bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Selasa, 29 November 2011

"Akhir"




Apa arti dua belas tahun? Selama apa atau secepat apa bagimu? Apakah angka dua belas tak berarti apa pun bagimu? Apakah disini hanya saya yang menganggap kita terlalu kuat dengan angka sebanyak itu? Sebenarnya saya ingin melontarkan semua pertanyaan itu padanya. Tapi ...

"Apa dia mencintaimu?" tanya saya setelah meneguk cappucino yang hampir dingin.


"tidak tahu, tapi saya mencintainya," jawabnya tenang seperti biasanya. Memang begitulah wataknya, tenang dan kadang tak bisa diterka sikapnya, seperti hari ini, saya tak bisa mengerti dia dengan ketenangannya. Tidakkah dia merasa telah menyakiti saya?

"Apa saya kenal dia?" tanya saya.

"saya rasa tidak. Dia wanita biasa," jawabnya.

"Apa dia lebih muda?"

"Satu tahun lebih muda darimu,"

"Apa dia baik?" tanya saya lagi.

"Dia sama baik denganmu," jawabnya masih tenang.

"Apa dia cantik?"

"Saya rasa, kamu lebih cantik," jawabnya masih tenang sambil menatap saya setelah sekian lama menunduk.

"Baiklah, saya pergi sekarang," pamit saya pada akhirnya sambil bangkit dari kursi kafe.

"Maaf, Ray," katanya cepat sebelum saya meninggalkannya.

Saya mencium wangi tubuh saya didirinya. Saya sudah memahami kebiasaan dan sifatnya. Saya sudah mengenal seluruh keluarga besarnya. Dan sekarang, setelah saya sangat suka cita diminta menemaninya makan, bercerita banyak tentang sepanjang hari ini, menghabiskan semua makan malam hingga sajian dessert, di akhir ia menunjukkan pada saya bahwa yang ia rasa benar-benar cinta. Saya rasa memang cinta jika wanita itu tidak lebih cantik, tidak jauh lebih muda, dan biasa saja sanggup ia cintai seperti itu. Apakah saya harus marah dan menamparnya?

Saya kembali ke meja itu, dia yang masih terduduk disana, bangkit dari kursinya sambil menunggu saya menghampirinya. Saat itu, kami saling bertatapan. Sesampainya, saya langsung menjatuhkan kepala saya di dadanya, menangis, tanpa memeluknya.

"Apa kamu akan meninggalkan saya?" Tanya saya dalam isak.

"Maafkan saya, Ray," jawabnya.

Saya mengangkat kepala saya dari dadanya, lalu berbalik kembali meninggalkannya. Untuk apa kami bertunangan tiga bulan lalu sedangkan ia ingin menikahi wanita yang baru ia pacari selama setahun? Apakah saya harus membuang cincin ini ke dalam kotak sampah atau ke jalan seperti di serial drama? Atau tetap memakainya untuk saya tangisi ketika malam? Sungguh banyak sekali pertanyaan dalam benak saya ini.

***

Ketika tengah menangisinya di dalam selimut, ponsel berdering. Saya berharap itu dari dia dan mengatakan 'April Mop' dibulan November. Bukan panggilan dari dia.

"Kenapa tante?" tanya saya tenang agar Tante Sinta tidak tahu bahwa saya tengah menangis.

"Kamu baik-baik saja, sayang?" Tanya Tante Sinta.

"Apa tante tahu?" Tanya saya agak kaget.

"Hhmm Irvan baru saja mengatakannya pada tente,"

"Apa tante pernah bertemu dengan wanita itu?"

"Belum. Tapi sebenarnya mereka sudah putus 3 bulan lalu,"

"Tante sudah tahu sejak lama?"

"Tapi tante mendukung kamu seutuhnya, keinginannya tidak akan mendapat restu dari siapapun,"

"Dia juga mengatakan ingin menikahi wanita itu?"

"Irvan sudah mengatakan itu padamu?" tanya tante Sinta dengan nada sangat kaget.

Irvan benar-benar mencintai wanita itu, hingga ia berani mengatakan semua pada mamanya. Saya rasa sekarang saya benar-benar tidak memiliki harapan apapun. Saya ingin bangun dari mimpi secepatnya jika ini mimpi.

***

Saya akhirnya mengetahui bagaimana wanita itu. Kurus, pucat, dan tidak memiliki rambut. Betapa merananya wanita itu, duduk diam di atas ranjang besi rumah sakit khusus kanker.

"Kenapa kamu disini?" Tanya Irvan tiba-tiba setelah melihat saya berdiri di luar pintu. Ia tampak sudah kembali sambil membawa segelas cangkir air hangat dan beberapa buah-buahan.

"Saya membuntuti kamu, sama seperti wanita lain yang tersakiti," jawab saya.

"Kamu mau masuk?" Tanya Irvan tenang.

"Tidak," jawab saya. "Saya pulang sekarang," pamit saya kemudian sambil berjalan meninggalkannya.

Apakah karena sakitnya sehingga ia ingin meninggalkan saya dan menikahinya? Rupanya Irvan lebih memilih kehidupan seperti kisah drama sedih. Ia akan merawat kekasihnya dengan penuh cinta sepanjang hari dan menangisinya ketika kekasihnya sudah tertidur. Menemaninya kemoterapi dan mengelap bibirnya ketika kekasihnya muntah. Ia lebih memilih menangis meronta pada Tuhan menjelang akhir kematian kekasihnya. Apakah saya harus berhenti sekarang? Atau menunggu kematian wanita itu dan memintanya kembali kepada saya?

Entah mengapa saya memutuskan kembali kembali ke ruangan itu. Disana, Irvan duduk di atas ranjang tengah mengupas buah jeruk, sementara wanita itu bersandar lemas di bahunya menunggu Irvan menyuapinya. Kisah drama apa ini? Mengesalkan sekali.

"Apakah kamu akan mati? Berapa bulan lagi?" tanya saya setelah mereka berdua menyadari keberadaan saya di ruangan itu.

"Apa yang kamu lakukan?" Tanya Irvan masih terduduk disana.

"Saya ingin bertanya padanya," jawab saya cepat.

"Untuk apa kamu bertanya?" Tanya Irvan.

"Saya ingin tahu. Apakah dia akan mati?"

"Apakah kamu Raya?" Tanya wanita itu.

"Berapa bulan lagi kamu mati?" Tanya saya lagi.

Selanjutnya Irvan menarik saya keluar dari ruangan itu, terus berjalan keluar dari rumah sakit.

"Hentikan, Ray," pinta Irvan kemudian setelah kami saling berhadapan.

"Apa saya juga boleh meminta kamu menghentikan keputusan kamu?"

"Kamu menjadi seperti anak kecil jika begini. Kamu tidak seperti biasanya,"

"Apa saya yang salah menjadi seperti ini? Apakah jika saya seperti biasanya kamu tetap akan bersama saya?"

"Pulanglah. Kamu tampak lelah. Apakah kamu menangis setiap hari dan tidak tidur?"

"Apakah kamu harus memperhatikan saya seperti ini? Jangan peduli tentang wajah lelah saya, tentang saya menangis setiap hari dan tidak tidur,"

"Apakah kita harus bertengkar seperti ini? Saya ingin kita bersikap biasa saja,"

"Apakah saya harus membawakan buah untuknya dan menyemangatinya setiap hari? Atau memeluknya sambil menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut?"

"Pulanglah. Kamu terlalu lelah. Kamu harus istirahat,"

"Jangan pedulikan saya," kata saya cepat sambil mulai berjalan meninggalkannya, meninggalkan rumah sakit.

Apakah laki-laki yang telah menyakiti saya masih bisa memperhatikan saya lalu saya menjadi tidak berharap ia kembali pada saya?

***

Irvan menangisi wanita yang tertidur di atas ranjang. Dokter dan beberapa perawat tampak sedang mengelili ranjangnya. Jam 19:00 dokter menyebutkan waktu kematiannya. Berkali-kali ia menciumi tangan wanita itu dan membasahinya dengan air mata.

Saya yang sejak tadi berdiri di luar pintu, akhirnya memberanikan diri menghampirinya perlahan. Saya mengusap-usap lembut punggungnya.

"Apakah kita bisa kembali?" Tanya saya kemudian.

"Tidak. Saya ingin bersamanya walau ia melarang saya dengan keras," jawab Irvan sambil menangis.

Inilah akhirnya setelah pengharapan panjang saya. Jika ia mati bunuh diri, saya juga akan mati bunuh diri.

Sedetik kemudian, musik ending terdengar. Wanita itu bangkit dari tidurnya, bergandengan berjalan ke depan panggung berdiri berjajar bersama saya dan pemain lainnya. Hormat tanda terima kasih kami lontarkan serempak kepada seluruh penonton di gedung pertunjukan ini sambil tersenyum sumringah sekali.

Teater drama cinta dengan judul 'akhir' akhirnya selesai kami mainkan.

:D :D :D

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)