bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Sabtu, 09 Juli 2011

_ex_

Kutatap wajahku sendiri di dalam cermin toilet sembari berpura-pura mencuci telapak tangan yang tidak kotor, sementara teriakan air mengalir dari keran wastafel sama sekali tidak bisa membuyarkan pikiranku sendiri. Butir-butir air yang sangat kecil menyebar ke segala arah, termasuk wajahku, sehingga beberapa detik kemudian aku tersadar dan bergegas mengusapnya dengan tisu yang tersedia di toilet. Aku merasa sudah lebih siap sekarang untuk keluar dan duduk kembali ke meja kantin.

Aku duduk dibangku tepat di depan Denis yang tengah sibuk mengunyah makanannya. Seperti biasa, ia memasukkan makanan seolah tidak ada sisa ruang longgar di dalam mulutnya. Penuh, membuat pipinya tampak makin bulat. Aku tertawa kecil melihatnya.

“kenapa?” tanya Denis.

“Makan pelan-pelan, aku gak bakal minta makanan kamu,” jawabku sambil memasukkan sesendok bubur ayam ke dalam mulutku.

“Kamu gak tertarik lagi sama makanan yang aku makan?”

“Gak,” jawabku singkat.

“Dulu kamu paling doyan. Dulu aku suka kamu yang begitu,” katanya lagi tanpa melirikku sedikitpun. Matanya asik menyapa nasi lengkap yang ada di piringnya seolah tengah berdiskusi makanan mana yang akan mendapat giliran dimasukkan ke dalam mulutnya.

“Dulu makanan yang kamu makan selalu keliatan lebih enak,” kataku.

“Sekarang gak lagi?” Tanyanya sambil menatapku sebentar.

“gak,” jawabku.

“Kenapa? Ini sambelnya super enak loh,” Denis mencoba membuatku tergiur dengan memakan makanan itu menggunakan gaya host acara icip-icip kuliner di televisi. Aku kembali tertawa kecil melihat tingkahnya. “Wooh, udah lama gak liat ketawanya kamu,” kata Denis kemudian membuat aku mengecilkan bibirku sektika. Sepertinya bibirku kini tengah tersenyum kecut.

“Oh, kamu belum bilang ngajak aku makan untuk apa,” kataku mengalihkan pembicaraan.

“Tapi semalem aku gak bilang mau traktir, kan? Kamu yang traktir aku, ya?”

“Yang ngajak makan bareng siapa?” Tanyaku.

“Pelit, ih. Aku udah bela-belain nyamperin kamu ke kantor, aku nemenin kamu makan disini,”

“Iya aku yang traktir. Besok lagi gak lagi ya,” kataku sambil memakan bubur pura-pura dengan kesal. Denis tertawa kecil sambil menatapku agak lama.

“besok aku yang traktir,” katanya. “Tapi syaratnya kamu yang nyamperin aku ke kantor,ya,”

“Pelit,” ejekku cepat sedetik kemudian. Denis tertawa riang sekali siang itu.

“Ini pertama kali kita bisa kaya gini lagi setelah dua tahun,” katanya. “terus terang nih, ya, aku seneng,”

“Aku juga,” jawabku sambil tersenyum.

“Oh, kabarnya kamu punya pacar, ya,” celetuk Denis dengan tiba-tiba. “Orang kantor? Yang mana orangnya?”

“Hobi kamu yang tukang ngarang itu masih, ya,” jawabku. “Gak ada. Kamu sendiri? Kabarnya malah mau nikah,”

“Hm, iya. Aku kesini mau kasih undangan. Minggu depan, Ray,” jawab Denis. Aku langsung diam, dan raut wajah tidak mau menuruti perintah otak untuk memberikan senyum, atau setidaknya pura-pura tersenyum. Tenagaku pun seperti habis seketika tak sanggup lagi mengangkat sendok untuk menyuapi diriku sendiri.

“Terkesima apa cemburu?” Tanya Denis ketika melihat tingkahku.

“Pede,” jawabku. “Mana undangannya?”

“Kamu nyesel kan minta cerai sama aku?” Denis meledekku sambil cekikikan.

“Gak. Aku udah dapet harta gono gini. Itu yang aku cari,” jawabku.

“Sejak kapan kamu mata duitan?” Tanya Denis. Aku hanya menjawab dengan tawa. Mungkin saja terlihat sekali tengah pura-pura tertawa. Pipiku sekarang terasa pegal. Mungkin saja aku terlalu besar membuka mulut untuk sekedar tertawa pura-pura ini. “Wooh, mata kamu bener-bener hijau sekarang,” ejek Denis kemudian padaku.

“Apa pendapat kamu kalo kita rujuk?” tanyaku dan dengan cepat kulihat reaksi Denis yang terbatuk-batuk tidak karuan. Lama ia membuat kerongkongannya membaik, membuatku cemas saja.

“Aku mau nikah, jangan main-main, ah,”

“Emang Cuma main-main,” kataku cepat. “Semoga bahagia,”

“Ucapin itu nanti aja di pernikahan,”

“Aku gak bisa dateng,” jawabku.

“Gak kuat ngeliatnya?” Tanyanya sambil tertawa. “Kamu bener-bener minta rujuk, nih? baru sadar daya tarikku?”

“Pede,” jawabku. “Mana undangannya. Sebentar lagi rapat, jadi mau nyiapin bahan rapat,” kataku sambil menyodorkan tangan kosong mendekat ke arahnya.

“oh,” gumam Denis sambil menyerahkan undangan dari dalam tas kantornya. Aku meraihnya lalu bangkit dari bangku hendak meninggalkan kantin. “Raya, kamu masih cantik di umur kamu yang 36 ini. Pasti mudah cari pacar,” katanya sebelum akhirnya aku benar-benar meninggalkan kantin. Aku tertawa kecil mendengarnya sambil menatap kartu undangan berwarna ungu muda yang ada di tanganku.
Read More......

P-sau-"oenni (cici)"

Hanya rumput-rumput liar dengan berbagai ukuran dan bentuk yang menyambut tiap langkah kaki. Kerikil tak ada, pohon tak ada. Semakin tinggi, angin semakin kencang menerpa rambut, wajah, tangan, dan seluruh raga ini. Saya hanya mengikuti langkah kaki menuju puncak, ke pusara cici.

Sudah bertahun-tahun lupa kepada cici disana. Mungkin sudah rindu ia, karena adik bungsunya yang ini tak kunjung datang sekedar menyapa. Cici, saya datang bawa kabar gembira untuk cici.

Lima tahun lalu saya kubur cici di puncak sana, agar lebih dekat dengan dewa dan dengan jarak yang lebih dekat cici bisa membantu saya merayu dewa di langit untuk membantu saya mencari laki-laki itu dan merayu dewa agar memaafkan saya. Cici sudah berhasil merayu mereka, kan? Saya sudah bertemu dengan dia, beberapa jam yang lalu. Inilah kabar yang akan saya sampaikan pada cici, dan akan kita rayakan setibanya di puncak. Kita akan minum banyak arak di pusara cici.

Setibanya di hadapan gundukan tanah besar yang ditumbuhi rerumputan kecoklatan, saya menyusun buah, botol arak. Tak lupa dua gelas plastik dan sebuah pisau kotor berlumuran zat berwarna merah pekat. Saya menuangkan arak ke kedua gelas, hendak bersulang.

Cici, pertama saya berucap maaf dulu karena datang dengan seperti ini. Saya lupa pakai alas kaki tadi, dan tolong jangan risaukan luka-luka di telapak kaki saya. Saya masih memakai piyama untuk tidur semalam, jangan hiraukan itu. Rambut saya acak-acakan dan lupa gosok gigi. Tolong jangan hiraukan itu juga. Oh, satu lagi, jangan hiraukan pisau penuh darah itu. Sebentar lagi akan saya buang.

Cici, ucapkan selamat pada saya dan sampaikan maaf saya pada dewa. Cici sudah menjadi dekat setelah bertahun-tahun disini, kan? Cici, saya sudah menemukan laki-laki biadap itu. Saya menusukkan pisau berkali-kali ke badannya. Dia mati di kamarnya setelah lelah berteriak. Apa ketika dewa menjemputnya, cici bersama dewa untuk menyaksikan arwahnya hilang dari dalam tubuh?

Cici, saya susah payah mencari laki-laki itu, teman cici di universitas tempat cici dulu kuliah dan bertemu dengannya. Sekarang cici boleh tenang karena pemerkosa itu sudah mati. Mati.

Cici, mari bersulang sekali saja, lalu segera menghadap dewa untuk memohonkan ampun pada dewa kita. Ayo ci, bersulang !!
Read More......

P-sau-"oppa (kakak)"

Di langit sana bulan tampak bulat sekali, namun cahayanya redup karena embun embun dan kabut yang melanglang buana ke semua tempat. Hawa dingin terus menusuk masuk menggigit hingga tulang walau sudah kudekap kedua tangan saya sendiri. Bahkan syal tebal usang ini sudah melilit dengan rapat leher dan sebagian wajah saya. Sebentar lagi musim semi tapi dinginnya musim dingin masih sangat terasa malam ini.

Dalam gelap kaki saya melangkah menaiki bukit yang menjulang di belakang rumah. Kerikil-kerikil yang tersebar di jalan setapak menggemericikkan suasana malam. Bagai musik yang tengah mengiri langkah saya menuju pondok kecil tempat dimana ayah saya menyimpan persediaan kayu bakar untuk menghangatkan kamar tamu di motel sederhana peninggalan leluhur.

Kurang dari lima menit pondok gelap gulita terlihat dan makin kupercepat langkah kaki, karena dinginnya malam sudah terasa sakit. Lagi pula sudah ada yang menunggu lama disana. Kakakku tercinta yang sudah 8 tahun bekerja membantu ayah mengurus motel.

Pintu saya buka diikuti bunyi engsel tua yang sedikit memekikkan telinga. Cahaya bulan yang redup masuk ke dalamnya sehingga tidak begitu gelap lagi. Lalu suara gaduh muncul seperti sesuatu benda padat yang sedang beradu dengan benda padat lainnya. Saya berjalan masuk perlahan. Dan suara erangan yang menyanyat muncul dari sudut ruangan.

"kenapa gak makan? Supnya udah dingin sekarang," saya mendekati suara itu. Disana duduk seorang laki-laki lusuh dengan tangan dan kaki terikat pada tumpukan balok-balok besar yang belum terbelah. Ia tampak menggelepak seperti ikan yang kehilangan air. Erangan kembali muncul.

"saya sudah bilang, kak. Kakak harus makan walau mulut ketutup, walau gak bisa pake tangan, walau gak bisa jalan ke meja ini. Hmmm dasar kakak bandel,"

erangan kembali muncul dari sana, tanpa menggelepar seperti tadi. Saya mengambil pisau yang beberapa hari lalu sudah saya letakkan di samping mangkuk sup, agar kakak tercinta dapat menggunakannya untuk memutuskan ikatan di tangan, mulut, atau kakinya.

"bodoh. Kenapa masih belum bisa lepas?" tanya saya sambil mendekatinya dan menegakkan pisau sampai sejajar pundah dan membiarkannya memantulkan sedikit cahaya bulan ke setiap ruangan. Laki-laki itu kembali menggelepar dengan sekuat tenaga.

"seol sayang, berhenti, nak. Jangan begini," ayah tiba-tiba muncul dengan terengah-engah dengan pakaian yang tampak sangat hangat. Asap dingin keluar dari mulutnya. Saya berbalik kembali mendekat meja dan mengambil sebuah apel disana. Saya
mengupasnya pelan-pelan sementara ayah dengan perlahan dan ketakutan mendekat ke arah laki-laki yang sudah 3 hari tidak masuk kerja tanpa pemberitahuan apa-apa. Rupanya ayah baru tahu kalau pekerjanya bersembunyi di dalam pondok ini.

"jangan lepas, yah. Kakak belum memberi apa yang saya minta," kata saya masih mengupas kulit apel. "ayah!" teriak saya tiba-tiba karena ayah masih saja berusaha membuka ikatan-ikatan yang ada pada laki-laki itu. Ayah tampak tersentak kaget.

"nyawa dibayar dengan nyawa, seharusnya cinta saya dibayar juga dengan cinta. Kenapa dia masih gak mau memberi cintanya setelah saya memberi cinta saya?" tanya saya tanpa berhenti dari kegiatan megupas apel. "kakak bisa jawab?"

"seol, ayah sedih melihat anak ayah begini. Kita pulang ke rumah sama-sama. Kita bertiga,"

"bertiga? Nanti setelah kakak bersedia memberi cintanya pada anak ayah ini,"

lalu ayah diam-diam membuka semua ikatan pada tubuh laki-laki itu dan menyuruhnya diam dan jangan bersuara. Ayah pun bodoh. Dia kira saya tidak tahu kelakuannya. Saya mulai membelah apel menjadi bagian-bagian yang lebih kecil setelah kulitnya habis oleh pisau. Lalu ayah menopang laki-laki itu berjalan ke luar pondok dengan pelan-pelan seperti tadi.

"ayah!" teriak saya sambil memamerkan ujung pisau kepada mereka berdua. "sebentar lagi kakak akan mencintai saya. Tunggu sampai usaha saya berhasil, yah,"

tapi ayah tak mempedulikan permintaan saya. Ia terus berjalan keluar pondok mengikuti kangkah kaki laki-laki yang terseok-seok itu. Karena kesal, saya melempar pisau ke sudut ruangan dimana laki-laki tadi berada. Pisau itu tergeletak bersama kain-kain panjang yang sudah 3 hari terpakai untuk mengikat beberapa bagian tubuh laki-laki tadi. Lalu saya menjerit malam itu seperti serigala di tengah hutan yang biasa terdengar di malam hari.
Read More......

P-sau-"kebun bawang"

Desis minyak terdengar ketika saya memasukkan bumbu ke dalam minyak panas yang berasap. Saya mengaduk sebentar lalu memasukkan sepiring nasi putih ke dalamnya lalu mengaduk perlahan agar rata. Setelah beberapa menit, api mati dan saya menyiapkan kotak makan dari dalam lemari dapur. Saya suka daun bawang . Hijaunya, wanginya, bahkan kebunnya. Saya sering bermain di kebun bawang milik paman sebelah rumah. Disana saya sering melihat paman menangis lalu bercerita banyak sekali. Tapi pada akhirnya selalu ia bilang : terimakasih sudah mampir. Sana pulang. Nanti ibu mencari kamu.

Saya memotong daun bawang kecil-kecil untuk ditebar di atas nasi goreng yang nanti dicetak di dalam kotak makan.

Sore ini saya hendak ke kebun itu lagi. Menunggu paman bercerita lagi sambil menangis seperti sore biasanya. Lalu saya akan mengais-ngais tanah untuk mengambil bawang disana jika ada atau memetik daunnya satu. Sebelum pergi meninggalkan dapur, saya memasukkan pisau yang tadi saya gunakan ke dalam tas ransel pink kecil bergambar princess disney bersama kotak makan. Lalu saya berlari kecil ke halaman belakang rumah sebelah, dimana kebun bawang berada.

Sesampainya disana saya berusaha mencium wangi bawang beberapa kali lalu duduk di samping gundukan tanah yang ditanami tanaman bawang. Sudah dua hari ini tidak ada wangi bawang di sini. Hidung saya mencium wangi aneh. Saya mengeluarkan kotak makan dan mulai memakan isinya sesuap demi sesuap.

Setelah habis, saya mencari sosok paman. Sudah tiga hari paman tidak menghampiri saya. Ia di dapur hanya melihat saya dari jendela. Mungkin ia takut ibu akan memaharinya seperti waktu itu.

Setelah lama menatap paman di dapur, saya putuskan untuk menghampiri jendela agar bisa bicara pada paman sambil membawa pisau yang saya ambil dari dalam tas.

"paman, saya kesini tanpa sepengetahuan ibu. Paman tidak usah takut keluar. Ayo sini," kata saya pada paman. Tapi paman hanya diam sambil menatap kebun bawang.

"paman, ayo turun dari sana. Saya bawa pisau untuk membantu paman," kata saya lagi sambil mengangkat pisau agar ia melihat pisau saya. Tapi paman masih diam saja. Saya menatap paman dari luar jendela dengan kecewa. Sepertinya paman tidak mau lagi bercerita. Tidak mau lagi menangis tentang istrinya yang meninggal setahun lalu karena sakit.

Lalu saya kembali ke kebun bawang untuk berkemas. Memasukkan kotak makan dan pisau ke dalam tas ransel. Kalau lama-lama disini, ibu bisa tahu.

"paman, besok sore saya akan datang lagi," kata saya sebelum pergi meninggalkan kebun bawang. Saya akan menemui paman lagi sampai paman mau menerima pisau saya. Kasihan leher paman digantung dengan kain di dapur sana. Ia bisa memotong tali itu dengan pisau jika ia menerima pisau saya.
Read More......

P-sau-"cut in"

Sudah hampir setengah jam hujan turun begitu lebatnya. Sejauh ini seperti tidak ada tanda akan berhenti atau setidaknya menjadi hujan gerimis. Saya masih berdiri memandangi lahan parkir apartemen dari balik jubah hujan berwarna kuning. Saya memilih bersembunyi di balik sebuah pohon dekat lahan parkir menunggunya datang hingga selarut ini.

Saya yakin dia akan pulang ke tempat berteduh satu-satunya itu. Sebuah apartemen hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun di perusahaan ayah saya.

Sebuah mobil yang sangat saya kenal muncul dari kejauhan. Lampu mobil sempat membuat mata silau sejenak. Hanya saja suara mesin mobil terkalahkan oleh derasnya hujan malam ini. Sambil menunggu saya berkali-kali mengusap kucuran air yang menhalangi pandangan mata saya.

Tak lama kemudian ia muncul dari dalam mobil. Ia berlari masuk ke pintu utama aparteman berusaha menghindar hujan semampunya.

Setelah ia masuk, saya berjalan keluar dari persembunyian dan dengan geram mendekat mobilnya.

Setelah sampai, saya mengangkat pisau yang sedari tadi ada di genggaman saya ikut bersembunyi dari balik jas hujan. Setelah itu saya memahat huruf demi huruf di beberapa badan mobil hingga bertuliskan sebuah kalimat. 'kembalikan anak saya atau kamu mati'.

"yoo ri! Kamu ngapain?" suara seseorang mengagetkan saya. Saya menoleh ke arah suara. Dia tampak berdiri di bawah payung berwarna pelangi bersama dengan seorang bocah berumur empat tahun.

"mana anak saya!" teriak saya sambil terbatuk di tengah kalimat lalu tertawa tiba-tiba.

"cut!"

Hujan berhenti tiba-tiba dan ia tampak ikut tertawa bersama saya.

"maaf. Tadi saya tersedak," kata saya kemudian sambil menatap gerombolan orang-orang yang berdiri di balik sebuah kamera.

"bisa kita mulai lagi?" teriak sutradara pada saya. Saya hanya mengangkat ibu jari saya ke atas.

"oke. Hujan mulai. Kamera siap. Action !"
Read More......

P-sau-"mimpi"

Setelah bellboy pergi dan meletakkan koper di samping ranjang, saya langsung tertidur di atas ranjang dengan seprai berwarna coklat muda berpadu garis putih kecil-kecil. Akhirnya saya kesini lagi setelah mendapat paksaan dari mama. Mama menyuruh saya berlibur segera untuk menyegarkan otak dan jiwa. Menurut mama, setelah melihat secara langsung kecelakaan mengenaskan di jalan tol beberapa waktu lalu, saya sering bermimpi aneh dan berteriak-teriak histeris dalam tidur.

Saya jadi ingat pertama kali saya ke makau, menginap di kamar ini bersama mama, hanya berdua menghabiskan liburan akhir tahun di sini. Menginap di hotel ini. Semoga saja kebahagiaan dan ketenangan dua tahun lalu bisa saya dapatkan lagi setelah ini.

Bel pintu kamar berbunyi tiba-tiba. Dengan malas saya bangun dari tidur hendak membuka pintu.

Setelah memutar kunci pintu, pintu di dorong seketika dan seseorang berjubah hitam dan berwajah hitam langsung mendekat ke arah saya sambil berusaha menancapkan pisau ke dada saya. Silau pisau terpaan sinar matahari sore dari jendela besar tampak bergerak-gerak di dinding-dinding kamar. Saya tak sempat berlari untuk menghindar, hanya berusaha sekuat tenaga menahan pisau tidak berlabuh di tubuh. Lama saya berjuang, akhirnya terjatuh ke lantai bersama orang yang menyeramkan itu.

"Aaaaaarg...!" dada saya terasa sakit sekali. Pisau menusuk dada.

Dengan lemas Saya menatap dada saya. Tidak ada pisau. Tidak ada siapa-siapa di kamar ini. Dan saya masih berada di atas ranjang dengan keringat mengucur deras dan dada tersengal-sengal. Baru saja saya mimpi.

Saya bangkit dari ranjang untuk mengambil minum yang ada di dalam lemari es. Meneguknya banyak dengan paksa lalu duduk di sofa dekat lemari es sembari mengatur nafas.

Bel pintu kamar berbunyi tiba-tiba. Masih dengan ketakutan saya berjalan hendak membuka pintu. Sebelum memutar kunci, saya bersiap untuk lari. Kunci terbuka dan tidak terjadi apa-apa. Lalu saya membuka pintu.

Sosok berjubah hitam mengangkat tangan kanannya yang memegang erat sebuah pisau hendak menancapkannya ke tubuh saya.

"Aaaaaarg...!" saya berteriak lantang dan lagi-lagi tersadar saya masih di atas ranjang dengan nafas masih tersengal-sengal.

Bel pintu tiba-tiba berbunyi lagi. Saya tidak berani membuka pintu. Saya membiarkan bel berbunyi berulang kali sampai tidak terdengar lagi. Saya sangat ketakukan sekarang.

Saya bangkit dari ranjang hendak mengambil minum yang ada di dalam lemari es. Rasanya dada saya sangat sesak.

Bel berbunyi lagi. Dengan ketakutan saya mendekap botol air mineral yang baru saya ambil dari lemari es, ketakutan. Tapi bel hanya berbunyi sekali. Saya merasa sangat lega sekali. Tapi tiba-tiba pintu terbuka dan dengan cepat sosok berjubah hitam muncul dari balik pintu dan berlari mengampiriku bersama pisau di tangannya.

"Aaaaarg...!" saya kembali terbangun dengan nafas yang makin tersengalksengal. Keringat sudah membasahi punggung saya hingga terasa sangat panas. Mata saya dengan cepat berkeliling ruangan waspada dengan apa yang akan terjadi.

Pintu bel kamar berbunyi lagi.
Read More......

P-sau-"mawar kayu"

Memandang keluar jendela sejenak. Tembok berlumut menjulang tinggi sekitar satu meter dari jendela. Diantaranya tumbuh rumpu liar hijau dan beberapa berbunga. Entah bagaimana mereka hadir dan tumbuh. Hanya begitu saja.Kembali berkonsentrasi mengikis kayu perlahan dan dengan sangat hati-hati sambil memfokuskan sesuatu yang ada di benak. Setangkai mawar akan terbentuk pada kayu panjang ini. Kelopak mawar akan segera selesai, lalu akan dilanjutkan tangkai lengkap dengan duri dan daunnya. Pahatan mawar yang selalu saya buat diwaktu senggang seperti ini hingga menjelang sore nanti. Pisau kecil nan tajam lah yang selalu bersedia mengikis kayu ini dan beberapa kayu lain. Saya selalu memperhatikan tiap detilnya, membuatnya sama persis dengan mawar kayu yang lain.

setiap hari sambil menghitung waktu, akan terbentuk sebuah pahatan wamar dari kayu dengan tangkai hanya sekitar 10cm. mawar-mawar inilah yang akan menjadi saksi betapa saya mengingat janji anda beberapa tahun lalu. saya menunggu anda datang, setiap hari, dan jika besok anda benar-benar datang, pahatan mawar kayu tak akan terbentuk lagi. jadi,tidakkah anda merasa kasihan dengan jemari dan mata saya? datanglah, dan saya akan berhenti.

pahatan mawar selesai. makin hari, saya makin fasih memahat mawar. kemudian saya menyilang sebuah tanggal di kalender meja dengan spidol merah. tanggal hari ini tercoret dan itu pertanda anda tidak datang hari ini. lihatlah, 813 angka yang tersilang sejauh ini, 813 mawar yang tercipta. apa anda belum ingin datang? apa esok sore saya akan memahat mawar lagi?

tiga hari di saat itu masih begitu jelas tersimpan. hari pertama saya mencari anda, karena andalah pemahat terkenal di negara ini dan saya berniat belajar memahat. di hari itu anda menyebut nama saya untuk pertama kalinya. hari kedua saya mulai belajar memahat dan dengan penuh antusias anda membimbing saya. hari ketiga saya mengatakan kalau saya adalah putri anda yang sekarang sudah tumbuh menjadi perempuan dewasa. tapi kemudian di sore hari, anda pamit pergi dengan meninggalkan pisau pahat yang selalu anda pakai.

"saya tidak tahu harus apa. saya ingin sendiri. tunggu disini, saya akan kembali ketika saya siap,"

"kapan?"

"tidakkah anda berpikir betapa terkejutnya saya. anda lahir dari rahim korban pemerkosaan, dan ayah anda harus menanggung 8 tahun dalam bui. setelah bertahun-tahun berusaha memaafkan diri sendiri, seorang anak datang dan berkata kalau anda adalah anak saya,"

"jadi kapan akan kembali? saya akhirnya menemukan anda,"

"tidak tahu,"

"baiklah, saya tunggu disini. saya akan memahat mawar seperti ini," kata saya sambil memperhatikan pahatan mawar yang baru saja anda selesaikan ketika itu.

beberapa kemudian setelah hari itu, pemilik rahim korban pemerkosaan menelepon saya dan berkata bahwa anda mati. saya tentu tidak percaya. anda akan datang. anda akan berlutut memohon ampun pada saya karena menjadikan saya ada tanpa anda. saya hanya ingin anda datang dan berlutut agar saya bisa hidup tanpa penderitaan seperti ini. saya tidak ingin pisau ini dan keahlian memahat yang sehari saja pernah anda ajarkan pada saya. saya ingin anda berlutut memohon ampun pada saya, saya ingin melihat air mata jatuh dari mata anda.
Read More......

P-sau-"tali layang-layang"

Setelah puas memandang layang-layang yang mengudara tinggi sekali, ayah menengadahkan punggungnya. Ia ingin menggendong saya kembali ke kamar. Memang sudah sore, langit di ujung sana jingga dengan diselimuti sedikit awan hitam. Dengan senang hati saya naik ke punggungnya dan memeluk erat lehernya.

"apa talinya gak bakal lepas kalo kita tinggal?" tanya saya ketika dalam perjalanan meninggalkan atap gedung.

"talinya kuat. Gak akan lepas kalo gak diputus," jawab ayah sambil menuruni anak tangga dengan pelan sebelum sampai ke lift. Saya hanya mengangguk sambil menikmati hangatnya punggung ayah.

"Lila sudah besar ya?" tanya ayah. Saya hanya berucap 'hem' sambil mengamati langkah ayah yang memasuki lift. Nafas ayah tersengal kelelahan, tidak seperti sebelum asuk ke rumah sakit. Setelah lift tertutup, ayah menekan tombol 3. Kami akan kembali ke kamar tempat ayah dirawat.

"ayah bakal sembuh?" tanya saya. Ayah hanya mengangguk dengan sangat yakin. Saya makin erat memeluk leher ayah. Dalam diam, tiba-tiba ayah jatuh terduduk. Dan memberi aba-aba agar saya turun dan jangan khawatir.

"maaf, La," lalu ayah menggeletakkan diri disana, memejamkan mata sambil menahan sakit.

Pintu lift terbuka. Seorang pasien di atas kursi roda dengan sorang perawat laki-laki berdiri di depan pintu lift. Saya hanya menoleh kepada mereka sambil menangis. Lalu dengan cepat perawat tersebut menghampiri ayah setelah berteriak meminta bantuan pada perawat dan dokter yang ada di sekitar. Saya masih menangis di dalam lift.

Di ruang UGD dokter menyebutkan jam kematian ayah. 17:56. Saya menangis dalam pelukan seorang dokter. Saya ingat beberapa jam lalu sebelum layang-layang diterbangkan, ayah menuliskan doa agar saya bahagia di SMP nanti. Seminggu lagi saya akan masuk menjadi anak SMP baru. Dan ayah sangat ingin melihat saya memakain seragam itu. Ayah.

Dua hari kemudian saya memandang layang-layang yang masih mengudara di atap rumah sakit. Lebih dari seminggu ayah, saya dan ibu tinggal disini, untuk perawatan ayah.

"Lila! Kita harus cepat ke gunung," teriak ibu dari ujung tangga. "aiggoo kenapa kita harus kesini?" teriaknya lagi.

Ayah, saya pakai seragam SMP. Cantik, kan? Ayah lihat? Tapi kemarin kita belum beli sepatu baru. Saya masih bersandal.

"Lila!" teriak ibu.

Ayah, talinya kuat sekali. Layang-layang kita masih mengudara dengan gagahnya. Ayah lihat? Mungkin seperti itu tali kita, tidak akan pernah putus. Benar, kan?

"Lila!" ibu sudah ada disamping saya lengkap dengan seragam hitam duka dan kacamata hitam. Ibu mengangkat tangannya yang memegang pisau lalu memotong tali tiba-tiba. Layang-layang terbang menjauh sambil menari-nari bersama angin.

"ibu!" teriak saya kemudian sambil menangis.

"ayo ke gunung. Kita harus menebar abu ayah segera. Mau hujan," kata ibu sambil berbalik dan menarik tangan saya mengikutinya.

"ibu! Saya tahu ibu yang nusuk ayah pake pisau waktu itu. Bukan pencuri seperti polisi bilang!" teriak saya masih sambil menangis.

"Lila?" ibu menghentikan langkahnya lalu mengamati saya lama dengan wajah khawatir.
Read More......

P-sau-"Mason"

Sepulangnya dari kantor pengacara, saya bergegas menuju rumah sakit mengingat Mason, anak tunggal saya sejak pagi tidak saya temani. Seharusnya saya tidak meninggalkan dia sendiri di kamar perawatan itu, tapi pekerjaan saya dan urusan perceraian jauh tidak bisa ditinggalkan.

Menuju lantai dua rumah sakit, saya berjalan dengan agak tergesa untuk menemui Mason yang pasti sudah tertidur pulas. Nyaris tengah malam saat ini. Menjelang pintu ruangan tempat Mason dirawat, saya ingat kemarin sore ketika dokter menyatakan Mason harus dirawat inap untuk pemeriksaan lebih lanjut. Pasalnya, dokter melihat ada keanehan pada jumlah darah putih pada tubuh Mason. Semoga akan baik-baik saja, bukan leukimia seperti film yang pernah saya tonton ketika muda dulu.

"kenapa, dok?" tanya saya ketika dokter dan seorang perawat dengan gugup keluar dari ruangan tempat Mason dirawat. Saya cemas sekali melihat keduanya, tapi meyakinkan diri ini bukan tentang anak saya, karena beberapa anak juga dirawat di kamar yang sama.

"maaf, Mason hilang," jawab sang dokter sambil mengelilingi tiap sudut koridor dengan bola-bola matanya. Saya berlari menengok ke dalam ruangan untuk memastikan bahwa Mason benar tidak ada di ranjangnya.

"kok bisa sih?" marah saya sambil menatap perawat itu. Tak lama kemudian saya ikut bergabung dengan mereka untuk mencari Mason.

Lama pencarian, dokter menemui saya di salah satu koridor rumah sakit tengah menggendong anak laki-laki kesayangan saya. Saya berlari menghampiri mereka dan mengambil Mason untuk menggendong dan memeluknya erat. Dia tengah menangis terisak.

"sayang, kenapa keluar kamar?" tanya saya sambil mengusap-usap rambutnya masih dalam pelukan saya.

"mama, Mason bakal jadi anak baik. Biar papa masih mau jemput Mason di TK. Biar papa masih mau buatin bekal makan siang buat Mason," katanya dalam tangis. Saya hanya bisa memeluknya lebih erat dalam perjalanan menuju ranjangnya. Tak lama kemudian, ia tidur di ranjang. Tak lama setelah itu, dokter yang sedari tadi ikut menunggu tertidurnya Mason sambil berdiri di dekat pintu, memanggil saya untuk keluar.

"saya sudah menunggu anda sejak tadi siang. Anda sudah mendengar pesan panggilan saya?" tanya sang dokter. Saya mengangguk lalu menjelaskan tentang kondisi saya yang benar-benar sibuk seharian ini. Sebagai Anggota redaksi berita di salah satu stasiun tv swasta terkenal, benar-benar menyita banyak waktu, ditambah harus mengurusi surat perceraian.

"mason tadi mencari jalan keluar rumah sakit hendak menunggu mamanya datang," kata dokter kemudian. Saya hanya bisa diam mendengarnya. Anak saya yang malang.

"dok, sudah ada hasil tesnya?" tanya saya tiba-tiba.

"itu yg mau saya bicarakan. Mason terkena leukimia," jawab dokter dengan suara yang nyaris berbisik. Saya menangis seketika sementara dokter terus menjelasksn tentang kondisi Mason, tentang perawatan sementara dan selanjutnya, dan solusi-solusi pengobatan. Air mata masih mengalir dan saya hanya bisa mengapus tiap tetesannya dengan kedua tangan saya.

Sebelum dokter pergi, ia memberikan kertas-kertas hasil tes Mason yang sebenarnya tidak saya ketahui isi dan tulisannya. Saya mendekap erat kertas itu sambil berjalan masuk menuju ranjang Mason. Saya sudah bisa menahan air mata saat ini.

Mason masih tertidur diranjang, dadanya tampak naik turun teratur. Ini pertama kalinya saya melihat ia sedang tertidur karena selama ini saya tak pernah menyempatkan diri menengoknya sepulang kerja ketika malam, apalagi membacakan cerita seperti impian saya dulu. Selama ini saya lah yang menafkahi keluarga, berangkat pagi-pagi sekali dan pulang larut malam. Semua kebutuhan Mason dan rumah diurus suami saya yang bekerja paruh waktu siang hari di restoran dekat rumah.

Sudah dua hari suami saya hilang entah kemana dan baru kemarin mengirimkan seorang pengacara untuk mengurusi perceraian. Ia sudah tidak ingin bertemu dengan saya. Sejak kepergiannya, saya menjadi sangat repot di pagi hari dan menjadi sering menelepon rumah untuk mengawasi Mason yang di rumah sendiri sepulang dari TK.

Tak lama kemudian sambil menutup mulut menahan isak tangis, saya menusuk perut Mason berkali-kali dengan pisau operasi berukuran kecil yang saya ambil dari sebuah ruangan tak jauh dari ruang operasi. Mason menangis menatap saya. "mama, sakit," rintihnya sambil menangis. Lalu saya menusuk bagian dadanya hingga darah berkelebat ke tiap sudut dan wajah saya.

Seorang anak dalam ruangan itu berteriak tiba-tiba dengan sangat kencang, memekikkan telinga. Mungkin dia sudah melihat Mason dan saya.

"maaf, sayang. Mama gak sanggup liat Mason menderita walau untuk enam bulan saja,"
Read More......

Mati - "sahabat dua minggu"

Cerita ini persembahan untuk sahabat "dua minggu" saya. Saya bersamanya selama dua hari sejak saya pertama kali bertemu. Dan di hari ke 15 persahabatan kami, dia meninggalkan saya untuk mati.

Semoga dewi juga membacanya disana

****************

Mereka mendorong tubuh saya dengan pelan untuk melangkah masuk ke dalam sebuah kamar perawatan. Ibu terlihat sekali tengah memandangi saya dengan menahan air mata, sementara ayah menjinjing tas besar berisi beberapa pakaian saya. Mereka tahu keadaan saya, dan membawa saya menginap disini, bersama orang-orang penderita kanker lainnya.

Sebulan yang lalu saya tahu tentang kanker perut ini, bahkan mungkin sekarang sudah semakin parah karena sakitnya terasa semakin melilit. Saya kira hanya mag biasa, seperti yang orang lain alami pada awalnya. Sakit di perut sudah biasa ketika itu, dan nyeri yang sedikit makin bisa tertahan. Hingga suatu hari tubuh saya tidak bisa menahan sakit dan memilih untuk tak sadarkan diri. Waktu itu Saya harus operasi segera menurut dokter. Karena sudah parah, kemungkinan sembuhnya 2% dan dokter dengan yakin bisa mendapatkan 2% tersebut.

Hah, gila! Jika ini menyangkut dewi fortuna, sejak kecil hingga 25 tahun ini, saya tak pernah mendapat keberuntungan mendadak. Seperti lotere, undian hadiah yang tak pernah saya dapatkan. Jadi, sebenarnya saya memutuskan untuk meminum obat saja ketika merasakan sakit yang begitu dahsyat di perut saya, sampai tubuh saya lelah nanti. Ketimbang bertaruh dengan persentasi yang sangat kecil. Tapi kemarin dokter memberitahu orang tua saya karena saya tak kunjung mengiyakan untuk melakukan operasi.

Setelah orang tua saya pergi, saya diperkenalkan oleh seorang perawat kepada penghuni rumah sakit khusus ini. Beberapa dari mereka berwajah pucat dan berkursi roda. Tapi banyak sekali yang terlihat sehat dan sedikit yang masih berambut. Mereka semua tersenyum sangat ramah setelah menyapa saya.

Setelah itu, saya masuk ke kamar saya untuk merapikan pakaian ke dalam sebuah lemari kecil di samping ranjang.

"anda tahu, anda terlambat?" tanya dokter tiba-tiba sudah ada di dalam kamar. Saya hanya mengangguk sambil melanjutkan pekerjaan saya. "kenapa takut sekali dengan 2%?"

"saya tahu, sekarang saya hanya tinggal menunggu. Kenapa dokter memaksa saya tinggal disini?"

"disini anda tidak sendirian. Mereka bersama anda, dan bisa mengerti anda lebih dari orang lain. Lagipula disini saya bisa mengawasi anda,"

"ya. Nasib mereka mungkin sama. Kami disini sedang menunggu waktunya datang,"

"dokter!" seorang perawat muncul dengan terengah-engah. "Rakasiwi kesakitan di kamarnya!"

dokter berlari cepat diikuti perawat itu. Saya mengikuti mereka melewati koridor dan masuk ke sebuah kamar. Disana tampak ramai. Seorang anak tengah menangis memeluk laki-laki kurus yang terlentang di atas ranjang. Sementara yang lain menangis menyaksikan adegan itu. Beberapa pasien tampak berkerumun di luar ruangan berusaha melongo ke dalam. Sang dokter memeriksa bagian tubuh laki-laki kurus itu lalu menggendong sang anak. "papa cinta sudah pergi, sayang,"

keluarga yang ada di dalam ruangan menangis serentak dan beberapa pasien diluar juga menangis. Tapi pasien yang lain, dokter dan beberapa perawat yang hadir disana tampak sangat tegar. Seakan sudah terbiasa dengan adegan seperti itu.

Saya berjalan keluar kamar dengan melewati banyak kerumunan pasien itu sambil terdiam. Saya tiba-tiba berpikir tentang dokter dan perawat yang bekerja disini. Tidakkah mereka dibayar untuk melihat kami mati pada akhirnya? Dan kami membayar untuk menyaksikan adegan yang akan kami alami pada suatu hari nanti?

"dew!" seseorang memanggil nama saya. Saya berputar mencari suaranya, dan pencarian berakhir di ujung lorong, dimana terdapat banyak sinar matahari disana. Seorang gadis tomboi berdiri sambil tersenyum. Celana jins ketat sobek-sobek masih ia pakai seperti sejak pertama kali bertemu dua minggu lalu. Saya berlari menghampirinya.

"apa anda punya jins 1 lusin yang seperti itu?" tanya saya setelah sampai dihadapannya.

"jaket jins ini juga ada 1 lusin, jadi saya tetap akan tampak seperti ini, dengan pakian seperti ini jika sebulan lagi kita bertemu," jawabnya. Saya tertawa mendengarnya.

"anda pernah bilang tidak ingin kesini. Kenapa sekarang ada disini?"

"oh,anda mengikuti saya?" tanya saya.

"saya mencari alamat rumah anda, tapi adik anda mengatakan anda disini,"

"kapan kita jalan-jalan lagi dengan motor anda seperti waktu itu?" tanya saya tiba-tiba.

"sekarang?"

setelah itu saya sudah berada di jok belakang motor vespa antik milik si tomboy, teman yang baru saya kenal dua minggu yang lalu. Kami meninggalkan rumah sakit sambil menyanyikan lagu kebangsaan negara kami. Rasanya senang sekali jika bisa mengulang perjalanan dua hari kami dua minggu lalu. Perjalanan tanpa arah dengan banyak cerita. Ketika itu kami tampak seperti dua perempuan frustasi yang asik bergosip di atas vespa.

"percepat lagi jalannya!" teriak saya setelah merasa sangat jauh sekali dari rumah sakit. Vespa melaju dengan sangat cepat melewati pohon-pohon yang biasa hidup di pegunungan. Tempat ini benar-benar tempat yang sangat sejuk dan jauh dari keramaian kota.

Saya ingin menikmatinya. Merentangkan tangan seperti hendak terbang, merasakan hembusan angin kencang yang menampar-nampar wajah dan menarik-narik rambut saya. Saya berteriak sambil tertawa masih dengan mengangkat tangan saya, hendak memanggil malaikat di langit yang tengah waspada mengawasi saya. Lalu sambil tersenyum saya menjatuhkan diri dari vespa yang tengah berjalan kencang. Saya tak ingin mati merasakan sakit di perut, saya tak ingin mati karena kanker. Saya ingin mati seperti ini.

_____

saya mengerem dengan cepat ketika menyadari apa yang dilakukan dewi. Dengan cepat saya dan vespa tergelincir berdecit-decit ke jalan aspal. Tubuh saya terseret hampir 10 meter dan motor saya jatuh bebas ke dalam jurang. Beberapa saat kemudian saya tergopoh-gopoh berjalan mengampiri dewi yang tergeletak di tengah jalan jauh dari tempat saya berhenti. Darah tampak mulai mengalir dari belakang kepalanya. Saya hanya menangis melihatnya sambil terus berusaha menghampirinya.

"mbak, gak kenapa-kenapa, kan?" seorang bapak sedang berusaha menopang tubuh saya. Saya masih terus berjalan menghampiri sahabat baru saya itu. "mbak, kepala mbak berdarah, mbak terluka parah," kata bapak itu dengan nada cemas. Setelah samar-samar melihat beberapa orang mendekati dewi, mata saya terpejam tiba-tiba. Tak bisa melihat dan merasakan apa-apa.
Read More......

Mati - "catatan tinta putih"

"... Kisah tentang pelangi. Menurut ibu saya, pelangi adalah jalan ke langit untuk orang mati, sehingga pelangi berwarna ceria, menandakan di langit ada kebahagiaan ketimbang di bumi. Orang yang mati menuju kebahagiaan. Mungkin saja para astronot mendengar kisah ini, sehingga mereka ingin ke langit tanpa harus menunggu pelangi. Mereka ingin berbahagia. Mungkin saja kisah ini benar, karena entah kebetulan, setiap saya melihat ada yang mati, hujan akan datang walau terik siang, lalu pelangi terkadang muncul. Saya kemudian bersedih sendiri ketika suatu kali setelah hujan tak ada pelangi. Kasihan orang mati itu. Hendak kemana ia setelah ini, tak ada jalan menuju langit. Jadi, saya memutuskan menggambar pelangi setiap pagi di kertas kecil dan menyimpannya di saku sampai kertasnya rusak. Dan keesokan paginya saya menggambar pelangi lagi. Berharap tetap ada pelangi ketika saya mati nanti..."

saya menjadi semakin tertarik untuk membuka lembaran berikutnya. Penulis diari yang hebat. Di lembar pertama ia menceritakan tentang kisah pelangi dengan sangat menarik. Tapi saya urungkan niatan itu, karena saya pada akhirnya menutup diari usang yang baru saya temukan di gudang belakang rumah. Mama saya memanggil saya.

"kenapa, ma?" tanya saya setelah keluar gudang. Saya membawa serta diari usang itu mendekati mama.

"saatnya makan siang," jawab mama sambil memegang pundak saya agar masuk ke dalam rumah. "ngapain ke gudang itu?"

"buang kursi kayu yang ada di kamar. Mama liat kursi reot tua yang ada di kamar mia, kan?"

"iya. Beberapa barang pemilik sebelumnya masih belum sempet mama singkirin. Soalnya masih capek, kan baru beberapa jam kita sampe di sini,"

tak lama kemudian kami sampai di ruang makan, dimana papa, nenek, dan adik perempuan saya sudah duduk di kursi makan menunggu saya dan mama. Saya meletakkan diari di pangkuan saya selama saya makan.

Beberapa menit kemudian setelah makan, saya pamit masuk ke dalam kamar hendak melewatkan sore tanpa bercengkerama dengan keluarga. Saya memutuskan membaca diari itu di kamar.

"...saya senang dengan kamar baru saya. Saya yang meminta ayah saya untuk membuatkan kamar dengan jendela yang superbesar. Sehingga ketika pagi, akan ada banyak sinar matahari pagi masuk ke dalam kamar atau ketika malam, saya bisa melihat bintang dengan layar besar. Kamar ini akan menjadi tempat kesukaan saya..."

saya menoleh ke jendela besar yang ada di seberang ranjang. Dan memandang langit siang melalui jendela itu. Pintu jendela terbuka sedikit sehingga gorgen bergoyang-goyang sedikit ketika ada angin yang memaksa masuk.

Kemudian saya membuka asal lembar diari. Entah lembar keberapa yang saya buka.

"...saya kaget ketika ada air yang mengalir keluar melalui celah pintu kamar mandi. Air itu membasahi lantai kamar. Mengalir perlahan. Saya bangkit dari ranjang untuk memeriksanya. Sepertinya air keran bocor atau terbuka karena kelalaian saya tadi pagi. Tapi kemudian saya terpeleset air hingga saya jatuh terjerembab ke lantai. Kepala sama tepat mengantam lantai. Pusing yang hebat tiba-tiba melanda saya..."

saya mendengar air keran mengalir dari dalam kamar mandi, deras sekali. Spontan saya melihat ke lantai dekat pintu kamar mandi mengingat tulisan di diari itu. Tidak ada air yang mengalir disana. Saya kemudian bangkit dari ranjang dengan perlahan. Tapi tiba-tiba kaget sendiri mendengar suara gelas terjatuh ke lantai, pecah. Saya baru saja menyenggol gelas berisi air yang tadi saya letakkan di atas meja samping ranjang.

Saya tetap turun dari ranjang dan berjalan hati-hati agar tidak menginjak pecahan gelas. Air keran masih terdengar dari dalam kamar mandi, sehingga saya harus segera mematikan keran itu.

Dengan agak kesusahan saya beberapa kali harus melompati lantai agar terhindar dari pecahan gelas. Dan pada lompatan berikutnya saya mendarat di lantai yang terdapat air minum di atasnya. Saya terpeleset, jatuh ke lantai. Saya berusaha bangkit, tapi kepala saya terasa sakit. Pada akhirnya saya hanya bisa menoleh sedikit. Darah tampak mengalir menjauhi kepala saya. Itu darah saya, dari kepala saya.

Tangan saya masih bisa bergerak. Saya memutuskan mengambil diari yang ikut jatuh tergeletak di lantai tak jauh dari saya. Saya membuka lembarannya, berharap segera menemukan catatan terakhir yang saya baca. Apakah saya akan mati disini?

Mata saya mulai berkunang dan pandangan saya mulai memudar, tapi masih bisa melihat isi diari itu. Sama sekali tak ada tulisan di lembarannya. Kosong. Seperti catatan tinta putih di atas kertas putih. Selanjutnya saya tak punya daya untuk sekedar mengangkat diari atau untuk mengedipkan mata.
Read More......

Mati - "terima kasih untuk hujannya!"

Menjatuhkan diri, berbaring santai di atas rumput taman kota sambil mengirup udara sore hari, sangat menyenangkan. Rasanya ingin yang seperti ini saja yang menjadi kamar saya. Ranjang rumput, atap langit dan jendela yang suuuuper besar. Lalu saya tertawa bahagia membayangkannya.

Sejenak saya memperhatikan lagi kertas-kertas yang ada di tangan saya, lalu melemparnya menjauh bersama sebuah pena ungu. Baiklah, saya akan membiarkan pikiran dan tubuh saya istirahat. Dua jam berkutat dengan kertas-kertas ini sudah sangat melelahkan. Terutama pupil mata yang berakomodasi maksimum tanpa henti sejak siang tadi.

Saya menghembuskan nafas berat sambil tersenyum memandang langit. Betapa beruntungnya saya bekerja di bidang ini, bekerja dengan ayah saya sendiri. Saya diperbolehkan menyelesaikan tugas dimana saja, di tempat ternyaman yang saya impikan. Saya bahagia.

Seharusnya langit jangan seterang ini. Sudah empat hari begini, membuat pepohonan dan rumput tampak sedikit gersang. Langit, datangkan hujan nanti malam, atau sekarang. Mendunglah. Mendunglah. Saya baru saja menghipnotis langit agar menurunkan hujan.


"kakak lagi apa?" tanya seorang bocah yang sudah berdiri disamping kepala saya. Saya menoleh ke kepalanya yang terlihat menjulang tinggi ke langit.

"oh, lagi santai," jawab saya sambil memberi tanda dengan tangan untuk duduk disamping tempat perbaringan saya. Ia duduk di tempat yang saya tandai. "sendirian disini?"

bocah laki-laki itu menunjuk ke sepasang suami istri yang sedang duduk di salah satu bangku taman tak jauh dari tempat kami. "ayah dan bunda disana," jawabnya kemudian.

"kamu masih Sekolah TK, ya?" tanya saya kemudian. Bocah itu mengangguk.

"kakak ingin langit mendung?" tanya bocah itu tiba-tiba. Saya terkejut mendengarnya dan langsung bangkit dari tidur untuk duduk mensejajarkan diri pada sang bocah. Dia tahu apa yang saya pikirkan.

"kamu bisa buat langit jadi mendung?" tanya saya. Sang bocah mengangguk yakin sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ransel merahnya. Sebuah buku gambar dan crayon ia letakkan di pangkuannya. Ia mulai menggambar danau dan rumput taman, seperti yang ada dihadapan kami, selanjutnya awan abu-abu.

"wah, bagus banget gambarnya," seru saya cepat ketika bocah itu menoleh ke arah saya. "hujan. Harus hujan. Ini baru mendung," kata saya kemudian sambil menunjuk gambar awan yang baru dibuat.

"hujan? Oh iya, kak," serunya bahagia, lalu menggambar rintikan hujan dengan warna senada dengan awan. Titik titik abu-abu tampak memenuhi gambar.

Saya mengusap rambutnya untuk mengungkapkan rasa bangga kepadanya. Kami saling memandang dan tersenyum.

Tiba-tiba hujan gerimis datang. Membuat bulatan-bulatan khas di permukaan danau, memberikan bercak-bercak di kertas-kertas saya yang berceceran, dan sedikit membasahi gambaran sang bocah. Ketika saya mendongak ke langit, ternyata ada secuil awan hitam di atas sana, memberikan hujan.

"rama, ayo pulang!" suara panggilan terdengar, dan dengan cepat sang bocah bangkit untuk berlari menghampiri ayah bundanya. Sebelum mereka bertiga pergi mencari tempat berteduh, bocah itu sempat melambaikan tangannya dengan penuh semangat. Saya membalasnya sambil tersenyum sangat lebar.

"terima kasih untuk hujannya!" teriak saya kemudian. Sang bocah hanya mengangguk karena kemudian bundanya menarik tangannya agar bergegas.

Sementara saya, ketika tersadar, segera membereskan kertas-kertas yang berserakan ke dalam tas kerja yang selalu saya bawa. Saya berlari berlindung pada dedaunan sebuah pohon besar tak jauh dari danau. Saya berteduh.

Hujan akan sebentar saja dan saya akan segera kembali ke kantor. Mengajak ayah pulang bersama. Wah, saya tiba-tiba ingin makan pizza bersama ayah. Nanti ayah akan saya ajak mampir untuk makan pizza.

______

Saya akhirnya bertemu lagi dengannya, setelah hampir setahun hanya berhubungan via telepon. Dua tahun lalu ia pindah ke UK melanjutkan pendidikan doktor sekaligus bekerja di kedutaan disana. Pertemuan antara mantan suami-istri. Sepertinya sore ini Kami sudah banyak membahas tentang Rama. Sepertinya sudah akan berakhir.

"bun, Rama, bun," mantan suami saya menunjuk Rama yang duduk tak jauh dari bangku tempat kami duduk. Ia tampak tengah asik menggambar sambil mengobrol di pinggir danau. Mengobrol sendiri.

"sayang!" panggil saya cepat dengan agak cemas. Ia masih disana, mengobrol sendiri, tak menyahut panggilan saya. Saya memanggil namanya kemudian bersamaan dengan turun hujan yang tiba-tiba. Hujan gerimis di hari yang cerah.

"rama! Ayo pulang!" panggil saya sambil bangkit hendak menghampirinya. Rama menoleh ke arah saya lalu bergegas mendekat sambil kesusahan memasukkan buku gambar dan crayon ke dalam ransel merahnya.

_________

ia menatap keluar jendela kamar, memandang jalanan kompleks dari lantai atas ini. Ia membiarkan ubannya dimain-mainkan oleh angin, begerak kesana kemari.

"selamat ulang tahun, sayang. Sehat kah kamu disana?" bisiknya lirih pada angin sambil menatap langit.

Matanya menceritakan kepedihan ditinggalkan putri kesayangannya setahun yang lalu. Tepat dihari ulang tahunnya, sebuah truk menggelimpangkan mobilnya dan menyeretnya hingga 30 meter. Ketika itu, Mobil dan jasad putrinya hancur lebur.
Read More......

Mati - "kesempatan kedua"

Langit malam tak berbintang. Tapi sama sekali tidak mengisahkan gulita. Lampu jalanan yang berwarna-warnai dengan berbagai bentuk ada di pinggir-pinggir jalan sebagai penghias kota malam. Lampu-lampu papan nama toko-toko, rumah makan, dan bar-bar kecil seperti bersaing mengajak pejalan kaki dan penikmat malam yang masih berlalu-lalang di trotoar untuk mampir dan menghamburkan uang. Sementara saya diam mengamati kota asing yang sudah hampir setahun saya pijak. Mendengar suara-suara deru kendaraan bermotor yang ramai tapi tidak macet seperti jam-jam sibuk biasanya. Mendengar musik keras yang diputar di beberapa toko.

Lama setelah menikmati itu semua, saya melihat saya sendiri. Celemek masih melekat di tubuh. Kaki beralaskan sandal rumah berbulu putih yang sudah kotor. Saya rasa rambut saya juga berantakan Karena tersadar beberapa rambut menutupi pandangan saat angin menerpa beberapa kali. Saya masih diam, tak sanggup menertawai diri. Masih dengan berdiri di atas jembatan penyebrangan, mata saya lurus ke depan.

Kemarin anak yang sudah saya kandung belum genap enam bulan mati di perut saya. Hari ini suami saya pergi dengan membawa semua uang dan pakaiannya. Bodoh sekali saya masih menyiapkan makan malam. Suami saya tak akan kembali.

Apa yang harus saya lakukan? Apa salah saya sehingga ditakdirkan memilih yang salah? Saya terbuang dari keluarga karena memilih menjadikannya suami saya.

Dikejauhan terlihat sebuah truk bergambar mini market terkenal melaju tengah mendekat. Tak lama kemudian saya menjatuhkan diri dari jembatang penyebrangan, menghantam aspal, terinjak ban depan truk, dan terseret-seret ban belakang truk entah sejauh apa. Truk tadi memang melaju kencang dan saya jatuh tiba-tiba, membuatnya tak sanggup mengerem secepat mungkin untuk menghindari saya. Sakit sekali tapi melegakan. Saya mati.

Suara musik terdengar, entah berasal dari toko yang mana. Lagu balada terdengar sangat menyayat hati, membuat saya menangis dan membuka mata. Saya mengusap air-air mata yang mengalir membasahi bantal.

Bantal? Saya segera mendudukkan diri di ranjang. Tadi saya benar-benar tidak bermimpi. Saya benar-benar mati. Sakit yang saya rasakan adalah nyata. Saya bangkit untuk keluar kamar. Di depan sofa lusuh itu tv menyala tengah menyiarkan video klip lagu balada yang tadi saya dengar. Di meja makan kecil dekat dapur yang super mungil terdapat seplastik besar bahan sayur yang tadi saya beli.

Seharusnya, setelah meletakkan bungkusan itu disana, saya melihat kertas kecil dari suami saya yang tertempel di pintu kamar. Berisi pesan untuk tidak mencarinya dan tidak juga mencari uang saya. Saya menoleh ke pintu kamar dan kertas itu masih menempel disana, belum terobek-robek di lantai.

Ada apa ini? Tuhan, saya ingin mati saja.

Lalu saya berteriak sambil memegang kepala karena tak ingin menjadi seperti ini. Apakah benar ada kesempatan kedua? Dan tuhan memberikannya kepada saya yang ingin mati kedua kalinya? Hah, saya hanya ingin mati.

Saya berjalan keluar apartemen kumuh yang sudah hampir setahun saya tinggali. Linglung dalam melangkah hingga akhirya sudah bergabung bersama orang-orang malam di trotoar.

Di bawah salah satu tiang lampu pinggir jalan, seorang bocah laki-laki tengah tersenyum pada saya. Ia memanggil-manggil saya dengan sebutan 'ibu'. Saya tersenyum bahagia mendengarnya. Apakah dia anak saya? Perlahan dan masih dengan rasa tak percaya saya menghampirinya. Belum sempat menyentuh wajahnya, ia hilang. Saya menangis seketika setelah sadar Tuhan sedang mempermainkan mata saya.

Lalu dikejauhan, seorang laki-laki dengan jaket hitam kesayangannya tengah menatap tajam ke arah saya. Ketika saya hendak mendekatinya, ia berbalik dan berjalan cepat dengan menarik koper besar. Itu suami saya. Saya memanggil namanya beberapa kali tapi ia pura-pura tak mendengar. Lalu hilang di belokan jalan.

Saya melihat sekitar. Orang-orang yang berpapasan tampak menatap saya dengan pandangan iba dan takut. Beberapa dari mereka mnyebut saya gila. Menyadari itu, saya tertawa sendiri. Akhirnya saya bisa menertawai diri.

Untuk orang-orang seperti saya, yang merasa hidup sangat menyakitkan, akan mati bunuh diri atau menjadi gila. Dan saya sekarang saya hidup kedua kalinya untuk menjadi gila.

"Hahahahahahaaaa...! Dasar orang gila!!" teriak saya.
Read More......

Mati - "mereka memang hanya bisa dipisahkan oleh kematian"

Tangan saya bergetar setelah menerima sebuah papan kertas tipis putih berpadu ungu dan merah muda. Undangan pernikahan dua minggu yang akan datang. Saya masih berharap tak sejauh dan sedalam ini.

Mengapa kisah mereka berdua begitu indah? Apakah Tuhan lebih menyayangi mereka ketimbang saya? Tidakkah cukup saya berdoa bertahun-tahun untuk kebahagiaan saya? Tuhan, tidakkah Kau ijinkan saya bersamanya? Apakah saya harus menerima mereka saja? Aaaaaaa saya berteriak sambil melempar undangan itu kuat-kuat, membentur dinding kantor, terjatuh di lantai. Pita penghiasnya lepas, jatuh tak jauh dari undangan.

"kenapa, La? Kok teriak?" mia muncul dari balik pintu dengan wajah cemas. "La?"

"gak apa-apa," jawab saya sambil duduk lemas di bangku kerja. Mia masuk dan menutup pintu perlahan. Ia menghampiri saya dan memeluk kepala saya. "udah liat undangannya prana, ya?"


"kamu juga pasti udah dapet," kata saya sambil menangis. Saya menyambut pelukan mia. Saya peluk erat pinggangnya dan menjatuhkan kepala saya ke perutnya. Mia dengan lembut mengusap-usap rambut saya. Mia, sahabat saya yang mengerti perasaan saya saat ini.

Saya dan mia seperti ditakdirkan selalu bersama. Sejak SD, kami selalu satu kelas, bahkan kami kuliah di jurusan dan kelas yang sama, arsitektur. Kebetulan sekali, ayah yang sudah punya perusahaan di bidang arsitektur, merekrut kami berdua. Lebih dari dua puluh tahun kami bersama, berbagi kisah dan segala hal yang sanggup kami bagi.

"aku ngerti kenapa kamu gak bisa ngelupain prana. Tapi, kita udah tau kalo kesempatan kamu itu zero persen, La. Please, jangan gini. Kita udah sama-sama tahu beginilah kisah mereka akan berakhir setelah 11 tahun bersama,"

mendengar itu, badan saya menjadi lemas sekali. Pandangan saya perlahan-lahan memudar, kepala saya seperti berputar-putar, terasa pusing. Saya melepas pelukan saya karena tidak bertenaga lagi. Sepertinya saya hendak pingsan. Terdengar mia berteriak minta tolong, lalu semuanya gelap dan akhirnya tak ada suara apa-apa lagi yang tertangkap telinga.

Tak lama kemudian wangi minyak kayu putih yang paling saya benci tercium. Seseorang tengah mengusap-usap dahi saya, rambut saya, dan telapak tangan saya. Perlahan saya buka mata saya, dan tampak wajah prana dengan wajah cemas menatap saya. Ia menopang kepala saya untuk bangun dan memberikan air teh ke mulut saya. Saya meneguknya dengan sangat tak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Apakah mia memanggil prana ketika saya pingsan?

Saya menatap ruangan sekeliling saya, saya tergeletak di atas sofa di sebuah butik. Seorang wanita tampak sedang mengipasi kepala saya.

"udah agak baikan sekarang?" tanya prana pada saya. Saya mengangguk pelan. Badan saya memang masih terasa lemas, tapi hati saya saat ini sangat berbunga-bunga. Pranaya, cinta pertama saya, orang yang saya cintai sejak kelas IV SD hingga saya berumur 27 tahun ini. Akhirnya ia mengusap pipi saya dengan lembut dan penuh kasih.

"aku seneng banget sekarang," kata saya sambil menangis, menangis bahagia.

"anggun, kamu kenapa?" tanya prana cemas. Saya langsung menatap mata prana sebelum ia mengatupkan bibirnya. Anggun? Ia memanggil saya anggun? Anggun, perempuan yang akan ia nikahi dua minggu lagi?

"aku Lila, pran," kata saya cepat dengan wajah marah. Saya bangkit dari tidur dan mendorong tubuh prana dengan sekuat tenaga. Ia hanya bergeser sedikit dari saya, lalu menatap saya dengan wajah bingung.

"Anggun?" prana berusaha menggenggam tangan saya lagi, tapi saya menepisnya. Saya mencari cermin di sekitar ruangan ini, dan berlari ke arahnya. Saya melihat wajah anggun di balik cermin. Wajah teduhnya tampak sangat gelisah di cermin. Senyum manis yang selalu terkembang untuk saya tidak ia munculkan. Apa sebenarnya yang sedang terjadi.

"kenapa kita disini?" tanya saya setelah menoleh prana yang kebingungan di sofa.

"kita lagi ngambil gaun pengantin," jawab prana. "Kamu beneran gak apa-apa?"

"kamu beneran mau nikah?" tanya saya.

"anggun. Kita ke rumah sakit sekarang. Kamu terlalu lelah hari ini. Lelah ngurusin pernikahan kita," kata prana sambil bangkit dari sofa dan mendekat. Ia perlahan mendorong tubuh saya keluar dari ruangan dan membimbinga saya menuju pintu keluar. "mbak, tolong gaunnya taruh di mobil, ya,"

saya memperhatikan tangan saya sendiri. Oh, bukan, tangan anggun. Berjalan perlahan menuju mobil prana, dengan lebut kemudian prana mendorong saya untuk duduk di bangku samping kemudi. Setelah itu ia bergegas masuk ke bangku depan kemudi. Tak lama kemudian mobil melaju meninggalkan halaman butik.

Jika saya anggun, berarti saya akan menikah dengannya. Seharusnya saya senang mendapati keadaan ini. Inilah impian saya, menikah dengan prana. Bahkan hari ini saya benar-benar merasakan hangat jemarinya ketika menyentuh pipi saya. Ini pertama kalinya saya merasakan sentuhan jarinya. Tapi, ini tidak benar. Tetap saja ini adalah tubuh anggun, prana tetap akan menikahi anggun.

"aku harus apa sekarang?"tanya saya tiba-tiba pada prana.

"kita ke rumah sakit sekarang, kamu harus diperiksa dokter secepetnya,"jawab prana.

"aku gak mau kamu nikah sama anggun," kata saya kemudian, lalu dengan cepat membuka pintu mobil dan menjatuhkan diri. Tuhan, hukum saya setelah ini, saya ingin anggun mati saja. Belum sempat saya merasakan sakit, sebuah ban dengan cepat mendekat ke kepala saya, dan dengan cepat pula saya terbangun.

"Lila," suara ayah saya terdengar tiba-tiba. Ayah sudah ada di hadapan saya, mengusap-usap rambut saya. Mia tampak memberikan segelas air putih kepada saya. Saya meneguknya dua kali, lalu mendudukkan diri di sofa tamu yang ada di ruangan kantor saya.

Saya tersenyum kemudian. Saya merasa sangat senang. Tunggu. Apakah tadi saya bermimpi? Tapi tampak sangat nyata. Saya menoleh ke arah mia yang berdiri di samping ayah.

"apa anggun mati?" tanya saya pada mia. Mia tampak terkejut mendengarnya. Ayah dan mia saling berpandangan lalu kembali menatap saya dengan cemas.

"sayang, kamu gak apa-apa?" tanya ayah pada saya sambil mengusap dahi saya sekali.

"mia, hubungi prana sekarang. Apa anggun mati?" perintah saya pada mia. Dengan wajah bingung, mia menekan beberapa tombol dan melakukan panggilan dengan ponselnya lalu menatap saya dengan wajah cemas.

"gue mia, pran. Gimana kabar anggun?" tanya mia tiba-tiba setelah panggilan diangkat.

"gue gak ngerti apa yang udah terjadi. Anggun mati, miaaa,"

mendengar jawaban prana, mia langsung menutup panggilannya. Mia menatap saya lagi. "anggun mati," jawab mia gugup. Ayah dan mia kembali berpandangan, lalu kembali menatap saya. Entah mengapa saya merasa bahagia. Sepertinya saya tengah tersenyum lebar saat ini.

Mereka memang hanya bisa dipisahkan oleh kematian. Pada akhirnya Tuhan menjawab doa saya.
Read More......

CATATAN SEORANG LAKI-LAKI_"MY LOVE STILL MY FIRST LOVE"

Pertama kali Saya melihatnya di lantai satu sebuah pusat perbelanjaan terbesar di dekat rumah saya. Berdiri di depan meja kasir dengan wajah muram. Setelah membayar beberapa barang belanjaan, ia berjalan lunglai menuju pintu utama. Entah mengapa saya mengikutinya, tidak jadi membeli susu pesanan mama. Mengikutinya sampai tempat parkir, sampai ia menghilang dengan sepeda mini berwarna putih. Sejak hari itu, mata saya terlalu sering menangkap sosoknya dan menyimpannya ke dalam memori saya. Masih teringat jelas tiap senyum dari yang paling kecil hingga yang paling lebar. Atau kibasan kasar tangannya ketika rambutnya menutupi wajah ketika tertiup angin. Lambaian tangan yang mungil itu juga masih saya ingat, walau itu bukan ditujukan kepada saya. Rengekan dan amarah kecil kepada mamanya, gayanya menggaruk-garuk kepala walau tak gatal, dan kata maaf pertama untuk saya ketika suatu kali saya pernah menghalangi jalannya. Masa awal SMA saya yang tidak terlupa, ketika pertama kali saya melihat perempuan sebagai perempuan. My first love.

Selama setahun mata saya masih menangkap sosoknya. Sengaja atau tidak sengaja, dan terus tersimpan di dalam memori. Saya menikmati sebagai pemuja rahasia, dan saya menikmati cara saya yang tidak mencari tahu apa-pun tentang sosoknya. Saya hanya menangkapnya dengan mata saya, hanya mata saya. Dan mengerti tentang dirinya hanya melalui mata saya.


Tahun ajaran baru dimulai, hari pertama di tingkat kedua. Upacara bendera pertama, mata saya kembali menangkap sosoknya. Saya senang sekaligus terkejut. Sosoknya berdiri di depan, beberapa kali meringis tersengat sinar matahari pagi yang kebetulan begitu menyengat. Saya berada di antara perasaan kecewa dan ingin berlari membawa payung untuk melindunginya. Tentu saja kecewa, karena ia berdiri disana sebagai salah seorang guru. Dan lima belas menit kemudian, ia jatuh pingsan. Seorang guru laki-laki muda yang berdiri disampingnya bergegas membopongnya sendirian ke ruang UKS dekat kantor. Ribut seketika, seluruh murid berbisik dan tengak tengok ke segala arah untuk melihat apa yang terjadi. Tapi saya menunduk dengan marah, saya merasa cemburu. Saya menjadi tidak suka dengan guru muda itu.

Selama setahun mata saya masih menangkap sosoknya di sekolah, di jalan, dan di pusat perbelanjaan itu. Tahun tingkat ketiga di mulai, sosoknya masih ada di mata saya, bahkan mungkin sudah di hati ini. Tak saya sangka dua tahun lebih saya tak pernah mengucapkan sepatah katapun kepadanya. Ia juga bukan pengajar di kelas saya, dan saya menghindar untuk berpapasan dengannya. Namun mata saya tetap ingin menangkapnya selalu, dari jauh, dari dekat. Betapa saya senang, ketika mendengar guru muda itu menikah liburan semester kemarin. Banyak guru yang meledeknya sebagai pengantin baru, bukan dengan first love saya. Hahaaa… saya senang sekali. Saya menjadi lebih tidak peduli dengan surat-surat cinta yang hampir tiap pagi saya temukan di laci meja saya. Surat-surat dari adik tingkat yang tidak punya malu.

3 februari. Saya ingat tanggal itu. Ia duduk di kantin bersama beberapa siswi perempuan. Tertawa, bercanda dan tersenyum beberapa kali. Saya berjalan ke arahnya dengan langkah lebar, sangat lebar. Setelah dekat, saya memegang erat kepalanya, dan meletakkan bibir saya ke bibirnya. Ia memberontak, tapi saya telah tumbuh menjadi laki-laki kuat, atlet basket yang memiliki stamina tangguh, sehingga berontaknya sia-sia saja. Kantin menjadi ribut sekali. Setetes air mata mengalir dari mata kirinya, dan saya mulai melemah. Ia menjauhkan bibirnya, menampar saya, dan berlari meninggalkan kantin. Setelah itu, saya dipanggil guru BP, hari berikutnya orang tua saya dipanggil, dan hari berikutnya mendapat skorsing selama seminggu. Hari setelahnya saya menjadi sangat terkenal, lebih terkenal dari artis manapun, tidak hanya di dalam lingkungan sekolah.

Beberapa bulan kemudian, saya tahu bahwa ciuman itu pertama baginya, dan bagi saya juga. Saya senang sekali ketika akhirnya menggenggam tangannya dan mendengar dari mulutnya bahwa sejak hari di kantin itu, matanya selalu menangkap sosok saya. Saya senang saya bisa mendapatkan ciuman keduanya, yang juga ciuman kedua saya. Saya anggap itu pacaran. Sayang sekali hanya bertahan seminggu. Dia lebih khawatir dengan apa yang didengarnya dari orang-orang ketimbang apa yang didengar dihatinya, ketika semua tahu tentang hubungan kami. Apa yang terlarang? Apa yang salah?

Ia pergi entah kemana hingga saya mengakhiri tingkat tiga saya di SMA. Mata saya sama sekali tak pernah lagi menangkap sosoknya. Saya melanjutkan study ke Denmark, kembali, dan sudah bekerja, mata saya masih tak menemukan sosoknya. 10 tahun sudah memori saya masih tentang dia. Saya ingin sekali bertemu dengannya dan memintanya untuk tidak pedulikan perkataan orang lain, tapi pedulikan saya saja.

Post in 3 februari 2008

***

Tangan saya masih bergetar ketika membaca bagian akhir sebuah blog itu. Catatan yang ditulis tiga tahun lalu oleh laki-laki yang menjadi pacar pertama saya. saya tidak tahu rencana Tuhan, mengapa pada akhirnya, saya menemukan blog ini, dan membaca postingan terakhirnya yang berjudul “My love still my first love”. Sepertinya tidak hanya tangan saya yang bergetar, tapi juga hati saya. Saya tidak tahu rencana Tuhan, mengapa pada akhirnya ia kembali tepat di tahun kedua pernikahan saya. Dan yang paling saya tidak tahu rencana Tuhan, mengapa postingan ini tidak saya temukan sebelum saya menikah.

Saya beranjak dari ruang kerja hendak mengambil segelas air minum, karena tiba-tiba kerongkongan menjadi sangat kering. Handphone yang tergeletak di atas meja dapur bordering tanda sms.

08xxxxxxxxxx
Saya masih mencari hingga saat ini hingga akhirnya saya menemukan kamu.
Entah bagaimana perasaan saya sekarang, antara kecewa dan bahagia.
Tapi setidaknya saya menemukan kamu.
Bisa kita bertemu?
Saya di depan rumah kamu sekarang, saya hanya ingin bilang sesuatu yang belum sempat saya bilang ke kamu dulu.
Read More......

PUTRA ERLANGGA

Saya bukan fotografer walau selalu membawa kamera. Saya bukan wartawan, karena hanya diary dan pena yang selalu ada di tas kecil saya. Saya juga bukan paparazi yang mencari berita tentang artis, karena dia hanya laki-laki biasa, seorang penjaga toko sederhana. Saya disini pun bukan untuk memberitakan tentang dia, tapi hanya mencari gambar-gambar indah akan gerak-geriknya. Gerak-gerik putra erlangga, seorang penjaga toko buku terkenal. Saya mendapatkan namanya dari bet di seragam kerjanya sejak pertama bertemu.

Hampir setiap hari saya mampir di coffee shop tepat seberang toko buku itu. Di meja dekat jendela menghadap jalan, menghadap toko buku. Ditempat ini, saya telah melahirkan gambar-gambar putra erlangga yang saya ambil lebih dari dua bulan ini. Beberapa saya tempel di selembar halaman diary. Asal kalian tahu, dia sama sekali tidak tahu tentang saya, dan dia sama sekali tidak tahu kalau saya hampir setiap hari mencuri gambarnya. Saya memanfaatkan "zoom" pada kamera setiap mengambil gambarnya.

"mau tambah lagi minum nya, mbak?" tawar seoarang pelayan coffee shop pada saya ketika saya sedang asik memotret.

"ehm, gak. Makasih, yyyaa," jawab saya sambil menoleh ke arah pelayan tersebut sambil meletakkan kamera ke dalam tas. Pelayan toko meninggalkan meja saya, sementara saya memasukkan diary dan pena ke dalam tas. Saya rasa cukup hari ini. Hampir satu jam sudah gambar-gambar berhasil saya dapatkan. Saatnya pulang.

Saya memutar roda menuju meja kasir. Lalu melaju menuju pintu keluar coffee shop.

Seperti biasa, sesampainya di rumah, saya bergegas menuju kamar untuk mulai mencetak gambar-gambar pilihan hari ini, "photos of the day". Saya sibuk memilah-milah foto terbaik di layar laptop yang hendak saya tempel di diary.

"Kak, kak tiara udah dateng," Dian, adik laki-laki saya yang baru masuk SMP tampak muncul dari balik pintu kamar.

"iya, sebentar," jawab saya sebelum Dian pergi. Saya melirik jam yang ada di atas meja belajar kamar. Sekarang memang sudah waktunya terapi. Sudah hampir sebulan saya menjalani terapi agar kaki saya bisa berjalan kembali pasca kecelakaan hebat 9 bulan lalu. Kecelakaan itu membuat saya koma selama dua bulan lebih.

Saya kembali ke dua foto sebelumnya. Lalu kesepuluh foto setelahnya. Beberapa tampak sekali putra erlangga tengah tersenyum menatap kamera. Ya Tukan ! Sadarkah ia bahwa saya tengah mengamatinya?
Read More......

SESAL

Bising sekali. Klakson dan deru mobil-mobil, obrolan orang-orang, tangisan, teriakan dari satu dua perempuan, dan beribu pertanyaan yang terlontar kepada saya. Beberapa menit saya tersadar dari pingsan, akhirnya saya ingat kejadian yang baru saja terjadi. Saya bergegas bangkit untuk duduk dari posisi tidur di pinggir trotoar. Kepala menjadi pusing sekali, sedikit perih di dahi sebelah kiri, dan ketika saya sentuh dengan tangan, terasa sangat perih dan berdarah. Kepala saya terbentur aspal ketika terlempar tadi.

sirine polisi dari kejauhan makin membuat bising malam ini. Setelah mobil polisi berhenti, mereka segera mendekat sebuah mobil yang tergeletak sedikit hancur di bagian depan akibat menabrak belakang truk. Rupanya mobil menghantam truk dari belakang. Melihat itu, saya berlari menghampiri mobil bersama dimana dua polisi ikut membantu beberapa warga untuk mengeluarkan sopir yang tidak sadarkan diri untuk keluar dari mobil. Itu suami saya, Rama. Mata saya dengan cepat melirik jok tengah, mencari Tyo, anak laki-laki saya. Diaman Tyo?

“Tyo?” Panggil saya sambil memutar pelan tubuh saya sendiri untuk melihat sekeliling. Saya kembali memanggil namanya berkali-kali, tapi tak saya temukan. Hingga pada panggilan berikutnya, sirine ambulans membuat suara saya tak bisa saya dengar oleh telinga saya sendiri.

30 menit yang lalu ...

***

Saya menggedor pintu apartemen pada ahirnya ketika pintu tak terbuka setelah menekan bel berkali-kali. Penjaga gedung segera menghampiri pintu beberapa detik kemudian setelah saya meminta bantuannya tadi. Penjaga gedung bergegas membuka pintu apartemen, dan saya dengan cepat masuk ke dalam mencari Tyo yang mungkin sekarang sedang sekarat. Hampir satu jam yang lalu Tyo menelepon saya kalau perutnya sakit sekali dan setelah itu telepon rumah tak diangkat, handphone Rama tak juga diangkat.

Saya segera meminta penjaga gedung untuk mengangkat Tyo keluar ketika saya menemukan Tyo tak sadarkan diri di lantai depan pintu ruang kerja Rama. Ketika penjaga gedung berusaha menggendong Tyo, pintu ruang kerja terbuka. Wajah Rama yang kusut tampak dari dalam sana.

“Tyo! Ada apa ini?” Teriak Rama kemudian. Rama segera menghampiri Tyo dan berlari sambil menggendong Tyo keluar rumah. Saya bergegas mengikutinya di belakang. Ke pintu depan, ke tempat parkir dimana mobil saya sudah stand by disana. Saya dengan cepat membuka pintu tengah agar Tyo bisa dibaringkan disana. Rama dengan cepat mengambil kunci mobil saya dan masuk ke jok kemudi. Mobil melaju setelah saya duduk di kursi samping kemudi.

“Dari tadi kamu ngapain di dalem? Tyo sampe nelpon saya karena perutnya sakit,” tanya saya dengan suara marah.

“Saya... saya gak dengar,” jawab Rama dengan terbata. “Apa dia pingsan dari tadi? Udah berapa lama?” Tanya Rama dengan nada cemas dan penuh penyesalan.

“Kamu tanya sama saya? Yang dirumah sama Tyo siapa?” Bentak saya kemudian karena kesal dengan pertanyaan konyolnya. “Besok Tyo tinggal sama saya,”

“Itu urusan nanti. Sempat, ya, di saat genting begini bilang tentang Tyo harus tinggal sama siapa,”

“Kalau kamu gak asik sama kerjaan kamu, kalo kamu inget sama anak kamu, Tyo gak akan seperti ini, Ram. Saya makin kesal kalau kamu sok lebih memperhatikan Tyo,”

“Hati-hati dengan mulut kamu, Rani! Siapa yang pergi dari rumah? Siapa yang kabur meninggalkan Tyo? Kamu juga jangan sok sayang sama Tyo,”

“Berhenti! Turun dari mobil sekarang. Biar saya sendiri yang bawa Tyo ke rumah sakit. Tyo gak butuh papa seperti kamu,” pinta saya kemudian.

“Apa-apaan ini? Keadaan Tyo genting dan kamu berpikir tentang hal yang gak penting seperti tadi? Sebaiknya kamu yang turun kalau ego kamu masih begitu,”

“Berhenti! Minggir!” Teriak saya akhirnya karena kesal. Dada saya semakin kesal mendengar perkataan Rama. Tapi, Rama sama sekali tak mengindahkan permintaan saya.

“Papa, perut Tyo sakit,” rengekan Tyo tiba-tiba terdengar. Saya dengan cepat menoleh ke arah Tyo yang terbaring sambil meringis kesakitan. Saya melepas sabuk pengaman, dan berusaha melompat ke jok tengah untuk memeluk Tyo, anak kesayangan saya yang baru masuk TK B. “Papa, sakit. Papa,”

“Iya, sayang, sebentar lagi sampai rumah sakit. Ini mama sayang, mama disini,”

“Papa, sakit. Papa,” rintih Tyo pelan.

“Sebentar lagi kita sampai rumah sakit. Tahan, ya, nak. Sebentar lagi,” Rama ikut bersuara menenangkan Tyo.

“Papa,” rintih Tyo lagi.

“Sebulan sama kamu, Tyo makan mi instan terus ya? Saya tahu kamu sudah berhenti kerja dua minggu yang lalu. Kalau kamu tidak mampu mengurus Tyo, seharusnya kamu serahkan dia sama saya,”

“Rani!” Teriak Rama marah.

“Dia juga seharusnya istirahat. Beberapa hari ini kamu ajak dia jalan-jalan, kan? Saya benar kalau kamu memang tidak akan pernah peduli sama Tyo, sama keluarga kamu sendiri,”

“Rani!” teriak Rama lagi lalu tiba-tiba mobil sedang melaju dengan cepat ke arah kami. Dengan sigap Rama mengendalikan kemudi berbelok ke kiri dan mengerem cepat. Tyo jatuh ke bawah. Suara ban berdecit-decit dan saya terlempar keluar dengan tiba-tiba.

***

Setelah melakukan pemeriksaan, akhirnya dengan cepat dokter mengetahui apa yang terjadi dengan Tyo. Dia terkena usus buntu dan harus segera operasi. Setelah menandatangani beberapa surat, Tyo dibawa ke ruang operasi. Saya berniat menunggu Tyo di depan pintu sampai operasi selesai.

Dua polisi menghampiri saya. Setelah bersalaman basa-basi dan bertanya tentang kejadian yang telah terjadi, salah satu dari mereka memberi kabar bahwa Rama meninggal dunia.

***

Saya tak bisa menahan air mata ketika menatap Tyo yang tertidur di ranjang rumah sakit. Dua minggu ia dirawat disini dan besok ia sudah bisa pulang. Saya pun tidak tahu saya sedang menangis karena apa, atau untuk siapa.

Pikiran saya masih tentang Rama dan kepergiannya yang mendadak. Betapa tidak, begitu sesak dada ini penuh dengan penyesalan. Saya memang tak tahan dengan keacuhannya terhadap keluarga selama ini dan saya memang memutuskan pergi meninggalannya. Tapi, saya bukan pergi untuk tak melihatnya lagi. Saya masih ingin terus melihatnya.

Ketika kecelakaan malam itu, tubuh Rama sama sekali tak cedera luar dan dalam. Ia meninggal di tempat karena sakit yang dideritanya. Kanker pankreas yang ia ketahui tepat dihari dimana saya meninggalkan rumah. Hari dimana Tyo kesakitan malam itu dan menelepon saya, rupanya Rama pingsan di ruang kerja karena sakit itu. Kalau diingat, wajar saja ia tak mendengar rintihan Tyo.

Rama memutuskan keluar dari kantor agar bisa menghabiskan banyak waktu dengan Tyo. Setelah Rama tak bekerja lagi, ia benar-benar menghabiskan banyak waktu bersama Tyo, ke tempat-tempat Tyo inginkan. Piknik, ke taman hiburan, bermain layang-layang, ke pantai.

Lalu, menyadari kenyataan itu, mengingat apa yang saya katakan malam itu tentang Rama, saya benar-benar menyesal. Saya menjadi kasihan terhadap diri saya sendiri. Saya tak ada disamping suami dan anak saya ketika mereka merasakan sakit.
Read More......

LOKER NOMOR 7 _ BAGIAN final

cerita yang lalu ...

Raras dan Karang berencana menemui Laras. Dengan membolos kelas Renang dan kelas Paduan suara, di hari Sabtu, Raras dan Karang bersama menemui Laras. Tapi betapa terkejutnya mereka karena Laras sudah pindah dari rumah. Mereka bersusah payah mencari alamat rumah Laras dengan harus menemui beberapa rumah. Akhirnya tiba pada sebuah rumah yang menurut keterangan oomnya Laras, itu adalah rumah yang mereka cari. Tapi, rumah itu juga kosong.

***
29 januari 2004, Kamis
12:00

Laras kembali membayangkan apa yang akan terjadi pada pertemuannya besok Jumat. Laras sudah memastikan suratnya benar-benar Karang baca, dan menuliskannya dengan kata-kata yang bisa membuat Karang penasaran.


***
29 Januari 2010, Sabtu
13.20

Raras dan Karang masuk perlahan ke sebuah butik yang tak jauh dari rumah Tante Maria, mama Laras, setelah mereka menyempatkan makan siang. Seorang pelayan menghampiri Raras dan Karang dengan sangat sopan dan ramah.

“Ada yang bisa dibantu?” Tanya pelayan itu.

“Tante maria disini?” Tanya Raras.

“Belum pulang dari makan siang,” jawab pelayan itu. “Mau menunggu?” Tanyanya masih ramah dan sopan. Raras dan Karang mengangguk secara bersamaan sambil mengamati berbagai pakaian yang ada di dalam butik.

“Oh, itu ibu Maria,” Kata pelayan tiba-tiba setelah beberapa detik menyuruh mereka duduk di sofa dekat pintu masuk sambil menunjuk perempuan setengah baya yang cantik sedang berusaha menyeberang jalan dengan menenteng sebuah tas kulit mungil berwarna coklat muda. Raras dan Karang dengan cepat menoleh ke arah perempuan yang ditunjuk pelayan toko.

“Siang, tante,” sapa Karang ketika Tante Maria baru saja masuk ke dalam butik.

***
13:40

“Tujuh tahun yang lalu,” jawab Tante Maria masih dengan wajah sedih. Kaki Raras masih lemas ketika mendengar apa yang dikatakan Tante Maria. Raras masih terus menatap Tante Maria yang duduk di seberang meja kerjanya. Sambil memberikan album foto yang berada di dalam ruang kerja Tante Laras, ia mempersilakan sekali lagi teh yang tersedia di hadapan Raras dan Karang.

“Ini foto waktu Laras koma,” kata Raras pelan setelah membuka album foto. “Laras seperti selama empat bulan?” Tanya Raras sambil akhirnya menangis. Raras mengusap-usap permukaan foto itu.

“Oh, ya. Bagaimana kalian kenal Laras?”Tanya Tante Maria. “Saya jadi ingat beberapa bulan sebelum kecelakaan, ia pernah menelepon saya dan bertanya apakah dia sudah mati,”

“Susah dijelaskan, tante. Tapi saya sudah merasa dekat sekali dengan Laras,” jawab Raras. Mendengar jawaban Raras, Tante Maria mengernyitkan keningnya, tapi ia hanya diam sambil mengamati Raras.

“Makamnya dimana, tante?” Tanya Karang.

“Kenapa Laras kecelakaan?” Tanya Raras cepat sebelum Tante menjawab pertanyaan Karang.

“Menurut orang-orang, Laras tertabrak mobil waktu menyebrang jalan,” jawab Tante Maria. “Sore itu saya belum sempat memarahi Laras karena ia membolos lagi di hari Sabtu minggu sebelumnya. Tepat di depan lapangan baseball,” lanjut Tante maria.

“Lapangan baseball?” Tanya Karang. Ia ingat ia dulu ikut baseball ketika SMA.

“Kapan, tante?” Tanya Raras.

“Tahun 2004, sekitar bulan Januari,” jawab Tante Maria. Mendengar itu, Raras tersentak dan langsung berlari keluar kantor Tante Maria tanpa sempat berpamitan. Melihat itu, Karang bingung dan segera menyusul Raras setelah berpamitan dengan cepat pada Tante Maria. Ketika sampai di luar butik, Karang tak menemukan Raras di tempat parkir, sehingga karang berlari ke pinggir jalan.

“Raras!” Panggil Karang setelah melihat Raras tengah berlari seperti orang kebingungan menjauh dari butik. Karang mengejarnya.

“Laras mati besok,” kata Raras sambil menangis ketika Karang menarik pundak Raras untuk menyingkir ke pinggir jalan raya. “Dia janjian sama kamu di lapangan baseball besok. Kita ke sekolah sekarang. Kita harus menghentikan Laras sekarang,”


***
16:15

Raras masih menunggu di depan loker nomor 7 sambil menangis. Beberapa kali Raras mengecek isi loker, tapi surat peringatan Raras masih ada di dalam loker itu. Raras menutup kembali pintu loker dan membukanya lagi, tapi, masih belum ada balasan.

“Laras!” Teriak Raras ke dalam loker nomor 7 berharap mendengar jawaban Laras setelah itu. Tak ada reaksi apa pun yang diberikan loker nomor 7 sehingga membuat tangis Raras makin menjadi-jadi. Raras meletakkan kepalanya ke dalam loker nomor 7 karena lemas, ia bersandar sejenak dan berpikir cara apa yang bisa ia lakukan. Sementara Karang beberapa kali mengusap-usap pundak Raras untuk menenangkannya. Wajah Karang juga tampak cemas.


***
30 Januari 2004
14:30

Laras memasukkan kentang goreng yang ia potong dadu ke dalam kotak makan dengan agak tergesa. Sebentar lagi jam setengah 4 sore, waktu janjiannya dengan Karang untuk bertemu di bangku penonton lapangan baseball. Setelah itu, ia memasukkan kotak makan ke dalam tas selempang agak usang dan sebotol ukuran kecil saos sambal. Karang suka kentang goreng dipadu dengan saos sambal ekstra pedas itu.

15:00
Karang masuk ke ruang ganti di pinggir lapangan baseball untuk memakai sepatu olahraga. Karang dengan santai dan sambil melempar canda dengan teman satu team membuka tas olahraga dimana sepatu olahraganya berada. Selembar kertas jatuh dari dalam tas ketika Karang mengangkat sepatunya dari dalam tas.

karang Baruna.
Aku punya sesuatu untuk kamu.
Kita ketemu di bangku penonton sebelah timur.
Aku tunggu hari Jumat 30 Januari 2004 jam setengah empat


15:40
Karang mengamati bangku penonton di sebelah timur lapangan dari pintu ruang ganti sambil menggenggam secarik kertas. Tidak ada seorang pun disana lalu Karang kembali masuk ke dalam ruang ganti.
“Ada kecelakaan di luar,” kata seorang teman Karang yang baru bergabung di luar ganti. Dengan tergesa-gesa ia mengganti pakaiannya dan memakai sepatu olahraga.

15:30
Karang mengamati bangku penonton di sebelah timur lapangan dari pintu ruang ganti sambil menggenggam secarik kertas. Masih tidak ada seorang pun disana lalu Karang kembali masuk ke dalam ruang ganti.

16:00
Karang melakukan pemanasan di tengah lapangan bola bersama teman-temannya sambil mengamati bangku penonton sebelah timur.


***
30 Januari 2010
16:10

Karang dan Raras berdiri di samping pintu masuk lapangan baseball sambil mengamati arus lalu lintas di jalan raya depan lapangan baseball. Tidak terjadi apa pun disana, sehingga membuat Raras menangis lagi seperti kemarin. Karang hanya bisa diam sambil memeluk Raras.

tamat
Read More......

LOKER NOMOR 7 _ BAGIAN 7

cerita yang lalu ...

Laras gagal membuat pertemuan antara dirinya dan Karang untuk kedua kalinya. Hal ini terjadi karena Raras kecil harus dirawat dirumah sakit ketika Laras sedang mempir untuk melihat Raras kecil di rumahnya untuk pertama kali. Pertemuan jam setengah lima di pameran kerajinan tangan dunia gagal karena Laras datang terlambat. Sebelumnya di hari yang sama, Laras memasukkan surat dan tiket masuk ke dalam tas Karang ketika Karang sedang berlatih baseball. Tapi Karang dan Laras tak pernah tahu, kalau suratnya hilang, hanya menyisakan satu tiket masuk pameran. Sementara setelah akhirnya Raras dan Laras kembali berhubungan melalui loker nomor 7, Laras tahu kalau Karang tak pernah ingat pada Laras.

***
18 januari 2004, Minggu
09:00
Laras turun di halte setelah melalui satu jam perjalan menggunakan bus. Berhenti sebentar sambil berdiri untuk melihat salah satu foto yang sedari tadi ada digenggamannya, ia kemudian berjalan sambil menatap lahan kosong di kelilingi pagar seng yang tinggi. Di tahun 2010, seperti di foto, lahan tersebut akan berdiri sebuah apartemen dimana salah satunya akan ditinggali Karang ketika usianya 24 tahun nanti.


Laras melompat-lompat berusaha untuk melihat lahan kosong yang ada di balik pagar seng yang tinggi itu. Tapi sia-sia, akhirnya Laras pasrah dengan apa yang ada dihadapannya kini, pagar seng tinggi. Kemudian Laras membaca salah satu surat Raras.

Di samping apartemen ada kafe.
Karang sering mengajakku makan siang disana
atau minuman sebelum aku pulang

Disana, kamu akan Lihat trotoar di seberang apartemen
Kami berjalan bersama sepanjang trotoar itu sampai halte pulang
Pohon kirai payung berjejer rapi membatasi antara jalan raya dan trotoar.


Laras terus berjalan ke bangunan yang ada disamping lahan kosong. Ruko berhalaman luas itu bertuliskan konveksi Putra yang menerima pesanan kaos, jaket, dan baliho. Ruko ini akan disulap menjadi kafe seperti yang ada di foto tujuh tahun yang akan datang.

Lama Laras berdiam diri di depan ruko, Laras kembali menyeberang jalan dan berjalan di trotoar. Sekitar 100 meter ada halte di depan sana. Berjalan pelan, Laras membayangkan Karang ada di sampingnya, mengantarnya menuju halte di sana, sambil bercerita mengobrolkan tentang apa saja sambil menikmati daun-daun kerai payung yang bergoyang tertiup angin. Laras mendekati salah satu pohon kerai payung yang masih muda.

“Kamu akan setinggi ini tahun 2010 nanti, lihatlah,” kata Laras pada batang kerai payung muda sambil memperlihatkan sebuat foto. “Menurut kamu, kamu yang mana?” Tanya Laras sambil memperhatikan foto kerai payung yang berjajar ke belakang.

Setelah sampai di halte, Raras berdiri di samping tiang penyangga halte. Kemudian menyandarkan badannya ke tiang sambil mengamati lahan kosong yang masih tertutup pagar seng tadi. Lama Laras terdiam, akhirnya ia melihat bus melaju menuju halte di kejauhan. Sambil menunggu bus menghampiri halte, Laras kembali memandangi sekali lagi apa pun di sekitar tempat ia berdiri, mencoba memberi bekas di otaknya.

Entah pikiran darimana, Laras tiba-tiba dengan cepat mengambil sebuah batu dan menggoreskan sesuatu di tiang besi penyangga halte sebelum ia naik ke dalam bus.



***
23 Januari 2010, Minggu
14:00

Raras berjalan pelan mengikuti langkah Karang sambil menikmati daun-daun kerai payung dan hembusan angin yang sesekali lewat. Sudah banyak cerita tentang Laras yang sudah keluar dari mulutnya.

“Aku suka pohon ini,” kata Karang ketika Raras sudah kehabisan cerita. “Guru biologiku dulu pernah bilang, dengan bentuk daun itu, ia lebih banyak menyerap karbon dioksida ketimbang daun lain,” lanjutnya sambil menatap daun-daun salah satu pohon kerai payung. Raras hanya menanggapinya dengan mengeluarkan kata ‘uh’ sambil mengangguk berkali-kali tanda mengerti.

“Sudah sampai halte,” kata Raras setelah mereka berhenti di sebuah halte. Raras memberikan secarik kertas pada Karang sambil berjalan menuju salah satu tiang halte. Sementara Karang membaca kertas itu.

Tidak ada apartemen dan kafe di tahun 2003
tapi trotoar dan pohon yang masih muda ada disana
oh ya, aku menuliskan sesuatu di tiang halte
apa masih ada disana?


Raras segera memanggil Karang untuk mendekat pada tiang halte sambil tersenyum. Tak lama kemudian keduanya tersenyum lebih lebar lagi sambil mengusap-usap tulisan yang ada disana.

LARAS LOVE KARANG – goresan di di tiang halte

“Kenapa kita tidak menemui Laras?” Usul Karang kemudian yang ditanggapi dengan anggukan penuh semangat dari Raras. “Sabtu minggu depan?”

***
28 Januari 2004, Rabu
07:00

Sepertinya sabtu nanti kami akan menemuimu
“bersiaplah, dan tampil cantik di hari itu,”
seandainya bisa kuucapkan itu padamu di tahun 2010
aku menjadi penasaran sekali dengan kamu yang tua, hahaaa


apa kamu cemas?
sebaiknya alamat rumah yang pernah kamu berikan
tidak salah, hahaa
Laras dewasa akan bertemu dengan Karang dewasa


Laras membaca surat itu dengan hati yang berdegup. Ia hampir tak bisa bernafas. Dan hayalannya tentang ia dan Karang banyak sekali sekarang, dua kali lipat banyak ketimbang hari biasanya. Lalu Laras membalas surat Raras.

Aku membuat janji bertemu di bangku
penonton lapangan baseball jumat sore.
Jantungku seperti mau pecah menunggu hari itu
Karang suka sekali kentang goreng
aku akan memberikannya nanti




***
29 Januari 2010, Sabtu
08:00
Raras ada di dalam mobil bersama Karang pagi ini. Ia membolos kelas renang tanpa sepengetahuan Kak Anggun. Entah mengapa, jantungnya kini berdegup kencang dan badannya terasa dingin jika membayangkan pertemuan indah antara Laras dan Karang nanti. Raras agak menyesal juga mengapa tidak pernah berinisiatif untuk mengunjungi Laras sebelumnya, sehingga ia bisa tahu bagaimana Laras yang dewasa.

“Jangan tertawa, aku agak gugup,” kata Karang tiba-tiba.

“Sama,” jawab Raras singkat.

“Apa alamatnya benar?” Tanya Karang memastikan.

“Tentu saja,” jawab Raras singkat karena juga masih merasa gugup.

”Sebenarnya aku terharu dan senang, ada yang menyukaiku sebesar Laras. Apa menurutmu ia masih menyukaiku?”

“Tentu saja,” jawab Raras sambil tersenyum.



09.00
Raras mulai cemas dalam perjalanan. Seseorang yang sekarang menempati rumah Laras memberikan sebuah alamat rumah yang ditinggali Laras sekarang. Ternyata sudah empat tahun Laras pindah rumah. Untung saja penghuni rumah Laras yang lama masih menyimpan alamat rumah yang pernah diberikan oleh mama Laras.

“Rumah ini? Nomor 17?” Tanya Raras ketika mobil berhenti disebuah rumah yang sangat asri dan lebih kecil dibanding rumah Laras sebelumnya. Dengan cepat Raras turun dari mobil dan mendekati pintu gerbang. Tampak seorang perempuan memakai dress santai bermotif bunga kecil-kecil sedang memindahkan pot-pot kecil dari teras ke halaman depan.

“Permisi,” sapa Karang agak keras setelah puas mengamati perempuan itu. Perempuan itu menoleh ke arah kami dan tampaklah wajahnya. Perempuan agak tua dengan rambut keriting pendeknya mendekati kami.

“Ada apa?” tanya perempuan itu ramah sambil membuka gerbang.

“Kami mencari alamat ini. Apa ini benar rumahnya?” Karang memberikan secarik kertas bertuliskan alamat rumah.

“Iya, ini alamat rumah saya. Mencari siapa?” Tanya perempuan itu masih ramah namun terlihat sekali wajahnya penasaran.

“Kami teman Laras, tante,” jawab Karang. “Apa Laras ada?”

“Laras siapa?” Tanya perempuan itu mulai bingung.

“Tante yang punya rumah ini?” Tanya Raras yang dijawab dengan anggukan pelan perempuan itu. “Tante tidak punya anak bernama Laras?”

Perempuan itu menggeleng lemah dan bercerita kalau ia baru pindah setahun yang lalu. Tapi menurut ceritanya, penghuni rumah sebelumnya tidak memiliki anak, ia tinggal sendiri selama tinggal di rumah ini.

“Apa tante tahu, beliau pindah kemana?” Tanya Karang.

“Tidak tahu. Tapi saya kenal dengan adik iparnya,” jawab perempuan itu. “Mau kuberikan nomor teleponnya?”

11:00
Sudah kesekian kali Raras menekan bel, tapi tetap saja tak ada orang yang membukakan pintu. Karang sudah kembali di samping Raras sambil melongo sekali lagi ke jendela ruang tamu. Karang baru saja menglilingi rumah untuk mencari tahu apakah rumah ini benar-benar kosong. Tapi sepertinya benar-benar kosong.

“Coba telepon oom nya Laras lagi, apa benar ini alamatnya,” perintah Raras dengan wajah kesal. Dengan cepat Karang mengambil handphone dari kantong celananya dan mulai menelepon.

“Om, kami sudah sampai rumah Tante Maria, tapi rumahnya kosong. Apa benar alamatnya? Atau apa Tante Maria sudah pindah rumah lagi?”

bersambung ...
Read More......

LOKER NOMOR 7 _ BAGIAN 6

cerita yang lalu ...

Libur sekolah, Raras mencari laki-laki yang disukai Laras. Dalam suratnya yang panjang, Laras menginginkan informasi tentang sosok yang bernama Karang di tahun 2010. Raras menemui Karang ke alamat rumah yang diberikan Laras dalam suratnya, namun ternyata rumah itu sudah tidak menjadi tempat tinggal Karang. Setelah mencari informasi lebih lanjut, Raras menemukan apartemen Karang. Namun sayang sekali, dalam pertemuan itu, Raras mengetahui kalau Karang sama sekali tidak mengingat Laras.

***
8 Januari 2004, Kamis
15:00

Laras berjalan menyusuri salah satu jalan kompleks yang menurutnya, tidak terlalu berbeda dengan foto yang pernah Raras kirim. Sambil mengamati nomor-nomor rumah yang tertera di tiap tembok pagar, Laras memikirkan akan Raras di tahun itu. Lama sekali Laras dan Raras tidak berhubungan. Sekarang Laras libur sekolah, mungkin saja Raras disana juga merindukan surat Laras seperti dirinya.


Laras berhenti di depan sebuah rumah bernomor 23. Rumah bercat biru muda dengan beberapa bagian tembok dilapisi batu-batu alam. Tanahnya lebih tinggi sekitar satu meter dari jalan kompleks di depannya. Pagar berukuran pendek mengelilingi halaman depan rumah dengan gerbang tinggi dan besar tertutup rapat. Dari jalan kompleks tempat ia berdiri, Laras bisa melihat sebuah pohon seri di halaman depan dan sebuah ayunan dari besi yang bangkunya saling berhadapan.

Dua anak muncul dari dalam rumah, sedang berebut sebuah boneka salju yang terbuat dari kain. Melihat boneka itu, Laras yakin ia tidak berada di depan rumah yang salah. Sepertinya sejak kecil Raras menyukai salju. Anak yang lebih kecil terlihat sedang berusaha mengambil boneka dari genggaman anak yang lebih besar.

“Kak Anggun, itu boneka Raras,” rengek anak yang lebih kecil sambil sesekali menyingkirkan ujung-ujung rambutnya yang panjang masuk ke dalam mulut.

“Mamaku yang beli boneka ini, jadi ini boneka aku,” jawab anak yang lebih besar. “Kamu anak sial, tahu? Anak yatim piatu,” kata anak itu kemudian sambil mendorong Raras dengan kasar hingga Raras terjatuh. Melihat itu, badan Laras tergerak hendak menolong Raras, tapi Laras mampu menahannya di detik berikutnya.

“Kakak,” rengek Raras kecil.

“Mau boneka ini? Naik di atas pohon itu, nanti aku akan lempar boneka dari bawah,” kata anak yang lebih besar mengajak negosiasi. Tak lama, Raras memanjat pohon seri yang agak tinggi itu dengan tertatih. Setelah mencapai puncak, anak yang lebih besar melempar boneka ke arah Raras. Dengan sengaja ia melempar ke arah yang lebih jauh dari Raras berada, sehingga Raras kesusahan untuk menggapainya dan membuat Raras terjatuh kemudian.

Laras berlari menaiki tanah yang tinggi itu untuk melihat Raras sekarang. Anak yang paling besar berhenti tertawa dan suasana menjadi sepi sekarang. Laras tidak bisa menaiki tanah itu, jadi ia berlari menuju pintu gerbang untuk melihat apa yang terjadi. Laras melihat Raras kecil terbaring di bawah pohon seri dan mengalir darah dari kepalanya, sementara anak yang lebih besar diam kaku sambil mengamati Raras kecil.

“Tolong! Ada orang dirumah? Raras jatuh! Tolong!” Teriak Laras kemudian sabil mendorong-dorong pintu gerbang yang tak mungkin terbuka. Tak lama kemudian seorang laki-laki tua dan seorang perempuan agak lusuh keluar dari dalam rumah dan segera membawa Raras kecil masuk ke dalam mobil.

^^^
17:00
Laras merasakan lemas pada kakinya ketika berjalan menuju ruang dimana Raras tadi berada. Baru saja ia menjalani donor darah untuk membantu Raras kecil. Kebetulan sekali golongan darah Laras sama dengan Raras. Ketika hampir tiba, Laras melihat anak yang lebih besar dari Raras tadi berdiri di depan pintu ruang operasi.

“Anak nakal,” marah Laras setelah menghampiri anak yang sudah pasti adalah Kak Anggun kecil.

“Apa dia akan mati?” Tanya Kak Anggun kecil sambil menangis menunduk.

“Tidak akan mati,” jawab Laras.

“Aku menyesal,” kata Kak Anggun kecil kemudian.

^^^
18:10
Dengan terengah-engah Laras masuk ke dalam pameran kerajinan tangan dari berbagai negara, Handcraft EXPO 2004. Sebelum ke rumah Raras, Laras mampir ke lapangan baseball tempat dimana Karang sedang latihan disana. Setiap Selasa, Kamis dan Jumat Karang latihan baseball di lapangan ini. Laras memasukkan satu tiket pameran ke dalam tas Karang dan selembar surat untuk bertemu di stand nomor 23A jam setengah lima sore. Laras sungguh tidak mengetahui kalau surat yang ia berikan hilang, hanya menyisakan selember tiket masuk di dalam tas Karang.

“Ma, ada anak mencari Laras ke sini, tidak?” Tanya Laras kepada seorang wanita setengah baya yang tengah melayani pengunjung untuk melihat-lihat koleksi batik yang ada di stand nya.

“Tidak ada,” jawab mama Laras cepat kemudian kembali konsentrasi ke pengunjunga. Mendengar itu, Laras mengamati tiap pengunjung yang memadati pameran ini sambil duduk di salah satu bangku plastik yang tersedia di stand. Badannya terasa lemas sekali akibat donor darah tadi.

“Sayang, kenapa?” Tanya mama Laras. Laras hanya menggeleng sambil bersandar etalase yang ada di belakang bangku plastik dengan lemas.


***
9 Januari 2010, Minggu
13:00
Raras naik ke dalam mobil sambil tersenyum pada Karang yang sudah menunggu di bangku kemudi. Karang membalas senyum Raras. Baru saja mereka menemui rumah pengrajin mainan wayang kertas di daerah yang lumayan jauh dari apartemen Karang. Butuh 3 jam lebih perjalanan.

Tadi pagi Raras datang membawa oleh-oleh dari Surabaya, dan Karang membalasnya dengan mengajak Raras menemui pengrajin wayang kertas. Hitung-hitung jalan-jalan gratis ke daerah yang lebih sejuk.

“Kita kamu kemana lagi?” Tanya Raras.

“Pulang,” jawab Karang sambil memperhatikan jalanan.

“Ide cemerlang. Apa akan laku di luar negeri?” Tanya Raras lagi.

“Saya akan membuatnya menarik dengan mengemasnya dengan modern. Wayang dari tangkai daun singkong tadi akan diproses dan dikemas sehingga menjadi awet,”

“Oh, bukan wayang kertas?”

“Itu juga, tapi sebenarnya saya lebih fokus untuk memasarkan kerajinan tangan khas Indonesia dari bahan-bahan alami. Orang-orang dulu banyak membuat kerajinan tangan dari bahan-bahan alami yang lain,”

“Apa saja?”

Begitu seterusnya obrolan mereka tak kunjung terhenti. Karang mulai tertarik dengan kerajinan tangan sejak ia melihat salah satu pameran kerajinan tangan dunia ketika SMA. Ia hampir setiap hari datang ke pameran dan menyayangkan beberapa kerajinan tangan Indonesia dari dedaunan kering mengering dan harus selalu diganti dengan yang baru setiap hari.

^^^
9 Januari 2004, Jumat
16:00
Laras kesal sekali jika mengingat kejadian kemarin. Sudah dua kali pertemuan antara ia dan Karang gagal. Seperti tidak ditakdirkan untuk bertemu, alam sepertinya menghalangi pertemuan mereka. Setidaknya itulah pikiran Laras.

Laras sekarang berada di stand tempat mama Laras memamerkan batik koleksi butik mama Laras yang sudah cukup terkenal. Laras berharap Karang akan datang lagi ke pameran dan bisa bertemu.

“Bagaimana Karang di tahun 2010? Apakah aku berpacaran di tahun itu?” Gumam Laras.


***
10 Januari 2004, Sabtu
09:00
Laras lama mengamati Karang dari luar kaca toko cake di sebuah mall dekat rumah Karang. Seperti biasa, Karang selalu berada di dalam sana, meladeni pelanggan. Setiap sabtu Karang libur sekolah. Sekolah Internasional memang memiliki jam sekolah lima hari saja, Senin hingga Jumat. Untuk berinteraksi dengan Karang walau sebagai pelanggan, Laras sering sekali membolos.

Laras masuk ke dalam toko dan menghampiri etalase berisi aneka cake lucu dan beraneka warna yang paling dekat dengan Karang berdiri.

“Selamat datang di Baruna’s Cake. Mau pesan apa?” Karang menghampiri Laras yang pura-pura sibuk mengamati aneka cake di dalam etalase.

“Cheese Sarina dua,” jawab Laras sambil tersenyum.

“Makan disini atau di bungkus?” Tanya Karang penuh hormat.

“Makan disini,” jawab Laras. “Minumnya, saya mau apa saja yang kamu pilih,” lanjut Laras sambil berjalan di salah satu meja terdekat dari tempatnya berdiri tadi. Dari kejauhan, seorang pelayan toko meletakkan dua buah cake pesanan Laras ke atas piring yang cantik dan menhampiri Laras sambil membawa gelas berbentuk lucu berisi minuman berwarna merah muda bertopi es krim putih di atasnya. Sementara Karang duduk di meja lain dan mulai membaca sebuah buku. Karang memang bukan pelayan di sini, dia anak pemilik toko Baruna’s Cake.


***
12 Januari 2004, Senin
09:10
Laras, aku merindukanmu.
Ada banyak cerita, kau tahu?
Aku menemukan Karang, dan ini fotonya di tahun 2010


Laras membaca surat dari dalam loker nomor 7 untuk kesekian kalinya lalu kembali menatap foto laki-laki berusia 24 tahun itu. Laki-laki itu membiarkan rambut tipis di kumis dan janggutnya. Badannya kekar dan lekukan senyumnya masih sama ketika laki-laki itu ketika berumur 17.
Laras tidak sabar ingin segera tahu jawaban Raras apakah di tahun itu Laras dan Karang berpacaran. Sudah beberapa kali Laras ijin ke toilet pada jam pelajaran Bahasa Indoensia ini hanya sekedar mengecek surat balasan dari Raras. Tapi surat belum juga dibalas Raras.

10:05
Aku heran, Karang tak ingat apa pun terhadapmu.
Bagaimana bisa terjadi?

Bukankah dia sekarang tampan?Wah, pasti kamu tidak
konsentrasi di dalam kelas, sambil
meneteskan air liur menatap foto karang
hahaaaa


Laras tersenyum sebentar lalu terdiam. Ia gelisah dengan apa yang baru saja ia baca. Laras tak menyangka dalam waktu tujuh tahun nanti, Laras tak punya keberanian bertemu dengan Karang secara tiba-tiba saja, tanpa membuat janji bertemu di suatu tempat seperti yang selalu Laras buat selama ini.

bersambung ...
Read More......