[Lagu Penuh Rindu Itu]
Aku memilih lagu itu
Tak tahu atas nama apa, atas nama siapa
Bukan untuk meresapi
Bukan untuk bicara tentang hati
Aku hanya memilih
Lagu penuh rindu itu
Ketika kudengar
Sesaklah ketika itu juga
Bukan karena meresapi
Bukan karena bicara tentang hati
Sungguh aku hanya mendengar
Lagu penuh rindu itu
Jangan ajak aku memikirkan
Aku bukan malu atau takut
Aku rasa tak perlu meyakini
Biarkan aku hanya memilih atau hanya mendengar
Lagu penuh rindu itu
Pringsewu, 22 Mei 2010
[Isyarat]
Ia mengisyaratkan
Dengan getar suara, bahasa dan aturan nafasnya
Mungkin hanya untuk aku
”Berhenti saja!”
Mungkin begitu jika ia mampu berkata
”Ah, beruntungnya aku
Betapa gemuruh hujan jika ia berkekuatan”
Seharusnya begitu
Tapi aku malah bimbang
Karena aku hanya tahu mendengar
Lalu hingga nanti ketika hanya isyarat
Aku bertanya sepanjang hidup
”Benarkah?”
Pringsewu, 22 Mei 2010
[Bawa Aku]
Mataku terlalu sempit
Terbiasa sempit bahkan dan pasrah
Melihat daun hijau lalu menguning, coklat, mati
Lalu berganti dengan daun lain
Entah sampai kapan
Tapi aku bosan
Bawa aku melihat hal lain
Selain daun
Bukankah ada laut dan bakau?
Bukankah ada langit dan pesawat tempur?
Bukankah ada bintang dan gelap?
Bukankah ada gunung dan kebun strawberry?
Bawa aku lari dari datar ini
Jangan hanya pinjamkan kacamatamu
Bawa aku beserta
Disisimu
Pringsewu, 22 Mei 2010
[Ini Dunia, Sayangku]
Ini dunia, sayangku
Ruang yang akan kau genggam dengan kasih
Ruang yang kelak kau warnai tidak hanya satu atau dua
Bijaklah di dalamnya
Ramahlah pada semua
Belajarlah sepuasnya
Jangan ragu, aku akan ada
Meski dunia mengancam
Dan awut-awutan
Jangan takut, aku akan ada
Ini dunia, sayangku
Aku masih bersamamu
Ayah juga
Menunggu teriakmu yang tidak seramai jalan kota kita
Menunggu tawamu yang tidak sekeras ambulan rumah ini
Pringsewu, 22 Mei 2010
[Perempuanku]
Wanginya mengalir bersama aliran darah
Wajahnya yang bersolek begitu melekat
Lihat senyumnya
Atau isyarat matanya
Oh, perempuanku
Berapapun aku mau
Mari ikut serta aku
Boleh kau manja sepuasnya denganku
Malam ini
Berpapun aku mau
Pringsewu, 23 Mei 2010
[Semut]
Ketika rintiknya mulai berjatuhan
Semut-semut berlarian seolah tanpa arah
Akan hancur rumah kita
Akan hancur rumah kita
Perempuan-perempuan berteriak selayaknya
Bukan tanpa arah
Sebenarnya dengan resah
Bersiap hendak menangisi
Akan kita ulangi sekali lagi rumah kita
Begitu jika hujan datang lagi
Esok pun iya
Lusa pun iya
Pringsewu, 25 Mei 2010
[Jangan Lagi Tanya Aku]
Kasihan kau, anakku
Jangan lagi tanya aku
Kita sama seperti ulat dalam kepompong itu
Diam di dalamnya
Menunggu waktu hingga siap
Jangan lagi tanya aku
Amati saja dirimu
Lalu gelap
Lalu kepompongmu
Aku pun belum tahu jawaban-jawaban itu
Pringsewu, 25 Mei 2010
[Bukankah Kau Tak Mampu]
Seharusnya berhenti
Diam disana
Bukankah kau tak mampu
Jangan
Jangan bergerak kearah itu
Tidak dengan seratus alasanmu
Kembali!
Segera, segera
Bukankah kau tak mampu
Pringsewu, 25 Mei 2010
[Mungil]
Yihaaa, menang!
Sorak mungil melengking
Lihat wajahnya polos
Bercerita bahwa ia memang bocah
Mungil anakku
Tak tahu ia bapaknya pulang
Tak tahu ia untuk apa sepupu-sepupunya datang
Untuk mengantar bapakmu, mungil
Lihat wajahnya bahagia
Ramai rumahnya, banyak kawan mungkin pikirnya
Yihaaaa, menang!
Sekali lagi teriaknya
Dengan mata berbinar
“Bapak, tak mau ikut main?”
Panggilnya kemudian
Mungil anakku
Tak tahu ia untuk apa bapaknya disana
Diam dalam kubur
Pringsewu, 25 Mei 2010
[Aku Tidak Dengar]
Aku tidak dengar
Ketika suatu sore kau berseru
Terlalu deru, berisik
Sebuah janjikah?
Atau olokan?
Atau hanya sekedar kata?
Aku tidak dengar
Ulangi sekali lagi
Atau berkali-kali nanti
Jika hanya kosong yang masuk inderaku
Pringsewu, 27 Mei 2010
[Bisik]
Malam, mampukah kau ada nanti?
Ketika akhirnya aku terdiam dalam batas
Dan pesan-pesan tak tersampaikan
Pilihlah dia temanimu
Lalu kisahkan sesakku
Tanpa satu pun tertinggal
Kau mendengar
Dan kau pun pintar berkisah
Malam, baru saja aku berbisik
Simpan hingga saat itu datang
Pringsewu, 27 Mei 2010
[Mati]
Aku tidak tahu mati
Tapi waktu bermimpi
Takut akan neraka yang seperti dijanjikan
Aku pun tidak tahu neraka
Tapi aku yakin ada untuk penjahat yang tidak sempat tobat
Hahaha
Aku bukan penjahat
Dan tidak harus tobat
Kenapa harus takut
Mati pun nanti
Waktu Tuhan rindu aku
Lalu aku diam dan merenung
Aku bukan penjahat, tapi bebal
Dan neraka juga untuk orang bebal rupanya
Aku belum tobat dan tidak tahu cara bertobat
Aku takut neraka
Selanjutnya aku takut mati
Pringsewu, 30 Mei 2010
[Katak dan Hujan]
Katak gila
Setiap hujan kalian protes
“Pung! Pung! Pung! Pung! Pung!”
Protes pada siapa?
Manusia? Karena pada akhirnya sawah akan habis tergantikan mall?
Tuhan? Karena dia membiarkan kalian terlunta?
Kenapa waktu hujan
Oh, mungkin kalian perhatikan manusia diam berselimut kala hujan
Dan mereka akan dengar
Oh, mungkin kalian dengar ketika hujan pintu langit terbuka
Dan Tuhan akan perhatikan
Katak gila
Hujan itu sebenarnya kebahagiaan
Lihat anak-anakku menari di dalamnya
Jangan kacaukan dengan protesmu
Lanjutkan nanti
Jika anak-anakku tidur malam
Akan aku bantu dalam doa
Akan kusampaikan pada Tuhanku
Esoknya aku akan ke bos-bos pencipta mall
Pringsewu, 30 Mei 2010
0 komentar:
Posting Komentar
silakan komentar disini... :)