**15**
10 Maret 2010
Membahagiakanku. Itu janji yang pernah
kamu berikan padaku. Baiklah, aku akan meminta janjimu, bahagiakan aku
sekarang. Aku bahagia jika bersamamu. Bangunlah, sembuhlah, dan bersamaku.
Kita akan berbahagia ketika kita bisa
mendengar detak jantung seseorang yang kita cintai. Dan kita akan lebih berbahagia
setelahnya ketika kita mengetahui bahwa detak itu karena kita dan masih ada.
--- KANTONG AJAIB DORAEMON ---
Agustus 2009
Ya
ampun! Aku ceroboh sekali!
Baru saja aku memecahkan maket ruangan
kantor rancangan Mbak Risky. Aku langsung meletakkan kembali maket yang masih utuh ke atas meja, dan segera memungut
keping-keping sisanya. Rancangan itu akan dipresentasikan kepada klien besok
senin di pagi hari. Padahal untuk menyelesaikannya Mbak Risky harus lembur
selama empat hari di kantor bersama tim.
Bagaimana
ini?
“Apa ini? Ya, ampun!” Teriak Mbak Risky
yang kini tampak marah sekali. Ia langsung berlari memungut keping-keping papan
yang pecah di lantai. “Aku harus apa sekarang?”
“Maaf, mbak. Aku salah, aku cero ...”
Aku mendapat tamparan dari Mbak Risky.
Maaf.
Aku memang pantas mendapatkan ini.
“Mbak, kita harus bagaimana sekarang?
Maaf, mbak,”
“Aku juga bingung, aku kesal sekarang,
aku kesal!” Teriak Mbak Risky. “Terus dimana tanggung jawab kamu? Apa kamu mau
diam saja?”
Aku
harus bagaimana? Mau membuat itu lagi sudah tidak mungkin terselesaikan besok
pagi.
“Aku kesal ada orang seperti kamu di
kantor. Kamu pikir kamu di sini karena kamu mampu?” Teriak Mbak Risky. Wajahnya
sudah memerah antara marah dan ingin menangis. “Nggak, Sa. Karena kamu cantik, itu saja. Seharusnya kamu sudah
dipecat karena sudah sering izin untuk urusan pribadi. Kamu tahu kenapa kamu
masih di sini? Karena kamu cantik, dan mereka hanya butuh penghias kantor agar
mereka nggak jenuh bekerja, itu
saja!”
Kamu
jahat sekali berkata seperti itu. Kamu siapa bisa bicara seperti itu? Kamu
pikir kamu juga hebat? Tidak, kamu juga tidak hebat, walau rancangan kamu
selalu menjadi prioritas untuk direkomendasikan
kepada klien. Kamu tidak hebat, kamu
hanya lebih punya pengalaman saja, kamu juga tidak hebat!
Sore hari. Taksi berhenti di depan rumah
sakit setelah mengantarku dari kantor, dan aku langsung berlari menuju kamar
tempat Elang dirawat. Ketika membuka pintu kamarnya, kulihat ia tengah serius
menonton televisi sambil berbaring di atas ranjang.
“Duduk,” perintahku setelah aku tepat
berdiri disamping ranjang.
“Kenapa?”
“Duduk,” perintahku lagi.
Dengan bingung Elang duduk di atas
ranjang dengan kaki yang masih lurus ke depan. Ia menggerakkan tubuhnya
menghadap ke arahku.
“Hug
me, please,” kataku sambil menangis keras sekali seperti anak kecil.
Kurasakan Elang memeluk tubuhku sambil menepuk-nepuk punggungku dengan lembut
sekali.
“Kenapa, Sa?” Tanya Elang. Aku
menceritakan kejadian tadi sore sebelum pulang dari kantor dan menumpahkan
kekesalanku pada Elang, masih sambil menangis. Elang juga masih memelukku, dan
ia berkali-kali menyuruhku berhenti menangis.
Aku
mau berhenti, tapi sekarang sedang tidak bisa. Hua hua hua!
Kudengar suara deham dari arah sofa.
Spontan aku melepaskan pelukan Elang dan menoleh ke arah sumber suara.
Om
Candra? Kenapa beliau ada di sini? Ini akhir pekan? Oh iya.
“Om Candra kapan sampai ke sini?
Siapa yang jemput?” Tanyaku pada Om Candra dengan terisak.
“Naik taksi,” jawab Om Candra sambil
tersenyum menahan geli.
“Kenapa nggak minta jemput Gelisa?” Tanyaku lagi masih dengan terisak.
“Om nggak harus dijemput, kok,”
Aku
malu, Om. Tapi aku tidak bisa berhenti menangis. Bagaimana ini?
Satu jam kemudian, Elang membantuku
untuk menelepon klien. Elang memohon persetujuan dan kesepakatan agar
presentasi rancangan ditunda dua hari, karena ada beberapa masalah. Dengan
kharisma yang dimiliki Elang, sang klien menerima dan menyetujuinya karena
memang tidak begitu mendesak.
Beruntungnya
aku punya kamu.
Malamnya aku langsung kembali ke
kantor dan mulai mengukur papan agar bisa dipotong sesuai sketsa. Minggu pagi
aku akan mulai mengecat sesuai rancangan dan membuatnya sama persis dengan yang
aku pecahkan tadi.
***
Aku sedang asyik mencorat-coret kulit
apel dengan spidol berwarna hitam sambil duduk di atas ranjang Elang, ketika
Elang baru muncul. Kumis dan jenggotnya kembali rapi seperti sebelumnya. Wangi
sabun mulai merebak ke ruangan. Baru saja perawat laki-laki membantunya mandi.
“Tampan sekali,” pujiku sambil tersenyum
lebar ke arah Elang. “Mas perawat yang tampan saja masih kalah jauh dengan
ketampanan kamu, Lang,” tambahku, membuat wajah sang perawat memerah tersipu
malu. Perawat tersebut tersenyum sebentar lalu menawarkan diri untuk membantu
Elang naik ke atas ranjang.
“Saya bisa sendiri,” tolak Elang lembut,
lalu sang perawat pamit pergi.
“Good
morning, handsome,” sapaku pada
Elang.
“Nggak
kerja?”
“Izin,” jawabku cepat sambil melanjutkan
mencoret-coret apel pada kulitnya. Melihat apa yang kulakukan, Elang
marah-marah karena dia paling suka makan apel dengan menggigitnya langsung
bersama kulitnya.
Lihat,
sudah aku coret semua apelnya. Jadi kamu harus makan apel-apel yang sudah
dikupas mulai saat ini.
Setelah membantu Elang untuk naik ke
atas ranjang, aku berkata padanya bahwa aku dipinjamkan kantong ajaib oleh
doraemon, sehingga Elang bisa melakukan apa saja, bisa kemana saja, dan meminta
apa saja mulai hari ini.
“Wah, apa karena aku akan mati?”
“Hei, aku juga akan mati nanti,”
jawabku cepat. “Karena aku cinta kamu, aku cinta, cinta,cinta, cinta,” jawabku.
Ya,
aku memang cinta kamu.
“Liar,”
“I’m
serious, so serious. Believe me,”
“Aku nggak punya permintaan apa-apa,”
“Haiss, kamu nggak tahu perjuangan berat untuk mendapatkan kantong ajaib ini?
Kamu mau aku mengembalikannya sekarang juga?”
“Perjuangan berat?” Elang tertawa
dengan wajah menyepelekanku.
Aku
tidak suka tertawamu!
“Iya, aku harus adu mulut dua hari
dengan Nobita, dan melawan Giant sampai aku hampir mati, lalu waktu aku di
pesawat mau pulang, Suneo mengejar pesawatku dengan pesawat pribadinya,
menabrak pesawatku berkali-kali hingga hampir jatuh, lalu ...”
“Aku mau sering jalan-jalan keluar
rumah sakit dengan pintu ajaib,” kata Elang di sela-sela ceritaku. Mendengar
itu, aku langsung berhenti mengarang cerita.
“Oke. Aku akan mengeluarkan kantong
ajaib di setiap minggu. Karena selain hari itu, aku harus bekerja. Oke?”
“Oke,” jawab Elang cepat.
Hari ini aku izin pura-pura sakit.
Jadi bisa memanfaatkan waktu untuk mengemasi berkas-berkas kantor yang sudah
beberapa hari ini mengotori kamar ini. Hari ini Elang mengusirku agar
mengerjakan tugas kantor di rumah. Sejak kemarin ia terus memarahiku setiap aku
sibuk dan mengacak-acak kamarnya.
“Satu lagi,” kataku sambil membuka
tas yang tadi kubawa, lalu mengeluarkan isinya. Aku mengotak-atiknya dan
mengarahkan kamera itu kepadanya.
Jepret!
Aku memotretmu!
“Kamera kesayanganku,” seru Elang.
“Terima kasih, Sa,”
Hari ini aku membawakan kamera
kesayangan yang pertama kali Elang punya sejak masuk club fotografi di London. Kamera berukuran kecil menggunakan pita
seluloid. Aku sengaja tidak membawa kamera profesionalnya. Karena menurutku ia
akan kecewa ketika menyadari bahwa tangannya belum mampu memotret dengan
sempurna. Sekarang kedua tangan itu sedang lemah untuk mengangkat benda berat.
Masih
ada lagi!
“Ini kamera saku?” Tanya Elang
ketika ia menemukan kamera saku di dalam tas yang aku bawa.
“Dengan kamera saku itu, kamu bisa
langsung melihat hasilnya di laptop. Jadi nggak
perlu berurusan dengan cuci mencuci film,”
“Ide bagus,” serunya sambil
mengotak-atik kamera saku yang baru aku beli. “Tapi aku tetap akan menggunakan
kamera kesayanganku. Karena kamu yang membawakannya, jadi kamu yang bertugas mencuci hasil fotoku
nanti,”
Siap,
bos!
“Kamera saku ini lumayan bagus hasil
gambarnya,” katanya setelah memeriksa hasil jepretannya barusan ke salah satu
objek di sekitar kamar.
Aku
dibantu Firman memilih kamera itu. Teman kantor kamu yang juga seorang
fotografer, tentu saja aku tidak salah pilih. Hohoho.
***
Sabtu sore. Kamar Elang saat ini
sedang ramai sekali. Abdul Muis datang menjenguk dari Surabaya bersama istri
dan anaknya. Selain itu ada Om Candra yang memang setiap akhir pekan kemari,
Ratih dari Jambi, Anang, Prakoso, Ramadhan, Fredi, dan Nicholas. Aku pun sangat
terkejut ketika baru sampai di rumah sakit.
Wah,
ramai sekali.
“Kenalkan, Sa, anakku, Amanda
namanya,” Abdul Muis langsung menyambutku begitu, sambil menunjuk bayi berusia
7 bulan yang sedang berada di pangkuan Elang.
Cantiknya!
Lucunya!
“Halo, aku Tante Gelisa. Salam
kenal, sayang,” kataku sambil menggenggam tangan mungil Amanda.
Abdul
Muis bangga sekali pada anaknya, sampai-sampai langsung memperkenalkannya
padaku sebelum kami saling bersalaman dan menanyakan kabar.
“Sampai jam berapa, Ren?” Tanyaku
pada istri Abdul Muis setelah saling bersalaman dan menanyakan kabar. Aku
mengenal Reni sejak resepsi dua tahun yang lalu.
“Baru saja. Kami berangkat satu
pesawat dengan Om Candra,” jawabnya lembut keibuan.
Dua jam kami habiskan dengan
mengobrol dan bercanda tanpa lelah, membuat suasana hati semua orang bahagia di
dalam ruangan ini. Sesekali juga kami saling berebut untuk menggendong Amanda.
Beberapa menit kemudian, Amanda di
ajak jalan-jalan oleh Om Candra untuk ditidurkan. Amanda memang anak yang
supel, baru kenal tapi tidak rewel jika digendong orang lain.
Dan tiba-tiba saja permainan lucu
ini terjadi. Kami semua menjadi lupa umur, berteriak dan tertawa lepas.
Permainannya sederhana sekali, kami dibagi menjadi 5 tim dengan beranggotakan
dua orang. Abdul sudah tentu dengan Reni, Aku dengan Elang, Prakoso dengan Nicholas,
Ramadhan dengan Fredi, dan Anang dengan Ratih.
Giliran timku yang diuji. Kami harus
menyebutkan satu dari dua pilihan yang disediakan. Jika tim tidak kompak, maka
wajah anggota tim akan dicoret dengan lipstik. Dan tim yang kalah akan membayar
makan siang untuk rencana kami besok minggu. Besok kami berencana bernostalgia
ke SMA lalu berjalan-jalan ke kebun binatang.
“Antara makan dan minum,” Nicholas
memberi pilihan. Dalam hitungan tiga, secara bersamaan aku menjawab minum
sementara Elang menjawab makan. Kami mendapat coretan pertama.
“Antara hijau dan biru,” giliran
pilihan dari Prakoso. Aku menjawab Biru dan Elang menjawab Hijau.
“Antara ponsel dan laptop,” pilihan
dari Abdul, aku menjawab laptop, Elang menjawab ponsel. Begitu terus kami mendapat
coretan hingga menjelang pilihan terakhir.
Aduh,
memalukan! Pilihan dari Ramadhan kali ini harus berhasil. Elang, kita harus
satu kali saja kompak. Kamu tidak bisa mendengar telepatiku? Elang? Kamu
dengar? Elang?
“Antara pensil dan pena,”
Sedari
tadi Elang selalu memilih pilihan pertama.
“Pensil,” jawabku.
“Pena,” jawab Elang.
Sial.
Kenapa kamu ganti pilihan?
“Kenapa kamu pilih pensil? Sedari
tadi kamu memilih pilihan kedua, kenapa di pertanyaan terakhir kamu memilih
pilihan pertama?” Keluh Elang dengan wajah kesal.
Ada apa dengan wajah kamu? Aku juga
sedang kesal saat ini.
“Maaf, bapak dan ibu, suara kalian
bisa dikecilkan? Mengganggu pasien lain yang ada di kamar sebelah,” seorang
perawat muncul dari balik pintu. Lalu permainan dilanjutkan dengan suara yang
terkontrol, namun masih saja seru.
***
Minggu pagi, aku memaksa Elang untuk
membuka mulut di kamar mandi. Ia bersikeras menyikat giginya sendiri, sementara
aku juga tidak mau kalah berusaha mamaksa untuk menyikat giginya.
“Aku bukan anak kecil,” sungut Elang
sambil terus menutup mulutnya dengan kuat masih dari atas kursi rodanya.
“Aku tahu,” jawabku. “Tapi hari ini aku
ingin menyikat gigimu,”
Hampir setengah jam adu mulut, akhirnya
Elang bersedia mengalah dengan syarat ia juga akan menyikat gigiku setelah ini.
Tadi
pagi ketika bangun tidur aku langsung terpikirkan untuk menyikat gigimu, satu
kali saja. Ini untuk yang pertama dan terakhir jika kamu benar-benar tidak
ingin.
Beberapa menit kemudian, Elang ganti
menyikat gigiku.
“Mulut kamu bau sekali,” umpat Elang
ketika aku membuka mulutku. Mendengar itu, aku menghembuskan nafas berkali-kali
ke arah Elang sementara Elang dengan kesusahan menghindari nafasku.
Bukankah ini minggu pagi yang sangat
menyenangkan?
Tak lama kemudian, seorang perawat
laki-laki masuk ke dalam kamar mandi. Aku bergegas bangkit dari bangku dan
membilas mulutku agar Elang bisa segera mandi.
Beberapa jam kemudian, sesuai
rencana, kami sudah sampai di SMA tempat kami dulu belajar. Abdul datang tidak
dengan membawa istri dan anaknya, lalu Anang yang ternyata punya waktu untuk
ikut, Prakoso, Nicholas, Fredi, Ramadhan, aku, dan tentunya Elang. Ratih nanti
siang mau pulang ke Jambi karena ia mendapat kabar bahwa anaknya yang berusia 4
tahun tiba-tiba sakit. Dua mobil berhasil parkir tepat hari minggu di halaman
sekolah.
Elang,
kamu tahu? Mengukir kenangan manis itu indah, tapi jauh lebih indah ketika kita
bisa mengenangnya. Aku akan lebih
banyak melakukan keduanya bersama kamu.
Kami langsung menuju halaman
belakang sekolah. Sekarang halaman itu sudah berubah menjadi kantin sebagian
dan sebagian yang lain menjadi lapangan bola voli atau bulu tangkis. Kantin
sedang tutup hari ini, jadi tidak bisa icip-icip makanan kantin sekolah ala
zaman sekarang. Gedung belakang sekolah yang dulu menjadi tempat persembunyian
para preman sekolah juga sudah tidak ada. Selanjutnya adalah beberapa kelas,
kantor bimbingan konseling, kantin sekolah yang sekarang diubah menjadi sebuah
laboratorium bahasa, dan berakhir di halaman utama tempat kami dulu melakukan
upacara bendera.
Halaman utama masih belum berubah
dengan posisi tiang bendera dan luas lapangannya. Hanya saja sekarang sudah
tidak bertanah. Zaman sekarang memang sudah sulit menemukan tempat yang
bertanah di kota ini.
Foto kebersamaan kami sudah banyak
kami dapatkan. Beberapa kali Fredi dan Elang berebut menjadi fotografer dan
menguasai kamera saku yang aku bawakan untuk Elang minggu yang lalu.
Sudah
saatnya kita ke tempat selanjutnya. Ke kebun binatang yang tidak jauh dari
sekolah.
Sebelum ke kebun binatang, Fredi
mengajak kami lomba lari. Entah dari mana idenya, tapi kami semua menyetujui,
termasuk Elang. Elang akan ikut berlari bersama kursi roda power elektrik yang
kami sewa. Tombol kendalinya ada di sebelah kanan, jadi Elang menggerakkan
tombol itu menggunakan jari kanan yang masih bisa berfungsi sedikit. Jarinya
masih bisa digunakan jika sekedar menggerakkan tombol tersebut. Untuk
selanjutnya setiap hendak jalan-jalan ke luar rumah sakit kami akan menyewa
kursi roda power elektrik ini dari rumah sakit.
Aku
kelelahan, nafasku tersengal-sengal. Aku sampai finis urutan keenam seletah
Abdul, Fredi, Prakoso, Nicholas, dan Anang. Sementara Ramadhan berlari tepat
didepan Elang.
“Ternyata aku sudah tua, lelah
sekali,” sungut Ramadhan sambil terengah-engah. “Aku harus segera menikah,”
“Setuju,” jawab Abdul cepat.
“Sebaiknya kalian semua juga segera menikah. Tahun depan sudah tiga puluh
tahun, ingat itu,”
“Hei, tiga puluh tahun bagi
laki-laki masih belum cukup,” kata Prakoso cepat.
“Alasan dari ketidakmampuan,” umpat
Abdul. Mendengar itu, Prakoso menendang Abdul dengan pelan, sehingga pada
akhirnya mereka saling menghajar satu sama lain sambil tertawa-tawa.
Aku menoleh ke arah Elang dan
kudapati ia menatapku seolah berkata ‘apa lihat-lihat?’.
Apa?
Aku tidak sedang memintamu menikahiku. Aku hanya ingin tahu bagaimana wajahmu
saat ini, aku ingin tahu apa yang kamu pikirkan atas nasehat Abdul tadi.
***
September 2009
“Sa, lama-lama kamu menarik rambutku
kuat sekali,” keluh Elang sambil memberikan ekspresi kesakitan.
“Aku nggak menariknya, aku memijatnya,” jawabku sambil memijat-mijat
kepalanya yang basah dan bersabun. Aku sedang mengeramasi rambutnya di wastafel
kamar mandi.
“Aduh, semakin lama kamu kasar
sekali,”
Cerewet.
Rasakan, rasakan, rasakan ketika aku menarik-narik rambutmu seperti ini. Ini untuk orang yang menuduh sembarangan dan
bermulut cerewet seperti kamu.
“Aduh,” rintihnya tapi dengan pasrah
ia membiarkanku hingga aku selesai mengeramasi rambutnya pagi ini.
Rencana kami minggu ini adalah
mengunjungi basecamp bersama Prakoso,
Nicholas, dan Anang. Sahabat Elang yang lain tidak bisa ikut karena urusan
masing-masing dan Abdul sudah pulang ke Surabaya minggu lalu. Tapi Elang masih
tampak bahagia seperti minggu-minggu sebelumnya.
Tentu
saja bahagia, kamu akan keluar sebentar dari rumah sakit.
Dua jam lebih perjalanan karena beberapa
kali melewati jalanan yang padat lalu lintas. Jarak rumah sakit dan basecamp memang agak jauh jika menaiki
mobil yang tidak bisa menyelip seperti motor.
Setelah mobil yang dikendari Prakoso
berhenti pada tempat tujuan, kami membuka jendela lebar-lebar menatap
pemandangan yang ada di hadapan kami saat ini. Beberapa rumah tampak bertengger
manis di atas lapangan yang mereka sebut basecamp.
“Apa kita gempur saja rumah itu?”
Celetuk Nicholas pelan.
“Ini karena kamu, Prakoso. Kamu
orang kaya raya, kenapa nggak segera
beli lapangan ini?”
“Kenapa aku yang salah?” Prakoso
membela diri.
“Hei, kita sudah lama tahu tentang
lapangan ini, tapi kenapa kalian baru bertengkar untuk masalah ini?” Tanya
Elang.
“Ayo turun, setidaknya kita foto
bersama di sini,” ajak Fredi sambil membuka pintu dan turun dari mobil berjalan
mendekat ke salah satu rumah.
Itu
benar. Ayo kita turun dan berfoto.
Sesuai rencana, setelah ini kami akan
berkeliling di mal terdekat sebelum
kembali ke rumah sakit. Kami akan bersenang-senang di sana.
Sore hari ketika Elang sedang mandi
bersama perawat, aku, Anang, dan Prakoso sibuk menggeser-geser tangga. Kami
sedang menempelkan stiker berbentuk bintang ke atap kamar Elang. Stiker yang
sama yang pernah aku tempel di kamar apartemen Elang.
“Sa, jangan main-main!” Teriak
Prakoso sambil berpegangan pada tangga dengan kuat. Baru saja aku iseng
menggoyang-goyangkan tangga yang sedang dinaiki Prakoso.
“Laki-laki takut ketinggian?”
Ledekku.
“Semua orang akan ketakutan kalau
tangganya digoyang-goyang seperti tadi,” Prakoso membela diri.
“Wah, ada apa ini?” Elang tiba-tiba
muncul dari dalam kamar mandi dengan di dorong perawat.
Kamu
tidak lihat di atapnya sekarang ada apa?
“Nanti malam kamu bisa melihat
bintang,” jawab Anang semangat sekali.
“Wah, senangnya. Terima kasih,” kata
Elang sambil tersenyum bahagia.
Aku
senang kalau kamu suka.
Malam hari, ketika sedang bersiap-siap
hendak tidur, dari atas ranjangnya, Elang memintaku mematikan lampu tidak
seperti biasanya. Ia ingin menikmati hasil kerja keras kami tadi sore. Ketika
ruangan menjadi gelap, bintang-bintang itu bersinar seperti kamar apartemen
Elang waktu itu.
Cantik
sekali, bukan?
“Papi punya sesuatu untuk kamu,” kata
Elang kemudian ketika kami sedang diam menatap langit-langit.
Tadi sepulangnya kami ke rumah sakit
dari mal, di depan pintu utama rumah sakit, kami bertemu Om Candra yang hendak pulang
ke Surabaya. Ketika melihat Om Candra yang sudah siap dengan koper dan
tiketnya, akhirnya Prakoso kembali pergi untuk mengantarkan Om Candra ke
bandara. Sementara sisanya langsung menuju kamar Elang.
Tapi
tadi Om Candra tidak mengatakan apa-apa kepadaku.
“Apa itu? Kapan?” Tanyaku.
“Papi sms aku. Dia sudah meletakkannya
di laci meja,”
Kalung.
Cantik sekali. Tapi untuk apa kalung ini?
“Papi bilang ia hanya ingin memberikan
itu untuk kamu. Kamu harus terima,” kata Elang.
Terima
kasih, Om. Setelah Elang tertidur, aku akan segera menelepon Om Candra.
Aku langsung memakaikan kalung itu ke
leherku, lalu mengamati kalung beserta liontinnya dengan wajah sumringah.
“Apa kamu tahu kalau kamu itu cantik?”
Tiba-tiba Elang berkata begitu sambil mulai memejamkan mata.
Aku
tahu, aku tahu, aku tahu kalau aku cantik. Seharusnya dari dulu kamu bilang
begitu. Ini pertama kali kamu mengatakannya. Kenapa?
“Jangan membuatku tertawa,” kataku.
“Kamu tahu aku nggak cantik,”
“Kalau dilihat-lihat sepertinya
memang begitu. Aku salah,” katanya masih dengan memejamkan mata.
Tarik
lagi ucapanmu! Aku cantik.
0 komentar:
Posting Komentar
silakan komentar disini... :)