bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Selasa, 29 November 2011

---HUJAN---




Saya membuka gorden lebar-lebar sehingga mata bisa memandang lepas ke luar jendela. Di luar akhirnya hujan, perlahan rintik, selanjutnya menjadi begitu deras seperti ini, hanya dalam hitungan detik saja. Saya mendongak ke arah langit, berusaha mencari matanya di antara pergumulan awan-awan hitam dan titik-titik hujan yang terlalu rapat. Hujan kali ini sepertinya tidak akan saya temukan matanya lagi seperti waktu itu. Ini sudah hujan kedelapan seingat saya dimana saya tidak lagi bisa melihat sepasang mata Baruna.


“Saya sudah sangat rindu,” gumam saya pelan sambil menutup gorden dengan kasar, lalu berbalik membelakangi jendela. Saya meneguk teh hangat dari cangkir melamin yang sedari tadi saya pegang. Sudah dingin rupanya, sehingga saya menjadi tidak berselera lagi untuk meneguknya. Saya berjalan menuju meja kecil samping ranjang saya untuk meletakkan cangkir, lalu menjatuhkan diri di atas ranjang berniat menghangatkan diri. Hujan kali ini lebih dingin dari hujan-hujan biasanya.

______

Saya selalu bisa mengingat sepasang mata sipit dan jernih yang muncul pertama kali ketika hujan waktu itu. Entah sudah beberapa lama yang lalu. Satu tahun yang lalu atau dua tahun yang lalu? atau tiga? Atau empat? ah, otak saya masih tidak bagus dalam mengingat waktu. Mata Baruna muncul di antara awan hitam ketika saya tengah mengamati langit di bagian kanan. Ketika itu ia menemani saya menangisi kepergian Karang, anak pertama kami yang memiliki mata sipit seperti ayahnya. Begitu menyakitkan mengetahui bahwa ia akhirnya pergi setelah satu jam menikmati indahnya bernafas di permukaan bumi. Saya baru diberitahu keesokan harinya, tepat menjelang waktu kremasinya.

Ah, saya menjadi menangis. Merasakan beberapa titik air mata mengalir menuju telinga, saya menghapusnya cepat dan bangkit dari tidur saya, berusaha tersenyum. Saya bisa tersenyum kemudian, tapi dengan cepat teringat tentang Karang lagi. Saya bahkan belum sempat memeluknya, atau mengusap wajahnya, menyentuh wajahnya. Ah, menyesal sekali seharusnya pada hari kremasi, saya tidak berdiri terpaku disampingnya dan hanya memandangi wajahnya. Seharusnya saya memeluknya sebentar, atau menyentuh wajahnya sebentar saja.

“Kau Karang yang malang karena mati muda atau Karang yang bahagia? Seharusnya kau tidak meninggalkan ibumu sendirian disini. Saya yang malang, saya perempuan malang,” kata saya pelan sambil memeluk kedua lutut saya dengan erat. Oh, sebaiknya saya memanggil Baruna agar ia muncul kembali. Hujan kedelapan dimana ia tak muncul lagi. Selanjutnya saya bangkit dari ranjang menuju jendela lagi.

______

“Baruna. Baruna sayang. Saya merindukanmu, ayo lihat saya sekarang dari sana. Dimana kau? Dimana kau?” Kata saya dengan suara agak lantang. Kepala saya mendongak ke segala penjuru langit berharap sepasang mata akan muncul disebuah sudut langit. Hujan kedelapan ia tidak menampakkan matanya lagi. Apakah hujan ini bukan lagi berasal dari kedua matanya? Apakah ada orang lain yang sedang menemani kekasihnya menangisi kehidupan? Dan ia masih mengantri untuk muncul di hujan berikutnya?

Saya kembali menutup gorden dan berjalan menuju ranjang. Sore ini terasa begitu dingin, saya menggigil dan berusaha menyelipkan badan di antara selimut tebal yang baru saya ganti tadi pagi. Tapi dingin masih sangat terasa, bahkan makin lama makin menusuk-nusuk tulang. Rupanya kamar ini bocor, saya sudah basah kuyub.

Tiba-tiba saya merasa seseorang menarik tangan saya untuk bangkit dan menjauh dari ranjang. Tangan saya terasa sangat sakit akibat genggamannya. Saya menoleh ke wajah seseorang yang baru saja menarik saya dengan paksa. Baruna? Baruna, kau Baruna!


***

Saya berlari kecil menuju halte ketika hujan secepat kilat menjadi sangat deras. Halte hanya berisi dua orang pengendara motor yang tengah berteduh, saya yang sedang menunggu bus, dan seorang perempuan dekil yang sering muncul di sekitar halte ini.

Sepanjang mata memandang langit, tak sedikitpun berwarna putih atau biru, semua abu-abu. Melihat langit begitu dan angin kencang yang berlalu-lalang, saya memprediksi hujan ini akan lama. Semoga saja tidak selama saya akan menanti bus pulang.

Saya terdiam bersandar tiang halte, karena semua bangku di halte basah semua. Sambil memainkan tali tas, mata saya lurus menatap ujung jalan, berharap sebuah bus muncul dari sana dan membawa saya segera pulang ke rumah. Ingin rasanya segera membuang keringat dan penat bersama air mandi ke dalam tempat pembuangan air.

“Saya sudah sangat rindu,” suara perempuan dekil tiba-tiba terdengar, membuat saya dan dua orang lain menoleh ke arahnya. Perempuan itu mengangkat salah satu tangannya dan menggerakkannya dengan kasar dan cepat. Lalu berbalik membelakangi jalan. Ia memegang bibir dengan tangan yang lain, lalu berjalan menuju bangku halte. Ia berbaring disana, lalu menangis, lalu tak lama kemudian tersenyum bahagia.

Dua orang yang tengah berteduh itu tersenyum kecil sambil berbisik satu sama lain. Sepertinya mereka berdua sedang membicarakan wanita dekil itu, lalu salah satu dari mereka tertawa lepas sebentar, lalu kembali memperhatikan tingkah perempuan dekil itu.

Menuru orang sekitar, namanya Sarah, sosok perempuan gila yang sama sekali tak diketahui asalnya. Orang sekitar tidak tahu harus memulangkannya kemana, sehingga Sarah dibiarkan berkeliaran di daerah sini. Menurut cerita, sejak kedatangannya, Sarah selalu berbicara pada hujan sambil mendongak ke arah langit. Menangis, tertawa, bahkan bercerita banyak sekali kepada hujan. Saya memang sempat beberapa kali dengan sengaja memperhatikannya ketika suatu kali hujan datang. Hujan seperti panggung tempat ia bermain peran, karena ketika tidak hujan, ia hanya duduk-duduk di salah bangku sudut halte atau berjalan-jalan di area sekitar halte.

Menurut orang sekitar, ia sangat bersedih karena kepergian suaminya pada pernikahan tahun keempat. Anak yang diberikan Tuhan setelah penantian panjang akhirnya juga meninggal satu jam setelah dilahirkan. Itu hanya cerita orang, saya juga tidak terlalu mempercainya karena seperti di awal tadi, Sarah muncul tiba-tiba dan tidak seorang pun tahu asalnya. Bagaimana orang sekitar tahu tentang masalahnya? Apa Sarah pernah curhat kepada salah seorang warga sekitar?

Apapun itu, menurut saya, dia satu-satunya orang gila yang terobsesi pada hujan dan saya menjadi sangat sedih jika melihat Sarah sambil membayangkan penderitaannya. Mungkin saya akan begitu, atau sudah mati bunuh diri. Yah, sepertinya saya perempuan yang lebih lemah dari Sarah.

“Baruna. Baruna sayang. Saya merindukanmu, ayo lihat saya sekarang dari sana. Dimana kau? Dimana kau?” Sarah mengeluarkan kalimat itu dengan agak keras. Rupanya ia sudah bangkit dari bangku halte dan sudah berdiri di pinggir halte lagi sambil mendongak ke arah langit. Sementara suara tawa kecil dari dua orang tadi terdengar. Sepertinya dua orang ini orang baru, dan belum pernah melihat Sarah.

Sarah berjalan menuju jalan, duduk disana, lalu tertidur meringkuh disana. Ia menikmati dingin sambil menggigil kedinginan. Entah mengapa saya berteriak memanggil-manggil namanya agar ia pergi dari sana. Jalanan agak sepi saat ini, tapi hujan yang deras bisa mengaburkan pandangan pengendara. Bagaimana kalau ia tertabrak?

Saya berlari menghampirinya dengan cepat dan mengacuhkan hujan yang mulai mengguyur tubuh. Saya menarik tangannya agar bangkit dan keluar dari jalan itu.

“Baruna! Saya sudah rindu,” katanya sambil memeluk saya setelah sampai di bawah atap halte. Saya mendorongnya cepat agar Sarah menjauh dari saya.

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)