bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Selasa, 29 November 2011

--- Jejak Riana ---

Beberapa langkah baru menutup pintu apartemen, Rania mengagetkan saya dengan datang menghampiri saya, tiba-tiba memeluk pinggang saya, tanpa bicara sepatah kata pun. Awalnya kaget melihat tingkahnya, tapi pada akhirnya saya yang memaksanya untuk melepaskan pelukannya.

"kamu kenapa?" tanya saya setelah saya berhasil memaksa Rania melepaskan pelukannya. Dia hanya menggeleng sambil tersenyum.

"saya mau mandi dulu, gerah," kata saya sambil kembali melangkahkan kaki. Lagi-lagi Rania mengagetkan saya dengan pelukan dari arah belakang. Ia kembali memeluk pinggang saya. Ia menjatuhkan kepalanya di punggung saya. Ia masih terdiam.


"kamu kenapa?" tanya saya lagi. Saya merasakan kepalanya menggeleng.

"saya gerah, saya ingin mandi sekarang. Bisa? Nanti saya juga mau bicara sesuatu sama kamu," kata saya dengan nada agak kesal. Beberapa detik kemudian, saya membuat Rania melepaskan pelukannya. Kemudian tanpa menoleh ke arahnya, saya berjalan masuk ke kamar mandi.

------------------------------------

Saya tengah membaca al-kitab di meja kerja suami saya dahulu ketika ketukan terdengar dari luar kamar. Tanpa rasa penasaran, saya menyuruh si pengetuk pintu masuk ke dalam kamar. Saya memutuskan menyelesaikan bacaan saya, dan menutupnya dengan hati-hati sekali sambil meletakkan kacamata di samping al-kitab dengan tangan yang lain.

"oh, saya mengganggu mama, yyaa? Nanti saja Rania kesini lagi," ucap menantu saya cepat sebelum saya menoleh ke arahnya. Dengan cepat pula saya bangkit menghadapnya sambil mengisyaratkan dengan tangan bahwa ia bisa bicara dengan saya sekarang. Menantu saya duduk di atas ranjang, sementara saya berjalan perlahan menghampirinya. Sebelum ia mulai berbicara, saya meminta ijin untuk meneguk segelas air yang sudah tersedia di meja kecil samping ranjang. Menantu saya hanya tersenyum sambil mempersilakan.

"ada apa?" tanya saya kemudian sambil mengambil tangan kanan yang ia letakkan di atas paha untuk saya usap-usap dengan lembut.

"Mama, terima kasih sudah mengijinkan saya memiliki Mas Tarung," katanya lembut dengan mata berbinar. Tangan kirinya tampak tengah membalas usapan saya. Saya tersenyum mendengarnya. Ini malam pertama ia menginap di rumah saya setelah seminggu yang lalu menikah.

"apa tarung tadi menelepon? Dia sehat?" tanya saya.

"iya, tadi Mas Tarung telepon dari UK. Dia baru sampai dan agak sedikit flu," jawabnya masih dengan berbinar bahagia.

*****

Saya mengajaknya mampir ke toko perlengkapan bayi sepulang dari rumah sakit. Awalnya Rania menolak untuk masuk dan berkali-kali mengatakan apa yang akan saya lakukan 'pamali' menurut orang tua. Saya tak peduli, saya sudah terlanjur sangat senang mendengar si calon bayi sudah berumur 3 minggu. Saya akan membelikan anak saya apa pun yang kelak ia butuhkan. Tak peduli apa jenis kelaminnya, saya akan membelinya dua pasang, bernuansa pink dan biru.

***

Melihat sahabat saya, Rania, saya langsung memeluknya erat sambil menepuk-nepuk lembut punggungnya yang lebih berisi dari biasanya. Baru saja, Kencana, anak laki-laki yang baru ia lahirkan 4 bulan lalu meninggal akibat memiliki kelainan jantung sejak lahir.

"dimana Mas Tarung? Sedari tadi saya tak melihat dia," tanyanya pelan.

"saya juga tidak lihat. Mungkin ia tengah menyiapkan mobil untuk membawa Kencana pulang ke rumah," jawab saya.

"dia pasti lebih sedih dari saya. Dia menghilang untuk menyendiri. Tapi dimana? Nomornya tidak aktif," katanya cepat sambil menghapus air-air matanya yang masih berjatuhan.

Selanjutnya, kami pulang bersama Kencana tanpa keterlibatan Tarung, dia, entah ada dimana.

*****

Empat tahun sudah anak pertama saya berada di pusara ini. Saya berdiri menatap nisan dan fotonya. Hari ini peringatan empat tahun kematian Kencana dan Rania memaksa untuk hadir disini, bersama mama dan Rania, berdoa dan memberikan keperluannya berdasarkan adat orang cina.

Hei, bocah. Semua ini karena kamu. Kamu yang membuat hubungan saya dan Rania menjadi begitu canggung hingga sekarang.


*****

Rania, yang sudah menjadi menantu saya selama delapan tahun duduk di hadapan saya setelah makan malam. Kami saling bertatapan kini masih di ruang makan.

"Mama, terima kasih masih mengijinkan saya memiliki Mas Tarung," katanya pelan masih dengan wajah berbinar seperti tahun-tahun sebelumnya di hari ulang tahun saya. Saya tersenyum sambil mengusap-usap kedua tangannya dengan lembut.

"Ayo besok kita jenguk makam papa, kencana, dan Prabu bersama," ajak saya kemudian. Rania hanya mengangguk sambil tersenyum.

Tak lama kemudian, ia mendekatkan tubuhnya ke arah saya, lalu memeluk saya dengan lembut. Saya mengusap-usap rambut hitamnya berkali-kali sampai saya puas. Entah mengapa saya lebih mengasihani menantu saya ketimbang anak saya sendiri jika mengingat ia sekali lagi kehilangan putra keduanya yang meninggal di kandungan pada usia 6 bulan hampir satu bulan yang lalu. Bahkan cobaannya lebih berat di hari itu, dokter terpaksa mengangkat rahimnya yang rusak total.

"mama, ijinkan saya pergi. Mas Tarung harus punya anak," bisiknya kemudian. Saya tersentak mendengarnya dan bersikeras menolak. Lihat saja jika Tarung suatu saat menghadap saya untuk meninggalkan Rania dan menikahi perempuan lain, akan saya bunuh dengan tangan saya sendiri.

*****

Seperti minggu-minggu sebelumnya, saya menemani Rania mampir ke rumah sakit pengobatan khusus kanker sepulang dari gereja. Ia setiap minggu menyisihkan uang dari hasil usaha salon ternama yang sudah memiliki 7 cabang di jakarta. Dan 2 cabang di Surabaya.

Disana, ia tak pernah luput dari senyum. Wajahnya sangat sumringah ketika mengobrol dan bercanda dengan para penderita kanker. Saya diam-diam mengagumi hati sahabat saya, Rania.

*****

Saya mengamuk bahkan mengucapkan kata-kata kasar kepadanya ketika ia menyuruh saya menceraikannya dan menikahi sahabatnya. Saya agak tersinggung ternyata ia menganggap sedangkal itu cinta saya. Kami memang sudah saling canggung sejak sepuluh tahun lalu, tapi, cinta saya tak pernah luruh oleh waktu.

Dia menangis ketika itu sambil meminta maaf, lalu pergi meninggalkan rumah dengan koper besarnya.

Saya sangat marah hingga saya tak mempedulikan kepergiannya. Jika tenang nanti, ia pasti akan kembali. Setelah selesai sarapan, saya berangkat ke kantor dengan dada yang sesak sekali. Nanti malam saya harus membicarakan hal ini dengan Rania.

------------------------------------

Setelah mandi dan mengenakan piyama, saya keluar kamar untuk melanjutkan niat saya berbicara serius dengan Rania tentang perceraian ini. Setidaknya ia harus tahu tentang perasaan dan keinginan saya. Dia sama sekali tidak berhak merendahkan cinta saya.

Lama saya berkeliling ke seluruh ruang apartemen mencari sosok Rania, tapi tidak bisa saya temukan. Karena mulai cemas, saya menelepon ponselnya. Nada suara ponsel mengisyaratkan bahwa ponselnya berada di kamar. Saya mengambil ponselnya dan meletakkannya di atas meja ruang tv.

Mungkin saja Rania sedang keluar sebentar membeli sesuatu.

Dalam penantian menunggu kepulangan Rania, tiba-tiba ponsel saya berdering. Nama mama tertera di layarnya.

"Rania di rumah, kan?" tanya mama cepat ketika panggilan baru saja saya angkat.

"di tv ada kecelakaan pesawat tadi siang. Ada nama Rania Marisa Magdalena tercantum di deretan nama korban. Bukan menantu mama, kan?"

"Bukan, ma. Tadi Rania ada di rumah sepulang Tarung kerja,"

"dimana dia sekarang? Mama mau bicara," tanya mama cepat.

"Sedang keluar rumah," jawab saya sambil menyalakan tv untuk melihat berita tersebut.

Pesawat salah satu perusahaan penerbangan ternama dikabarkan menghilang sejak siang tadi. Dan kabar terbaru beberapa detik lalu via phone bahwa bangkai pesawat di temukan tim SAR di tengah hutan pinggir pantai disebuah pulau kecil dekat pulau sulawesi. Pembaca berita mengatakan sekali lagi mereka akan menampilkan daftar nama penumpang pesawat tersebut. Rania Marisa Magdalena tertera disana, di urutan 14.

Saya mulai cemas dan berusaha menghubungi ponsel Rania. Mata saya segera menatap meja ruang tv mengingat tadi saya meletakkannya disana. Tapi tiba-tiba tak ada satu benda pun yang ada di atas meja. Saya mencari-cari ponsel Rania ke setiap sudut ruang tv sambil berusaha menghubungi ponsel Rania yang menjadi tidak aktif. Setiap ditelepon, suara operator terdengar menandakan bahwa nomor Rania sedang tidak aktif.

Masih sambil berusaha menelepon, saya kembali mencari-cari Rania ke tiap sudut apartemen. Selanjutnya, saya berlari keluar menuju bandara hendak mengonfirmasi nama penumpang pesawat tersebut.

Di dalam taksi, saya membuka sebuah sms yang dikirim sekitar jam 10 pagi.

--- I wanna go home, honey, and always love you,"---

Bukankah ini mustahil? Satu jam yang lalu saya melihatnya, bahkan masih merasakan pelukannya.

***

Saya menangis seketika setelah melihat rekaman cctv dimana Rania tengah berjalan hendak naik pesawat yang dikabarkan terjatuh dalam perjalanan.

Rabu, 16 november 2011 - Inspirasi tisu 250 sheet :D

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)