**16**
![http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg](file:///C:/Users/lily/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg)
13 Desember2009
Akhir-akhir ini ia begitu
merindukan rumah masa kecilnya. Apakah saya harus membawanya kesana? Kenapa
menjadi rindu tiba-tiba, dan kenapa ingin kesana? Saya cemas karena hanya di
sinilah rumah sakit neurologi terbaik di negeri ini. Saya masih ingin memberikannya
penanganan yang terbaik.
Cinta tidak pernah mensyaratkan
kesempurnaan. Karena cinta adalah menerima, memahami, dan rela berkorban demi
kebahagiaan bersama.
--- RINDU ---
September 2009
Sudah satu minggu lebih aku tidak
mengaktifkan ponsel setelah pulang ke kantor. Aku tidak ingin mendadak pergi
lagi selama menemani Elang di rumah sakit. Seperti sore ini, aku akan bisa
lebih tenang di rumah sakit.
Oh,
rupanya Tante Ayu memang sudah pulang. Seharusnya tadi aku pulang lebih cepat
agar Elang tidak sendirian walau beberapa menit saja.
Setelah menutup kembali pintu kamar,
aku langsung menghampiri Elang yang sedang serius menonton televisi. Acara
berita sore.
Drama
asia!
Aku langsung mengganti saluran
televisi ke stasiun televisi yang sedang menayangkan drama asia, kesukaanku.
Dengan cepat Elang mengambil remote
control televisi dari tanganku dengan tangan kirinya, lalu mengganti saluran
televisi sebelumnya. Aku kembali mengganti ke saluran pilihanku, Elang masih
tidak mau mengalah, ia mengganti lagi saluran televisi sebelumnya. Beberapa
detik kemudian kami saling tarik menarik remote
control dari sisi yang berbeda.
“Aku butuh informasi baru,” kata
Elang.
“Bisa lewat internet,” kataku.
“Tapi informasi itu sedang menarik,”
“Episode drama asia itu lebih
menarik hari ini,”
“Kamu kenapa nggak bisa mengalah satu kali saja?” Tanya Elang.
“Kamu yang nggak bisa mengalah satu kali saja,”
Seseorang berdeham tiba-tiba,
membuat aku dan Elang berhenti saling menarik remote control dan serempak menoleh ke arah sumber suara.
Dian
Putri?
“Hai, sudah lama nggak bertemu,” sapa Elang cepat.
Jangan
terlalu manis menyapanya!
“Setelah tahu keadaan kamu, aku langsung
kemari, Lang,” kata Dian Putri. “Sebenarnya aku rindu kamu, Lang,”
Lang?
Kamu panggil dia Elang? Laki-laki ini sepuluh tahun lebih tua dari kamu.
Lagipula ada apa dengan rindu? Untuk apa kamu rindu pada kekasih orang lain?
“Silakan duduk,” Kata Elang kemudian
sambil menunjuk bangku bundar yang ada disamping ranjang. Dengan anggun Dian
Putri duduk di sana. Lalu kemudian mereka mulai mengobrol akrab sekali,
diselingi canda kecil, lalu tertawa bersama.
Kalian
tidak lihat ada aku berdiri diantara kalian?Kenapa tidak ada yang mulai bicara
padaku? Apa aku benar-benar tidak terlihat saat ini? Elang! Aku juga ada
disamping kamu!
Aku berjalan ke sofa, pura-pura hendak
membaca koran.
Kalau
begitu silakan saja mengobrol dengan puas. Aku tidak akan mengganggu! Haiss!
“Sa, tolong ambilkan minum untuk
artis kita yang satu ini,” pinta Elang tiba-tiba sambil menoleh ke arahku.
Tidak mau!
Ambil saja sendiri!
Aku mengambil botol kemasan air
mineral dan pipet dari samping sofa, lalu berjalan mendekati mereka dengan
wajah cemberut. Aku memberikannya kepada Dian Putri.
Jangan
diminum, ada racunnya!
“Silakan diminum,” kata Elang sambil
tersenyum. Tiba-tiba Elang menggenggam tangan kananku dengan tangan kirinya
ketika aku hendak berjalan menuju sofa lagi. Aku menoleh ke arah Elang,
sementara Elang kembali mengajak Dian Putri mengobrol seseru tadi.
Lepas!
Aku tidak tertarik bergabung bersama kalian.
Selama mengobrol, Dian Putri sering
melirik tangan kiri Elang yang masih erat menggenggam tanganku. Elang seperti
tidak peduli dengan tatapan Dian Putri dan tanganku yang sedari tadi
memberontak minta dilepas. Genggamannya malah semakin erat.
“Ini Gelisa. Kalian belum pernah
bertemu sebelumnya, kan?” kata Elang sambil melirik ke wajahku lalu kembali
menoleh ke arah Dian Putri.
Hai,
aku pacarnya Elang. Kamu bisa lihat? Genggamannya pertanda bahwa dia tidak bisa
jauh dariku. Mengerti?Sekarang cepat pulang saja. Kami mau berpacaran dan
berdua lagi seperti tadi. Hohohoho senangnya melihat ekspresi kecut itu dari
wajah kamu, Dian Putri ...
***
Sejak kedatangan Dian Putri beberapa
waktu lalu, kabar tentang Elang sang fotografer terkenal menjadi heboh di
berbagai media pemberitaan. Awal kemunculannya di kaitkan dengan Dian Putri,
tapi setelah sang dokter dimintai keterangan tentang keadaan Elang, pemberitaan
lebih fokus kepada penyakit yang di derita Elang.
Lobi rumah sakit terlihat padat sekali
sore ini. Aku melewati mereka sambil sesekali melirik melihat keramaian
tersebut. Rupanya mereka adalah wartawan yang tertahan oleh satpam agar tidak
masuk dan mengganggu pasien di rumah sakit.
Mereka
masih mau memburu berita tentang Elang rupanya.
Aku terkejut ketika membuka pintu kamar
Elang. Elang tampak berbeda hari ini. Ia memotong kumis dan jenggot tipis yang
selama ini ia pertahankan sejak ia menjadi fotografer. Karena sudah terbiasa
dengan jenggot dan kumisnya, sekarang wajahnya agak terlihat asing, tapi
sekarang terlihat lebih muda, karena menjadi mirip sekali dengan Elang ketika
SMA dulu.
“Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba?”
“Elang mau menerima wawancara besok,”
jawab Om Candra.
“Bukankah kamu nggak mau di wawancara, Lang?”
“Ini bukan media gosip. Aku sudah
memilihnya,”
“Wah, memilih? Sehebat apa kamu? Jika
aku menjadi wartawan, aku nggak akan
mewawancarai orang sesombong kamu,”
Ya, benar. Selama itu bukan gosip, aku juga
akan bersedia.
Minggu siang, kami tidak berencana pergi
kemana-mana, karena sudah memiliki janji dengan beberapa wartawan. Setelah
makan siang mereka akan datang ke kamar Elang.
“Lelah?” Tanyaku pada Elang sambil
memijati pundaknya sore itu setelah wawancara selesai. Elang menggeleng.
“Besok mereka mau mengambil gambar kamu
di ruang fisioterapi. Kamu bersedia, Lang?” Tanya Om Candra. Elang mengangguk.
“Sudahlah, kamu terlihat lelah,”
“Aku baik-baik saja, Pi,” Elang
menegaskan.
Setelah wawancara itu terbit, Elang
makin terkenal. Rumah sakit semakin padat saja, Elang menjadi banyak kunjungan.
Tidak hanya wartawan, para simpatisan dari berbagai kalangan turut hadir,
termasuk tokoh politik negeri ini.
Beberapa hari kemudian ketika aku datang
kerumah sakit hendak membawa pamper pada malam hari, masih saja banyak wartawan
yang sedang menunggu di lobi. Mereka tampak saling berbincang dan tertawa-tawa
menghilangkan kebosanan.
“Masih banyak wartawan di lobi,” kataku
setelah sampai di kamar Elang. Aku melihat Elang sudah terpejam di atas
ranjang. “Sudah tidur? Terlalu cepat. Apa ia kelelahan seperti kemarin?”
“Karena itu sekarang Om menolak semua
wawancara. Elang lelah, tapi mereka nggak
mengerti. Lagi pula pertanyaan mereka hampir sama seperti kemarin,” kata Om
candra dengan kesal.
“Aku lihat di televisi tadi pagi, om
juga diwawancarai,” kataku sambil duduk di sofa tepat di samping Om candra yang
sedang menyiapkan selimut dan bantal. Rupanya Om Candra juga berniat tidur
lebih cepat dari biasanya.
“Papi mewakili keluarga,” jawab Elang
tiba-tiba.
Oh,
kamu belum tidur, Lang?
“Bagaimana denganku? Kenapa mereka nggak mewawancaraiku? Apa aku bukan
keluargamu?” Aku bangkit dari sofa dan mendekati Elang.
“Tentu saja bukan,” jawab Elang sambil
memejamkan matanya lagi.
“Aku juga ingin diwawancarai dan masuk
koran juga televisi. Ayo menikah, agar kita menjadi keluarga,” kataku kemudian.
“Mulai lagi. Sudah. Pulang saja, sana,”
timpal Elang cepat masih dengan memejamkan mata.
Akhir-akhir
ini aku memang sering memintanya menikahiku. Tapi tanggapannya selalu begitu,
menghindar tanpa memberikan jawaban apapun.
***
Oktober 2009
Sejak pemberitaan tentang Elang
menyebar ke segala penjuru kota, Tante Mirani kembali lagi ke negeri ini. Ia
cemas setelah mendengar Elang sering kelelahan karena wawancara dan karena
kunjungan yang tidak henti setiap harinya.
Tidak pernah terpikirkan olehku,
selain memotret, Elang juga menyukai seni lukis. Pada kunjungan kali ini, Tante
Mirani membawa satu set alat lukis. Elang sangat senang sekali menerimanya.
Setelah itu Elang mulai melukis setiap ada waktu luang. Terkadang jika bosan ia
akan memotret segala hal yang menurutnya menarik ketika kuajak berkeliling
rumah sakit.
Sabtu sore, di salah satu balkon
rumah sakit, Elang sedang melukis langit sore. Hari ini langit memang begitu
indah dengan warna jingga dengan beberapa awan hitam di langit yang lain.
Pantas saja Elang begitu bersemangat hendak melukis.
Elang tampak serius melukis
menggunakan tangan kirinya. Tangan kanannya sudah tidak bisa diandalkan untuk
melukis. Sejak beberapa hari yang lalu Elang sudah mulai bisa melukis
menggunakan tangan kirinya. Tidak sesempurna lukisan yang pernah ia buat
sebelumnya, tapi menurutku tidak kalah bagus dengan lukisan-lukisan yang pernah
ia buat.
Saat ini, aku dan Tante Mirani duduk di
bangku tak jauh dari tempat Elang melukis sambil banyak mengobrol.
“Aku juga ingin dibuatkan sup
wortel, tante,” kataku ketika Tante Mirani berencana mengunjungi rumah suatu
hari nanti dan berencana memasakkan banyak makanan untukku.
“Seperti apa supnya?”
“Seperti yang pernah tante ajarkan
pada Elang,”
“Tante nggak pernah mengajari dia memasak. Dia nggak pernah memasak,”
Mendengar jawaban Tante Mirani, aku
langsung menoleh ke arah Elang yang masih asyik melukis.
Aku
ingat kamu pernah bercerita bahwa kamu diajarkan memasak sup wortel oleh Tante
Mirani. Kamu berbohong selama empat tahun ini dan aku tidak pernah
mengetahuinya? Wah, hebat sekali. Kamu punya bakat alami menjadi aktor.
Esoknya ketika kutanyakan perihal sup
wortel tersebut, Elang menjawab dengan santai.
“Mami yang mengajariku,”
“Eh? Masih mau berbohong lagi? Tante
Mirani nggak pernah mengajarimu
memasak,”
“Kamu sudah tahu? Untuk apa tanya kepada
mami? Aku membuat sup itu berdasarkan resep di sebuah majalah,”
Kalau
aku tidak tahu dari Tante Mirani, sampai kapan kamu akan membohongiku? Untuk
apa membohongiku?
“Untuk apa aku berbohong selama ini
tentang resep itu kepada kamu, ya, Sa?” kata Elang tiba-tiba sambil
melihat-lihat foto hasil jepretannya di layar laptop.
Ternyata
kamu juga orang aneh.
Hari berikutnya ketika aku baru saja
masuk ke kamar Elang, aku langsung disuruh memilih antara dua lukisan yang
diletakkan di atas sofa. Rupanya itu lukisan yang baru dibuat masing-masing
oleh Elang dan Tante Mirani. Mereka tengah mempeributkan lukisan mana yang
paling bagus.
“Kamu belum tahu diantara kedua lukisan
tersebut milik siapa,” kata Tante Mirani semangat sekali. “Kamu lebih menyukai
lukisan yang mana?”
Ternyata aku memilih lukisan Tante
Mirani, membuatnya bahagia sekali. Ekspresinya sama seperti Elang ketika ia
berhasil mengalahkanku pada setiap permainan kecil. Dan wajah Elang kini tampak
kecewa sekali.
***
Minggu selanjutnya, Elang ingin
berkunjung ke kantornya. Kebetulan sekali hari ini sedang ada pemotretan produk
fashion terbaru. Ini pertama kalinya
aku melihat Elang begitu serius dalam sesi pemotretan. Ia diizinkan membantu
dalam pemotretan walau sudah tidak bekerja lagi di sana. Rupanya Elang masih
belum kehilangan bakatnya. Ia dengan bangga mengaku sebagai fotografer senior
di kantor. Ia beberapa kali memberi komentar dan masukan kepada fotografer baru
yang sedang bekerja. Dengan memberi arahan sudut terbaik dan pencahayaan.
Aku senang, saat ini Elang begitu lepas
dan sangat menikmati momen ini.
Apa
yang harus aku lakukan? Elang seperti lupa dengan siapa ia kemari. Aku akan
bosan jika hanya diam saja dan melihat.
Tak lama kemudian, Firman, teman kantor
Elang yang juga seorang fotografer mengajakku mengobrol. Untung saja, sehingga
aku tidak merasa diacuhkan. Obrolanku dengan Firman selanjutnya adalah tentang
fotografi.
Aku
menjadi ingin tahu bagaimana melakukan hal yang Elang sukai, salah satunya
memotret.
Pada akhirnya Firman mengajariku cara
memotret, dan memberi arahan banyak ketika aku mempraktekkannya ke sebuah
objek. Bahkan, Firman menyusun sendiri suatu objek di salah satu pojok ruangan
untuk aku belajar. Dan hasilnya sangat memuaskan. Firman bilang, aku punya
bakat terpendam, karena hasil fotoku sempurna untuk seorang pemula.
Pemotretan belum selesai waktu hari
sudah mulai malam, sehingga aku memaksa Elang untuk pulang walau ia ingin
sekali di kantor sampai pemotretan selesai.
Apa
kamu juga mau lembur seperti mereka? Kamu lupa kalau kamu lembur di sini sudah
tidak digaji lagi?Apa untungnya? Lebih baik kamu tidur agar besok bisa
melakukan terapi dengan baik dan benar.
Di rumah sakit satu jam kemudian,
aku sedang mengamati cetakan hasil foto tadi. Elang baru keluar dari kamar
mandi bersama perawat yang selama ini membantunya mandi. Melihatku begitu
serius, Elang mendekatiku yang sedang duduk di sofa setelah perawat pergi. Elang
menggerakkan kursi roda power elektrik yang belum kami kembalikan ke rumah
sakit.
“Kamu seharusnya nggak lupa umurmu. Apa kamu merasa masih berumur 16 tahun?”
Apa
aku pernah berkata aku berumur 16 tahun?Aku hampir 28 tahun dan aku masih
ingat. Apa salahku?
“Kenapa kamu berkata begitu
tiba-tiba? Aku ingat umurku sendiri, ”
“Kalau begitu, kenapa kamu sering
sekali merajuk dan kalau tertawa selalu dengan gaya sok manis ala anak muda
kepada semua orang?”
Kapan?
Aku tidak pernah begitu. Aku tidak sok manis, tapi memang bukan salahku jika
tertawaku manis. Mungkin sudah sejak lahir?
“Kapan?”
“Kamu kira aku nggak melihat tingkah kamu di kantor?”
“Dengan Firman?”
“Dengan semuanya. Kamu seperti
sedang merayu para laki-laki yang ada disana,”
Di
kantor?Kapan aku tertawa dan merajuk? Oh,
aku tahu. Kamu sedang cemburu? Kenapa tidak bilang saja terus terang?
“Wah, aku punya bakat terpendam.
Hasil fotoku bagus, bukan?” Tanyaku kemudian mencoba membuatnya lebih cemburu,
karena foto ini Firman yang mencetaknya tadi. Aku memamerkan foto itu mendekat
ke wajah Elang.
“Masih bagus fotoku. Lihat baik-baik
dan pelajari, jadi kamu akan menyadari bahwa kamu nggak memiliki bakat terpendam,”
Apa?!
“Dok, menurut dokter, foto mana yang
paling bagus?” Tanyaku cepat ketika dokter baru saja masuk untuk mengecek
kesehatan Elang. Dokter tersebut kaget sebentar, lalu dengan tanggap ia memilih
salah satu dari foto kami.
Foto Elang?Hei, aku bertanya pada
orang yang salah rupanya. Ternyata dokter tidak mempunyai jiwa seni. Perpaduan
warna dan tata ruang yang berhasil kudapatkan dari fotoku ini penuh dengan seni
dan sulit untuk dijabarkan kesempurnaanya.
Aku menoleh ke arah Elang yang
tengah tersenyum bangga.
Jangan
puas dulu! Satu jawaban tidak bisa menentukan apa-apa. Kita lihat saja nanti
pada jawaban dokter yang lain atau perawat.
***
November 2009
Sudah satu minggu jari kiri Elang
sesekali mulai susah digerakkan, sehingga ia sudah tidak bisa lagi melukis.
Untuk memotret pun harus dengan bantuan tangan orang lain. Jari tangan kanannya
sejak pagi tadi sudah total lumpuh, ia sama sekali tidak bisa menggerakkan
kelima jari kanannya. Sekarang Elang sudah tidak
menggunakan kursi roda biasa. Kursi roda power elektrik kami sewa sampai Elang
sembuh nanti. Bahkan kursi roda power elektrik ini juga berbeda dari
sebelumnya, dimana tombol kendalinya berada di sebelah kiri.
Beruntung sekali, karena hal itu tidak
membuat Elang frustasi. Rupanya ia sudah siap menerima apapun yang terjadi pada
dirinya. Apalagi hari ini ia mendapat
kunjungan dari Amsterdam, yaitu Esther Nooij adik tirinya yang berusia delapan
tahun dan ayah tirinya Om Hans Nooij.
Awalnya aku takut tidak bisa
berinteraksi dengan mereka, tapi untungnya Esther dan Om Hans Nooij bisa berbahasa
Inggris cukup lancar.
“Hoe gaat het, Esther (Apa kabar,
Esther)?” Tanya Elang.
”Het gaat goed (kabar baik),” jawab
Esther. “Ben je ziek, wat heb je? Jij bent zo mager geworden? (Kamu sakit apa?
Kapan kamu lebih baik?)” lanjut Esther.
Elang tertawa kecil, lalu berlanjut
mengobrol seru dengan Esther, Om Hans Nooij, dan Tante Mirani dengan
menggunakan bahasa Belanda dan sesekali dengan bahasa Inggris.
Melihat Esther, tiba-tiba aku merindukan
Gian, adikku yang sekarang sudah berusia sebelas tahun. Aku keluar dari kamar
dan menelepon mama di Lampung Barat.
“Mama, sedang apa? Mana Gian?”
“Gian? Sedang menonton televisi,” jawab
Mama. “Ada apa?”
“Kangen Gian. Kapan kalian kesini lagi?
Gelisa nggak mau kesana,
perjalanannya melelahkan,”
“Curang. Siapa yang kangen, dia yang
datang,” kata Mama. Mendengar itu aku tertawa kecil. Aku dan mama banyak
mengobrol, lalu selanjutnya dengan Gian. Gian tidak cerewet seperti sebelumnya,
mungkin saja ia sudah bukan merasa anak-anak lagi, sebelas tahun. Papa sedang
ada tugas di Kalimantan, sehingga aku tidak bisa mengobrol dengan papa.
Setelah kembali mengobrol dengan mama,
aku mulai menceritakan hari-hariku di rumah sakit dan di kantor. Mama
berkali-kali menguatkan dan menghiburku dengan segudang kata-kata lembut yang
dimilikinya.
“Maminya Elang belum pulang? Wah, mama
harus segera kesana kalau begitu,”
“Kalau repot nggak apa-apa, Ma,”
“Mungkin minggu besok mama kesana,” kata
mama. “Lagipula mama ingin menjenguk Elang sekali lagi,”
Setelah berbasa basi sebelum menutup
obrolan, akhirnya obrolan kami benar-benar berhenti. Selanjutnya aku kembali masuk
ke kamar Elang.
“Jij bentzo mager geworden (kamu kurus
sekali),” umpat Esther ketika itu kepada Elang. Rupanya mereka masih mengobrol
seru.
Setelah itu aku merasa waktu cepat
sekali berjalan setelah aku ikut bergabung mengobrol bersama mereka. Mereka
banyak mengobrol menggunakan bahasa Inggris agar aku bisa ikut bergabung.
Ya,
aku memang tidak bisa bahasa Belanda sama sekali.
Tidak
kusangka satu minggu saja Esther dan Om Hans Nooij berkunjung. Setelah itu
mereka pulang bersama Tante Mirani. Mulai hari ini, Tante Ayu yang kembali
menjaga Elang dari pagi hingga sore seperti biasanya.
Aku juga tidak lupa menghubungi mama
agar tidak kecewa karena jika mama nanti bisa berkunjung, tidak akan bertemu
Tante Mirani. Tapi mama bersikeras tetap datang, karena mama memang ingin
menjenguk Elang. Gian akan mengambil izin dari sekolah untuk tidak masuk
beberapa hari.
***
Mama dan Gian sudah pulang. Rumahku
kembali menjadi sepi. Tidak ada masakan mama lagi di atas meja makan, tidak ada
Gian yang sedang menonton televisi ketika aku pulang dari kantor.
Aku
akan merindukan mereka lagi.
Hari ini kami ke rumah sakit khusus
kanker. Rupanya di belakangku, Elang dan dokter Arniati saling berhubungan
membuat janji. Hari ini pegawai rumah sakit dan keluarga pasien akan membuat
acara untuk menghibur pasien kanker. Aku juga baru tahu kalau sejak lima tahun
yang lalu, setiap tahun acara ini diadakan. Ini karena gagasan salah satu
yayasan kanker nasional.
“Wah, ini Elang? Tampan sekali,” begitu
kata seorang perawat yang berusia setengah baya.
Pacar
siapa dulu.
“Seperti reuni, ya?” Tanya dokter
Arniati kepada kedua perawat tersebut.
Ya.
Ini bisa dikatakan reuni.
Acara dimulai jam tiga sore yang direncanakan
akan berjalan selama satu setengah jam. Sebelumnya, aku, Ramadhan, Fredi, dan
Elang membantu persiapan dan dekorasi panggung untuk acara ini. Panggung
sederhana yang terbuat dari papan ini sudah ada sejak pertama kali acara ini
diadakan.
Acara dimulai. Ternyata acara ini banyak
memberikan atraksi lucu sehingga membuat siapapun yang menontonnya tertawa
terpingkal-pingkal. Ada parodi musikal lucu yang dilakukan oleh beberapa
perawat dan dokter muda, ada yang mencoba melawak, ada juga yang menyanyi dengan
suara sumbang, termasuk Elang. Elang menyanyikan dua buah lagu yang liriknya
mengajak pendengar untuk bersemangat dan tidak berputus asa.
“Perkenalkan, ini adalah Elang, mantan
pasien di sini,” kata dokter Arniati setelah Elang selesai menyanyikan sebuah
lagu. Mendengar itu, para perawat senior maupun junior bertepuk tangan meriah
sekali, membuat Elang tertawa kecil.
Elang
memang tampan, tapi jangan centil begitu!
Aku menatap para perawat dengan kesal.
“Selamat sore semuanya,” sapa Elang
melalui mikrofon yang disambut dengan siulan beberapa perawat.
Hei,
kalian perawat atau tukang ojek yang sedang memanggil pelanggan?
Elang di sana bercerita tentang kanker
otak yang pernah ia derita beberapa tahun lalu. Di akhir cerita, ia berusaha
memberi semangat kepada para pasien untuk terus berjuang hingga bisa sembuh
seperti dirinya. Elang berpesan bahwa takdir itu di tangan Tuhan, sehingga
ketika seorang dokter mengatakan sisa umur, jangan terlalu dipikirkan, tapi
terus berjuang melakukan yang terbaik. Elang juga berpesan kepada keluarga
untuk tidak lelah berada di samping pasien. Karena keluarga adalah penyemangat
bagi pasien.
Hebat
sekali, Elang! Kamu begitu memukau di panggung itu.
Malam harinya Elang mengaku tidak
merasa lelah ketika aku menyuruhnya tidur setelah beraktivitas penuh. Elang
masih ingin bermain game. Aku
memutuskan untuk membaca berkas dari kantor di bangku bulat samping ranjang.
Beberapa tulisan mulai aku lingkari dengan pena sebagai bahan pembahasan rapat
besok.
Ketika mataku tengah menerawang ke
kaki Elang hendak mencari kata efektif untuk menyusun kalimat di kertas
tersebut, aku melihat kuku kaki Elang yang tampak sudah memanjang.
Dulu Elang paling sering memotong
kuku kakiku. Mulai malam ini, aku yang akan lebih sering memotong kuku kakinya.
Aku
mau potong kuku kakimu.
Aku mengobrak-abrik isi tas dan
menemukan alat potong kuku. Aku menggeser bangku mendekat ke kaki Elang.
“Mau apa?” Tanya Elang.
Lihat
sini, kuku kakimu sudah panjang.
Aku tak menjawab, tapi langsung
bergerak memulai memotong kuku kaki Elang dengan hati-hati. Hanya beberapa
menit saja, aku berhasil memotong dan merapikan kuku kakinya.
Aku tersenyum kemudian setelah
melihat jemari kaki Elang kini melebar, saling menjauh satu sama lain.Tidak
seperti dulu.
Seperti
kipas. Hihihi.
Iseng, aku mulai mencari perhatian
dengan menggelitiki telapak kakinya.
Ah?
Aku menggelitikimu. Tidak terasa? Kalau di sini? Kalau di sini? Aku
menggelitikimu dibagian ini juga tidak terasa?
“Kenapa, Sa?” Tanya Elang ketika
menyadari aku yang sedang kebingungan.
“Nggak
apa-apa,” jawabku cepat sambil tersenyum.
Kaki
kamu sekarang benar-benar sudah mati rasa.
Esok hari, ketika Elang sedang berada di
ruang fisioterapi, aku, Om Candra, Tante Ayu, dan Nicholas berkumpul di ruang
dokter. Aku izin pagi ini dan berencana berangkat ke kantor siang nanti.
Sudah satu minggu jari kiri Elang mulai
susah digerakkan. Tangan kanan Elang sudah lumpuh total, sama sekali tidak bisa
diangkat. Sejauh ini Elang hanya bisa menggerakkan tangan kiri dan lehernya
saja.
Mungkin
karena kondisi Elang yang memburuk sehingga dokter hendak menjelaskan tentang
kondisi Elang menurut medis.
“Kami tidak lagi menemukan adanya
antibodi Anti-Gangliosida dalam tubuh
Elang, itu tandanya pengobatan CIDP berpengaruh menormalkan kembali kerja
antibodi tersebut,”
Syukurlah.
“Tapi kami masih menemukan kerusakan
pada myelin di beberapa bagian sarafnya,”
Maksud
dokter apa lagi?
“Tampaknya sesuatu sedang menggerogoti
myelinnya seperti antibodi sebelumnya,”
“Sesuatu apa, dok? Virus?”
“Kami juga tidak menemukan virus. Masih
dalam penyelidikan. Kami juga berencana mengirim data hasil tes pasien kepada
mitra Kami di Jepang dan Amerika Serikat agar bisa segera menemukan penyebabnya,”
“Apa
ada kemungkinan ini ALS atau Lou-Gehrig?
Karena pengobatan yang diberikan sama sekali tidak berpengaruh pada kondisi
Elang,”
“Sudah pasti ini berbeda dengan amyotrophic lateral sclerosis. Elang
hanya mengalami gangguan pada myelin pada saraf tepi, dan tidak ditemukan tanda
adanya kerusakan neuron motorik pada saraf pusatnya. Itulah yang membuat kami yakin ini bukan ALS,”
Keputusan
tepat untuk tidak menyertakan Elang mendengarkan penjelasan dokter. Mungkin
jika setelah mendengar ini, Elang akan kembali frustasi seperti waktu itu.
0 komentar:
Posting Komentar
silakan komentar disini... :)