bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Selasa, 15 Februari 2011

LOKER NOMOR 7



Raras membuka diary yang baru ia beli. Covernya putih dengan background hujan salju dan timbunan salju di atas sebatang pohon cemara di pinggir cover. daun cemara pun berwarna hitam, gambar covernya berefek hitam putih. Raras mulai membukanya, dan mengusap lembar pertama sambil tersenyum. Ia mengambil pena lucu yang ujung pangkalnya tertempel boneka salju kecil. Lalu menggoreskan tinta hitamnya ke lembar putih itu.

14 Agustus 2010, Sabtu

Lembar pertama ini, hanya ingin menyampaikan, saya membeli diary ini tadi sepulang sekolah. Saya menemukan diary ini di etalase toko samping sekolah. Kalau saja tidak berwarna putih, saya tak mungkin menghampirinya. Kalau saja tidak bergambar salju, saya tak mungkin membelinya. dengan bangga saya katakan: “Hai diary, kamu beruntung...!” :-)



Raras menutup diary itu, membereskan meja belajarnya, mematikan lampu belajar. Dengan cepat tiba-tiba pintu kamar terbuka.

“Sudah mau tidur?” Tanya seseorang yang baru saja menampakkan wajahnya di pintu kamar Raras.Wajahnya tirus dan putih bersih, rambutnya yang sebahu sengaja ia urai. Penjepit rambut berbentuk pita berwarna merah dan hitam membuatnya terlihat sangat cantik. Ditambah dress hitam bermotif bunga kecil berwarna merah, sangaaaaattt cantik.

“Kenapa?” Tanya Raras sambil bangkit dari kursi belajarnya dan berjalan menuju ranjang kecilnya.

“Happy birthday, honey,” kata perempuan itu sambil berjalan menghampiri Raras yang tengah bersiap menenggelamkan diri ke dalam selimut yang berbahan dasar dingin. Perempuan yang tampak lebih tua beberapa tahun dari Raras itu memamerkan sebuah kotak berbungkus kertas kado berwarna putih, dengan pita merah muda.

“Asik,” Raras tersenyum dengan bahagia.

“Buka, dong,” kata perempuan itu. Dengan cepat Raras merobek-robek bungkusnya, dan membuka kotak itu. Sebuah sandal kamar berbulu putih. Boneka salju menempel di bagian depan sandal. “Untuk Raras yang suka salju,” tambah perempuan itu sambil mengusap kepala Raras sekali.

“Raras kira hari ini tidak ada yang memberi kado,” gumam Raras.

“Masih belum punya teman geng?” Tanya perempuan itu. “Teman sebangku?”

“Tidak ada yang tahu hari ulang tahun Raras,” jawab Raras pelan.

“Belum. Masih sebulan sekolah, belum ada yang tahu,” kata perempuan itu sambil beranjak dari ranjang Raras. “Mau tidur bersama malam ini?”

“Kalau Kak Anggun mandi dulu sebelum tidur, Raras mau,” jawab Raras.

“Hei, kakak tidak pernah bau walau tidak mandi. Jangan jadikan itu alasan kalau tidak mau tidur bersama kakak,” gerutu perempuan itu. Sambil cekikikan Raras berlari keluar kamar menuju kamar yang berada tepat di sebelah kamarnya.

15 Agustus 2010, Minggu

Malam ini saya memakai sandal kamar baru pemberian sepupu tercinta, Anggun Akarsana. Sandalnya lucu, saya suka. Bye bye sandal lama, Warna pinkmu membuat saya tidak nyaman. =)) =)) =))



^^^
16 Agustus 2010, Senin
07:25

Dengan buru-buru Raras memasukkan tas beserta segala isinya ke dalam loker nomor 7 yang terletak di samping pintu kelasnya. Loker kayu yang sudah terlihat tua. Beberapa murid terakhir sudah berlari berbelok di ujung lorong sekolah, menuju lapangan olahraga yang ada di halaman belakang sekolah. Sementara Raras dengan kesal, masih sibuk mengunci lokernya. Selalu begini, ia harus bersusah payah mengunci loker. Sudah beberapa kali ia mengadu masalah ini kepada wali kelasnya.

“Raras, kenapa belum ke lapangan? Mau dihukum lagi?” Teriak Pak Haryanto, dari ujung lorong sambil menenteng buku absen.

“Tua dan menyebalkan. Loker dan Pak Haryanto,” gumam Raras setelah akhirnya pintu loker terkunci. Raras segera mengantongi kunci loker dan berlari menghampiri Pak Haryanto yang usianya sekitar 50 tahun.


***
-2003,
16 agustus 2003, sabtu pagi
08:08

Dengan susah payah akhirnya loker nomor 7 terbuka. Seperti sudah menjadi rutinitas, menggerutu dulu pada daun pintu loker. Loker nomor 7 yang berada di baris pertama, di paling atas, terasa sangat menyusahkan. Apalagi buat Laras yang berkaki pendek.

“Katanya baru, tapi sudah rusak. Loker tua menyebalkan,” gerutunya sambil membuka pintu loker hendak mengambil tas. Lama Laras menggeledah loker, tapi tak menemukan tasnya. Hanya tas ransel putih berbulu dan sepatu hitam pantofel. Laras kembali mengaduk-aduk isi loker tapi tetap tak menemukan tasnya. Dengan bingung, ia menutup pintu loker. Agak lama kemudian, ia kembali membukanya, tapi isinya masih tetap sama. Kemudian dengan pelan-pelan menutupnya kembali. Laras mundu beberapa langkah, untuk mengamati label nomor yang menempel di tiap-tiap pintu loker. Ia mendekat pada loker nomor 7 lalu membukanya lagi.

“Mau kabur lagi? Baru beberapa minggu sekolah sudah dua kali kamu bolos,” tiba-tiba seseorang mengagetkan Laras. Bu Ratna, guru muda yang katanya baru awal semester ini mengajar di sekolah. Guru matematika sekaligus wali kelas Laras. Bola matanya tampak dibundar-bundarkan tanda marah dari balik kacamata oval bertankai warna emas yang sudah pudar.

“Tadinya mau kabur, tapi ...”

“Masuk sekarang,” perintah Bu Ratna dengan cepat.

Dengan perlahan dan dengan perasaan bingung, Laras berjalan masuk ke dalam kelas. Sebelum tubuhnya benar-benar masuk, ia sempat melirik loker yang ada di samping pintu kelas.


***
09:42
“Loker saya, pak,” jawab Raras pelan.

“Loker lagi? Tidak ada alasan lain? Alasan itu tidak bisa diterima,” teriak Pak Haryanto kemudian. Raras kaget sebentar, kemudian menunduk lagi menatap sepatu olahraganya yang kini berlumur sedikit pasir basah. “Kalau telat lagi, jangan ikut pelajaran saya,” tambah Pak Haryanto sambil berbalik masuk ke pintu belakang gedung sekolah.



Raras berjalan pelan mengikuti Pak haryanto masuk ke dalam gedung sekolah, menyusuri lorong, dan berbelok ke lorong selanjutnya. Pak Haryanto tampak sudah berada di bawah tangga menuju lantai atas yang terletak beberapa meter dari kelas Raras, kemudian Pak Haryanto menghilang ketika mulai menaiki tangga. Mungkin hendak ke kelas selanjutnya. Sementara Raras menghampiri lokernya hendak mengambil pakaian sekolah yang tadi pagi sudah disiapkan di dalam tas. Beberapa anak perempuan tampak sudah berganti pakaian. Semerbak aroma parfum sangat menyengat, membuat kepala pusing. Sementara anak laki-laki seperti biasa, masih bergerombol di dalam kelas, bercanda masih dengan pakaian olahraga yang basah karena keringat.

“Keringat lebih baik dari parfum-parfum ini, bleh,” gerutu Raras sambil bersusah payah membuka lokernya. Karena kesal, ia memukul lokernya sendiri. Seharusnya tidak ia kunci tadi. Toh, hari ini ia tidak membawa barang berharga.

Lama berusaha, akhirnya kunci dapat dibuka. Dengan kasar Raras membuka loker. Tapi sungguh tak ia sangka, loker nomor 7 tak ada isinya. Ia mundur beberapa langkah untuk memastikan loker nomor 7 lah yang ia buka. Kosong.


***
-2003,
16 agustus 2003, sabtu malam
19:30

Laras mengamati tas ransel putih berbulu dan sepatu pantofel hitam yang ia letakkan di atas meja belajarnya. Masih tidak percaya dengan apa yang terjadi tadi pagi. Betapa kaget ia karena ketika kembali ke bangku ketika pelajaran matematika, tas selempang berwarna hijau menggantung di bangkunya. Lupa kalau tadi pagi ia terlambat ke kelas, sehingga tak sempat memasukkan tas ke dalam loker, lagi pula Bu Ratna juga tidak menegurnya untuk meletakkan tas di dalam loker.

“Bukan itu masalahnya,” gumam Laras kemudian. Yang menjadi masalah adalah tas ransel putih berbulu dan sepatu pantofel yang tiba-tiba ada di lokernya. Ketika ditanya ke seluruh murid di kelas, tak ada yang mengakuinya, melapor ke Bu Ratna, dan ditindaklanjuti oleh wakil kepala sekolah, masih tidak ada yang merasa kehilangan tas. Memang tidak ada barang berharga. Tapi, bukankah buku, seragam sekolah, dan dompet pensil itu berharga bagi pemiliknya?

“Tas baru? Wah, apa ini lagi tren? Sejak kapan kamu mengikuti tren?”

“Mama,” Laras hanya mampu menjawab itu.

“Bolos lagi, tidak, hari ini?” Tanya perempuan setengah baya itu.

“Mama,” lagi-lagi Laras hanya mampu menjawab itu.

“Ya sudah kalau begitu. Mama mau mandi, lalu tidur,” pamit perempuan itu setelah mengusap kepala Laras dengan lembut lalu berbalik menuju pintu kamar. “Seragamnya kenapa tidak di hanger?”

“Mama,” Laras kembali menjawab dengan kata itu.

“Anak manis. Good night,” pamitnya kemudian sambil menutup pintu kamar. “Oh, ya. I love you,” tiba-tiba pintu kamar terbuka lagi, perempuan setengah baya tadi tersenyum kecil pada Laras.

“Mama, Laras bukan anak kecil lagi!” Teriak Laras akhirnya. Bersamaan dengan itu, pintu kamar kembali tertutup dengan cepat. Laras kembali merenungi seperti malam-malam sebelumnya, merenungi sikap mama selama ini, melupakan barang-barang yang sedari tadi ada di hadapannya.

***
18 Agustus 2010, Rabu
07:05

Raras membuka loker nomor 31 dengan sangat mudah. Seharusnya sejak pengaduan pertama hal ini dilakukan. Sangat disayangkan, setelah kehilangan barang-barangnya, pihak sekolah baru mengindahkan laporan Raras tentang loker nomor 7. Raras harus menyalin kembali catatan matematika dan biologinya. Raras harus dengan cepat memesan seragam sekolah baru ke penjahit langganan keluarga, dan memakai sepatu olah raga. Rencananya, nanti sore Kak Anggun akan mengantarkannya membeli sepatu baru. Tapi, tas favourite-nya. Putih berbulu itu. Toko mana yang menjual tas seperti itu lagi?

“Loker 31 sekarang?” Tanya Fetra, salah satu teman yang lokernya berada di nomor urut 21, tepat di atas loker Raras.

“Oh, mau buka loker? sebentar, ya,” kata Raras sambil cepat-cepat meletakkan tas ke dalam loker nomor 31.

“Tas kamu benar-benar hilang?” Tanya Fetra yang dijawab dengan anggukan pelan Raras. “Mungkin dicuri anak kelas lain. Sudah cek kotak sampah? siapa tahu karena gugup, pencurinya membuangnya ke kotak sampah. Atau masih disembunyikan di suatu tempat? Misalnya di gudang? Atau taman-taman di belakang sekolah?”

“Mungkin saja,” jawab Raras.

“Kamu selalu pendiam begini?” Tanya Fetra sambil berjalan bersama masuk ke dalam kelas. Raras hanya menjawab ‘Uh’. “Apa artinya, ‘ya’?” Tanya Fetra lagi sambil tersenyum. Raras hanya membalas senyum Fetra. “Mari berteman,” kata Fetra tiba-tiba sembari menyodorkan tangan tanda ingin bersalaman.

“Apa itu?” Tanya Raras.

“Mari berteman, simbol,” jawabnya dengan ceria. “tidak mau berteman?” Fetra mulai ragu karena Raras tak juga menyambut tangan Fetra. Selanjutnya dengan cepat Fetra meraih tangan Raras dengan paksa lalu duduk di bangku paling depan. Raras dengan pelan berjalan di bangkunya, bangku paling belakang, pojok, di samping jendela.

^^^
21:00

Raras berbaring di atas sofa ruang tv dengan segera tanpa membuka tas-tas belanjaan. Hari ini terasa sangat lelah. Benar-benar berkeliling, mencari tas ransel warna putih yang bisa menggugah hati. Sepertinya Raras sudah terpengaruh oleh salah satu prinsip belanja Kak Anggun, belilah sesuai hati. Sekali hati menolak, tidak ada toleransi. Bleh. Sekarang Raras yang kesusahan. Kakinya pegal.

“Lelah?” tanya Kak Anggun yang baru masuk ke ruang tv. Raras hanya mengangguk lemah. “Lucunya adikku,” tambah Kak Anggun sambil mengangkat tas-tas belanjaan ke lantai atas, tepatnya ke kamar Raras.

“Biar Raras saja, kak,” teriak Raras dengan lemas. Tapi kak Anggun hanya menjawab ‘uh’ sambil terus berjalan. Seperti terisi tenaga baru, Raras berlari mengejar Kak Anggun dan menggandeng salah satu tangan Kak Anggun. Dalam perjalanan menuju kamar Raras, mereka berdua berdendang lagu cinta yang sedang hit di radio-radio.

^^^
19 agustus 2010, kamis
07.10

Ketika melewati loker nomor 7, Raras teringat kata-kata Fetra dua hari yang lalu. Berdiri di depan loker nomor 7, lalu menggeledah dompet pensil, mencari kunci loker nomor 7 yang masih ia simpan. Lupa diberikan kepada penjaga sekolah dan tidak ada guru yang meminta kunci loker itu. Ia dengan susah payah mencoba membuka loker itu. Seperti sebelumnya, membutuhkan tenaga ekstra dan waktu yang lama.

“Ke loker 7 lagi?” Tanya Fetra tiba-tiba sudah ada di belakang Raras. Raras hanya mampu menjawab ‘uh’ kareng kaget. Fetra tertawa lalu mengajak Raras untuk masuk ke kelas bersama-sama.

“Oke,” jawab Raras mengiyakan sambil membuka loker nomor 7. Tampak kertas terlipat di dalamnya, seperti seseorang yang tengah meninggalkan suatu pesan. Dengan penasaran Raras mengambil surat itu dan membacanya.




bersambung ......

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)