bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Jumat, 30 September 2011

HEAVEN'S POSTMAN ---- ide cemerlang ----


Kira-kira beginilah kisahnya (banyak modifikasi) :

Pertemuan itu terjadi ketika saya tengah memasukkan surat untuk yang kesekian kalinya kepada mantan pacar saya ke dalam kotak pos no 17 berwarna merah yang terletak di tengah-tengah padang rumput yang luas. Padang rumput ini bisa saya capai menggunakan bus. Letaknya jauh dari rumah-rumah penduduk.

Seorang laki-laki datang lalu membuka kotak pos tersebut, lalu memasukkan semuanya ke dalam tas hitam yang ia selempangkan di tubuhnya.

"wah, kamu yang ada di internet. Apa benar kamu tukang pos itu? Yang membuat banyak orang mengirim surat ke kotak pos ini?"

laki-laki itu mengangguk.

"saya pikir kamu hantu, tapi kaki kamu menyentuh tanah," kata saya sambil mengamatinya dari rambut hingga ujung kaki.

"saya hanya tukang pos,"

"Apa benar surat ini akan sampai ke surga?" tanya saya lagi.

"tentu saja," jawabnya singkat.

"semoga mantan pacar saya membaca surat dari saya,"

Dia tersenyum lalu mengutip salah satu isi surat yang pernah saya kirim. Kurang lebih isinya tentang kekesalan saya pada mantan pacar saya karena meninggalkan saya tanpa mengajak saya serta ke surga.

"kamu mau kerja paruh waktu membantu saya? $20 dolar satu jam,"

***

Hari berikutnya, saya kembali ke padang rumput itu. Saya menjilat ludah saya sendiri dengan bersedia bekerja paruh waktu untuknya.

Setelah memasukkan semua surat ke dalam tasnya, ia mengajak saya ke sebuah gudang kecil tempat dimana ia membaca surat dan membalasnya.


"apa tidak apa-apa kita berbohong?" tanya saya setelah menyadari apa yang ia lakukan.

"kita memang bohong, tapi sebenarnya kita tidak bohong. Tugas kita adalah membuat orang-orang ini lebih tegar sehingga bisa menerima kematian dari orang-orang yang mereka cintai,"

tugas pertama saya adalah membantu seorang kakek yang bertanya pada mendiang istrinya tentang status anaknya. Kakek itu berpikir kalau mendiang istrinya selingkuh dan melahirkan anak bukan dari darah dagingnya. Saya berhasil meyakinkan kakek dengan mengirim surat keterangan kecocokan DNA dari rumah sakit. Saya dibantu penipu yang saya kenal untuk membuat surat itu.

Begitulah hari-hari selanjutnya, hingga beberapa kali kami membahas surat-surat itu di kafe yang ada pusat kota.

"sebenarnya kamu manusia, bukan?" tanya saya tiba-tiba ketika tengah membaca salah satu surat.

"menurut kamu?"

"kamu manusia," jawab saya.

"salah. Saya malaikat," jawabnya singkat tanpa menoleh dari surat yang ia baca. Saya tertawa mendengarnya.

"pelayan! Apa saya tampak aneh memesan dua kopi padahal saya duduk sendirian di meja ini?" tanya saya pada pramusaji yang baru lewat dari mengantarkan pesanan pelanggan lain.

"tentu tidak," jawab pelayan itu.



"apa kamu melihat ada orang yang duduk disana?" tanya saya lagi sambil menunjuk laki-laki yang sedari tadi duduk bersama satu meja dengan saya. Pramusaji hanya mengangguk lalu pergi meninggalkan meja kami.

"kamu kenapa?" tanyanya.

"saya sempat berpikir kalau kamu bukan manusia. Baiklah kita lanjutkan,"

***

Dua minggu saya melakukan pekerjaan paruh waktu ini, bersamanya. Saya hampir sudah melupakan mantan pacar saya, dan sepertinya saya mulai menyukai laki-laki itu, orang yang mengaku sebagai heaven's postman.

"oh, kamu sudah datang. Saya sudah ambil semua surat. Sebelum kita bahas, saya akan pesankan minum. Mau minum apa?" kata saya panjang lebar ketika ia baru masuk kafe tempat biasa kami kunjungi untuk membahas surat balasan.

"terserah," jawabnya sambil duduk di bangku sebelah saya. Saya bangkit dari bangku untuk memesan kopi susu.

Karena ramai dan harus mengantri, saya mengamati orang-orang yang ada di kafe ini. Mata saya terhenti pada meja yang tadi saya duduki. Saya tidak melihatnya duduk disana dan membuat saya terngiang dengan candanya beberapa waktu lalu.

"saya ini memang hantu. Orang normal tidak bisa melihat saya, kecuali orang-orang yang belum bisa menerima kematian seseorang,"

saya kembali ke meja saya tadi, dan menemukan ia tengah asik membaca sebuah surat. Saya mendekatinya dengan mata yang berkaca-kaca.

"saya tidak mau memesan minuman untuk kamu. Silakan pesan sendiri," kata saya sambil duduk di bangku seberang meja, berhadapan dengannya. Saya mengeluarkan uang dari dompet dan meletakkannya di atas meja.

"saya tidak bisa," jawabnya.

"kenapa tidak bisa? Saya tidak akan memesankan minuman walau kerongkongan kamu kering," kata saya lagi.

"saya tidak bisa," jawabnya lagi sambil menatap mata saya yang sudah berjatuhan air mata.

"ayo pesan," kata saya lagi sambil menariknya untuk bangkit dari bangku. "ayo pesan!" teriak saya dengan terisak. Dia diam saja sambil membuang wajahnya ke luar jendela, sementara saya masih menarik-narik tangannya untuk bangkit. Tak lama kemudian, ia berdiri dan memeluk tubuh saya.

"maafkan saya," bisiknya.

"ini tidak adil. Saya sudah jatuh cinta sama kamu. Bagaimana jika saya sudah menerima kematian mantan pacar saya?" tanya saya sambil menangis. Dia hanya mengusap-usap punggung saya dengan lembut. Sementara orang-orang tengah menatap saya dengan mata heran.

***

hari ini kami bertengkar tentang cara yang harus dilakukan kepada seorang paman yang mengirim permintaan maaf kepada mendiang anaknya melalui sebuah surat. Ia tidak menghargai ide cemerlang saya tentang membuat rekaman palsu suara anaknya yang berkata kalau anaknya sudah memaafkan sang ayah.

Kami berhenti tiba-tiba dalam diam di persimpangan jalan. Saya memang sedang tidak ingin melihat wajahnya.

"saya akan belok sini," katanya sambil menunjuk ke arah kiri. Dengan kesal saya berbelok ke arah kanan, agar tidak sejalan dengannya. Beberapa detik kemudian saya menjadi merasa takut. Bagaimana jika saya tidak bisa melihat dia lagi? Selanjutnya saya berbalik hendak kembali ke persimpangan jalan. Tapi tidak menemukan sosoknya lagi. Dengan ketakutan saya memanggilnya berkali kali, tapi ia masih tidak juga menampakkan diri. Saya menjadi menangis sendiri sambil berusaha agar hati saya tidak menerima kematian mantan saya lagi. Saya berusaha, tapi ia masih tidak terlihat.

***

sudah hampir dua bulan saya tidak pernah melihatnya dimana-mana. Saya hampir bisa menerima kepergiannya, dan menerima hidup saya untuk tidak bisa mencintainya.

Suatu kali di kantor pos, seorang laki-laki yang sangat mirip dengan dia datang dari pintu luar, berjalan melewati saya kepada pekerja pos yang duduk di balik meja. Saya hampir tidak percaya, karena suaranya bahkan sangat mirip.
Saya berjalan keluar kantor pos perlahan karena urusan saya disini sudah selesai. Saya berjalan keluar sambil memegang dada saya yang berdetak sangat kencang. Apakah laki-laki itu dia?

Saya teringat tiba-tiba pada kisahnya. Ia pernah bercerita (ketika itu saya pikir tengah bercanda dengan hayalan tingkat tingginya) bahwa ia mengalami kecelakaan mobil dan koma. "saya juga terkejut ketika saya tiba-tiba ditakdirkan menjadi tukang pos surga,"

saya kembali masuk ke dalam kantor pos dan menghampiri laki-laki itu. Kami bertatapan satu sama lain.

"apa sebelumnya kita pernah bertemu?" tanya laki-laki itu pada saya.

"bertemu dimana?" tanya saya dengan mata berkaca-kaca.

"di mimpi," jawabnya. "dalam koma, saya bermimpi tentang padang rumput, tentang kotak pos merah, tentang kafe di dekat lampu merah, tentang pondok kecil, dan tentang perjalanan naik bus bersama perempuan serupa kamu," katanya lagi.



Saya langsung memeluk tubuhnya erat dengan berkaca-kaca dan sambil tersenyum bahagia.

"saya merindukan kamu," kata saya sambil memeluknya lebih erat dari sebelumnya.

"kamu tidak malu? Orang-orang sedang melihat kita," bisiknya pelan.

"saya tidak malu," jawab saya masih memeluknya.
Read More......

Rabu, 28 September 2011

- SCENES -


Operasi selesai. Setelah Dokter Rizal keluar dari ruang operasi, Dhania dan anggota tim lain membersihkan darah pasien dan peralatan. Hampir satu jam kemudian, Dhania akhirnya bisa kembali ke kamar mess yang letaknya di sudut lorong dekat unit ruang operasi. Dhania bergegas mengambil ponsel dari atas ranjang. 5 panggilan tak terjawab dan 3 pesan masuk. Ia membaca pesan teranyar yang terletak di paling atas inbox message.

-jangan hubungi saya lagi-

Spontan Dhania tersenyum lalu menjatuhkan diri ke atas ranjang dengan lemas. Ia mencoba mengatur nafasnya dan berusaha membawa serta sesak yang tertimbun di dalam dada. Kegiatan itu terhenti oleh panggilan telepon.

Sebelum menutup panggilan, Dhania bergegas keluar kamar menuju ruang UGD. Pasien kecelakaan baru datang. Sesampainya disana, Dhania segera memeriksa kondisi pasien dan dengan cepat memberi pertolongan pertama dibantu beberapa perawat. Tak lama kemudian Dokter Steve datang.

"Dia sesak nafas, dok," lapor Dhania cepat pada Dokter Steve yang tengah memeriksa dengan teliti bagian dada dan perut pasien.

"Panggil Dokter Ibnu! Pasien ini harus segera di operasi karena ada tulang yang menusuk paru-paru," perintah Dokter Steve. Perawat berlari ke telepon yang menempel di dinding pojok UGD.

"Ada keluarganya?" tanya saya cepat pada seorang perawat.

"dia korban tabrak lari, dan tidak ditemukan tanda pengenal apa pun. Warga yang membawanya kesini. Itu disana orangnya," jawab perawat cepat. Mendengar itu, Dhania bergegas menghampiri laki-laki yang duduk di luar pintu UGD.

Setelah berbincang sebentar dengan laki-laki itu, Dhania masuk kembali untuk memberi laporan kepada Dokter Steve bahwa laki-laki itu bersedia menjadi guardian untuk korban sehingga korban bisa segera operasi. Dari kejauhan, tampak Dokter Ibnu berlari kecil hendak menuju UGD.

Setelah memerintahkan untuk menyiapkan ruang operasi, Dokter Ibnu memanggil Dhania dan menunjuknya untuk ikut dalam tim operasi.

"Dokter Dhania baru saja selesai operasi 9 jam bersama Dokter Rizal dan belum tidur selama 42 jam," Dokter Steve bersuara cepat dan dengan cepat memerintahkan perawat untuk memanggil dokter Rian. Seperti berburu dengan waktu, perawat memberi laporan bahwa ruang operasi siap dan pasien segera di dorong menuju ruang operasi di lantai 2. Selanjutnya mereka menghilang begitu pintu lift tertutup.

"Sudah ada kabar dari dokter Baadilah?" Tanya dokter Steve pada Dhania.

"masih belum, dok," jawab Dhania sopan sambil menahan kesal terhadap Baadilah yang menghilang tiba-tiba.

"Kalau besok dia tidak muncul, Dokter baru akan menggantikannya," kata Dokter Steve dengan nada marah. Dhania hanya mengangguk tanda mengerti pada kepela departemen tempat ia ditempatkan selama dua tahun ini sebagai dokter tingkat kedua.

Sebelum berpisah di persimpangan lorong, Dokter Steve memerintahkan Dhania untuk beristirahat.

Dalam perjalanan menuju kamar mess, Dhania teringat betapa sulitnya ketika tidak ada satu dokter di rumah sakit ini. Ia juga kesal pada Baadilah yang menghilang hanya karena sifat sentimentilnya terhadap seorang pasien. Rumah sakit menjadi kalang kabut dan membuat Dokter-dokter tingkat pertama dan kedua bergantian mengerjakan tugas Baadilah. Seharusnya kemarin dan hari ini Dhania beristirahat.

Tak lama kemudian Dhania masuk ke dalam kamar Mess, mengganti pakaian, dan keluar kamar Mess dengan tergesa sambil menyelempangkan tas berukuran sedang. Makin lama, ia makin cepat melangkah hendak meninggalkan rumah sakit.

***

Hanung menarik dengan cepat tangan Dhania agar Dhania berdiri dari duduknya. Ayah dan ibu Hanung tampak kebingungan dengan sikap Hanung.

"Hanung!" Teriak ayah Hanung. Tapi Hanung tak menghiraukannya. Dhania terus ditarik untuk keluar rumah. Selanjutnya mereka berdua berhenti di halaman depan.

"Maaf," Dhania bersuara pelan setelah Hanung melepas cengkramannya.

"Kamu tidak perlu meminta maaf kepada kedua orang tua saya,"

"Hanung, maafkan saya. Kejadian yang saya ceritakan tadi memang begitu keadaannya,"

"seharusnya kamu menghubungi saya,"

"saya benar-benar tidak sempat,"

"Saya bilang jangan temui saya lagi,"

"Hanung, maaf. Kamu tahu saya tidak dengan sengaja tidak datang di hari lamaran, Hanung..."

"saya kesal sekali kamu tidak menghubungi saya!"

"Maaf," kata Dhania lagi sambil menangis pada akhirnya. "tapi perawat jaga sudah memberi kabar ke kamu dan keluarga besar,kan?"

"kamu serius dengan saya, tidak?" Bentak Hanung. Dhania hanya mengangguk masih dengan tangisnya.

"Sekarang kita harus bagaimana?!" Teriak Hanung lagi. Dhania tidak bisa menjawab apa-apa. Ia hanya bisa mengusap air-air matanya yang terus berjatuhan.

"Saya kesal karena kamu yang saya cintai," Hanung mulai sedikit merendahkan nada suaranya.

"Maaf," kata Dhania lagi. Sepertinya hanya kata itu dan air mata yang mampu ia keluarkan sedari tadi.

"berhenti menangis!" perintah Hanung pada Dhania. Seperti tidak menghiraukan perintah Hanung, air matanya masih saja mengalir.

"Berhenti menangis!" Teriak Hanung tiba-tiba. Dhania masih menangis seperti tadi.


Tiba-tiba Hanung memeluk Dhania dengan erat, sambil menepuk-nepuk lembut punggung Dhania. Spontan tangis Dhania menjadi. Dhania menangis meraung-raung seperti anak kecil dalam pelukan Hanung.

"Jangan menangis. Saya tidak bisa melihat kamu menangis begini. Berhentilah,"

"Hua hua hua hua," Dhania makin kencang menangis, membuat Hanung makin erat memeluknya.

"Saya akan membunuh Baadilah setelah ini," celetuk Hanung kemudian. Dhania tertawa sedikit di antara tangisnya. "sudah. Jangan menangis lagi,"

"saya senang kamu memaafkan saya," kata Dhania sambil menangis.

"Kenapa kamu tidak juga berhenti menangis? Saya tidak akan pernah marah sama kamu. Berhentilah menangis,"

"Saya menangis sekarang karena senang," jawab Dhania masih menangis.

"Berhenti menangis!" Teriak Hanung lagi sambil terus mengusap-usap punggung Dhania. Seperti tadi, Dhania masih belum bisa menghentikan tangisnya. Dengan manja Dhania membersihkan air mata dan air hidungnya di sweater Hanung yang wangi.
Read More......

Kisah pewayangan

Kisah pewayangan merupakan kisah legendaris bagi masyarakat hindu. Di india maupun di Indonesia semasa nusantara dibawah jaman kerajaan hindu kisah tersebut mengakar dalam cerita rakyat, juga berkembang menjadi budaya di masyarakat nusantara. Seperti kitab Bharatayudha karangan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. kisah2 tersebut kemudian berakulturasi dengan kebudayaan jawa, dan diceritakan kembali dalam kisah pewayangan, meskipun mengalami sedikit perbedaan. Cerita filosofi wayang yang merupakan budaya hindu tersebut mulai menjadi filosofi jawa, yang digelar dalam acara2 penting pada masyarakat jawa.

Kisah Baratayudha, sebuah kisah pertempuran antara bala Pandawa dan Kurawa di Kurusetra, meninggalkan sepenggal legenda heroik yang sarrat makna. Pandawa yang merupakan Putra Pandu, terdiri dari 5 orang kesatria yang melambangkan kebaikan dan 5 sifat kesempurnaan manusia (khususnya pria).

YUDHISTIRA

Dalam pewayangan jawa lebih sering dikenal dengan Puntadewa, merupakan putra pertama pandawa yang memiliki sifat paling Jujur. dalam kisahnya Dia diceritakan tidak pernah berbohong selama hidupnya. Dia juga disebut Satria dari Amarta. Yudisthira adalah pemegang hak waris tahta Hastinapura yang sesungguhnya, karena ayahnya Pandu menitipkan Hastinapura kepada Destarata adiknya yang juga merupakan ayah para Korawa.
Namun karena ketamakan Korawa, Pandawa menjadi teraniaya dan sering ditipu.




BIMA

Dalam pewayangan jawa Werkudara atau Bimasena, merupakan putra kedua Pandawa yang paling perkasa dan pemberani, tempramental namun mencintai kebenaran, ia dikenal dengan Gada Rujakpolo sebagai senjatanya yang paling terkenal. Werkudara adalah satria dari Jodiphati, wilayah dari Amarta.

Dia menganggap semua orang sama derajadnya, sehingga dalam cerita pewayangan jawa, dia tidak pernah bicara dalam Bahasa Krama Inggil (bahasa jawa yang nilai rasanya paling halus) juga tidak pernah duduk ketika berbicara dengan orang lain.
sifat khasnya yang lain, dia tidak suka berbasa-basi dalam berbicara, tanpa tading aling-aling dan tidak pernah menelan kembali ludahnya sendiri.


ARJUNA

dikenal juga dengan nama Janaka atau Permadi, diceritakan memiliki wajah yang rupawan, romantis, dan pecinta ulung dengan panah pasopati sebagai senjatanya. dalam berbagai kisah roman masa kini, kisah arjuna banyak dijadikan inspirasi percintaan para sastrawan. Janaka merupakan Satria dari Madukara.

Arjuna memiliki banyak istri, yang paling terkenal adalah Sembadra dan Srikandi.
Sembadra memiliki sifat yang lembut, lemah gemulai, anggun dan santun. sedangkan Srikandi memiliki sifat lincah, enerjik, bahkan ikut bertempur di Baratayudha bahu-membahu bersama suaminya. maka dalam masyarakat masa kini wanita karir dengan segudang prestasi sering dikiaskan dengan Srikandi istri sang Arjuna.
Meskipun tampan dan rupawan, Arjuna merupakan kesatria tanpa tanding, selalu menang dalam setiap pertempuran. untuk itu dia juga pernah dijuluki Wijaya yang berarti tidak pernah kalah.

dan yang terakhir adalah si kembar Nakula dan Sadewa merupakan saudara tiri dari ketiga pandawa sebelumnya.


NAKULA dan SADEWA


mempunyai watak setia, taat, belas kasih, tahu membalas budi dan dapat menyimpan rahasia. dia memiliki kelebihan dalam ilmu pengobatan.
dikisahkan dia memiliki ingatan yang tidak terbatas, sehingga dapat mengingat semua hal yang pernah ia alami.

Sadewa dikisahkan memiliki sifat bijak dan pintar. jika Nakula saudara kembarnya memiliki ingatan masa lalu yang kuat, sadewa memiliki penglihatan masa depan karena Sadewa adalah seorang ahli perbintangan yang ulung (ramalan) dan dianggap mengetahui kejadian yang akan terjadi dalam Mahabharata namun ia dikutuk bahwa apabila ia membeberkan apa yang diketahuinya, kepalanya akan terbelah. Maka dari itu, selama dalam kisah ia cenderung diam saja dibandingkan dengan saudaranya yang lain.
Sadewa jugalah dengan kepintarannya akhirnya yang berhasil membunuh Sengkuni, paman dan penasihat Korawa yang paling pintar (licik).


***

Dalam kisah Baratayudha, seteru pandawa adalah Korawa dengan Duryudana sebagai putra sulungnya, merupakan seratus bersaudara laki-laki yang merupakan sepupu pandawa. seratus berarti banyak maka Kurawa merupakan filosofis dari Tamak dan Serakah. Dalam kisah Baratayudha lahir pula berbagai sosok pahlawan yang gugur di medan Kurusetra.


ABIMANYU


Abimanyu: Tokoh yang sering terdengar namanya ini adalah putra Arjuna dari Dewi Sembadra, merupakan sosok yang lembut, namun keras hati. dia seorang yang cerdik, ahli strategi, dan patuh kepada ayahnya.

Pada hari ketiga belas perang Bharatayuddha, Abimanyu tewas dalam formasi Chakrayuha korawa yang sebenarnya digunakan untuk menjebak Pandawa yang begitu tangguh. namun Abimanyu yang berhasil memporakporandakan formasi korawa malah tertinggal dalam Chakrayuha sendirian, karena para pandawa yang lain dipancing keluar. dengan gagah berani Abimanyu bertarung seperti banteng terluka menjelang ajalnya di medan Kurusetra. Bahkan sempat menewaskan Laksamana, Putra kesayangan Duryudana. Abimanyu merupakan sosok pejuang sampai titik darah penghabisan.


GATOTKACA


Gatotkaca merupakan putra Bima dengan dewi Arimbi, kesatria sakti mandraguna dari Pringgodani. dikisahkan sebagai seorang manusia setengah raksasa yang gagah perkasa, memiliki sifat pemberani rela berkorban, dan pantang menyerah. Ketika lahir, ia di masukkan dalam kawah candradimuka sehingga benar2 menjadi kesatria yang tertempa. Dia bisa terbang, memiliki otot kawat balung wesi (otot kawat tulang besi). Gatotkaca memiliki dua orang saudara tiri yang juga sangat sakti yaitu Antareja dan Antasena, namun kedua saudaranya tersebut meningal sebelum perang baratayudha.

Gatotkaca tewas oleh Adipati Dorna dengan satu-satunya senjata yang bisa membunuhnya yaitu Kuntawijayadanu, sebuah keris yang digunakan untuk memoton tali pusarnya sewaktu lahir. Dan di hari tewasnya Gatotkaca menukar nyawanya dengan seribu nyawa pasukan Korawa.
Read More......

Selasa, 27 September 2011

Tiba-tiba "berat"


Saya tidak mengerti arti perjuangan, pemberontakan, keadilan/ ketidakadilan, rakyat, pencurian/ penuntutan hak, kewajiban, nasionalis, pergerakan, "politik tai kucing". Saya benar-benar tidak mengerti.

Saya yakin saya adalah manusia pasif yang bergemul dengan pikiran-pikiran saya sendiri. Tidak untuk dibagikan, bahkan tidak untuk dirasa oleh diri sendiri. Sebut saja pasif dan cenderung tidak peduli.

Tak apalah walau saya tak punya hak mengatakan ini. Mungkin akan terlalu kasar, tapi abaikan saja.

Disana arus kotor sudah melebar. Lumpur-lumpurnya mengotori negeri ini (negeri?). Yang menumpahkan, yang memungut, yang membersihkan, yang menonton pun ikut berlumpur. Yang tergerak berteriak-teriak di tepiannya pun juga kotor (mungkin).

Kemanakah ketulusan? Kemanakah keadilan? (keadilan?)

yang berbicara itu bicara : "satu-satunya cara adalah masuk ke dalam lumpur dan memasukkan serta manusia-manusia luhur seperti kita untuk bersedia bergabung".

Pengharapan kosong untuk saat ini. Bicara dan pemikirannya ajaib, gerakannya ajaib juga (mungkin) dan saya masih sebagai penonton dari sini.

Yang paling membuat saya terkadang marah dengan apa yang saya tonton adalah tentang dunia itu yang terinspirasi dari dunia-dunia fiksi yang diciptakan oleh manusia-manusia seberang yang memiliki kitab "skenario". Jujur sama dalam dunia fiksi action, saya lebih tertarik dengan grusak grusuk perebutan kekuasaan antar saudara di kerajaan-kerajaan ketimbang perebutan kekuasaan (kekuasaan?) antar penguasa yang tidak sedarah. Akankah lebih kejam?

Hah, sebut saja "bapak saya" yang sangat saya banggakan. Dada saya sesak jika membayangkan kegiatan pagi, siang, dan malamnya di hotel prodeo (prodeo?). Atau ekspresi-ekspresi dari topeng-topeng seni beserta musik gamelannya. Menonton itu, saya tertawa dengan dada yang sesak. Atau topeng yang diam atau berpura-pura diam yang sebelumnya sudah mengantongi kitab "skenario". Malang sekali penonton. Hebat sekali sang sutradara.

Layarnya pun terkadang berat sebelah, memihak, dan terlalu komersil. Mengikuti arus-arus lumpur yang paling deras mengalir. Padahal lumpur-lumpur itu mengalir ke segala arah, ibarat sudut bola, yang memiliki tak hingga sudutnya.

Kemanakah ketulusan? Kemanakah keadilan? (keadilan?)

dan saya masih sebagai penonton, diam, tak pernah berkomentar sedikitpun. Karena saya sangat tidak tertarik, dan hanya akan menyakitkan dada yang sudah sesak ini.

*setelah tersindir Soe Hok Gie
Read More......

Kembalinya Soe Hok Gie


ho8 jangan kaget sama judulnya. ini bukan tentang soe hok gie yang hidup kembali, atau tentang gosip kemunculan anak muda baru yang akhir-akhir ini terdengar mewarisi sikap dan pemikiran soe hok gie. maksudnya adalah kembalinya soe hok gie dalam hidup dan pemikiran saya....

sosok dan kisahnya masih membuat saya penasaran. sayang sekali saya hanya mengenalnya hanya melalui tulisan-tulisan yang pernah dibuat...

Soe Hok Gie adalah Orang keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan Nio Hoe An. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman. Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta.

Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Menurut seseorang peneliti, sejak masih Sekolah Dasar (SD), Soe Hok Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Mungkin karena Ayahnya juga seorang penulis, sehingga tak heran jika dia begitu dekat dengan sastra.

Sesudah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Konon, ketika duduk di bangku ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari Blora” —bukankah cerpen Pram termasuk langka pada saat itu?

Pada waktu kelas dua di sekolah menangah ini, prestasi Soe Hok Gie buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Tapi apa reaksi Soe Hok Gie? Ia tidak mau mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang.

Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra. Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi lain jurusan, yakni ilmu alam.
Selama di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik.

Ada hal baik yang diukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, Soe Hok Gie dan sang kakak berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemuidan kakak beradik ini melanjutkan ke Universitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah , sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.

Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru.

Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.

Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.

Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.

Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.
Makam soe Hok Gie

24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.

Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”
Selain Catatan Seorang Demonstran, buku lain yang ditulis Soe Hok Gie adalah Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah (yang ini saya belum punya) dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan serta riset ilmiah DR. John Maxwell Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Tahun depan Mira Lesmana dan Riri Reza bersama Miles Production akan meluncurkan film berjudul “Gie” yang akan diperankan oleh Nicholas Saputra, Sita Nursanti, Wulan Guritno, Lukman Sardi dan Thomas Nawilis. Saat ini sudah memasuki tahap pasca produksi.

Catatan Seorang Demonstran

John Maxwell berkomentar, “Gie hanya seorang mahasiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meninggal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional” ujarnya. “Saya diwawancarai Mira Lesmana (produser Gie) dan Riri Reza (sutradara). Dia datang setelah membaca buku saya. Saya berharap film itu akan sukses. Sebab, jika itu terjadi, orang akan lebih mengenal Soe Hok Gie” tuturnya.
Kata Kata Soe Hok Gie
Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran.
Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.
Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau.
Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.
Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.
Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.
Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun.
Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.
Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?
Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis…
Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.
Bagi saya KEBENARAN biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita.
Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia.
To be a human is to be destroyed.
Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin.
Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan.
I’m not an idealist anymore, I’m a bitter realist.
Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata.
Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan.
Saya tak tahu mengapa, Saya merasa agak melankolik malam ini. Saya melihat lampu-lampu kerucut dan arus lalu lintas jakarta dengan warna-warna baru. Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan. Semuanya terasa mesra tapi kosong. Seolah-olah saya merasa diri saya yang lepas dan bayangan-bayangan yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan. Perasaan sayang yang amat kuat menguasai saya. Saya ingin memberikan sesuatu rasa cinta pada manusia, pada anjing-anjing di jalanan, pada semua-muanya.
Tak ada lagi rasa benci pada siapapun. Agama apapun, ras apapun dan bangsa apapun. Dan melupakan perang dan kebencian. Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.

diambil dari http://ammanagapa.wordpress.com/2011/06/11/biografi-soe-hok-gie/ (tanpa edit)
Read More......

BUMI : "... Apa yang harus saya lakukan kepada Bumi? Mungkin saja naluri keibuan saya belum ia rasakan ..."


Sejujurnya saya bingung harus bersikap bagaimana kepada Bumi, anak berusia 13 tahun yang tengah memasuki usia remaja. Mungkin saja sifatnya yang begitu, atau memang status "remaja" yang membuat ia susah untuk saya turut masuk ke dunianya. Seperti siang ini, ketika makanan sudah tersaji siap disantap. Saya memanggil Bumi dengan selembut ibu (sebatas yang saya tahu). Bahkan pernah saya hampiri ia di dalam kamarnya dengan agak canggung yang saya usahakan menjadi biasa.

Kali ini ia tengah bermain game di laptop yang tersambung dengan stick game dan kacamata 3 dimensi. Saya masuk ke dalam kamar yang super rapi itu, karena setiap hari Mbok Rana tidak luput dalam membersihkan kamar Bumi dan ruangan lain di rumah ini.

"Makan dulu, yuk," ajak saya setelah berdiri di sampingnya sembari mengusap punggungnya sedikit. Bumi menoleh ke arah saya sebentar sekali lalu kembali menatap laptopnya.

"sebentar. tanggung," jawabnya cepat.

Saya tersenyum lalu berjalan kembali ke ruang makan, duduk di salah satu bangkunya, menunggu Bumi datang. Seperti biasa, ia datang dan duduk di bangku makan tempat ia biasa duduk. Dan selanjutnya, kami makan dalam diam.

"Saya buat kue. Mau coba?" tanya saya setelah prosesi makan usai pada Bumi yang beranjak dari duduknya. Ia menoleh ke arah saya, lalu mengangguk. Sementara ia duduk kembali di bangkunya, saya berjalan mengambil kue buatan saya dari dapur. Saya membuatnya berdasarkan resep dari internet dengan campuran bayam. Ini camilan sehat (menurut saya). Lalu Bumi memakan potongan kue yang saya suguhkan padanya. Setelah habis, ia kembali ke menaiki tangga menuju kamarnya. Saya duduk diam.

Sebulan sudah saya disini, masih terasa canggung dengan Bumi. Saya sangat bisa memahaminya.

***

Menurut Mas Purnama, sejak perceraian itu, Bumi berubah dan dalam hal ini kami berdua sepakat untuk bisa mengerti keadaan Bumi. Setelah ibunya menikah lagi 5 bulan setelah perceraian, Bumi makin banyak diam. Ketika kabar tentang kehamilan ibunya yang setelah dihitung-hitung usia kandungan lebih tua ketimbang usia pernikahan, Bumi makin berubah sikapnya. Dan saya sangat mengerti kehadiran saya sekarang membuatnya makin tidak nyaman.

Kami sama sekali tidak bisa tahu apa yang sedang Bumi pikirkan dan rasakan. Hingga suatu hari saya mendapatinya menangis di dalam selimut menjelang tidur. Untung saja saya iseng menengoknya ke kamar, berencana hendak memandangi bumi berharap bisa mengetahui sisi Bumi melalui pengamatan saya sendiri.

"bumi?" tanya saya setelah menyadari isak tangis itu milik Bumi. Terlihat badannya tersentak kaget lantaran ketika masuk, saya sengaja mengendap-endap dengan maksud agar ia tidak terbangun.

"bumi kenapa?" tanya saya sambil berjalan ke ranjangnya. Tapi saya segera menghentikan langkah saya cepat setelah menyadari belum mendapat ijin dari Bumi. Tak ada jawaban, dan isak tangis masih terdengar. Kulihat jemarinya melemah dalam menggenggam tepi selimut. Melihat itu, saya berani menghampirinya untuk lebih dekat lagi. Saya bertumpu pada dengkul, lalu perlahan membuka selimut.

"Bumi, what do u feel?" tanya saya setelah mata kami saling beradu. Bumi menutup matanya sambil mengeluarkan suara tangisnya. Saya agak lega akhirnya isak itu menjadi tangis berharap sesak dadanya berkurang.

***

Malam itu menjadi melekat di dalam benak saya. Pertama kalinya saya memeluk dengan lembut (menurut saya) Bumi dengan setulus-tulusnya hati saya. Saya akui, saya merasa belum tulus ketika saya memeluk Bumi di depan ayahnya, di depan keluarga besarnya, di depan para tamu undangan, atau di depan kamera foto dan video yang Mas Purnama buat.

Entah mengapa saya selalu memikirkan apa yang ia katakan, apa yang ia rasa, karena sepertinya begitulah rasa seharusnya yang ada ketika mengalami itu. Rasa yang muncul dari dalam hati seorang anak.

Pertama, ia merasa hidupnya berubah setelah perpisahan kedua orang tuanya. Gosip tentang perselingkuhan ayah atau ibunya kerap kali ia dengar dari orang-orang sekelilingnya (setidaknya saya tidak berselingkuh dan membuat saya berani mengusap kepalanya). Dan tentang kehadiran orang-orang baru dalam hidupnya. Ayah tirinya membuat ia tidak seluasa dulu untuk bercengkerama dengan ibunya, dan saya membuat ia merasa canggung dan terasing di rumahnya sendiri. Kami pindah di rumah baru setelah pernikahan saya dan Mas Purnama. Dan saya terenyuh mendengar penuturan yang ia kemas dengan bahasa lugunya disertai dengan tangis.

Apa yang harus saya lakukan kepada Bumi? Mungkin saja naluri keibuan saya belum ia rasakan, sehingga kami hingga saat ini masih bersikap canggung. Betapa tidak, saya hanya 6 tahun lebih tua dibanding Bumi.

Saya tidak tahu untuk apa dan tujuan apa saya menulis ini. Saya hanya bingung harus bersikap bagaimana agar menjadi semestinya. Karena arus yang saya ikuti masih menjadikan saya dan bumi sosok terasing satu sama lain.

Nb : saya sudah berusaha keras melayaninya selayak ibu (menurut saya).

Post in 30 Agustus 2011
Read More......

IN LOVE


Hari itu sungguh tak terduga. Siapa menyangka saya jatuh cinta pada seorang penjual susu keliling hanya karena ia adalah laki-laki yang melempar saya menjauh ke pinggir jalan agar mobil brutal tidak menabrak tubuh saya. Pagi itu awal pertemuan saya dengannya. Lecet kaki dan tangan saya karena jatuh di trotoar, tapi sungguh saya beruntung, karena dia, saya tidak jadi mati di hari itu.

Siapa menyangka juga kalau ternyata dia anak mampu yang mengumpulkan uang dengan cara anak muda dengan menjual susu hangat setiap pagi sebelum berangkat ke SMA. Kalian akan takjub untuk apa uang yang akan ia kumpulkan. Kado pernikahan untuk kedua orang tua yang sangat ia cintai.

Dan setelah hari itu banyak hal-hal tak terduga lainnya. Dia adalah anak angkat dan kedua adiknya pun juga diangkat oleh kedua orang tuanya. yah, apapun itu, yang sudah jelas, adalah hari setelah setahun lulus kuliah. kami menikah dan tahun berikutnya kami bercerai. Hingga setahun setelah perceraian, hubungan kami masih sangat baik dan sering bertemu sekedar makan bersama, menonton film atau saling curhat tentang keluh kesah setiap hari. Saya tidak tahu, hubungan seperti apa yang tengah kami jalani. Untuk apa menikah? Untuk apa bercerai? saya hanya menanyakan itu pada hati saya sendiri.

Saya tidak pernah tenang ketika mengetahuinya tengah sakit di rumah, bahkan hanya ketika ia bersin dan kedinginan ketika bertemu. Ingin rasanya memanggilkan dokter, atau mengusap kepalanya seperti dulu. Tapi selalu mengomelinya ketika bertemu dalam keadaan begitu. Saya pun cemas jika hatinya gundah karena pekerjaannya, dia akan tidak berhati-hati dalam perjalanan, karena ketika gundah, pikiran dan badannya tidak menyatu. itu jelas akan berbahaya baginya.

beberapa bulan kemudian, dia mengenalkan saya pada seorang laki-laki muda yang berprofesi sebagai pengacara. Betapa aneh mendengar cerita laki-laki muda itu, kalau ia menyukai saya sudah selama empat tahun. Yang paling aneh adalah ketika ia berkata bahwa kami hanya bertemu dua kali selama itu. pertemuan kedua adalah di hari pernikahan saya dengan mantan suami saya dua tahun lalu. Laki-laki muda itu tidak sempat mengatakan pertemuan pertama saya dengannya. Dia sangat ingin sekali saya mengingatnya sendiri. bagaimana bisa? Saya merasa baru pertama kali bertemu dengannya ketika perkenalan bersama mantan suami saya di hari itu.

Sejak hari perkenalan itu, saya makin jarang bertemu dengan mantan suami saya, karena laki-laki muda itu terus saja mengganggu saya seperti siput yang menempel di dinding. Gelora anak muda saya pikir. Tapi caranya justru membuat saya jatuh pada akhirnya. Saya memutuskan mencoba menerima saya untuk mendekati saya. Entah mengapa, keputusan itu dibuat setelah mengetahui bahwa mantan suami saya tengah mendekati seorang asisten salah seorang teman mengajarnya di kampus.

Laki-laki muda yang penuh perhatian dan kasih sayang. Ia juga sangat mengerti bagaimana cara melindungi dan menghormati perempuan. pekerjaannya mapan, keluarga besarnya pun penuh cinta. Dan saya menjadi tahu mengapa laki-laki muda yang jatuh cinta pada saya itu tumbuh menjadi laki-laki yang sempurna di mata saya. hingga pada akhirnya saya memutuskan menikah untuk kedua kalinya.

sangat lucu sebulan kemudian. Saya dan seluruh keluarga dikejutkan dengan kenyataan yang sangat tidak masuk akal. Suami saya didiagnosa mengalami kanker pankreas. Empat bulan setelah itu, tubuhnya makin tak bisa menahan sakit. Tuhan menyayangiNya dengan menghentikan sakitnya dan menempatkan ia di surga. Amin. Saya berharap itu. Setidaknya setelah melihat banyak air mata yang mengalir untuknya ketika pemakamannya, atau melihat panti-panti dan rumah singgah yang ia dirikan selama tujuh tahun ini.

Tiga bulan sudah suami saya tinggal di perbukitan ini, dan sudah hampir tiga puluh menit saya menatap gundukan tanah yang diselimuti rumput hijau. Saya menatap wajahnya yang tersenyum dalam foto dan lily kesukaannya titipan dari mertua saya. Sedangkan saya meletakkan mawar pink kesukaan saya di samping sebuket lily. Seingat saya, ia selalu membawa pulang mawar pink. Jadi, saya akan tetap membawa bunga seperti ini kepada pusaranya, agar ia masih akan mengaingat saya.

“Terima kasih kamu sudah mengenalkan saya padanya,” kata saya sebelum meninggalkan pusara suami saya pada mantan suami saya yang juga berdiri di samping saya.

“Sejujurnya, saya juga baru mengenal dia beberapa jam sebelum saya mengenalkannya pada kamu. Ketika itu, dia meminta nomor ponsel kamu dan memohon ijin untuk mendekati kamu,” jawab mantan suami saya.

“Iya?” saya terkejut.

“Saya juga bertanya padanya, untuk apa meminta ijin pada saya. Dia menjawab karena saya adalah mantan suami kamu yang menurutnya masih mencintai kamu,”

“Apa kamu benar ketika itu kamu masih mencintai saya?”

“Sejujurnya iya. Tapi entah mengapa saya membiarkannya mendekati kamu, berharap dengan begitu, kamu akan tahu bahwa saya adalah satu-satunya laki-laki buat kamu. Dan kecewa sesaat setelah tahu ia berhasil membuat kamu jatuh padanya. Saya senang pada kenyataannya kamu bahagia,”

“Sekarang kamu masih mencintai saya?” Tanya saya lagi.

“Sejujurnya iya,”

Saya tersenyum kecil. “Saya mencintai suami saya,”

“Baiklah,” jawabnya sambil tersenyum. “Kita makan mi? Musim dingin begini paling enak makan mi,”

“Ayo makan mi,” kata saya kemudian.

Apa kamu cemburu saya makan mi dengan mantan suami saya? Cemburu lah, karena itu membuat saya senang. Dengar, jangan terlalu khawatir disana. Saya akan menjaga dan menyayangi ayah ibu kamu seperti kamu terhadap mereka. Saya akan meneruskan kegiatan sosial kamu agar mereka tidak kembali terlantar setelah kepergian kamu, tapi jangan paksa saya meneruskan profesi kamu sebagai pengacara. Kamu harus senang disana, maka saya akan senang juga. I love u, darl.

Wah, saya lupa satu hal. Katakan pada saya ketika kita bertemu lagi nanti. Kapan pertama kali kita bertemu? saya benar-benar tidak bisa mengingatnya. saya akan selalu merindukan kamu.
*big hug
Read More......

"... Entah mengapa menjadi begitu singkat, sangat singkat..."


Langit selalu menyaksikan saya dari singgasananya disana dan saya hingga saat ini masih melakukan perjalanan ini. Entah mengapa menjadi begitu singkat, sangat singkat terutama ketika menatap sebuah titik. Takut menjatuhkan bola mata di sebuah titik lagi lalu akan kembali merasa begitu singkat, secepat kilat.

Takjum memang, tapi ketakutan kadang menyertainya di belakang. Kantung saya masih sedikit sekali tapi tangan sungguh seperti tertahan untuk memungut semua yang ada untuk memenuhi isi kantung. Begitulah hidup atau begitulah saya? Saya pun tidak mengerti.

Lalu apa setelah hari ini? Apa hanya dengan singkat seperti ketika itu? Lalu mencemaskan saya setelah itu? Huah, mungkin langit tersenyum terkikik membaca pikiran saya dan menggeleng heran dengan reaksi tak berarti dari saya.
Bagaimana ini?
Read More......

TERA


Dia masih duduk di pinggir air mancur dekat taman kota, menangisi sesuatu. Ia menatap langit, dan mendesah dua kali. Melihat itu, saya mengayuh sepeda mengampirinya.

Jangan mengeluh pada langit, langit tidak salah.

Dia mendongak ke arah saya sambil mengapus air -air matanya.

Jangan mengeluh pada langit, langit tidak salah.

Dia hanya menatap saya, mungkin tidak mengerti dengan apa yang saya sampaikan barusan. Sebaiknya saya ulangi lagi.

Jangan mengeluh pada langit, langit tidak salah.

"maaf, saya tidak mengerti, adik kecil," katanya kemudian.

"anga emeuh awa angi, angi iya ayah," kata saya akhirnya dengan susah payah.

"oh, Tera punya kawan baru? Siapa nama kakak ini?" mama tiba-tiba sudah ada di samping saya.

"Oh, namanya Tera, ya, tante? Halo Tera," sapa dia kemudian sambil tersenyum pada saya.

Jangan mengeluh pada langit, langit tidak salah.

Saya kembali menyampaikan itu padanya.

"oh, mungkin kakak tadi tidak mengeluh, sayang, hanya menyapa langit," jawab mama sambil mengusap rambut saya.

Tidak, ma. Tadi dia mendesah dua kali ke arah langit. Seperti ini.

Lalu saya memperagakan apa yang dilakukannya tadi. Mama hanya tersenyum.

"Sudah malam, sayang. Kita pulang, yuk. Besok main lagi," kata mama kemudian. Saya mengangguk lalu mengayuh sepeda ke arah jalan menuju apartemen tak jauh dari taman.

"maaf, ya, mengganggu," kata mama sebelum akhirnya pamit padanya. Mama mengejar saya dengan berlari kecil.

Dia benar-benar mengeluh pada langit.

Kata saya pada mama.

"kakak itu tadi lagi cerita sama langit, bukan mengeluh,"

mama sok tahu.

"mama gak sok tahu, memang tahu" sangkal mama cepat. "kakak itu butuh teman untuk cerita,"

wah, kakak itu juga cerita ke langit? Apa ayah dan adik Tera juga mendengar cerita kakak itu?

"tentu saja. Semua orang dilangit yang bersedia mendengar semua cerita kita yang tinggal di bawah sini,"

termasuk ayah dan adik Tera?

"iya," jawab mama singkat sambil mengangguk.

Ayah dan adik Tera punya banyak teman, karena tidak cuma Tera yang cerita ke mereka, tapi semua orang disini?

Kali ini mama hanya mengangguk. "besok, Tera mau sarapan apa?" tanya mama.

Pasta. Apa boleh?

"minggu lalu pasta, apa tidak bosan?"

Tera suka pasta buatan mama. Tera bosan makanan di Asrama.

"jangan mengeluh begitu, ingat, tidak semua orang bisa makan enak seperti Tera,"

Tera tidak mengeluh, Tera selalu menghabiskan makanan Tera.

"tadi mengeluh," kata mama.

Tera tidak mengeluh, ma.

"iya, mama percaya. Tera kan anak baik yang pandai bersyukur," kata mama sambil tersenyum. Saya juga tersenyum.
Read More......

SEVERN SUZUKI


abis baca note teman, saya menjadi sangat terinspirasi...

siapakah severn suzuki? dia adalah seorang anak yg pada usia 9 tahun telah mendirikan Enviromental Children's Organization ( ECO ). ECO sendiri adalah sebuah kelompok kecil anak yg mendedikasikan diri untuk belajar dan mengajarkan pada anak" lain mengenai masalah lingkungan. Dan mereka pun diundang menghadiri Konfrensi Lingkungan hidup PBB, dimana pada saat itu Severn yg berusia 12 Tahun memberikan sebuah pidato kuat yg memberikan pengaruh besar ( dan membungkam ) beberapa pemimpin dunia terkemuka.
http://en.wikipedia.org/wiki/Severn_Cullis-Suzuki

Apa yg disampaikan oleh seorang anak kecil ber-usia 12 tahun hingga bisa membuat RUANG SIDANG PBB hening, lalu saat pidatonya selesai ruang sidang penuh dengan orang terkemuka yg berdiri dan memberikan tepuk tangan yg meriah kepada anak berusia 12 tahun.

Inilah Isi pidato tersebut: (sumber: The Collage Foundation)
dan ini vedoenya : http://www.youtube.com/watch?v=uZsDliXzyAY


Halo, nama Saya Severn Suzuki, berbicara mewakili E.C.O - Enviromental Children Organization
Kami Adalah Kelompok dari kanada yg terdiri dari anak-anak berusia 12 dan 13 tahun. Yang mencoba membuat Perbedaan: Vanessa Suttie, Morga, Geister, Michelle Quiq dan saya sendiri. Kami menggalang dana untuk bisa datang kesini sejauh 6000 mil. Untuk memberitahukan pada anda sekalian orang dewasa bahwa anda harus mengubah cara anda, Hari ini disini juga. Saya tidak memiliki agenda tersembunyi.

Saya menginginkan masa depan bagi diri saya saja.
Kehilangan masa depan tidaklah sama seperti kalah dalam pemilihan umum atau rugi dalam pasar saham. Saya berada disini untuk berbicara bagi semua generasi yg akan datang.

Saya berada disini mewakili anak-anak yg kelaparan di seluruh dunia yang tangisannya tidak lagi terdengar.
Saya berada disini untuk berbicara bagi binatang-binatang yang sekarat yang tidak terhitung jumlahnya diseluruh planet ini karena kehilangan habitatnya. Kami tidak boleh tidak di dengar.

Saya merasa takut untuk berada dibawah sinar matahari karena berlubangnya lapisan OZON. Saya merasa takut untuk bernafas karena saya tidak tahu ada bahan kimia apa yg dibawa oleh udara.
Saya sering memancing di di Vancouver bersama ayah saya hingga beberapa tahun yang lalu kami menemukan bahwa ikan-ikannya penuh dengan kanker. Dan sekarang kami mendengar bahwa binatang-binatang dan tumbuhan satu persatu mengalami kepunahan tiap harinya - hilang selamanya.

Dalam hidup saya, saya memiliki mimpi untuk melihat kumpulan besar binatang-binatang liar, hutan rimba dan hutan tropis yang penuh dengan burung dan kupu-kupu. Tetapi sekarang saya tidak tahu apakah hal-hal tersebut bahkan masih ada untuk dilihat oleh anak saya nantinya.

Apakah anda sekalian harus khawatir terhadap masalah-masalah kecil ini ketika anda sekalian masih berusia sama serperti saya sekarang?
Semua ini terjadi di hadapan kita dan walaupun begitu kita masih tetap bersikap bagaikan kita masih memiliki banyak waktu dan semua pemecahannya. Saya hanyalah seorang anak kecil dan saya tidak memiliki semua pemecahannya tetapi saya ingin anda sekalian menyadari bahwa anda sekalian juga sama seperti saya!


Anda tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki lubang pada lapisan ozon kita.
Anda tidak tahu bagaiman cara mengembalikan ikan-ikan salmon ke sungai asalnya.
Anda tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan binatang-binatang yang telah punah.
Dan anda tidak dapat mengembalikan hutan-hutan seperti sediakala di tempatnya yang sekarang hanya berupa padang pasir.
Jika anda tidak tahu bagaima cara memperbaikinya.
TOLONG BERHENTI MERUSAKNYA!

Di sini anda adalah deligasi negara-negara anda. Pengusaha, anggota perhimpunan, wartawan atau politisi - tetapi sebenernya anda adalah ayah dan ibu, saudara laki-laki dan saudara perempuan, paman dan bibi - dan anda semua adalah anak dari seseorang.

Saya hanyalah seorang anak kecil. Namun saya tahu bahwa kita semua adalah bagian dari sebuah keluarga besar. Yang beranggotakan lebih dari 5 milyar, terdiri dari 30 juta rumpun dan kita semua berbagi udara, air dan tanah di planet yang sama - perbatasan dan pemerintahan tidak akan mengubah hal tersebut.

Saya hanyalah seorang anak kecil. Namun begitu saya tahu bahwa kita semua menghadapi permasalahan yang sama dan kita seharusnya bersatu untuk tujuan yang sama.

Walaupun marah, namun saya tidak buta, dan walaupun takut, saya tidak ragu untuk memberitahukan dunia apa yang saya rasakan.
Di negara saya, kami sangat banyak melakukan penyia-nyiaan. Kami membeli sesuatu dan kemudian membuangnya. Beli dan kemudian buang. Walaupun begitu tetap saja negara-negara di utara tidak akan berbagi dengan mereka yang memerlukan.
Bahkan ketika kita memiliki lebih dari cukup, kita merasa takut untuk kehilangan sebagian kekayaan kita, kita takut untuk berbagi.

Di Kanada kami memiliki kehidupan yang nyaman, dengan sandang, pangan dan papan yang berkecukupan - kami memiliki jam tangan, sepeda, komputer dan perlengkapan televisi.
Dua hari yang lalu di Brazil sini, kami terkejut ketika kami menghabiskan waktu dengan anak-anak yang hidup di jalanan. Dan salah satu anak tersebut memberitahukan kepada kami: " Aku berharap aku kaya , dan jika aku kaya, aku akan memberikan anak-anak jalanan makanan, pakaian dan obat-obatan, tempat tinggal. Dan cinta dan kasih sayang".

Jika seorang anak yang berada di jalanan yang tidak memiliki apapun, bersedia untuk berbagi, mengapa kita yang memiliki segalanya masih begitu serakah?

Saya tidak dapat berhenti memikirkan bahwa anak-anak tersebut berusia sama dengan saya. Bahwa tempat kelahiran anda dapat membuat perbedaan yang begitu besar. Bahwa saya bisa saja menjadi salah satu dari anak-anak yang hidup di Favellas di Rio; saya bisa saja menjadi anak yang kelaparan di Somalia; seorang korban perang timur tengah atau pengemis di India .
Saya hanyalah seorang anak kecil. Namun saya tahu bahwa jika semua uang yang dihabiskan untuk perang dipakai untuk mengurangi tingkat kemisikinan dan menemukan jawaban terhadap permasalahan alam, betapa indah jadinya dunia ini.


Di sekolah, bahkan di taman kanak-kanak anda mengajarkan kami untuk berbuat baik. Anda mengajarkan pada kami untuk tidak berkelahi dengan orang lain.
Mencari jalan keluar, membereskan kekacauan yang kita timbulkan.
Tidak menyakiti makhluk hidup lain, berbagi dan tidak tamak.

Lalu mengapa anda kemudian melakukan hal yang anda ajarakan pada kami supaya tidak boleh dilakukan tersebut?
Jangan lupakan mengapa anda menghadiri konferensi ini. Mengapa anda melakukan hal ini - kami adalah anak-anak anda semua. Anda sekalianlah yang memutuskan dunia seperti apa yang akan kami tinggali. Orang tua seharusnya dapat memberikan kenyamanan pada anak-anak mereka dengan mengatakan "Semuanya akan baik-baik saja". Kami melakukan yang terbaik yang dapat kami lakukan. Dan ini bukanlah akhir dari segalanya.

Tetapi saya tidak merasa bahwa anda dapat mengatakan hal tersebut kepada kami lagi. Apakah kami bahkan ada dalam daftar prioritas anda semua? Ayah saya selalu berkata "kamu akan selalu dikenang karena perbuatan mu bukan oleh kata-katamu".

Jadi, apa yang anda lakukan membuat saya menangis pada malam hari. Kalian orang dewasa berkata bahwa kalian menyayangi kami.

Saya menantang ANDA , cobalah untuk mewujudkan kata-kata tersebut.
Sekian dan terima kasih atas perhatian nya.

Dan setelah itu, ketua PBB mengatakan dalam pidatonya:

" Hari ini saya merasa sangatlah malu terhadap diri saya sendiri karena saya baru saja disadarkan betapa pentingnya linkungan dan isinya disekitar kita oleh anak yang hanya berusia 12 tahun, yang majuberdiri di mimbar ini tanpa selembarpun naskah untuk berpidato. Sedangkan saya maju membawa berlembar naskah yang telah dibuat oleh asisten saya kemarin. Saya ... tidak kita semua dikalahkan oleh anak yang berusia 12 tahun.
http://www.facebook.com/profile.php?id=1282338016#!/notes/azeid-blankon/pidato-anak-9-tahun/10150235082491360

setelah saya merinding, menangis haru dan tercengang, saya tiba-tiba ingin mengetahui bagaimana orang tua si ana luar biasa ini.

sekarang lihat profil ini :
David Takayoshi Suzuki, CC , OBC (lahir 24 Maret 1936) adalah seorang akademisi Kanada, ilmu penyiar dan lingkungan aktivis. Suzuki memperoleh Ph.D dalam zoologi dari Universitas Chicago pada tahun 1961, dan seorang profesor di departemen genetika dari University of British Columbia dari 1963 hingga pensiun pada tahun 2001. Sejak pertengahan 1970-an, Suzuki telah dikenal untuk seri TV dan radio dan buku-buku tentang alam dan lingkungan. Dia paling dikenal sebagai tuan rumah populer dan berjalan lama televisi CBC majalah ilmu pengetahuan, The Nature of Things , terlihat dalam sindikasi di lebih dari empat puluh negara. Ia juga terkenal karena mengkritik pemerintah karena kurangnya tindakan mereka untuk melindungi lingkungan.

Seorang aktivis lama untuk membalik dunia perubahan iklim , Suzuki bersama-sama mendirikan David Suzuki Foundation pada tahun 1990, bekerja untuk menemukan cara bagi masyarakat untuk hidup dalam keseimbangan dengan alam yang menopang kita seperti: lautan dan perikanan yang berkelanjutan , perubahan iklim dan energi bersih , keberlanjutan , dan Tantangan Alam Suzuki.

Dia juga menjabat sebagai direktur Asosiasi Kebebasan Sipil Kanada 1982-1987. Suzuki dianugerahi Penghargaan Hak Mata Pencaharian pada tahun 2009.

renungan :
David Takayoshi Suzuki adalah ayah dari severn suzuki. lihatlah, anak luar biasa dididik dan dibesarkan oleh orang tua yang luar biasa pula. jika saya, atau kalian yang membaca ini menghayalkan hal luar biasa yang akan dilakukan anak kita nanti, maka menjadi luar biasalah...

tidak harus menjadi seperti David Takayoshi Suzuki, tapi setidaknya kita sadar, apa yang akan dilakukan anak kita, adalah apa yang pernah ia lihat dalam hidup. Ia (anak kita kelak) tidak mungkin begitu menyukai dan memikirkan lingkungan hidup jika ia belum pernah tahu apa dan bagaimana lingkungan hidup ini. Ia tidak mungkin memimpikan kedamaian (no wars) jika ia tidak tahu apa itu perselisihan dan perdamaian. ia tidak akan bercita-cita menjadi seorang polisi jia ia tidak pernah mengetahui sosok polisi. Ia tidak akan mudah berbagi dengan sesama, jika ia tidak pernah melihat dan merasakan rasa berbagi.

lalu, jangan berputus asa untuk menjadikan anak kita luar biasa hanya karena kita tidak mampu menjadi luar biasa. jadilah orang tua yang luar biasa, bukan untuk diri kita tapi anak kita kelak. bukan untuk membuat kita bangga terhadap dia suatu hari nanti, tapi untuk kebaikan anak kita sendiri.

renungan 14 Juli 2011, Kamis
Read More......

Elegi Embun Pagi

Ketika itu kokok ayam sudah terdengar dimana-mana. Tiga puluh menit yang lalu azan subuh berkumandang dimana seluruh aktivitas dihentikan. Ibu saya pun meringis kesakitan hanya dengan menyebut nama Tuhan dengan suara lirih, tak seperti detik-detik sebelumnya. Ketika itu sudah seutuhnya saya keluar dari rumah nyaman. 05:31 begitu bidan Siti berkata kepada ibu saya yang peluhnya menyebar di seluruh tubuh. Setelah bidan Siti membersihkan tubuh saya, ia kembali kepada ibu saya, menjahit pintu keluar hingga tujuh jahitan. Perawat muda itu berkata pada bidan Siti bahwa berat saya adalah 4,1 kg.

Detik-detik kemudian saya merasa lapar sekali dan mulai mencari-cari puting lembut ibu. Akhirnya saya mendapatkannya, tapi dengan kecewa karena susah sekali saya mendapatkannya. Akhirnya saya menangis karena tak setetespun yang berhasil saya dapat.

Tiba-tiba saja saya mendengar alunan merdu pelan di telinga saya. Mereka menyebutkan azan. Saya mendengar nama Tuhan saya ketika itu. Setelah itu iqomat di telinga saya yang lain. Tak lama kemudian sebuah kecupan hangat dan menggelikan di dahi saya. Kecupan pertama saya. Apakah itu kecupan ayah? Karena terasa geli ketika rambut-rambut tipis nan tajam menyentuh dahi saya. Oh, setelah itu begitu hangat terasa dan teranyun-ayun badan saya. Apakah beliau tengah menggendong saya?

"wah, Pak Purnama sudah fasih menggendong bayi. Sudah ada nama?" tanya bidan Siti tiba-tiba.

"baru saja dapat," jawab ayah saya.

"siapa?" tanya ibu kemudian.

"Elegi Embun Pagi," jawab ayah mantap.


"ah?" tanya ibu dengan nada terkejut.

"tadi diluar saya berjalan-jalan menghirup udara pagi. Saya merasa tegang. Saya menemukan setitik embun di sebuah daun di taman. Saya meletakkan embun itu ke telapak tangan saya. Dingin, tapi sejuk terasa. Lalu merasuk jauh ke dalam hati, hingga terasa nyaman sekali. Bayi ini pun begitu. Ketika saya mencium keningnya, saya tahu, ia yang akan membuat saya nyaman sepulang kerja nanti, atau ketika gundah nanti,"

"Elegi Embun Pagi," panggil ibu kemudian kepada saya.

Saya tersenyum kecil dan senang sekali mendengarnya. Saya punya nama yang indah sekali. Apakah ayah lihat senyum saya tadi? Terima kasih, ayah. Saya senang ayah memilih saya, saya senang ibu juga memilih saya untuk jadi anak mereka.
Read More......

SESAL

Bising sekali. Klakson dan deru mobil-mobil, obrolan orang-orang, tangisan, teriakan dari satu dua perempuan, dan beribu pertanyaan yang terlontar kepada saya. Beberapa menit saya tersadar dari pingsan, akhirnya saya ingat kejadian yang baru saja terjadi. Saya bergegas bangkit untuk duduk dari posisi tidur di pinggir trotoar. Kepala menjadi pusing sekali, sedikit perih di dahi sebelah kiri, dan ketika saya sentuh dengan tangan, terasa sangat perih dan berdarah. Kepala saya terbentur aspal ketika terlempar tadi.

sirine polisi dari kejauhan makin membuat bising malam ini. Setelah mobil polisi berhenti, mereka segera mendekat sebuah mobil yang tergeletak sedikit hancur di bagian depan akibat menabrak belakang truk. Rupanya mobil menghantam truk dari belakang. Melihat itu, saya berlari menghampiri mobil bersama dimana dua polisi ikut membantu beberapa warga untuk mengeluarkan sopir yang tidak sadarkan diri untuk keluar dari mobil. Itu suami saya, Rama. Mata saya dengan cepat melirik jok tengah, mencari Tyo, anak laki-laki saya. Diaman Tyo?

“Tyo?” Panggil saya sambil memutar pelan tubuh saya sendiri untuk melihat sekeliling. Saya kembali memanggil namanya berkali-kali, tapi tak saya temukan. Hingga pada panggilan berikutnya, sirine ambulans membuat suara saya tak bisa saya dengar oleh telinga saya sendiri.

30 menit yang lalu ...

***

Saya menggedor pintu apartemen pada ahirnya ketika pintu tak terbuka setelah menekan bel berkali-kali. Penjaga gedung segera menghampiri pintu beberapa detik kemudian setelah saya meminta bantuannya tadi. Penjaga gedung bergegas membuka pintu apartemen, dan saya dengan cepat masuk ke dalam mencari Tyo yang mungkin sekarang sedang sekarat. Hampir satu jam yang lalu Tyo menelepon saya kalau perutnya sakit sekali dan setelah itu telepon rumah tak diangkat, handphone Rama tak juga diangkat.

Saya segera meminta penjaga gedung untuk mengangkat Tyo keluar ketika saya menemukan Tyo tak sadarkan diri di lantai depan pintu ruang kerja Rama. Ketika penjaga gedung berusaha menggendong Tyo, pintu ruang kerja terbuka. Wajah Rama yang kusut tampak dari dalam sana.

“Tyo! Ada apa ini?” Teriak Rama kemudian. Rama segera menghampiri Tyo dan berlari sambil menggendong Tyo keluar rumah. Saya bergegas mengikutinya di belakang. Ke pintu depan, ke tempat parkir dimana mobil saya sudah stand by disana. Saya dengan cepat membuka pintu tengah agar Tyo bisa dibaringkan disana. Rama dengan cepat mengambil kunci mobil saya dan masuk ke jok kemudi. Mobil melaju setelah saya duduk di kursi samping kemudi.

“Dari tadi kamu ngapain di dalem? Tyo sampe nelpon saya karena perutnya sakit,” tanya saya dengan suara marah.

“Saya... saya gak dengar,” jawab Rama dengan terbata. “Apa dia pingsan dari tadi? Udah berapa lama?” Tanya Rama dengan nada cemas dan penuh penyesalan.

“Kamu tanya sama saya? Yang dirumah sama Tyo siapa?” Bentak saya kemudian karena kesal dengan pertanyaan konyolnya. “Besok Tyo tinggal sama saya,”

“Itu urusan nanti. Sempat, ya, di saat genting begini bilang tentang Tyo harus tinggal sama siapa,”

“Kalau kamu gak asik sama kerjaan kamu, kalo kamu inget sama anak kamu, Tyo gak akan seperti ini, Ram. Saya makin kesal kalau kamu sok lebih memperhatikan Tyo,”

“Hati-hati dengan mulut kamu, Rani! Siapa yang pergi dari rumah? Siapa yang kabur meninggalkan Tyo? Kamu juga jangan sok sayang sama Tyo,”

“Berhenti! Turun dari mobil sekarang. Biar saya sendiri yang bawa Tyo ke rumah sakit. Tyo gak butuh papa seperti kamu,” pinta saya kemudian.

“Apa-apaan ini? Keadaan Tyo genting dan kamu berpikir tentang hal yang gak penting seperti tadi? Sebaiknya kamu yang turun kalau ego kamu masih begitu,”

“Berhenti! Minggir!” Teriak saya akhirnya karena kesal. Dada saya semakin kesal mendengar perkataan Rama. Tapi, Rama sama sekali tak mengindahkan permintaan saya.

“Papa, perut Tyo sakit,” rengekan Tyo tiba-tiba terdengar. Saya dengan cepat menoleh ke arah Tyo yang terbaring sambil meringis kesakitan. Saya melepas sabuk pengaman, dan berusaha melompat ke jok tengah untuk memeluk Tyo, anak kesayangan saya yang baru masuk TK B. “Papa, sakit. Papa,”

“Iya, sayang, sebentar lagi sampai rumah sakit. Ini mama sayang, mama disini,”

“Papa, sakit. Papa,” rintih Tyo pelan.

“Sebentar lagi kita sampai rumah sakit. Tahan, ya, nak. Sebentar lagi,” Rama ikut bersuara menenangkan Tyo.

“Papa,” rintih Tyo lagi.

“Sebulan sama kamu, Tyo makan mi instan terus ya? Saya tahu kamu sudah berhenti kerja dua minggu yang lalu. Kalau kamu tidak mampu mengurus Tyo, seharusnya kamu serahkan dia sama saya,”

“Rani!” Teriak Rama marah.

“Dia juga seharusnya istirahat. Beberapa hari ini kamu ajak dia jalan-jalan, kan? Saya benar kalau kamu memang tidak akan pernah peduli sama Tyo, sama keluarga kamu sendiri,”

“Rani!” teriak Rama lagi lalu tiba-tiba mobil sedang melaju dengan cepat ke arah kami. Dengan sigap Rama mengendalikan kemudi berbelok ke kiri dan mengerem cepat. Tyo jatuh ke bawah. Suara ban berdecit-decit dan saya terlempar keluar dengan tiba-tiba.

***

Setelah melakukan pemeriksaan, akhirnya dengan cepat dokter mengetahui apa yang terjadi dengan Tyo. Dia terkena usus buntu dan harus segera operasi. Setelah menandatangani beberapa surat, Tyo dibawa ke ruang operasi. Saya berniat menunggu Tyo di depan pintu sampai operasi selesai.

Dua polisi menghampiri saya. Setelah bersalaman basa-basi dan bertanya tentang kejadian yang telah terjadi, salah satu dari mereka memberi kabar bahwa Rama meninggal dunia.

***

Saya tak bisa menahan air mata ketika menatap Tyo yang tertidur di ranjang rumah sakit. Dua minggu ia dirawat disini dan besok ia sudah bisa pulang. Saya pun tidak tahu saya sedang menangis karena apa, atau untuk siapa.

Pikiran saya masih tentang Rama dan kepergiannya yang mendadak. Betapa tidak, begitu sesak dada ini penuh dengan penyesalan. Saya memang tak tahan dengan keacuhannya terhadap keluarga selama ini dan saya memang memutuskan pergi meninggalannya. Tapi, saya bukan pergi untuk tak melihatnya lagi. Saya masih ingin terus melihatnya.

Ketika kecelakaan malam itu, tubuh Rama sama sekali tak cedera luar dan dalam. Ia meninggal di tempat karena sakit yang dideritanya. Kanker pankreas yang ia ketahui tepat dihari dimana saya meninggalkan rumah. Hari dimana Tyo kesakitan malam itu dan menelepon saya, rupanya Rama pingsan di ruang kerja karena sakit itu. Kalau diingat, wajar saja ia tak mendengar rintihan Tyo.

Rama memutuskan keluar dari kantor agar bisa menghabiskan banyak waktu dengan Tyo. Setelah Rama tak bekerja lagi, ia benar-benar menghabiskan banyak waktu bersama Tyo, ke tempat-tempat Tyo inginkan. Piknik, ke taman hiburan, bermain layang-layang, ke pantai.

Lalu, menyadari kenyataan itu, mengingat apa yang saya katakan malam itu tentang Rama, saya benar-benar menyesal. Saya menjadi kasihan terhadap diri saya sendiri. Saya tak ada disamping suami dan anak saya ketika mereka merasakan sakit.
Read More......

Putra Erlangga

Saya bukan fotografer walau selalu membawa kamera. Saya bukan wartawan, karena hanya diary dan pena yang selalu ada di tas kecil saya. Saya juga bukan paparazi yang mencari berita tentang artis, karena dia hanya laki-laki biasa, seorang penjaga toko sederhana. Saya disini pun bukan untuk memberitakan tentang dia, tapi hanya mencari gambar-gambar indah akan gerak-geriknya. Gerak-gerik putra erlangga, seorang penjaga toko buku terkenal. Saya mendapatkan namanya dari bet di seragam kerjanya sejak pertama bertemu.

Hampir setiap hari saya mampir di coffee shop tepat seberang toko buku itu. Di meja dekat jendela menghadap jalan, menghadap toko buku. Ditempat ini, saya telah melahirkan gambar-gambar putra erlangga yang saya ambil lebih dari dua bulan ini. Beberapa saya tempel di selembar halaman diary. Asal kalian tahu, dia sama sekali tidak tahu tentang saya, dan dia sama sekali tidak tahu kalau saya hampir setiap hari mencuri gambarnya. Saya memanfaatkan "zoom" pada kamera setiap mengambil gambarnya.

"mau tambah lagi minum nya, mbak?" tawar seoarang pelayan coffee shop pada saya ketika saya sedang asik memotret.

"ehm, gak. Makasih, yyyaa," jawab saya sambil menoleh ke arah pelayan tersebut sambil meletakkan kamera ke dalam tas. Pelayan toko meninggalkan meja saya, sementara saya memasukkan diary dan pena ke dalam tas. Saya rasa cukup hari ini. Hampir satu jam sudah gambar-gambar berhasil saya dapatkan. Saatnya pulang.

Saya memutar roda menuju meja kasir. Lalu melaju menuju pintu keluar coffee shop.

Seperti biasa, sesampainya di rumah, saya bergegas menuju kamar untuk mulai mencetak gambar-gambar pilihan hari ini, "photos of the day". Saya sibuk memilah-milah foto terbaik di layar laptop yang hendak saya tempel di diary.

"Kak, kak tiara udah dateng," Dian, adik laki-laki saya yang baru masuk SMP tampak muncul dari balik pintu kamar.

"iya, sebentar," jawab saya sebelum Dian pergi. Saya melirik jam yang ada di atas meja belajar kamar. Sekarang memang sudah waktunya terapi. Sudah hampir sebulan saya menjalani terapi agar kaki saya bisa berjalan kembali pasca kecelakaan hebat 9 bulan lalu. Kecelakaan itu membuat saya koma selama dua bulan lebih.

Saya kembali ke dua foto sebelumnya. Lalu kesepuluh foto setelahnya. Beberapa tampak sekali putra erlangga tengah tersenyum menatap kamera. Ya Tukan ! Sadarkah ia bahwa saya tengah mengamatinya?
Read More......

catatan seorang anak_"meluncur di atas pelangi"

Semua anak dari seluruh dunia berkumpul di halaman istana setiap tahun. Ini tahun kedua diadakan acara spesial sejak pangeran muda menjadi raja. Acara untuk anak-anak di seluruh dunia. Kami, para anak-anak, menyebut acara ini adalah "berseluncur di atas pelangi", karena setiap tahun, negeri pelangi mengijinkan para anak untuk melihat lebih dekat bentuk pelangi atau jika beruntung terpilih untuk meluncur dari puncak pelangi.

Dari jutaan anak, hanya 30 anak yang diijinkan berseluncur. Saya tidak tahu pasti bagaimana raja atau pihak kerajaan memilih 30 anak beruntung, yang saya tahu, saya masuk ke dalam anak2 terpilih. Memang terkejut ketika seorang pelayan cantik menarik tangan saya untuk maju ke altar dekat tangga menuju puncak pelangi, bersama 3 anak lain yang sudah berdiri disana. Kemudian disusul dengan 26 anak lain yang ikut bergabung. Saya senang sekali mendapat giliran ke empat, yah, walaupun saya tetap senang di urutan manapun, karena dari jutaan anak, saya akhirnya bisa meluncur di atas pelangi. Horay !!!

Giliran saya tiba untuk menaiki tangga menuju puncak pelangi. Dengan hati-hati, dengan hati senang, dengan rasa bangga, saya menaiki tangga satu persatu. Senyum saya pun terus terkembang hanya dengan membayangkan akan meluncur di atas pelangi. Setelah sampai di puncak, seorang pengawal yang menunggu disana, menyuruh saya untuk mulai meluncur. Entah mengapa saya merasa tidak takut sama sekali dengan ketinggian ini. Saya berteriak bahagia meluncur. Saya meluncur di atas pelangi !!! :D
Read More......

catatan seorang laki-laki_"my love still my first love"

Pertama kali Saya melihatnya di lantai satu sebuah pusat perbelanjaan terbesar di dekat rumah saya. Berdiri di depan meja kasir dengan wajah muram. Setelah membayar beberapa barang belanjaan, ia berjalan lunglai menuju pintu utama. Entah mengapa saya mengikutinya, tidak jadi membeli susu pesanan mama. Mengikutinya sampai tempat parkir, sampai ia menghilang dengan sepeda mini berwarna putih. Sejak hari itu, mata saya terlalu sering menangkap sosoknya dan menyimpannya ke dalam memori saya. Masih teringat jelas tiap senyum dari yang paling kecil hingga yang paling lebar. Atau kibasan kasar tangannya ketika rambutnya menutupi wajah ketika tertiup angin. Lambaian tangan yang mungil itu juga masih saya ingat, walau itu bukan ditujukan kepada saya. Rengekan dan amarah kecil kepada mamanya, gayanya menggaruk-garuk kepala walau tak gatal, dan kata maaf pertama untuk saya ketika suatu kali saya pernah menghalangi jalannya. Masa awal SMA saya yang tidak terlupa, ketika pertama kali saya melihat perempuan sebagai perempuan. My first love.

Selama setahun mata saya masih menangkap sosoknya. Sengaja atau tidak sengaja, dan terus tersimpan di dalam memori. Saya menikmati sebagai pemuja rahasia, dan saya menikmati cara saya yang tidak mencari tahu apa-pun tentang sosoknya. Saya hanya menangkapnya dengan mata saya, hanya mata saya. Dan mengerti tentang dirinya hanya melalui mata saya.

Tahun ajaran baru dimulai, hari pertama di tingkat kedua. Upacara bendera pertama, mata saya kembali menangkap sosoknya. Saya senang sekaligus terkejut. Sosoknya berdiri di depan, beberapa kali meringis tersengat sinar matahari pagi yang kebetulan begitu menyengat. Saya berada di antara perasaan kecewa dan ingin berlari membawa payung untuk melindunginya. Tentu saja kecewa, karena ia berdiri disana sebagai salah seorang guru. Dan lima belas menit kemudian, ia jatuh pingsan. Seorang guru laki-laki muda yang berdiri disampingnya bergegas membopongnya sendirian ke ruang UKS dekat kantor. Ribut seketika, seluruh murid berbisik dan tengak tengok ke segala arah untuk melihat apa yang terjadi. Tapi saya menunduk dengan marah, saya merasa cemburu. Saya menjadi tidak suka dengan guru muda itu.

Selama setahun mata saya masih menangkap sosoknya di sekolah, di jalan, dan di pusat perbelanjaan itu. Tahun tingkat ketiga di mulai, sosoknya masih ada di mata saya, bahkan mungkin sudah di hati ini. Tak saya sangka dua tahun lebih saya tak pernah mengucapkan sepatah katapun kepadanya. Ia juga bukan pengajar di kelas saya, dan saya menghindar untuk berpapasan dengannya. Namun mata saya tetap ingin menangkapnya selalu, dari jauh, dari dekat. Betapa saya senang, ketika mendengar guru muda itu menikah liburan semester kemarin. Banyak guru yang meledeknya sebagai pengantin baru, bukan dengan first love saya. Hahaaa… saya senang sekali. Saya menjadi lebih tidak peduli dengan surat-surat cinta yang hampir tiap pagi saya temukan di laci meja saya. Surat-surat dari adik tingkat yang tidak punya malu.

3 februari. Saya ingat tanggal itu. Ia duduk di kantin bersama beberapa siswi perempuan. Tertawa, bercanda dan tersenyum beberapa kali. Saya berjalan ke arahnya dengan langkah lebar, sangat lebar. Setelah dekat, saya memegang erat kepalanya, dan meletakkan bibir saya ke bibirnya. Ia memberontak, tapi saya telah tumbuh menjadi laki-laki kuat, atlet basket yang memiliki stamina tangguh, sehingga berontaknya sia-sia saja. Kantin menjadi ribut sekali. Setetes air mata mengalir dari mata kirinya, dan saya mulai melemah. Ia menjauhkan bibirnya, menampar saya, dan berlari meninggalkan kantin. Setelah itu, saya dipanggil guru BP, hari berikutnya orang tua saya dipanggil, dan hari berikutnya mendapat skorsing selama seminggu. Hari setelahnya saya menjadi sangat terkenal, lebih terkenal dari artis manapun, tidak hanya di dalam lingkungan sekolah.

Beberapa bulan kemudian, saya tahu bahwa ciuman itu pertama baginya, dan bagi saya juga. Saya senang sekali ketika akhirnya menggenggam tangannya dan mendengar dari mulutnya bahwa sejak hari di kantin itu, matanya selalu menangkap sosok saya. Saya senang saya bisa mendapatkan ciuman keduanya, yang juga ciuman kedua saya. Saya anggap itu pacaran. Sayang sekali hanya bertahan seminggu. Dia lebih khawatir dengan apa yang didengarnya dari orang-orang ketimbang apa yang didengar dihatinya, ketika semua tahu tentang hubungan kami. Apa yang terlarang? Apa yang salah?

Ia pergi entah kemana hingga saya mengakhiri tingkat tiga saya di SMA. Mata saya sama sekali tak pernah lagi menangkap sosoknya. Saya melanjutkan study ke Denmark, kembali, dan sudah bekerja, mata saya masih tak menemukan sosoknya. 10 tahun sudah memori saya masih tentang dia. Saya ingin sekali bertemu dengannya dan memintanya untuk tidak pedulikan perkataan orang lain, tapi pedulikan saya saja.

Post in 3 februari 2008

***

Tangan saya masih bergetar ketika membaca bagian akhir sebuah blog itu. Catatan yang ditulis tiga tahun lalu oleh laki-laki yang menjadi pacar pertama saya. saya tidak tahu rencana Tuhan, mengapa pada akhirnya, saya menemukan blog ini, dan membaca postingan terakhirnya yang berjudul “My love still my first love”. Sepertinya tidak hanya tangan saya yang bergetar, tapi juga hati saya. Saya tidak tahu rencana Tuhan, mengapa pada akhirnya ia kembali tepat di tahun kedua pernikahan saya. Dan yang paling saya tidak tahu rencana Tuhan, mengapa postingan ini tidak saya temukan sebelum saya menikah.

Saya beranjak dari ruang kerja hendak mengambil segelas air minum, karena tiba-tiba kerongkongan menjadi sangat kering. Handphone yang tergeletak di atas meja dapur bordering tanda sms.

08xxxxxxxxxx
Saya masih mencari hingga saat ini hingga akhirnya saya menemukan kamu.
Entah bagaimana perasaan saya sekarang, antara kecewa dan bahagia.
Tapi setidaknya saya menemukan kamu.
Bisa kita bertemu?
Saya di depan rumah kamu sekarang, saya hanya ingin bilang sesuatu yang belum sempat saya bilang ke kamu dulu.
Read More......

hanya kisah saya 13_hujan bulan juni

saya tengah mencoba "trial and error" untuk menghasilkan data yang saya inginkan. SPSS 16.0 lalu microsoft exel lalu SPSS 16.0, lalu exel lagi, begitu terus hingga saya "mabok SPSS" (begitu saya menyebutnya). Sedangkan papa duduk di sofa di depan meja kerja tempat saya mengolah data-data itu.

"ai, beliin papa tolak angin, ai," teriak papa tiba-tiba kepada adik saya yang berada di ruang tv. Adik saya menjawab dengan lemas, mengingatkan saya bahwa ia sedang sakit. Lalu saya mengajukan diri untuk menggantikan adik saya. Papa mengeluarkan uang dan meletakkannya di atas meja.

Hujan kecil turun tiba-tiba, ketika saya baru saja mengambil jaket di kamar. "pa, ujan. Nunggu reda, ya," kata saya.

"di warung yg deket aja, bawa payung. Jadi gak usah naik motor," saran papa, karena saya berniat membelinya di warung yang lebih jauh. Saya tak menghiraukan papa. Saya bertekad kuat ke warung itu saja, naik motor.

Semenit kemudian, hujan berhenti, menyisakan gerimis lembut. Saya berangkat ke warung naik motor. Greng greng greng greng !

Sesampainya di warung, lumayan antri. Saya mendapat antrian ketiga. Tak lama kemudian, tolak angin sudah ada di tangan saya. Saya hendak pulang. Tapi, hujan deras tiba-tiba turun, berkali-kali lipat derasnya dari hujan sebelumnya. Membasahi semuanya, termasuk motor saya. Saya terduduk di bangku depan warung, menatap hujan, air yang mengalir dari jalan menuju halaman warung, dan motor saya yang terpaksa mandi sore.

"wah, hujan ini bakal lama," kata pemilik warung. Saya hanya tersenyum sambil menoleh ke arah langit. Langit sangat hitam, tak menyisakan warna biru sedikitpun. Lalu saya kembali menatap hujan, sekarang tampak menari-nari kian kemari bersama angin. Ke kanan, ke kiri, ke depan, ke belakang. Cantik sekali! Saya menjadi semakin cinta hujan. Inilah hujan bulan juni.

Satu dua motor melaju menembus hujan. Ah, iri saya melihat mereka. Saya ingin hujan-hujanan juga.

"mau pulang, dek? Saya pinjami payung, motornya ditinggal aja, nanti papanya suruh ambil," saran pemilik warung.

"gak, om. Nunggu reda aja. Orang rumah lagi pada sakit, takut ikut sakit," jawab saya. Tapi, sedetik kemudian saya berkata dalam hati jika saya ingin menembus hujan saja seperti orang tadi. Hujan-hujanan.

"nunggu reda?" tanya pemilik warung.

"emang bakal lama, ya?" tanya saya sok memastikan. Pemilik warung mengiyakan. Dalam hati saya tersenyum, dan berniat melakukan langkah selanjutnya. "kalo lama, mending pulang sekarang aja," saya sok bergumam, sambil menjulurkan tangan ke depan untuk merasakan hujan melalui telapak tangan saya. Ketika itu, dalam hati saya berkata, hujan, tolong temani saya, teruslah deras sampai lama.

"kan udah keliatan hujan, ngapain di tes pake tangan?" ledek pemilik warung. Saya tersenyum, lalu berlari kecil menuju motor yang diparkir di halaman warung. Menaiki motor, dan melaju menembus hujan dan angin. Wow! Waaaaaaaaaa teriakan saya tidak hanya di dalam hati, saya mengeluarkannya seperti muntahan yang sudah tak tertahankan. Saya membiarkan sensasi kehujanan hingga sampai di depan rumah.

Basah kuyub badan saya, semuanya. Saya turun dari motor, membuka jaket dan menggantungkannya di stang motor, lalu berlari kejalan sambil berteriak 'huuuuuaaa' berkali-kali. Melempar sandal ke teras, lalu berputar-putar di tengah jalan depan rumah. Berlarian kesana-kemari sambil memainkan genangan-genangan air. Merentangkan tangan, menengadahkan wajah untuk menikmati rintikan hujan melalui saraf-saraf pipi, lalu membuka mulut untuk menelan air hujan sebanyak mungkin (saya memilih air hujan yang tidak melewati daun/atap rumah, hanya asli dari langit).

"lily! Nanti kamu sakit!" teriak papa dari dalam rumah. Saya hanya nengir, tak berniat menghentikannya sama sekali.

Setelah itu, kembali berlari kesana-kemari sambil berteriak. Memainkan air yang ada di selokan kecil depan rumah, dimana, airnya penuh dan mengalir deras. Menyiduk airnya dengan kaki dan membuangnya ke atas. Memasukkan daun kering ke air selokan dan berlari mendahului daun menuju hilir. Huuuuuaaaah, senangnya sore ini! Senangnya sore ini! Teriak saya dalam hati.

Tamu tetangga sebelah keluar rumah mengintip saya, tapi tidak saya pedulikan. Anaknya yang kira-kira berusia 6 tahun menatap saya dengan wajah sangat iri, juga tak saya pedulikan. Akhirnya saya hujan-hujanan. Hujan bulan juni.

Sekarang, setelah mandi, dengan kepala berbalut handuk, saya merasakan sakit kepala. Cenat-cenut.

Langit, terima kasih untuk hujannya sore ini. Hujan bulan juni akhirnya membuat saya senang, membuat penat akan data-data tadi terlupakan. Saya senang sekali sore ini.

Langit, terima kasih untuk hujannya!
:D
Read More......