bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Selasa, 29 November 2011

--- CATATAN HARIAN ---



Setelah mengenang dan merasakan kembali kejadian-kejadian indah yang tak terlupakan ketika kecil di tiap ruangannya, selanjutnya saya membuka pintu teras samping, tempat kami berempat bercengkerama dan bercanda ria bersama menyambut malam. Berdiri bersandar kusen pintu, saya menatap Langit sore di barat sana yang tampak seperti lukisan ayah yang pernah beliau buat ketika kami masih tinggal disini.

Saya ingat lukisan itu tanpa sepengetahuan ayah, saya contek ketika ada tugas melukis pada pelajaran kesenian, dan pihak sekolah mengikutkan lukisan saya ke lomba tingkat propinsi. Siapa sangka lukisan itu mendapat juara harapan I. Ketika mengetahui itu, saya merasa itu bukan hak saya. Tapi ayah berkata bahwa yang menjadi juara itu bukan idenya, tapi cara saya melukis. Begitulah ayah dengan bijak mengangkat saya dari perasaan tidak mampu.


Di teras ini juga masih terasa hangat sentuhan ibu ketika dengan tekun menyuapi saya di pagi, siang, dan sore selama hampir satu bulani ketika kedua tangan saya patah akibat jatuh dari sepeda. Ketika itu, karena terasa sakit, saya mencari-cari alasan untuk sedikit lebih diperhatikan dan dituruti untuk tidak makan di meja makan seperti biasanya. Saya benar-benar suka dengan teras ini. Teras samping yang menghadap langsung ke lukisan milik Sang Pencipta. Beberapa bukit menjulang disana, sebuah gunung dari kejauhan yang terus diselimuti embun, dan pohon-pohon pinus yang seolah bertumpukan jika dilihat dari teras ini. Rumah kami berada di atas sebuah bukit dekat pegunungan.

"Wah, udara disini benar-benar sejuk," gumam saya sambil meregangkan otot-otot lengan dengan mengangkatnya tinggi-tinggi ke atas.

Tak lama ketika saya tengah menyimpan suasana damai ini dalam diam sambil menutup mata, terdengar suara derak pintu dari pintu utama. Suara seok-seok sandal pun muncul dengan ritme kehati-hatian. Saya dengan cepat menoleh ke belakang, dimana suara itu berasal.

***

Di dalam bus dalam perjalanan pulang sambil memandang kelip lampu2 rumah di temaram malam, saya berpikir ulang dengan apa yang terjadi di rumah itu. Rumah tempat keluarga kami dulu. Sejak tiga tahun yang lalu, saya memiliki kebiasaan baru, yaitu mengunjungi rumah ketika saya kecil dan mengingat-ingat hal-hal manis yang melegakan ketika penat, amarah, atau gundah sedang mampir di pikiran saya. Sore tadi, ketika saya sedang bernostalgia sendiri dengan kenangan-kenangan masa kecil, seorang laki-laki yang terlihat lebih muda dari saya muncul tiba-tiba.

"siapa ya?" tanya laki-laki itu cepat setalah terkejut melihat sosok saya.

"anda siapa?" tanya saya juga ikutan terkejut.

"bagaimana anda bisa masuk ke rumah ini?" tanyanya lagi.

"saya dulu pernah tinggal disini, jadi masih punya kunci pintu dapur. Lagipula, yang saya tahu, rumah ini sudah tidak lagi ditinggali oleh keluarga mana pun," jawab saya.

"oh ya? pemilik sebelumnya belum mengganti kunci pintu dapur rupanya," gumamnya kemudian dengan suara yang masih bisa saya dengar. "apa yang anda lakukan disini?"

"saya hanya merindukan rumah ini," jawab saya.

"begitu? saya juga merindukan rumah ini," katanya sembari berjalan mendekati saya. "berarti anda adalah penghuni setelah keluarga saya pindah ke kota. Setahu saya, kami hanya menyewakan kepada dua keluarga selama ini. Keluarga terakhir ini, dan artinya keluarga lainnya adalah anda,"

"hah? saya tinggal di rumah ini sejak saya lahir, sampai saya berumur sepuluh tahun,lalu pindah ke kota," kata saya setelah berhasil mencerna apa yang baru saja ia katakan. Mendengar kata-kata saya, laki-laki yang usianya terlihat lebih muda dari saya itu terkejut sama seperti saya.

***

Keesokan siangnya, sepulang dari galery, saya kembali ke rumah kecil saya yang berjarak satu jam perjalanan menggunakan bus. Bukan karena saya tengah penat, marah, ataupun gundah. Tapi untuk melihat lagi rumah yang kemarin saya kunjungi. Apakah saya salah masuk rumah atau laki-laki waktu itu yang salah masuk rumah. Sore itu, ia benar-benar bersikeras bahwa keluarganya lah pemilik rumah itu, ayah dan ibunya yang mendesain rumah itu, bahkan membesarkannya selama selama delapan tahun di rumah itu.

Saya berhenti berjalan di jalan yang menanjak sambil memperhatikan rumah itu dan pemandangan sekelilingnya. Rumah saya adalah satu-satunya rumah yang ada di bukit ini. Menurut cerita ayah saya, ia sengaja membeli seluruh bukit lalu membangun sebuah rumah impian. Sehingga rumah-rumah tetangga berada di pinggir bukit atau di sekitarnya. Jadi, tidak mungkin saya salah rumah. Rumah itu benar-benar rumah saya.

Sesampainya di atas, saya berjalan ke belakang untuk kembali masuk rumah melalui pintu dapur. Dan saya dikejutkan dengan penyambutan tak terduga. laki-laki waktu itu berdiri di dekat dapur menatap saya, seolah ia tahu bahwa saya akan datang. Ia berdiri disana sambil tersenyum kecut lalu meletakkan gelas yang ia pegang. Ia berjalan perlahan mendekati saya.

"anda datang lagi?" tanyanya.

"saya hanya penasaran," jawab saya. "Anda tahu? ini memang rumah saya. Rumah yang dirancang sendiri oleh ayah dan ibu saya. Anda tahu? mereka berdua seorang arsitek terkenal,"

"saya tidak tahu apa yang tejadi, tapi rumah ini juga rumah saya dan kedua orang tua saya yang merancang rumah ini," katanya.

"apa anda sedang mencari masalah dengan saya?" tanya saya kemudian dengan nada suara agak meninggi.

***

Dia yang lebih muda dari saya ternyata lebih dewasa. Baru saja ia membuatkan secangkir teh untuk saya dan sebelumnya mempersilakan saya duduk untuk bersama mencari kebenaran dari cerita kami yang jika disatukan menjadi sangat mustahil, ketimbang sikap saya tadi yang mulai terbawa emosi. Setelah mempersilakan saya meneguknya diiringi dengan kalimat --agar anda tenang dahulu--, dia duduk bersandar di kursi makan tempat kami akan (mungkin) beradu fakta. Dengan santai ia melipat kedua tangannya. Memang sore selalu terasa dingin jika pintu teras dibuka.

Entah mengapa saya tiba-tiba teringat sebuah iklan produk teh, yang menyarankan minum tek buatan mereka dahulu baru bicara. lalu saya tersenyum kecil tiba-tiba dan terhenti seketika ketika menyadari laki-laki itu terheran-heran menatap saya dari bangkunya.

"Sebelumnya, kenapa anda ada di rumah ini?" Tanya saya pada laki-laki itu.

"Simpel. Saya ingin tinggal di rumah ini lagi," jawabnya.

"Kamu membeli rumah ini? kapan?" tanya saya lagi.

"Menurut ingatan saya, ini rumah saya. Anda ingat waktu itu saya cerita bahwa kami hanya menyewakan rumah ini? begitulah," jawabnya lagi masih dengan santai dan datar. "Ibu saya meninggal seminggu yang lalu. Ayah saya meninggal 4 tahun yang lalu. Kakak saya meninggal16 tahun yang lalu ketika umurnya 14 tahun. Tinggal saya pewaris rumah ini. Menurut ingatan saya, ini menjadi rumah saya," lanjutnya lagi setelah melihat sikap saya yang terdiam tampak sedang berpikir. Saya memang sedang memikirkan semua cerita-ceritanya sore yang lalu.

"Saya benar-benar tidak mengerti dengan apa yang terjadi," kata saya.

"Saya juga begitu," sahutnya cepat lalu meneguk tehnya. "Sebaiknya tutup saja pintu itu. Semakin dingin sekarang,"

"Jangan. Saya sangat suka begitu, dengan pintu yang terbuka. Lebih banyak kenangan disana. Bahkan kenangan di ruang tamu dan kamar hanya satu saja yang dapat saya ingat,"

"misalnya?" tanyanya dengan wajah mulai penasaran.

"Saya hanya ingat suatu malam saya, ibu, ayah, dan adik saya tidur bersama di kamar ayah dan ibu. Kami mengobrol dan bercerita banyak sekali sampai larut malam. Malam itu, ibu dengan lembutnya memeluk saya hingga saya tertidur. Saya ingat itu,"

"Oh ya?"

"Ketika ada tamu kawan lama ayah, saya yang sedang bermain dengan adik saya di teras, tiba-tiba dipanggil ayah untuk ke ruang tamu dan menyapa tamu itu. Saya ingat ketika itu ayah menceritakan kepada tamu itu betapa bangganya ayah terhadap saya yang memiliki bakat melukis seperti ayah. Ayah bilang, saya akan menjadi pelukis terkenal. Dan anda tidak tahu? kalau saya memiliki galery lukisan terkenal di kota, walau bukan saya yang melukis semua koleksinya seperti yang ayah inginkan,"

"Lalu apa lagi?" tanyanya lagi menjadi terlihat antusias.

Karena saya sedang mencoba meyakinkan bahwa saya pemilik rumah ini, maka saya kembali menceritakan kisah-kisah lain yang saya punya tentang rumah ini. Tentang saya dan ayah yang menanam pohon mangga di halaman samping rumah sambil menyuruhnya melihat sendiri pohon mangga itu yang hingga saat ini masih bertengger disana. Saya juga menceritakan tentang sebuah kotak rahasia antara adik saya dengan saya yang kami timbun di tanah bawah teras.

"Apa anda tahu isi kotak itu?" Tanyanya.

"Tentu saja saya tahu. Dua buah ukiran kecil yang terbuat dari kayu, berbentuk binatang," jawab saya. "Saya sudah mengambilnya dan meletakkannya di atas meja belajar di kamar saya,"

"Binatang apa itu?" tanyanya lagi.

"Apa maksud dari pertanyaan-pertanyaan anda?" Saya balik bertanya karena mulai curiga dengan wajahnya yang tampak lebih antusias dengan kenangan-kenangan masa kecil saya,"

"Jangan salah sangka. Saya hanya sekedar ingin tahu. Ingin memastikan bahwa saya benar atau salah,"

"binatang apa? Ukirannya belum selesai, jadi tidak tahu binatang apa yang terukir. Sepertinya sepasang kuda,"

"Saya sekarang mengerti," katanya tiba-tiba.

"mengerti tentang apa?" Tanya saya.

"ukiran itu memang kuda, tapi bukan keduanya. Karena ukiran satunya adalah seekor banteng," jawabnya sambil duduk tegak dan meletakkan kedua tangannya di atas dengkulnya. "Anda tahu bagaimana perasaan sang adik ketika melihat kakaknya dipeluk oleh ibunya sepanjang malam? Anda tahu bagaimana perasaan sang adik ketika ayahnya membanggakan anaknya di depan kawannya dan menanam pohon beringin bersama seolah sang ayah hanya punya seorang anak? Apakah anda tahu sebelum dipanggil sang ayah ke ruang tamu, mereka sedang bermain apa?"

"Apa maksud pertanyaan anda?" tanya saya.

"Bisakah anda jawab?" dia kembali bertanya.

Saya terdiam sambil menatap matanya. Apakah laki-laki yang ada di hadapan saya adalah adik saya yang selama ini saya cari? Akhirnya saya menemukannya setelah enam tahun pencarian. "Apakah anda adik saya? Danurwenda? Apa anda Danurwenda? Adik saya?”

“Saya Danurwenda,” jawabnya singkat.

***

Saya berlari menuju pohon mangga yang ada di halaman samping rumah. Menurut Danurwenda, di batangnya terukir nama ayah dan dan nama kakaknya sebagai kenang-kenangan tentang pohon mangga itu. Pohon itu memang saya tanam seminggu sebelum kepindahan kami ke kota. Saya melihat ukiran di batang itu, tertulis nama ayah dan sebuah nama yang tidak saya kenal –giraskaia--. Saya mengusap-usap tulisan itu sembari berharap saya salah lihat, atau ukiran itu palsu. Atau nama itu berubah menjadi nama saya, --Raras--.

Saya menoleh ke arah Danurwenda yang tengah berjalan menghampiri saya di bawah pohon mangga. Dia menceritakan tentang kisah dua ukiran kecil berbentuk binatang itu. Ukiran kuda adalah ukiran yang ia buat, dan banteng adalah ukiran yang kakaknya buat. Menurut Danurwenda, sang kakak sangat menyukai binatang banteng.

“ini tidak masuk akal,” kata saya cepat.

“Tapi bisa jadi masuk di akal mengingat kakak laki-laki saya itu memiliki catatan harian di sebuah buku,”

“anda sedang mempermainkan saya!” Teriak saya kemudian.

“Sebelum kepindahan kami, kakak saya meninggalkannya di gudang bersama barang-barang pribadi kami yang tidak bisa kami bawa. Kebetulan catatan harian itu sudah penuh, jadi ia mencatat kegiatannya di sebuah buku baru setelah kami pindah rumah,”

Saya memang masih ingat tentang catatan harian saya itu. Saya masih menyimpannya di kamar saya di kota, tersimpan rapi di laci saya. Tapi catatan harian itu milik saya. Sebenarnya apa yang terjadi? Apakah saya sedang bermimpi? Atau ini hanya rekayasa dari laki-laki yang sebenarnya tidak saya kenal itu?

“Siapa anda sebenarnya?” Tanya saya padanya.

“Saya adalah Danurwenda, anak dari sepasang arsitek terkenal dan adik dari giraskaia yang meninggal 4 tahun setelah pengobatannya karena kanker mata. Dokter sudah mengambil mata kirinya. Saya adalah bagian dari keluarga itu, dimana alasan kami pindah ke kota karena kami sudah mengetahui tentang kankernya dan melakukan perawatan untuk kesembuhannya. empat tahun setelah itu, Tuhan menginginkan kakak saya berada disisiNya,”

Dada saya menjadi sesak, sulit sekali oksigen-oksigen itu masuk ke dalam saluran pernafasan saya. Kerongkongan saya juga menjadi sangat kering. Saya menjadi tidak bisa hanya sekedar menelan ludah. Keringat saya satu persatu muncul di seluruh bagian tubuh.

“Anda baik-baik saja?” tanya Danurwenda sambil mencoba memapah saya yang terlemas.

“Obat di tas. Tolong ambilkan,” pinta saya dengan suara lemah. Setelah mendudukkan saya di atas rumput, ia berlari masuk ke dalam rumah, dan keluar dengan cepat sambil membawa botol yang berisi pil-pil saya dan segelas air. Dengan brutal saya mengambil obat itu dan meneguknya. Setelah beberapa lama kami dalam diam (saya mengatur nafas saya dan tubuh saya sementara laki-laki yang mengaku Danurwenda itu menatap saya dengan cemas.

“Anda baik-baik saja?” Tanyanya lagi. Saya mengangguk.

“Anda tahu? Saya tidak bisa bermain-main dengan anda. Sebaiknya anda pergi dari sini sekarang,” kata saya kemudian sambil bangkit lalu masuk ke dalam rumah melalui pintu teras. Setelah saya masuk ke dalamnya, saya segera menutup pintu yang terbuat dari kaca sebelum laki-laki itu naik ke atas teras. Dia tampak berjalan santai mendekati pintu teras, lalu berdiri di hadapan saya, di balik pintu. Dia sama sekali tak berusaha membuka pintu.

“Di atas meja, ada majalah arsitektur karya sepasang suami istri terkenal yang berprofesi sebagai arsitek,” katanya tiba-tiba sambil menatap tajam mata saya. Saya berbalik badan, menuju meja dimana ada sebuah majalah di sana. Saya mengambil majalah itu dan mengamatinya. Di belakang, terdapat sebuah foto sepasang suami istri dengan wajah yang tidak saya kenal. Mereka bukan ayah dan ibu saya.

Selanjutnya saya berlari keluar rumah, pulang ke kota, hendak bertanya tentang apa yang terjadi kepada ibu saya di rumah.

***

“Mengapa ibu tidak merancang rumah lagi?” Tanya saya setibanya di rumah. Ibu saya yang sedang menonton drama di televisi menoleh ke arah saya yang masih terengah-engah setelah berlari dari halte menuju apartemen tempat kami dan ibu tinggal setelah kepindahan kami ke kota.

“Mengapa kamu kembali bertanya tentang hal itu?” Ibu malah balik bertanya.

“Apa ayah benar seorang arsitek? Dimana adik saya? Apa saya benar-benar punya adik? Mengapa ibu tidak pernah mencarinya?”

“Apa yang sudah terjadi?” Ibu kembali balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan saya.

“Jawab saja, bu!” Teriak saya sambil menangis kemudian.

“Apa kamu sudah ingat sesuatu?”

“Ingat apa, bu? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?” Tanya saya sambil berjalan dan bersimpuh di hadapan ibu. Kepala saya sandarkan di pangkuan ibu, masih sambil menangis.

Sambil mengusap-usap kepala saya, ibu bercerita tentang hal yang tidak pernah saya tahu sebelumnya. Menurutnya, semua berawal dari sebuah kecelakaan yang menimpa saya dan ayah saya. Kecelakaan itu membuat ayah saya meninggal dan saya seperti hilang ingatan entah bagaimana sebabnya. Menurutnya, dokter pun tidak bisa menjelaskan fenomena yang terjadi pada saya. Tapi menurut seorang psikolog, otak saya seperti menghapus permanen tentang kehidupan saya yang sebenarnya dan menciptakan sendiri kenangan-kenangan lain.

Setelah mengetahui kisah hidup saya, psikolog mengatakan bahwa kehidupan kelam saya yang memaksa otak saya menghapusnya dan menciptakan kenangan-kenangan indah yang saya inginkan. Menurut ibu, sejak saya berumur 13 tahun, setelah ayah dipecat dari pekerjaannya, saya dan ibu selalu mendapat siksaan dari ayah ketika ayah pulang dalam keadaan mabuk. Disaat itu kami pindah ke kota setelah tiga tahun di rumah itu, karena sewa itu terlalu mahal. Di umur 23 tahun, enam tahun lalu, dalam keadaan mabuk, ayah memaksa saya untuk ikut bersama ayah setelah ia puas memukuli saya dan ibu. Ayah hendak menjual saya menjadi seorang pelacur dan membawa saya menggunakan motor bututnya. Dalam perjalanan itu, kecelakaan terjadi.

“Saya sama sekali tidak bisa mengingatnya, bu,” isak saya kemudian.

“Sejujurnya ibu senang kamu begini. Tidak mengingatnya sama sekali. Setelah sadar dari koma hampir satu bulan, kepercayaan diri kamu tumbuh dengan tiba-tiba sampai kamu sukses begini dengan galery kamu. Kita menjadi tidak merasa canggung berpelukan begini, atau tidur bersama di satu ranjang,” kata ibu panjang lebar. “Sejujurnya ibu senang karena kamu sangat bangga dengan ayah dan ibu, dan bercita-cita hendak menjadi orang tua seperti ayah dan ibu, walau kebanggan itu hanya tercipta oleh pikiran kamu,”

“ibu,” isak saya lagi. “Apa saya tidak punya adik?”

“Kamu, Raras, anak ibu satu-satunya,” jawab ibu sambil mengangkat kepala saya menghadap ibu dengan kedua tangannya. Air matanya tampak tengah mengalir.

catatan harian RARAS :

13 Februari 2011
hampir setiap malam saya bermimpi tentang seorang anak remaja malang dan menyedihkan.
badannya penuh luka lebam, di wajahnya, di tangan, di kakinya.
___mimpi itu selalu diawali dengan rambut remaja itu ditarik oleh seorang laki-laki tua masuk ke
sebuah gudang yang gelap, lalu terkunci di dalamnya.
remaja itu menangis sakit, lalu tak lama kemudian ia menemukan sebuah buku dari dalam
sebuah kardus___

entah mengapa setiap terbangun dari mimpi itu, saya selalu menemukan air mata di pipi saya.
saya seperti bisa merasakan penderitaannya, kesakitannya.
remaja yang malang.
dimana kamu berada? haruskah saya menolong kamu dari sana?
apa kamu sedang memberi pesan SOS lewat mimpi saya?
dimanakah kamu?

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)