bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Selasa, 27 September 2011

BUMI : "... Apa yang harus saya lakukan kepada Bumi? Mungkin saja naluri keibuan saya belum ia rasakan ..."


Sejujurnya saya bingung harus bersikap bagaimana kepada Bumi, anak berusia 13 tahun yang tengah memasuki usia remaja. Mungkin saja sifatnya yang begitu, atau memang status "remaja" yang membuat ia susah untuk saya turut masuk ke dunianya. Seperti siang ini, ketika makanan sudah tersaji siap disantap. Saya memanggil Bumi dengan selembut ibu (sebatas yang saya tahu). Bahkan pernah saya hampiri ia di dalam kamarnya dengan agak canggung yang saya usahakan menjadi biasa.


Kali ini ia tengah bermain game di laptop yang tersambung dengan stick game dan kacamata 3 dimensi. Saya masuk ke dalam kamar yang super rapi itu, karena setiap hari Mbok Rana tidak luput dalam membersihkan kamar Bumi dan ruangan lain di rumah ini.

"Makan dulu, yuk," ajak saya setelah berdiri di sampingnya sembari mengusap punggungnya sedikit. Bumi menoleh ke arah saya sebentar sekali lalu kembali menatap laptopnya.

"sebentar. tanggung," jawabnya cepat.

Saya tersenyum lalu berjalan kembali ke ruang makan, duduk di salah satu bangkunya, menunggu Bumi datang. Seperti biasa, ia datang dan duduk di bangku makan tempat ia biasa duduk. Dan selanjutnya, kami makan dalam diam.

"Saya buat kue. Mau coba?" tanya saya setelah prosesi makan usai pada Bumi yang beranjak dari duduknya. Ia menoleh ke arah saya, lalu mengangguk. Sementara ia duduk kembali di bangkunya, saya berjalan mengambil kue buatan saya dari dapur. Saya membuatnya berdasarkan resep dari internet dengan campuran bayam. Ini camilan sehat (menurut saya). Lalu Bumi memakan potongan kue yang saya suguhkan padanya. Setelah habis, ia kembali ke menaiki tangga menuju kamarnya. Saya duduk diam.

Sebulan sudah saya disini, masih terasa canggung dengan Bumi. Saya sangat bisa memahaminya.

***

Menurut Mas Purnama, sejak perceraian itu, Bumi berubah dan dalam hal ini kami berdua sepakat untuk bisa mengerti keadaan Bumi. Setelah ibunya menikah lagi 5 bulan setelah perceraian, Bumi makin banyak diam. Ketika kabar tentang kehamilan ibunya yang setelah dihitung-hitung usia kandungan lebih tua ketimbang usia pernikahan, Bumi makin berubah sikapnya. Dan saya sangat mengerti kehadiran saya sekarang membuatnya makin tidak nyaman.

Kami sama sekali tidak bisa tahu apa yang sedang Bumi pikirkan dan rasakan. Hingga suatu hari saya mendapatinya menangis di dalam selimut menjelang tidur. Untung saja saya iseng menengoknya ke kamar, berencana hendak memandangi bumi berharap bisa mengetahui sisi Bumi melalui pengamatan saya sendiri.

"bumi?" tanya saya setelah menyadari isak tangis itu milik Bumi. Terlihat badannya tersentak kaget lantaran ketika masuk, saya sengaja mengendap-endap dengan maksud agar ia tidak terbangun.

"bumi kenapa?" tanya saya sambil berjalan ke ranjangnya. Tapi saya segera menghentikan langkah saya cepat setelah menyadari belum mendapat ijin dari Bumi. Tak ada jawaban, dan isak tangis masih terdengar. Kulihat jemarinya melemah dalam menggenggam tepi selimut. Melihat itu, saya berani menghampirinya untuk lebih dekat lagi. Saya bertumpu pada dengkul, lalu perlahan membuka selimut.

"Bumi, what do u feel?" tanya saya setelah mata kami saling beradu. Bumi menutup matanya sambil mengeluarkan suara tangisnya. Saya agak lega akhirnya isak itu menjadi tangis berharap sesak dadanya berkurang.

***

Malam itu menjadi melekat di dalam benak saya. Pertama kalinya saya memeluk dengan lembut (menurut saya) Bumi dengan setulus-tulusnya hati saya. Saya akui, saya merasa belum tulus ketika saya memeluk Bumi di depan ayahnya, di depan keluarga besarnya, di depan para tamu undangan, atau di depan kamera foto dan video yang Mas Purnama buat.

Entah mengapa saya selalu memikirkan apa yang ia katakan, apa yang ia rasa, karena sepertinya begitulah rasa seharusnya yang ada ketika mengalami itu. Rasa yang muncul dari dalam hati seorang anak.

Pertama, ia merasa hidupnya berubah setelah perpisahan kedua orang tuanya. Gosip tentang perselingkuhan ayah atau ibunya kerap kali ia dengar dari orang-orang sekelilingnya (setidaknya saya tidak berselingkuh dan membuat saya berani mengusap kepalanya). Dan tentang kehadiran orang-orang baru dalam hidupnya. Ayah tirinya membuat ia tidak seluasa dulu untuk bercengkerama dengan ibunya, dan saya membuat ia merasa canggung dan terasing di rumahnya sendiri. Kami pindah di rumah baru setelah pernikahan saya dan Mas Purnama. Dan saya terenyuh mendengar penuturan yang ia kemas dengan bahasa lugunya disertai dengan tangis.

Apa yang harus saya lakukan kepada Bumi? Mungkin saja naluri keibuan saya belum ia rasakan, sehingga kami hingga saat ini masih bersikap canggung. Betapa tidak, saya hanya 6 tahun lebih tua dibanding Bumi.

Saya tidak tahu untuk apa dan tujuan apa saya menulis ini. Saya hanya bingung harus bersikap bagaimana agar menjadi semestinya. Karena arus yang saya ikuti masih menjadikan saya dan bumi sosok terasing satu sama lain.

Nb : saya sudah berusaha keras melayaninya selayak ibu (menurut saya).

Post in 30 Agustus 2011

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)