bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Jumat, 17 Februari 2012

SURAT CINTA : Kepada Bapak Ibu Yang terhormat

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Salam cinta dan keselamatan untuk kami dan kalian. Semoga surat ini terbaca, dan masih dengan rasa kasih dan sayang, saya ingin menyampaikan surat cinta kepada bapak ibu yang terhormat.

Datanglah suatu waktu ke pinggir sawah luas dimana para buruh tani sedang sibuk menanam pohon padi. Bapak ibu yang terhormat dengan pakaian dan sepatu rapi disertai beberapa kamera media publik, maka mereka akan serta merta berhenti dan datang menghampiri berharap bersalaman (menyentuh kulit tangan kalian), sambil membungkuk mengharu biru. Mungkin kalian merasa tinggi dan membanggakan diri karena menjadi yang terhormat. Tapi jika diselami, itu adalah bukti kasih dan sayang sebagian dari kami. Itulah ucapan terima kasih yang terucap, ‘terimakasih karena kalian berdiri atas nama kami dan berani menyuarakan keinginan kami. Kami mempercayai kalian untuk membuat kami ada di tempat kami berpijak ini‘

Itukah uang bapak saya? Beliau yang pernah bertahun-tahun berjalan kaki mengajar pulang pergi ke tempat yang jauh, senantiasa mendapat potongan gaji untuk membayar kewajibannya kepada negeri kami, melalui tangan-tangan kalian. Mungkin tidak besar potongan gajinya, tapi itulah kasihnya kepada negeri. Itukah uang ibu saya? Beliau juga pernah mendaki gunung untuk mengajar di sebuah sekolah dasar terpencil, juga mendapat potongan gaji untuk membayar kewajibannya. Itukah yang kalian lakukan terhadap kami?

Bapak ibu yang terhormat, jika tidak siap malu, jangan berbuat hal yang memalukan. Saya memang rakyat pasif, tapi saya bisa menjadi gemas melihat tingkah kalian. Saya menjadi mengerti mengapa pendemo kadang-kadang bersikap anarkis, karena sudah gemas tingkat akut. Saya menjadi ingin melempar sesuatu (seperti beberapa orang yang berani menghadang salah satu ibu terhormat setelah sidang) kepada kalian, tapi saya disini, melempar ke arah kalian, televisi saya akan menjadi rusak. Bagaimana saya menyampaikannya kepada bapak ibu yang terhormat sekalian? Apakah sebuah surat yang mencaci dengan penuh santun bisa diterima oleh kalian?

‎Mencaci pun saya masih merasa bapak ibu sama seperti saya, makhluk yang diciptakan Tuhan dan hidup di negara yang berketuhanan. Kalian tidak layak dicaci, sebagai manusia. Mungkin saya hanya akan mengirim surat berisi kalimat-kalimat tangis hingga di akhir kertas. Sekarang, saya hanya bisa berharap, untuk bapak ibu terhormat yang masih menjadi kebanggaan saya beberapa tahun lalu dan sekarang, saya berdoa agar bapak tidak termasuk ke dalamnya. Saya yakin diantara kalian ada yang ikut meringis dan menangis bersama kami, dalam doa-doa tulus atas nama kami.

Ketika Tuhan tidak dianggap ada, ketika sumpah dianggap hanya kata, ketika tidak ingat mati. Saya pun tidak bisa berdoa untuk keselamatan kalian. Berdoa diberikan azab kepada kalian pun saya yang merasa dirugikan tidak pantas. Tersenyum untuk kalian hanya melahirkan kesinisan, tawa saya lepas karena iba. Bapak ibu yang terhormat, kalian berdiri karena kepercayaan kami, bahkan saya sempat mempercayakan kepada kalian hanya karena sebuah foto dan motto yang pernah kalian sampaikan, saya percaya walau tidak pernah sekalipun mengobrol, atau bertatap muka.

Bapak ibu yang terhormat, saya sudah puas tertawa iba. Selanjutnya saya ingin menangis di pelukan kalian, tolong usapkan air mata saya, dengan kulit tangan kalian. Apakah akan terasa hangat? Atau dingin? Saya benar-benar menyayangi dan mengasihi kalian, tidak membutuhkan balas, saya hanya ingin mendapat senyuman tulus. Tapi jika itu juga tidak bisa, jangan dipaksakan tersenyum tulus, cukup ingat tangan-tangan kami yang masih bertumpu pada pundak bapak ibu yang terhormat.

Read More......