuka loker itu. Seperti sebelumnya, membutuhkan tenaga ekstra dan waktu yang lama.

“Ke loker 7 lagi?” Tanya Fetra tiba-tiba sudah ada di belakang Raras. Raras hanya mampu menjawab ‘uh’ kareng kaget. Fetra tertawa lalu mengajak Raras untuk masuk ke kelas bersama-sama.

“Oke,” jawab Raras mengiyakan sambil membuka loker nomor 7. Tampak kertas terlipat di dalamnya, seperti seseorang yang tengah meninggalkan suatu pesan. Dengan penasaran Raras mengambil surat itu dan membacanya.




-2003,
19 Agustus 2003, Selasa
10:00


Membaca tulisan di selembar kertas itu, Laras agak naik darah. Kemarin pulang sekolah iseng meletakkan surat di loker nomor 7. Surat balasan ditemukan ketika jam istirahat pertama, iseng mengeceknya. Siapa suruh menyembunyikan tas di lokernya. Sekarang menuduh orang sebagai pencuri. Laras memasukkan surat lagi ke dalam lokernya.


^^^
16:03

Sekolah sudah tampak sepi. Sudah sesore ini, tapi masih belum ada satu orang pun yang menghampiri Laras yang sedari tadi duduk di samping pohon palm. Beberapa siswa laki-laki dan perempuan sekarang terlihat masuk ke dalam sekolah dengan memakai baju olahraga. Anak-anak club basket, club Tenis, Club Yudo, dan olah raga lain. Rupanya sudah jam 4 sore. Akhirnya Laras benar-benar pulang dengan hati yang sangat kesal sore itu.

***
20 Agustus 2010, Jumat
16:00

Bel sekolah berbunyi tepat jam 4 sore. Setelah menutup pelajaran, guru kesenian mengangkat semua buku lalu membawanya pergi meninggalkan kelas. Raras yang dari tadi nampak gelisah menunggu jam 4 sore, bergegas keluar kelas, mendahului anak-anak lain. Membuka loker 31, mengambil segala isinya, kemudian berlari ke depan gerbang sekolah.

Tadi pagi ketika dengan sengaja Raras kembali membuka loker nomor 7, ia menemukan surat balasan untuk bertemu pulang sekolah hari ini. Sebentar lagi Raras akan tahu siapa pencuri tasnya.

^^^
21 Agustus 2010, Sabtu
07:00


Raras kembali menemukan surat balasan dari dalam loker nomor 7 setibanya di sekolah. Hari ini adalah hari ekstrakurikuler sekolah. Raras ada kelas club renang pagi jam 7 nanti dan kelas club paduan suara sehabis makan siang. Dengan segera Raras membalas surat itu. Lalu sambil berlari berjalan ke halaman samping sekolah, dimana kolam renang sekolah berada.


***
-2003
21 Agustus 2003, Kamis
07: 06


Laras menjadi sangat kesal karena hal ini. Seharusnya ia tak perlu mempedulikan. Tidak bertemu, yang rugi orang itu. Tapi Laras penasaran dengan anak ini. Kalau dilihat dari barang-barang yang sekarang ada pada Laras, anak ini berjenis kelamin perempuan. Lebih kentara terlihat pada seragam sekolah yang anak itu sembunyikan di lokernya. Rok biru tua bermotif kotak-kotak bergaris putih. Dengan segera, detik itu juga, Laras menyobek kertas dan menuliskan surat lagi.



^^^
10:00

Selama jam istirahat pertama, Laras waspada mengawasi loker dari balik pintu. Teman-temannya tidak satupun yang tahu tentang apa yang ada dipikiran Laras. Setiap ditanya, hanya terjawab desisan sebagai tanda permintaan untuk diam. Bahkan beberapa anak lain dilarang keluar kelas, karena Laras melarang membuka pintu, ia ingin tetap bersembunyi dari balik pintu. Sementara beberapa kali kepala Laras mengintip dari jendela kecil di daun pintu bagian atas.

Jam menunjukkan 10:14. Sebentar lagi bel masuk berbunyi. Loker masih aman, tak ada anak yang mencurigakan hingga guru masuk kelas untuk melanjutkan pelajaran selanjutnya.

^^^

Bel istirahat kedua berbunyi. Jam 12:30 sekarang. Laras langsung menuju lokernya setelah guru keluar kelas. Ia membuka loker nomor 7 dan kembali menemukan surat balasan.
12:32


Dengan geram Laras menuliskan surat balasan lagi lalu menutup pintu loker dengan kasar hingga mengagetkan beberapa siswa yang berada di sekitar loker atau sekedar lewat saja di depan kelas. Pintu loker terbuka tertutup sendiri sesaat karena terlalu kencang laras mendorong pintu agar tertutup tadi. Derak engsel pintu loker membuat berisik lorong.

***
21 Agustus 2010, Sabtu
12:34


Raras gemetar seketika. Sekitar dua menit yang lalu ia memasukkan surat, ketika hendak mengganti isi surat, surat yang ada di loker nomor 7 sudah berganti menjadi surat balasan. Raras merinding sekarang, bulu romanya berdiri. Raras tengah berinteraksi dengan hantu sekolah.

“Kamu kenapa?” Tanya salah seorang siswa kepada Raras. Raras diam tidak menjawab. Keringatnya mengucur, terasa dingin sekali, lalu tiba-tiba Raras terjatuh di lantai.

“Raras! Raras!” Siswa perempuan itu menndorong-dorong tubuh Raras untuk memastikan. Lalu dengan cepat siswa perempuan itu berteriak minta tolong. Dan beberapa detik kemudian siswa-siswa lain bergotong royong mengangkat Raras ke ruang UKS.

Bersambung ...
Read More......

LOKER NOMOR 7



Raras membuka diary yang baru ia beli. Covernya putih dengan background hujan salju dan timbunan salju di atas sebatang pohon cemara di pinggir cover. daun cemara pun berwarna hitam, gambar covernya berefek hitam putih. Raras mulai membukanya, dan mengusap lembar pertama sambil tersenyum. Ia mengambil pena lucu yang ujung pangkalnya tertempel boneka salju kecil. Lalu menggoreskan tinta hitamnya ke lembar putih itu.

14 Agustus 2010, Sabtu

Lembar pertama ini, hanya ingin menyampaikan, saya membeli diary ini tadi sepulang sekolah. Saya menemukan diary ini di etalase toko samping sekolah. Kalau saja tidak berwarna putih, saya tak mungkin menghampirinya. Kalau saja tidak bergambar salju, saya tak mungkin membelinya. dengan bangga saya katakan: “Hai diary, kamu beruntung...!” :-)



Raras menutup diary itu, membereskan meja belajarnya, mematikan lampu belajar. Dengan cepat tiba-tiba pintu kamar terbuka.

“Sudah mau tidur?” Tanya seseorang yang baru saja menampakkan wajahnya di pintu kamar Raras.Wajahnya tirus dan putih bersih, rambutnya yang sebahu sengaja ia urai. Penjepit rambut berbentuk pita berwarna merah dan hitam membuatnya terlihat sangat cantik. Ditambah dress hitam bermotif bunga kecil berwarna merah, sangaaaaattt cantik.

“Kenapa?” Tanya Raras sambil bangkit dari kursi belajarnya dan berjalan menuju ranjang kecilnya.

“Happy birthday, honey,” kata perempuan itu sambil berjalan menghampiri Raras yang tengah bersiap menenggelamkan diri ke dalam selimut yang berbahan dasar dingin. Perempuan yang tampak lebih tua beberapa tahun dari Raras itu memamerkan sebuah kotak berbungkus kertas kado berwarna putih, dengan pita merah muda.

“Asik,” Raras tersenyum dengan bahagia.

“Buka, dong,” kata perempuan itu. Dengan cepat Raras merobek-robek bungkusnya, dan membuka kotak itu. Sebuah sandal kamar berbulu putih. Boneka salju menempel di bagian depan sandal. “Untuk Raras yang suka salju,” tambah perempuan itu sambil mengusap kepala Raras sekali.

“Raras kira hari ini tidak ada yang memberi kado,” gumam Raras.

“Masih belum punya teman geng?” Tanya perempuan itu. “Teman sebangku?”

“Tidak ada yang tahu hari ulang tahun Raras,” jawab Raras pelan.

“Belum. Masih sebulan sekolah, belum ada yang tahu,” kata perempuan itu sambil beranjak dari ranjang Raras. “Mau tidur bersama malam ini?”

“Kalau Kak Anggun mandi dulu sebelum tidur, Raras mau,” jawab Raras.

“Hei, kakak tidak pernah bau walau tidak mandi. Jangan jadikan itu alasan kalau tidak mau tidur bersama kakak,” gerutu perempuan itu. Sambil cekikikan Raras berlari keluar kamar menuju kamar yang berada tepat di sebelah kamarnya.

15 Agustus 2010, Minggu

Malam ini saya memakai sandal kamar baru pemberian sepupu tercinta, Anggun Akarsana. Sandalnya lucu, saya suka. Bye bye sandal lama, Warna pinkmu membuat saya tidak nyaman. =)) =)) =))



^^^
16 Agustus 2010, Senin
07:25

Dengan buru-buru Raras memasukkan tas beserta segala isinya ke dalam loker nomor 7 yang terletak di samping pintu kelasnya. Loker kayu yang sudah terlihat tua. Beberapa murid terakhir sudah berlari berbelok di ujung lorong sekolah, menuju lapangan olahraga yang ada di halaman belakang sekolah. Sementara Raras dengan kesal, masih sibuk mengunci lokernya. Selalu begini, ia harus bersusah payah mengunci loker. Sudah beberapa kali ia mengadu masalah ini kepada wali kelasnya.

“Raras, kenapa belum ke lapangan? Mau dihukum lagi?” Teriak Pak Haryanto, dari ujung lorong sambil menenteng buku absen.

“Tua dan menyebalkan. Loker dan Pak Haryanto,” gumam Raras setelah akhirnya pintu loker terkunci. Raras segera mengantongi kunci loker dan berlari menghampiri Pak Haryanto yang usianya sekitar 50 tahun.


***
-2003,
16 agustus 2003, sabtu pagi
08:08

Dengan susah payah akhirnya loker nomor 7 terbuka. Seperti sudah menjadi rutinitas, menggerutu dulu pada daun pintu loker. Loker nomor 7 yang berada di baris pertama, di paling atas, terasa sangat menyusahkan. Apalagi buat Laras yang berkaki pendek.

“Katanya baru, tapi sudah rusak. Loker tua menyebalkan,” gerutunya sambil membuka pintu loker hendak mengambil tas. Lama Laras menggeledah loker, tapi tak menemukan tasnya. Hanya tas ransel putih berbulu dan sepatu hitam pantofel. Laras kembali mengaduk-aduk isi loker tapi tetap tak menemukan tasnya. Dengan bingung, ia menutup pintu loker. Agak lama kemudian, ia kembali membukanya, tapi isinya masih tetap sama. Kemudian dengan pelan-pelan menutupnya kembali. Laras mundu beberapa langkah, untuk mengamati label nomor yang menempel di tiap-tiap pintu loker. Ia mendekat pada loker nomor 7 lalu membukanya lagi.

“Mau kabur lagi? Baru beberapa minggu sekolah sudah dua kali kamu bolos,” tiba-tiba seseorang mengagetkan Laras. Bu Ratna, guru muda yang katanya baru awal semester ini mengajar di sekolah. Guru matematika sekaligus wali kelas Laras. Bola matanya tampak dibundar-bundarkan tanda marah dari balik kacamata oval bertankai warna emas yang sudah pudar.

“Tadinya mau kabur, tapi ...”

“Masuk sekarang,” perintah Bu Ratna dengan cepat.

Dengan perlahan dan dengan perasaan bingung, Laras berjalan masuk ke dalam kelas. Sebelum tubuhnya benar-benar masuk, ia sempat melirik loker yang ada di samping pintu kelas.


***
09:42
“Loker saya, pak,” jawab Raras pelan.

“Loker lagi? Tidak ada alasan lain? Alasan itu tidak bisa diterima,” teriak Pak Haryanto kemudian. Raras kaget sebentar, kemudian menunduk lagi menatap sepatu olahraganya yang kini berlumur sedikit pasir basah. “Kalau telat lagi, jangan ikut pelajaran saya,” tambah Pak Haryanto sambil berbalik masuk ke pintu belakang gedung sekolah.



Raras berjalan pelan mengikuti Pak haryanto masuk ke dalam gedung sekolah, menyusuri lorong, dan berbelok ke lorong selanjutnya. Pak Haryanto tampak sudah berada di bawah tangga menuju lantai atas yang terletak beberapa meter dari kelas Raras, kemudian Pak Haryanto menghilang ketika mulai menaiki tangga. Mungkin hendak ke kelas selanjutnya. Sementara Raras menghampiri lokernya hendak mengambil pakaian sekolah yang tadi pagi sudah disiapkan di dalam tas. Beberapa anak perempuan tampak sudah berganti pakaian. Semerbak aroma parfum sangat menyengat, membuat kepala pusing. Sementara anak laki-laki seperti biasa, masih bergerombol di dalam kelas, bercanda masih dengan pakaian olahraga yang basah karena keringat.

“Keringat lebih baik dari parfum-parfum ini, bleh,” gerutu Raras sambil bersusah payah membuka lokernya. Karena kesal, ia memukul lokernya sendiri. Seharusnya tidak ia kunci tadi. Toh, hari ini ia tidak membawa barang berharga.

Lama berusaha, akhirnya kunci dapat dibuka. Dengan kasar Raras membuka loker. Tapi sungguh tak ia sangka, loker nomor 7 tak ada isinya. Ia mundur beberapa langkah untuk memastikan loker nomor 7 lah yang ia buka. Kosong.


***
-2003,
16 agustus 2003, sabtu malam
19:30

Laras mengamati tas ransel putih berbulu dan sepatu pantofel hitam yang ia letakkan di atas meja belajarnya. Masih tidak percaya dengan apa yang terjadi tadi pagi. Betapa kaget ia karena ketika kembali ke bangku ketika pelajaran matematika, tas selempang berwarna hijau menggantung di bangkunya. Lupa kalau tadi pagi ia terlambat ke kelas, sehingga tak sempat memasukkan tas ke dalam loker, lagi pula Bu Ratna juga tidak menegurnya untuk meletakkan tas di dalam loker.

“Bukan itu masalahnya,” gumam Laras kemudian. Yang menjadi masalah adalah tas ransel putih berbulu dan sepatu pantofel yang tiba-tiba ada di lokernya. Ketika ditanya ke seluruh murid di kelas, tak ada yang mengakuinya, melapor ke Bu Ratna, dan ditindaklanjuti oleh wakil kepala sekolah, masih tidak ada yang merasa kehilangan tas. Memang tidak ada barang berharga. Tapi, bukankah buku, seragam sekolah, dan dompet pensil itu berharga bagi pemiliknya?

“Tas baru? Wah, apa ini lagi tren? Sejak kapan kamu mengikuti tren?”

“Mama,” Laras hanya mampu menjawab itu.

“Bolos lagi, tidak, hari ini?” Tanya perempuan setengah baya itu.

“Mama,” lagi-lagi Laras hanya mampu menjawab itu.

“Ya sudah kalau begitu. Mama mau mandi, lalu tidur,” pamit perempuan itu setelah mengusap kepala Laras dengan lembut lalu berbalik menuju pintu kamar. “Seragamnya kenapa tidak di hanger?”

“Mama,” Laras kembali menjawab dengan kata itu.

“Anak manis. Good night,” pamitnya kemudian sambil menutup pintu kamar. “Oh, ya. I love you,” tiba-tiba pintu kamar terbuka lagi, perempuan setengah baya tadi tersenyum kecil pada Laras.

“Mama, Laras bukan anak kecil lagi!” Teriak Laras akhirnya. Bersamaan dengan itu, pintu kamar kembali tertutup dengan cepat. Laras kembali merenungi seperti malam-malam sebelumnya, merenungi sikap mama selama ini, melupakan barang-barang yang sedari tadi ada di hadapannya.

***
18 Agustus 2010, Rabu
07:05

Raras membuka loker nomor 31 dengan sangat mudah. Seharusnya sejak pengaduan pertama hal ini dilakukan. Sangat disayangkan, setelah kehilangan barang-barangnya, pihak sekolah baru mengindahkan laporan Raras tentang loker nomor 7. Raras harus menyalin kembali catatan matematika dan biologinya. Raras harus dengan cepat memesan seragam sekolah baru ke penjahit langganan keluarga, dan memakai sepatu olah raga. Rencananya, nanti sore Kak Anggun akan mengantarkannya membeli sepatu baru. Tapi, tas favourite-nya. Putih berbulu itu. Toko mana yang menjual tas seperti itu lagi?

“Loker 31 sekarang?” Tanya Fetra, salah satu teman yang lokernya berada di nomor urut 21, tepat di atas loker Raras.

“Oh, mau buka loker? sebentar, ya,” kata Raras sambil cepat-cepat meletakkan tas ke dalam loker nomor 31.

“Tas kamu benar-benar hilang?” Tanya Fetra yang dijawab dengan anggukan pelan Raras. “Mungkin dicuri anak kelas lain. Sudah cek kotak sampah? siapa tahu karena gugup, pencurinya membuangnya ke kotak sampah. Atau masih disembunyikan di suatu tempat? Misalnya di gudang? Atau taman-taman di belakang sekolah?”

“Mungkin saja,” jawab Raras.

“Kamu selalu pendiam begini?” Tanya Fetra sambil berjalan bersama masuk ke dalam kelas. Raras hanya menjawab ‘Uh’. “Apa artinya, ‘ya’?” Tanya Fetra lagi sambil tersenyum. Raras hanya membalas senyum Fetra. “Mari berteman,” kata Fetra tiba-tiba sembari menyodorkan tangan tanda ingin bersalaman.

“Apa itu?” Tanya Raras.

“Mari berteman, simbol,” jawabnya dengan ceria. “tidak mau berteman?” Fetra mulai ragu karena Raras tak juga menyambut tangan Fetra. Selanjutnya dengan cepat Fetra meraih tangan Raras dengan paksa lalu duduk di bangku paling depan. Raras dengan pelan berjalan di bangkunya, bangku paling belakang, pojok, di samping jendela.

^^^
21:00

Raras berbaring di atas sofa ruang tv dengan segera tanpa membuka tas-tas belanjaan. Hari ini terasa sangat lelah. Benar-benar berkeliling, mencari tas ransel warna putih yang bisa menggugah hati. Sepertinya Raras sudah terpengaruh oleh salah satu prinsip belanja Kak Anggun, belilah sesuai hati. Sekali hati menolak, tidak ada toleransi. Bleh. Sekarang Raras yang kesusahan. Kakinya pegal.

“Lelah?” tanya Kak Anggun yang baru masuk ke ruang tv. Raras hanya mengangguk lemah. “Lucunya adikku,” tambah Kak Anggun sambil mengangkat tas-tas belanjaan ke lantai atas, tepatnya ke kamar Raras.

“Biar Raras saja, kak,” teriak Raras dengan lemas. Tapi kak Anggun hanya menjawab ‘uh’ sambil terus berjalan. Seperti terisi tenaga baru, Raras berlari mengejar Kak Anggun dan menggandeng salah satu tangan Kak Anggun. Dalam perjalanan menuju kamar Raras, mereka berdua berdendang lagu cinta yang sedang hit di radio-radio.

^^^
19 agustus 2010, kamis
07.10

Ketika melewati loker nomor 7, Raras teringat kata-kata Fetra dua hari yang lalu. Berdiri di depan loker nomor 7, lalu menggeledah dompet pensil, mencari kunci loker nomor 7 yang masih ia simpan. Lupa diberikan kepada penjaga sekolah dan tidak ada guru yang meminta kunci loker itu. Ia dengan susah payah mencoba membuka loker itu. Seperti sebelumnya, membutuhkan tenaga ekstra dan waktu yang lama.

“Ke loker 7 lagi?” Tanya Fetra tiba-tiba sudah ada di belakang Raras. Raras hanya mampu menjawab ‘uh’ kareng kaget. Fetra tertawa lalu mengajak Raras untuk masuk ke kelas bersama-sama.

“Oke,” jawab Raras mengiyakan sambil membuka loker nomor 7. Tampak kertas terlipat di dalamnya, seperti seseorang yang tengah meninggalkan suatu pesan. Dengan penasaran Raras mengambil surat itu dan membacanya.




bersambung ......
Read More......