bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Rabu, 16 Februari 2011

MEMORIAM


Keesokan paginya aku datang lagi ke kantor Erwin. Masih seperti hari kemarin, pagi ini hanya menemukan officeboy yang sedang mengepel lantai disebuah ruangan yang biasa digunakan untuk menerima tamu, aku tahu karena beberapa kali datang kemari, Erwin menyuruhku duduk di sofa ruangan itu. Lama aku mengamati gerak gerik officeboy tersebut dari balik jendela, lalu terhenti dengan kedatangan dua motor dari pintu gerbang. Masih dengan posisi yang sama, aku berdiri di teras depan pintu sambil pura-pura tak melihat pengendara motor yang mulai mendekati pintu kantor.

”Kamu lagi? Sebenernya kamu mau apa dari Erwin?” Tanya salah satu pengendara tadi setelah bertatapan denganku. “Kamu mencari seorang bapak?” tanyanya pelan sambil tersenyum.

“Hah? bukan,”jawabku setelah mengerti pertanyaannya. “saya Cuma mau minta tolong Erwin,” jawabku kemudian.


“Oh, perempuan yang kemarin? Pantas saja seperti pernah lihat,” kata pengendara satu lagi tiba-tiba sambil tersenyum padaku. “Nunggu di dalem aja,” ajaknya sambil mempersilakan aku masuk ke dalam kantor.

“Erwin ditugasi ke pabrik timur kemarin sore. dia gak ke kantor hari ini,” kata pengendara yang menyapaku pertama kali tadi sambil melenggang santai masuk ke dalam kantor, tanpa menoleh ke arahku sedikitpun.
“Apa?” tanyaku sambil berteriak.

“Oh, mungkin memang benar. Memang ada sedikit masalah disana. Pabrik pembuatan minyak makan disana mau dibeli perusahaan besar,” jawab pengendara yang masih setia bersamaku itu.

“Oh, kalau begitu, terima kasih. Salam aja buat Erwin,” kataku sebelum akhirnya meninggalkan kantor Erwin.


(empat bulan yang lalu)

Galang duduk sila di lantai balkon apartemen. Rambutnya yang agak gondrong dan kaos oblongnya yang agak besar beberapa kali bergoyang bergelombang diterpa angin. Akhir-akhir ini angin berhembus kencang, apalagi jika berdiri di balkon lantai sebelas ini. Suara yang khas terdengar ketika Galang menyeruput kopi susu panasnya disana, membuat aku ingin mendengarnya lebih jelas lagi sambil mengamati bibirnya.

“Apa harus pulang hari ini?” Tanyaku sambil berdiri bersandar kusen pintu balkon. Aku melipat tanganku ke dada untuk menahan rasa dingin dari hembusan angin. Galang menoleh ke arahku, lalu mengangguk sambil menyeruput kopi susu sekali lagi.

“Udah bangun?” tanya Galang kemudian sambil memberi aba-aba dengan tangan agar aku mendekat kepadanya, tanpa menggeserkan duduk silanya.

“Sekarang udah siang,” jawabku. “Kecewa? Mau pulang tanpa pamit lagi?” Tanyaku agak ketus. Galang seperti menahan wajahnya untuk tidak tersenyum, lalu kembali menatap pemandangan kota yang terlihat begitu kecil itu.

“Sini lah,” katanya kemudian sambil bergerak mencondongkan tubuhnya ke arahku. Ia menyuruhku duduk di pangkuannya. “Sini,” perintahnya lagi. Dengan agak malas aku menjatuhkan tubuhku di pangkuannya dengan mendekap kedua tanganku sendiri lebih erat satu sama lain. Aku terdiam kemudian, karena aku merasakan hangat sekarang.


“Ayo naik gunung,” bisiknya pelan sambil menatap mataku. “Sekali-kali kita naik gunung,”

“Pengen. Tapi belum bisa sekarang,” jawabku pelan.

“Yah, ibu pembaca berita ini. Payah,” ejek Galang cepat sambil mengusap rambutku dengan kasar. Aku tersenyum saja mendengarnya. “Ibu pembaca berita,” panggilnya pelan sambil memelukku dan mengayunkan tubuhku pelan ke kanan dan ke kiri. Aku menjadi semakin hangat sekarang.

“Aku ibu orang hutan,” kataku. Tiba-tiba saja Galang tertawa setelah itu.

Semalam aku mengajaknya menikah dan berkata aku akan lebih baik menjadi ibu orang hutan, yang menemaninya bekerja bersama hutan setiap hari ketimbang membawakan berita pagi atau malam di sebuah stasiun televisi lokal yang masih berumur 4 tahun itu.

Lama kami terdiam dalam ritme ayunan syahdu ini sampai sebuah ponsel yang ada di atas meja makan mengharuskannya bangkit dan melepaskan pelukannya. Ia berjalan dengan santai meraih ponselnya, sementara aku duduk santai sambil menyeruput kopi susu Galang masih di teras balkon sambil mengamati pemandangan kota yang sungguh baru kusadari sangat tidak tertata. Tapi dengan tata letak yang sembarangan itu, ketika malam, lampu-lampunya seperti bintang-bintang bertaburan yang pindah dari langit ke permukaan bumi. Aku dan Galang menyukai sensasi ini. Walau ujung-ujungnya ia berkata kalau suasana ini seperti ia berada di puncak gunung

“Minggu depan Erwin ngajak naik gunung,” teriak Galang sambil berjalan menuju kamar mandi.

“Lagi? Udah dua minggu kalian naik gunung. Erwin gak ada kerjaan? Pabrik apa yang ngeliburin pegawainya setiap sabtu dan minggu?” Tanyaku mulai kesal.

“Pabrik bokapnya lah,” jawab Galang datar.

“Aku gak suka kamu naik gunung,” kataku agak berteriak sambil akhirnya bangkit dari dudukku tapi masih berdiri di teras balkon. “Aku gak suka kamu naik gunung. Setiap bayangin kamu di atas sana, aku selalu marah, marah karena kamu akan memeluk Rani disana, atau menggenggam tangannya selama perjalanan,”

Mendengar itu, Galang berhenti melangkah. Diam menunduk sejenak menatap lantai, lalu menggerakkan badan ke arahku dan menatap tajam mataku. Kami saling bertatapan lama pagi itu. Dan berakhir dengan hilangnya Galang ke dalam kamar mandi. Selanjutnya air keran mulai mengalir di dalamnya.


***

Dengan menyewa guide akhirnya aku naik gunung. Perjalanan pertama kalinya selama dua puluh tujuh tahun aku hidup. Penyesalan meradang di dada, mengingat perjalanan ini seharusnya bersama Galang, bukan tiga orang guide ini. Hayalan bergandengan tangan dengan Galang dalam mencapai puncak yang selama ini ia agung-agungkan, atau puncak lain, membuatku meneteskan airmata. Aku merindukan Galang.

Satu jam perjalanan sudah membuatku lelah. Sungguh tidak semudah apa yang aku pikirkan selama ini. Dan aku merasa marah sekarang, mengingat inilah hobi Galang dan Rani. Hingga mereka melakukan akad nikah di salah satu gunung dengan melakukan perjalanan menggunakan helikopter. Mungkin ini alasan aku tak punya keinginan kuat untuk menaiki gunung walau bersama Galang sekalipun. Tapi tidak kali ini. Aku sungguh punya tekat kuat untuk mencapai puncak gunung ini. Aku akan berusaha sekuat tenaga.

Tanganku di tarik tiba-tiba ketika hendak menggapai tangan salah satu guide untuk naik ke jalan yang agak lebih terjal. Aku hampir terpeleset ketika akhirnya aku bisa menyeimbangkan tubuhku. Sebentar kulihat wajah Erwin lalu tiba-tiba hilang dari pandangan. Kepalaku dengan cepat menoleh ke kiri, dan kubiarkan mata ini teru memandang tanah dan rumput basah yang ada di dekat kakiku. Baru saja Erwin menampar wajahku. Panas dan Pedih terasa pipi ini sekarang.

“Gak punya malu!” teriak Erwin kemudian. “Untuk apa kamu kesini? Hah?” teriakannya makin keras.

“Untuk apa kamu kesini? Aku bisa kesini tanpa bantuan kamu,” aku malas menjawab pertanyaannya.

“Gunung gak sudi kamu disini. Pulang!” Teriak Erwin sambil menyeret tanganku. Setelah tertatih beberapa langkah, ahirnya aku bisa menahan tubuhku sendiri untuk berhenti dari tarikan Erwin. Aku bersusah payah melepaskan tanganku dari cengkraman Erwin. Sempat kulihat tiga guide yang aku sewa hanya diam menyaksikan adegan ini.

“Kalo gunung gak sudi, biar dia sendiri yang buat aku mati disini,” kataku sambil membalikkan badan meninggalkan Erwin. Dengan cepat tanganku dicengkram lagi dan ditarik lagi untuk berbalik arah. Aku mengerahkan tenaga lebih kuat lagi untuk lepas dari cengraman yang sudah terasa sakit ini.

“Tahu? Ini jalur ilegal. Gunung ditutup karena cuaca buruk. Dan aku gak sudi kamu mati di gunung ini. Pulang!” Teriak Erwin lagi.

“Peduli apa kamu sama aku?” tanyaku.

“Aku gak peduli sama sekali sama kamu. Aku Cuma gak mau kamu mati disini. Cari tempat lain!”

“Terima kasih untuk dia jeleknya. Tapi aku gak bakal mati,” kataku mulai marah. Aku menjadi tidak suka dengan Erwin. Teringat selama seminggu ini aku menahan diri dihina olehnya, aku melihat raut kebenciannya padaku hampir setiap hari. Kalau saja aku tahu ada fasilitas guide, tidak perlu aku memintanya mengantarkan aku ke puncak gunung ini.

“Kamu bakal mati!” teriaknya.

“Kalau memang doa kamu dikabulin aku mati disini, aku mau. Aku mau mati di tempat Galang mati,” bantahku dan di akhir kata, pipi yang sama terkena tamparan lagi. Terasa lebih pedih dari sebelumnya. Marahku sudah tak bisa ditahan. Aku membalas untuk menamparnya, lalu memukulnya membabi buta hingga sangat lelah dan akhirnya aku diam setelah mendapat tamparan sekali lagi.

“Kemarin sekali lagi Rani nangis untuk Galang dan untuk kalian. Dia sengsara, pelacur!”

“Kamu pikir Cuma Rani yang nangis? Cuma dia yang sengsara?” kataku. “Kamu pulang sekarang!” perintahku.

“Gak punya malu!” teriak Erwin sambil berjalan cepat meninggalkan aku.


***

Melihat berita di tv dan koran membuatku marah. Berita itu di tv memang sekilas saja, karena yang menjadi topik utama pada berita pagi di televisi swasta nasional ini adalah tentang korupsi yang entah sampai kapan terselesaikan. Berita di koran lokal pun tidak memenuhi seperempat halamannya. Untung saja dia bukan artis ibukota sehingga tak perlu harus tersiksa dengan melihatnya di program berita selebriti.

Aku kesal pada pelacur yang tak punya malu itu. Dia mati di gunung tempat Galang mati empat bulan lalu. Kesal karena perempuan itu masih mendendangkan kisah cintanya tanpa rasa bersalah sedikitpun. Seharusnya sebagai sesama perempuan, dia tahu apa yang dirasakan Rani. Betapa hancurnya Rani ketika ia tahu perselingkuhan Galang tepat ketika Galang tengah dipersemayamkan di kediaman mereka. Perempuan itu muncul dengan tidak tahu malu dan menceritakannya tanpa dosa dan penyesalan.

Aku ingat Rani yang tangisnya menjadi-jadi ketika melihat perempuan itu tengah menangisi Galang di depan matanya, mengusap-usap kepalanya dengan penuh kasih sayang, bahkan berani mencium bibir Galang yang terkatup kaku itu. Dasar Pelacur!

“Galang kurang ajar! Aku sempat mengagumi kamu karena besarnya cinta kamu ke Rani dan memprediksi kalian bersama sampai tua. Kamu satu-satunya laki-laki yang gak mungkin begitu, bagiku begitu, brengsek!” Teriakku sambil meremas-remas koran yang tadi ada di hadapanku.

Untung saja ada kebaikan ketika itu. Galang mati dalam perjalanannya bersama Rani, dan beberapa teman di clun, terpeleset ketika hampir tiba di kaki gunung, dan mati dalam pelukan Rani di dalam ambulans menuju rumah sakit. Entah mengapa mengingat itu agak melegakan dan memudarkan rasa benci untuk Galang.

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)