bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Selasa, 27 September 2011

Elegi Embun Pagi

Ketika itu kokok ayam sudah terdengar dimana-mana. Tiga puluh menit yang lalu azan subuh berkumandang dimana seluruh aktivitas dihentikan. Ibu saya pun meringis kesakitan hanya dengan menyebut nama Tuhan dengan suara lirih, tak seperti detik-detik sebelumnya. Ketika itu sudah seutuhnya saya keluar dari rumah nyaman. 05:31 begitu bidan Siti berkata kepada ibu saya yang peluhnya menyebar di seluruh tubuh. Setelah bidan Siti membersihkan tubuh saya, ia kembali kepada ibu saya, menjahit pintu keluar hingga tujuh jahitan. Perawat muda itu berkata pada bidan Siti bahwa berat saya adalah 4,1 kg.


Detik-detik kemudian saya merasa lapar sekali dan mulai mencari-cari puting lembut ibu. Akhirnya saya mendapatkannya, tapi dengan kecewa karena susah sekali saya mendapatkannya. Akhirnya saya menangis karena tak setetespun yang berhasil saya dapat.

Tiba-tiba saja saya mendengar alunan merdu pelan di telinga saya. Mereka menyebutkan azan. Saya mendengar nama Tuhan saya ketika itu. Setelah itu iqomat di telinga saya yang lain. Tak lama kemudian sebuah kecupan hangat dan menggelikan di dahi saya. Kecupan pertama saya. Apakah itu kecupan ayah? Karena terasa geli ketika rambut-rambut tipis nan tajam menyentuh dahi saya. Oh, setelah itu begitu hangat terasa dan teranyun-ayun badan saya. Apakah beliau tengah menggendong saya?

"wah, Pak Purnama sudah fasih menggendong bayi. Sudah ada nama?" tanya bidan Siti tiba-tiba.

"baru saja dapat," jawab ayah saya.

"siapa?" tanya ibu kemudian.

"Elegi Embun Pagi," jawab ayah mantap.


"ah?" tanya ibu dengan nada terkejut.

"tadi diluar saya berjalan-jalan menghirup udara pagi. Saya merasa tegang. Saya menemukan setitik embun di sebuah daun di taman. Saya meletakkan embun itu ke telapak tangan saya. Dingin, tapi sejuk terasa. Lalu merasuk jauh ke dalam hati, hingga terasa nyaman sekali. Bayi ini pun begitu. Ketika saya mencium keningnya, saya tahu, ia yang akan membuat saya nyaman sepulang kerja nanti, atau ketika gundah nanti,"

"Elegi Embun Pagi," panggil ibu kemudian kepada saya.

Saya tersenyum kecil dan senang sekali mendengarnya. Saya punya nama yang indah sekali. Apakah ayah lihat senyum saya tadi? Terima kasih, ayah. Saya senang ayah memilih saya, saya senang ibu juga memilih saya untuk jadi anak mereka.

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)