bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Selasa, 27 September 2011

Tiba-tiba "berat"


Saya tidak mengerti arti perjuangan, pemberontakan, keadilan/ ketidakadilan, rakyat, pencurian/ penuntutan hak, kewajiban, nasionalis, pergerakan, "politik tai kucing". Saya benar-benar tidak mengerti.

Saya yakin saya adalah manusia pasif yang bergemul dengan pikiran-pikiran saya sendiri. Tidak untuk dibagikan, bahkan tidak untuk dirasa oleh diri sendiri. Sebut saja pasif dan cenderung tidak peduli.

Tak apalah walau saya tak punya hak mengatakan ini. Mungkin akan terlalu kasar, tapi abaikan saja.


Disana arus kotor sudah melebar. Lumpur-lumpurnya mengotori negeri ini (negeri?). Yang menumpahkan, yang memungut, yang membersihkan, yang menonton pun ikut berlumpur. Yang tergerak berteriak-teriak di tepiannya pun juga kotor (mungkin).

Kemanakah ketulusan? Kemanakah keadilan? (keadilan?)

yang berbicara itu bicara : "satu-satunya cara adalah masuk ke dalam lumpur dan memasukkan serta manusia-manusia luhur seperti kita untuk bersedia bergabung".

Pengharapan kosong untuk saat ini. Bicara dan pemikirannya ajaib, gerakannya ajaib juga (mungkin) dan saya masih sebagai penonton dari sini.

Yang paling membuat saya terkadang marah dengan apa yang saya tonton adalah tentang dunia itu yang terinspirasi dari dunia-dunia fiksi yang diciptakan oleh manusia-manusia seberang yang memiliki kitab "skenario". Jujur sama dalam dunia fiksi action, saya lebih tertarik dengan grusak grusuk perebutan kekuasaan antar saudara di kerajaan-kerajaan ketimbang perebutan kekuasaan (kekuasaan?) antar penguasa yang tidak sedarah. Akankah lebih kejam?

Hah, sebut saja "bapak saya" yang sangat saya banggakan. Dada saya sesak jika membayangkan kegiatan pagi, siang, dan malamnya di hotel prodeo (prodeo?). Atau ekspresi-ekspresi dari topeng-topeng seni beserta musik gamelannya. Menonton itu, saya tertawa dengan dada yang sesak. Atau topeng yang diam atau berpura-pura diam yang sebelumnya sudah mengantongi kitab "skenario". Malang sekali penonton. Hebat sekali sang sutradara.

Layarnya pun terkadang berat sebelah, memihak, dan terlalu komersil. Mengikuti arus-arus lumpur yang paling deras mengalir. Padahal lumpur-lumpur itu mengalir ke segala arah, ibarat sudut bola, yang memiliki tak hingga sudutnya.

Kemanakah ketulusan? Kemanakah keadilan? (keadilan?)

dan saya masih sebagai penonton, diam, tak pernah berkomentar sedikitpun. Karena saya sangat tidak tertarik, dan hanya akan menyakitkan dada yang sudah sesak ini.

*setelah tersindir Soe Hok Gie

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)