**18**
![http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg](file:///C:/Users/lily/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg)
28 Desember 2009
Antara
iya dan tidak. Antara keinginannya dan keinginan saya. Siapakah yang lebih
egois? Saya atau dia? Sepertinya saya mengalah, saya akan membawanya ke
Surabaya, seperti yang ia inginkan.
Memaksa
cinta sebenarnya menyakiti, yaitu menyakiti seseorang dan diri sendiri.
Sebaiknya ikuti saja perintah alam, hendak melaju ke jalan yang mana. Jika
saatnya ia jatuh, maka tanpa dipaksa ia akan jatuh juga. Jika memang tidak akan
pernah jatuh, ketika memaksa maka diri sendirilah yang pada akhirnya paling
tersakiti.
--- ANTARA PELANGI, BINTANG, UANG, DAN
RUMPUT ---
Januari 2010
Suara pramugari terdengar tanda pesawat
hendak bersiap-siap landing. Para
penumpang harus kembali menggunakan sabuk pengaman. Aku menatap Elang yang
masih tertidur pulas di samping bangkuku.
Kami akan segera tiba di rumah masa kecil
Elang, ia menyebutnya home plate.
Dari kelima sahabat Elang, hanya Prakoso yang hari ini bisa mengantarkan Elang
ke rumah sakit. Karena itu, aku juga mengajak Anang yang kebetulan memiliki
waktu kosong tiga hari ke depan. Kami membutuhkan laki-laki untuk membantu
mengangkat Elang dari bangku pesawat menuju kursi roda yang akan disiapkan di dekat
pintu pesawat.
Abdul di Surabaya, sehingga ia bisa
bertugas menjemput kami di bandara dan akan mengantarkan kami sampai ke rumah
Elang. Di depan pintu arrival hall,
tampak Abdul melambai-lambai ke arah kami. Ia masih memakai pakaian pegawai
negeri sipil, mengingat sekarang masih siang, jam kerja.
“Lama sekali berputar-putar di atas
bandara,” kata Abdul membuka percakapan. “Tiga puluh menit,”
“Antri landing,” jawab Anang cepat.
“Om Candra menitipkan kunci rumahnya
kepadaku,” kata Abdul lagi.
“Iya, Om Candra sudah meneleponku,” kata
Prakoso.
“Ya sudah, ayo segera naik,” aku
mengajak mereka sambil mendorong kursi roda Elang. “Dimana mobilnya?”
“Senangnya sudah sampai,” celetuk Elang
tiba-tiba seperti tidak menghiraukan percakapan kami.
Ya,
kita sudah sampai. Bersenang-senanglah dan kenanglah sebanyak mungkin hal-hal
yang kamu inginkan di sini.
Setelah sampai di depan rumah Elang, kami
langsung segera turun dari mobil. Prakoso dan Anang mengangkat Elang dari kursi
mobil ke kursi roda, sementara aku dan Abdul menurunkan koper berisi baju Elang
dan tas berisi kamera kesayangan Elang.
Sesampainya di ruang televisi, Anang dan
Prakoso langsung merebahkan diri di atas sofa. Sementara aku dan Abdul langsung
mendorong koper dan tas kamera ke kamar Elang yang ada di samping ruang
televisi. Setelah itu kami bergabung di ruang televisi.
“Abdul, kami semua belum makan, bisa
carikan makan siang untuk kami, nggak?”
Tanyaku pada Abdul dengan wajah memelas.
“Ide bagus,” kata Prakoso cepat.
“Maaf, Abdul. Apa kamu harus segera
kembali ke kantor?”
“Nggak
harus,” jawab Abdul cepat. “Aku akan cari makanan untuk kalian,” kata Abdul
sambil berjalan keluar rumah.
Ya,
saat ini hanya kamu satu-satunya yang tahu jalan di daerah sini.
“Rumah ini nggak
berubah, Lang,” kata Prakoso sambil membuka pintu teras samping ruang televisi.
Bersamaan dengan itu, angin segar masuk ke dalam rumah. “Om Candra masih suka
berkebun ternyata,”
“Wah, pohon mangganya berbuah,” seru
Anang tiba-tiba sambil menunjuk halaman samping teras ruang televisi.
“Dijadikan petis akan nikmat sekali,”
Air
liurku mendadak banyak sekali dimulut.
“ Ayo pilih, antara pelangi,
bintang, uang, dan rumput. Mana yang akan kalian pilih?” Tanya Elang tiba-tiba,
membuat kami semua mengalihkan pandangan dari kebun samping rumah ke arah Elang
yang duduk diam di atas kursi roda.
Apa
ini? Permainan tebak-tebakan? Oke,
kita main.
“Pelangi,” jawabku.
“Kenapa?” Tanya Elang.
Bukan
permainan tebak-tebakan?
“Pelangi itu warna-warni. Tahu nggak kalau warna-warna yang kita kenal
digabung menjadi satu, akan menjadi putih,”
Aku
mengarang. Biarlah.
“Elang, kisah kita seperti pelangi.
Kadang senang, kadang bertengkar, dan kalau semua kenangan kita digabung
menjadi satu, akan menjadi satu warna yang bersih, saling memaafkan. Dengan
bersih itu kita akan kembali memberi warna-warna pelangi lagi, membuat kenangan
lain lagi, dan nantinya akan menjadi putih kembali,”
Tidak
saling terkait? Sepertinya terlalu memaksa.
“Filosofi apa itu?”
“Filosofi mendadak. Tapi filosofinya
masuk akal, bukan?”
Elang tersenyum kecil.
“Prakoso, kamu pilih apa?”
“Pelangi juga. Aku suka filosofi
barusan, aneh tapi masuk akal,”
“Nggak
boleh sama,” kata Elang.
“Hmmm, apa ya?” Prakoso tampak
berpikir. “Bintang,”
“Kenapa?”
“Asal sebut saja. Harus ada alasan?
Apa aku harus membuat filosofi juga?” Jawab Prakoso.
“Aku tahu kamu akan pilih bintang,”
kata Elang kemudian.
“Sok tahu,” umpat Prakoso sambil
tertawa kecil.
“ Aku ingat senyum bahagia kamu
waktu pertama kali kamu melihat wajah kampung Gelisa yang sedang takjub menatap
bintang di basecamp kita,” ungkap
elang.
Akhir-akhir
ini kamu selalu mengaitkan segalanya antara aku dan Prakoso. Ini maksud
pertanyaanmu tadi?
“Seperti planetarium, ya,” Elang
memperagakan wajah anak kecil yang begitu terkagum-kagum pada sesuatu. Setelah
itu Elang tertawa kecil, sementara aku dan Prakoso terdiam menatap wajah Elang.
“Aku nggak ditanya?” Tanya Anang kemudian.
Bagus,
Nang. Alihkan pembicaraan ini.
“Oh ya, kamu pilih apa?” Tanya Elang
sambil menoleh ke arah Anang. Sementara aku dan Prakoso saling melirik canggung
sekali.
“Aku pilih uang,” jawab Anang
semangat sekali. “Bau uang itu menghilangkan stres,” tambah Anang sambil
tertawa. Elang tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Aku dan Prakoso mencoba
ikut tertawa, tapi sama sekali tidak menampakkan tawa yang alami.
“Kamu harus tetap mencintai Gelisa
seperti ini. Kamu harus lebih berusaha membuat dia jatuh cinta sama kamu,” kata
Elang tiba-tiba sambil menoleh ke arah Prakoso. Serentak aku dan Prakoso saling
pandang dan berhenti tertawa.
“Kamu bicara apa, Lang?” Tanyaku
cepat.
“Aku ingin bicara ini sebelum aku
mati,” jawab Elang.
Aku
tahu yang kamu inginkan. Aku jatuh cinta pada Prakoso, lalu melepaskan kamu?
Kamu sebegitu ingin pergi dariku? Jangan berharap aku akan melepaskan kamu. Aku
tidak akan membiarkanmu pergi.
“Kenapa nggak segera mati saja?” Kataku dengan geram sambil berjalan menuju
dapur hendak menyiapkan teh hangat untuk kami berempat. “Aku akan segera
menyukai Prakoso. Dia sehat, punya gaji, dan mencintaiku. Aku akan segera
menyukainya seperti yang kamu inginkan, Lang,”
Semua terdiam, hanya terdengar suara
dedaunan dari halaman samping yang tertiup angin.
Abdul memberikan suara lain dengan
membuka pintu. Abdul muncul dengan membawa plastik berukuran besar berisi kotak
makan. Aku merasakan berpasang-pasang mata saat ini tengah mengamati
gerak-gerikku yang sedang sok sibuk meletakkan cangkir-cangkir ke atas meja
dapur.
“Aku pilih rumput,” kata Elang
tiba-tiba. “Jika rumput nggak pernah
ada, maka nggak akan ada orang yang
datang ke halaman belakang sekolah untuk memotongnya. Untuk itulah aku bersyukur
karenanya, aku bersyukur karena rumput telah membawa orang yang mencintaiku
begitu besar hingga hari ini,”
Aku menangis.
Jika
begitu, untuk apa kamu bicara hal bodoh tadi kepada Prakoso?
“Lang, aku dipanggil Pak Bos ke
kantor sekarang,” Abdul Muis mulai berbicara setelah lama terdiam karena
bingung. “Nanti malam aku dan Reni akan mampir. Aku pamit sekarang, ya,”
tambahnya sambil meletakkan plastik besar itu ke atas meja makan.
“Hmm,” jawab Elang.
“Ada apa ini?” Tanya Abdul setelah
menyadari aku tengah terisak-isak.
“Sebelum pergi minum teh dulu, ya,”
kata Anang cepat sambil berjalan mendekat ke arahku. Anang sedang mencoba mengalihkan
pembicaraan.
“Pak Bos minta aku cepat. Aku mau
langsung ke kantor sekarang,” tolak Abdul. “Oh, ya, mobil sudah aku masukkan ke
garasi,” kata Abdul lagi sambil menyerahkan kunci mobil kepada Prakoso. Setelah
itu ia benar-benar pergi dengan wajah bingung.
***
Anang dan Prakoso mengambil jadwal
pagi-pagi sekali untuk pulang ke kota. Tiket pulang sudah dibeli bersamaan
dengan tiket berangkat kemarin. Karena pagi-pagi sekali, Elang masih tertidur
ketika aku mengantarkan Anang dan Prakoso ke bandara.
“Kalau mau kembali ke kota, jangan lupa
kabari aku,” kata Prakoso setelah check
in tiket.
“Tentu saja, hanya kalian yang bisa
menggendong Elang saat ini,” jawabku sambil tersenyum. Prakoso juga tersenyum.
“Aku sebenarnya ingin lama di sini,
say,” kata Anang sambil memelukku. “Kamu harus sehat, Sa, kalau mau kuat
menemani Elang,”
Benar
sekali.
Tak lama kami mengobrol, panggilan
penumpang pesawat yang akan dinaiki Prakoso dan Anang terdengar, lalu keduanya
berpamitan dan memberikan banyak pesan kepadaku. Aku hanya bisa
mengangguk-angguk sambil mendorong-dorong tubuh mereka masuk ke pintu departure hall.
Hari masih sangat pagi ketika aku
memarkirkan mobil di depan rumah Elang. Melihat jam di tanganku, saat ini pasti
Pak Tomo baru akan memulai memandikan Elang. Pak Tomo adalah tetangga yang kami
bayar untuk memandikan, mengganti pamper, dan menggendong Elang dari ranjang ke
kursi roda selama Om Candra belum pulang dari Melbourne.
“Oh,
Bu Sri sudah datang,” kataku pada perempuan setengah baya yang sering membantu
memasak dan membereskan rumah ini. Bu Sri tidak menginap. Ia datang pagi-pagi
sekali menyiapkan sarapan lalu pulang sore hari setelah menyiapkan makan malam.
“Iya,” jawab Bu Sri. “Dari mana, Mbak?”
Aku mendengar suara tangis Elang
dari dalam kamarnya.
“Pak Tomo di kamar Elang, Bu?”
Tanyaku pada Bu Sri.
“Pak Tomo belum datang, Mbak,”
Aku langsung berlari ke kamar Elang.
Elang tampak sedang menangis terisak di atas ranjang.
“Kamu kenapa? Merasakan sakit?
Dimana?” Tanyaku sambil mengangkat Elang agar ia terduduk, lalu menyandarkan
punggungnya ke tembok.
“Maafkan aku, Sa. Jangan pergi,”
isaknya.
Ada
apa? Apa maksudmu?
“Aku nggak pernah merasa bersalah pada Prakoso telah merebut cinta
pertamanya. Dia juga begitu terhadap Trisia. Aku menyukai Trisia sejak tahun
pertama di SMA dan di tahun kedua Prakoso dan Trisia pacaran selama satu minggu
saja. Dia juga merebut cinta pertamaku, jadi aku nggak merasa bersalah karena hal itu,”
Aku
tahu Trisia, teman sekelasmu adalah cinta pertamamu. Kamu juga tahu kalau cinta
pertamaku adalah teman sekelasku di SMP. Jangan pernah berkata hal bodoh
seperti kemarin kepada Prakoso. Tidak ada yang mencuri cinta pertamamu ataupun
cinta pertama Prakoso. Semuanya takdir. Dan takdir kita adalah sekarang kita bersama
dan saling mencintai.
“Aku mencintaimu, Sa,”
Aku
tahu. Aku juga mencintaimu.
Setelah itu dia terus mengungkapkan
segala isi hati dan kegundahannya. Elang berpikir aku marah dan meninggalkannya
karena perkataannya kemarin kepada Prakoso. Ia pikir aku sedang pergi bersama
Prakoso ke kota. Ia pikir aku akhirnya memilih Prakoso yang sehat, bergaji, dan
mencintaiku, bukan memilih tinggal bersamanya. Mendengar Elang berkata agar aku
tidak meninggalkannya berkali-kali, aku langsung memeluknya erat, dan
mengusap-usap rambutnya dengan lembut.
Elangku,
Elangku yang manis. Aku tidak akan pergi, bodoh.
“Aku di sini, Lang. Aku nggak akan pernah menyesal di sini, aku nggak akan meninggalkanmu,”
Sejak hari itu, Elang selalu berkata
manis kepadaku seperti anak kecil yang takut kehilangan ibunya. Semua
perintahku ia turuti, semua saranku ia lakukan. Aku terkadang kesal dengan
sikapnya yang begitu. Seolah aku benar sejahat itu, bahwa aku akan pergi jika
ia tidak bersikap manis terhadapku.
Aku
tak akan pernah meninggalkanmu walau kamu mengusirku. Tapi aku bisa mengerti
tentang sikapmu ini.
Untung saja sikap Elang berubah dan
kembali seperti dulu setelah Om Candra pulang dari Melbourne bersama Tante Ayu,
Om Surya, dan dua sepupu Elang dari tante yang lain.
Suasana ramai dan menyenangkan selama
beberapa hari, dan kembali sepi ketika semua pergi ke rumah masing-masing.
Tawa, cerita, dan canda sekarang tinggal kami sendiri yang membuatnya. Aku,
Elang, dan Om Candra.
***
Sore itu setelah hujan menyisakan rintikan
kecil, Elang meminta didorong ke teras yang menghadap langsung halaman samping
rumah. Ketika itu, kami melihat pelangi sedang tampak di langit.
“Pelangi itu cantik, ya,” seruku.
“Pelangi itu kamu,” kata Elang
tiba-tiba.
Jadi
maksudnya aku cantik?Hohoho
“Pelangi memiliki banyak warna sekaligus
di setiap kemunculannya. Seperti kamu, yang membawa warna dalam hidupku, kamu
membuat tertawa, marah, kesal, dan bahagia sekaligus ketika kamu muncul dalam
hidupku,”
Manisnya.
Aku tersenyum tersipu.
“Wah, pelangi,” tiba-tiba Om Candra
muncul dari pintu teras.
“Menurut papi, pelangi itu apa?”
“Pelangi itu gejala optik,” jawab Om
Candra. “Pelangi itu hanya bisa dilihat oleh orang yang berada di antara
matahari dan daerah hujan. Saat ini kita berada diposisi itu, membelakangi
matahari,”
Oh,
Om Candra pintar sekali!
“Papi mengarang,”
“Itu dulu pelajaran ilmu bumi di SMA,”
“Papi masih ingat pelajaran itu? Kenapa
kuliahnya ambil jurusan sosial?”
“Papi juga nggak tahu,”
Setelah hujan benar-benar berhenti, Om
Candra turun ke halaman samping. Ia mencabuti rumput liar disekitar tanaman
bunga, lalu pindah ke tanaman lain yang tangkainya panjang menggelantung. Ia
tampak serius menata posisi tangkai agar bunganya berada pada posisi yang Om
Candra inginkan.
Berkebun
itu merepotkan.
Tiba-tiba saja Elang bertanya padaku
tentang kapan aku mengetahui namanya pertama kali. Lalu dengan penuh semangat
aku menceritakannya, bahkan sampai memperagakan gaya bicara Anang ketika itu.
“Aku tahu nama kamu karena surat pink
yang waktu itu,”
Iya,
waktu itu kamu robek dan pungut lagi?
“Aku selalu ingat bagaimana rasanya naik
motor. Aku merindukan saat-saat seperti itu. Akankah masih mungkin?” Tiba-tiba
Elang berkata begitu setelah mengobrol banyak tentang banyak hal selama
beberapa menit.
Aku
juga merindukan saat-saat itu.
“Mungkin iya, mungkin nggak,” jawabku. “Kamu lupa kalau motor
kamu sudah berubah menjadi mobil?”
Aku
akan mulai mengalihkan pembicaraan.
“Aku lupa,” katanya sambil tertawa
kecil. “Aku melakukan itu karena kamu, ingat itu, lalu perlakukan aku dengan
baik,” kata Elang kemudian.
“Kamu ingin naik motor sekali lagi?”
Tanyaku.
Itu
bukan mengalihkan pembicaraan, Gelisa!
“Bagaimana?” Tanya Elang.
Aku memanggil Om Candra untuk membantuku
mengangkat tubuh Elang ke sebuah kursi bundar menyerupai pohon sisa tebangan
yang terbuat dari semen. Setelah duduk di sana, aku berdiri di belakang Elang,
dan membiarkannya bersandar pada tubuhku.
Entah
ini ide cemerlang atau bukan.
Aku membungkuk sedikit dengan hati-hati
agar Elang tetap bisa bersandar di tubuhku, lalu aku memeluk pinggangnya.
“Begini kalau aku dibonceng di
belakangmu,” bisikku.
Seperti
naik motor, kan? Rasa rinduku sudah terhapuskan sekarang. Bagaimana dengan
kamu?Kamu senang atau sedih? Kenapa ada setitik air mata di pipimu? Sepertinya
ini ide yang salah.
Aku menghapus air mata itu dengan
lembut, lalu kembali memeluk pinggangnya.
***
Suatu pagi, Elang dengan tertawa
kecil mengatakan kepada Om Candra bahwa tangan kirinya juga sudah tidak bisa
digerakkan dan diangkat. Setelah Om Candra selesai memandikan Elang dan
mendudukkan Elang di kursi roda, Om Candra pamit ke kamar mandi.
Om Candra menangis di
dalam kamar mandi. Hari ini sudah tiba, dimana hampir seluruh tubuh Elang
lumpuh. Sekarang ia hanya bisa menggerakkan leher dan kepalanya.
“Good morning, handsome,” sapaku mencoba bersikap seperti biasa ketika Elang
tengah terdiam di ruang televisi.
“Selamat
pagi, jelek,”jawab Elang sambil tersenyum menoleh ke arahku. Aku memberikan
ekspresi cemberut ke arahnya, membuatnya tertawa kecil.
“Aku
membuat nasi goreng kesukaanmu,” kataku sambil membawa piring berisi nasi
goreng. Aku hendak menyuapinya pagi ini.
“Itu
bukan kesukaanku,”
Eh, kamu bilang itu
makanan kesukaanmu.
“Karena
kamu nggak bisa memasak, jadi aku
bilang begitu. Itu makanan paling mudah yang bisa dibuat,”
Apakah pecel sayur juga
bukan makanan kesukaanmu?
“Aku
orang kampung. Aku suka sekali dengan pecel sayur,”
Pantas saja kamu lebih sering
membeli itu kalau sedang bosan dengan makanan yang tersedia.
Sore
hari sepulangnya dari kantor, Om Candra bergabung mengobrol bersamaku dan Elang
di teras yang menghadap langsung halaman samping. Sore itu Elang tertawa
terbahak-bahak ketika aku mengungkapkan keherananku tentang pindah profesi
Elang,”
“Kamu
pernah jadi calon jaksa, lalu berubah menjadi pelukis setelah keluar dari rumah
sakit pasca kanker otak. Kamu menjadi fotografer setelah keluar dari rumah
sakit akibat kecelakaan dari Bandara. Kamu menjadi manajer majalah fashion setelah keluar dari rumah sakit
juga,”
“Oh
, ya?” Kata Om Candra.
Elang
tertawa lagi sambil mengangguk-angguk.
“Aku
nggak pernah terpikirkan tentang hal
itu,”
Om
candra menambahkan bahwa Elang juga berubah dari anak kampung menjadi anak kota
setelah keluar dari rumah sakit. Ketika itu ia terjatuh dari lantai dua ketika
berkunjung ke rumah Tante Ayu di kota dan meminta melanjutkan SMA di kota
setelah keluar dari rumah sakit.
Mendengar
itu, Elang kembali tertawa terbahak-bahak.
“Kalau
diingat-ingat, sepertinya memang begitu. Tapi aku benar-benar heran kenapa
kebetulan itu bisa terjadi berulang-ulang dalam hidupku,”
***
Aku
membuka gorden kamar Elang, memaksanya bangun. Berkali-kali aku membangunkannya
untuk sarapan pagi, ia bilang masih ingin tidur sebentar lagi.
Kamu
ingin bermalas-masalan? Tidak akan
kubiarkan.
“Bangun, Elang!” Teriakku.
“Biarkan aku nggak makan pagi hari ini,” keluhnya masih terpejam, tapi bola
matanya bergerak-gerak.
Semalam aku, Om Candra, dan Elang
mengobrol banyak sekali hingga larut malam. Mungkin karena itu sehingga Elang
masih merasa mengantuk. Semalam kami lupa waktu karena menceritakan banyak hal.
Terkadang cerita lucu, lalu berubah menjadi cerita seram tentang kejadian aneh
di rumah ini. Terkadang cerita sedih ketika Elang menceritakan perasaannya
melihat kedua orang tuanya bercerai, lalu menjadi penuh haru ketika ayah dan
anak itu saling mengucapkan maaf dan terima kasih.
“Dudukkan aku, Sa,” kata Elang
tiba-tiba sambil membuka matanya. Aku langsung mendekatinya lalu mengangkat
tubuhnya agar posisinya menjadi duduk di atas ranjang. Aku menyandarkan
punggungnya di tembok.
“Aku teringat sebuah lagu. Bisa kamu
putar? Aku menyimpan lagu mp3 di
ponselku,”
Aku mengambil ponsel Elang yang ada
di meja samping ranjang dan membuka mp3
player di ponselnya.
“Apa lagunya?”
“Tak kan pernah menyesal, Sheila On 7,” jawabnya.
Kami mendengarkan lagu itu
bersama-sama, dan mengulangnya untuk kedua kali.
Aku
ingin menangis.
“Aku ingin memainkan lagu ini dengan
gitar, tapi nggak bisa,” kata Elang
lagi sambil menoleh ke arahku. Aku hanya tersenyum ke arahnya, tapi dengan
meneteskan air mata.
Aku
sudah menangis, maaf.
“Cengeng,” umpat Elang.
Aku tahu, Kisah ini
terasa berat di pundakmu
Aku tahu, Karena juga begitu berat di bahuku
Coba sayang, Berhentilah meratapi keadaanku
Jangan pernah, Menyerah pada keadaan busuk ini
Aku tahu, Karena juga begitu berat di bahuku
Coba sayang, Berhentilah meratapi keadaanku
Jangan pernah, Menyerah pada keadaan busuk ini
Reff :
Apapun yang akan terjadi
Tak kan pernah aku sesali
Bila menjalani semua denganmu
Bila memahami semua denganmu
Aku…
Apapun yang akan terjadi
Tak kan pernah aku sesali
Bila menjalani semua denganmu
Bila memahami semua denganmu
Aku…
Tak kan pernah
menyesal
***
Februari 2010
Setelah selesai mencuci piring sisa
makan malam, aku ikut bergabung bersama Om Candra dan Elang yang sedang
mengobrol di ruang televisi. Mereka tampak serius sekali, sehingga aku
memutuskan untuk duduk agak menjauh di dekat jendela, melanjutkan membaca
novel.
Tak lama kemudian, Om Candra pamit
hendak tidur lebih dulu, sehingga Elang memintaku duduk mendekat.
“Novel apa?” Tanya Elang.
“Novel yang waktu itu, masih belum bisa
kuselesaikan,”
“Bacakan untukku,” pintanya.
Aku tersenyum lalu mulai membacakan
novel di halaman tempat aku tadi berhenti. Belum sampai satu halaman, Elang
menyuruhku berhenti membacakan novel
untuknya. Ia memintaku mendengarkan apa yang hendak ia katakan saja.
“Aku sudah lama ingin mengatakan ini,”
katanya pelan, tapi tetap mengalahkan suara malam yang sunyi.
“Hmm,” responku sambil menutup novel.
“Bagiku kamu bukan keluarga, tapi
segalanya,” kata Elang. Ia tampak mengatur nafas sebentar seperti sedang merasa
kelelahan.
“Apa kita istirahat saja sekarang? Besok
saja kita lanjutkan,” aku mengusap tangan kanannya. Elang menggeleng pelan
bersikeras hendak melanjutkan kata-katanya.
“Kamu bukan keluarga, tapi seperti ibu,
seperti ayah, seperti adik, seperti kakak, seperti sahabat. Kamu memasak
untukku, kamu yang membuatku memasak. Kamu mengkhawatirkanku, kamu yang membuatku selalu khawatir. Kamu
peduli padaku, kamu yang aku pedulikan. Kamu tempat keluh kesah dan bahagiaku,
kamu yang menjadikanku tempat keluh kesah dan bahagiamu. Kamu terlalu manja,
kamu yang memanjakanku. Kamu terlalu mengerti diriku, kamu yang aku mengerti
setelah diriku sendiri. Kamu yang memarahiku, kamu juga yang membuatku
memarahimu. Kamu yang mencintaiku, dan kamulah yang membuatku mencintaimu.
Bagaimana bisa kamu adalah keluargaku? Kamu adalah segalanya bagiku,”
Kamu
membuat aku menangis. Kamu juga segalanya bagiku. Bukan, kamu jauh lebih
segalanya bagiku.
“Apa kamu terharu?” Tanyanya. Aku
mengangguk sambil mengusap air mata yang sejak tadi sudah mulai menetes tak
terhenti.
Aku
terharu. Aku terharu. Aku terharu. Aku ingin memelukmu.
“Aku ingin memelukmu, tapi aku nggak bisa. Bisakah kamu yang memelukku
saja?”
Aku mengangguk lalu mendekat memeluk
kaki Elang. Aku mengusap-usap kedua pahanya dengan lembut lalu menyandarkan
kepalaku di atasnya sambil berusaha menahan tangis.
“Peluk pundakku,” pinta Elang.
Aku mengangguk lalu bangkit untuk
memeluk pundaknya. Aku mengusap-usap punggungnya dengan lembut sambil sesekali
mengusap air-air mataku yang sudah mulai mengalir.
“Kamu tahu? Saat ini aku benar nggak bisa merasakan pelukanmu,” kata
Elang, kini sambil menangis. Mendengar itu, aku menjadi menangis keras sekali.
Air mataku semakin tumpah ruah. Aku memeluk Elang lebih erat, semakin erat. Aku
menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut, lalu detik kemudian aku menepuk
pundaknya semakin kuat, agar ia bisa merasakan pelukanku.
Apa
kamu begitu menderita tidak bisa merasakan apa-apa?Jangan menangis, Lang.
Jangan menangis. Nanti aku tidak bisa berhenti menangis.
“Sebenarnya aku lebih ingin
memelukmu saat ini,” Elang berkata sembari terisak-isak. “Tapi nggak bisa,”
Apa
yang harus aku lakukan? Aku menjadi semakin menangis.
Aku mendengar suara tangis lain dari
balik tembok. Ketika kutengok, diujung tembok terlihat pundak kanan Om Candra
yang bergoyang-goyang karena sedang menahan tangis.
***
Sejak mendapati lidahnya susah
digerakkan dan bicaranya menjadi cadel, selama seminggu Elang berbicara
seadanya, malas sekali untuk banyak membuka mulut seperti hari-hari kemarin. Hingga
suatu malam Elang menangis sendirian karena ia tidak bisa bicara sama sekali.
Ketika itu aku tengah tertidur pulas di kamarku. Om Candra yang mendapati Elang
yang ketika itu tengah menangis.
Esok paginya kami membawa Elang ke
rumah sakit tempat Elang melakukan cek kesehatan. Elang kembali frustasi
seperti dulu, sehingga cepat sekali tubuhnya menunjukkan gejala kemunduran yang
lain. Elang terkadang menjadi agak susah menelan makanan dan air liurnya
sendiri. Tapi untung saja Elang masih bisa menelan sesekali, walau lebih lama
dari biasanya. Karena hampir setiap kali makanannya tertahan di mulut karena
terkadang ia tidak bisa menelannya.
Suatu kali ia menatapku tajam sekali
ketika aku sedang mengupas apel kesukaanya. Ketika kutoleh, kulihat air liurnya
mengalir sudah sampai di dagunya.
Maafkan
aku, aku tidak tahu kalau sedari tadi kamu memanggilku. Kamu ingin aku mengelap
air liurmu?
Beberapa hari kemudian, tiba-tiba
Elang tidak bisa menelan makanan, sehingga makanan dimasukkan ke dalam infus.
Selanjutnya Elang menjadi susah bernafas, sehingga dokter menggunakan selang
oksigen untuk membantunya bernafas. Melihat keadaan Elang yang seperti itu, aku
dan Om Candra memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit di kota, di bawah
pengawasan dokter yang selama ini mengetahui pasti keadaan Elang.
Setelah berhasil membawa Elang ke
kota dengan menggunakan pesawat dikawal dokter serta perawat, tak lama kemudian
setelah tiba di rumah sakit, nafas Elang semakin susah, sehingga dokter
melakukan tracheostomy, yaitu membedah lehernya untuk membuat saluran
nafas melalui trakeanya.
Apa
yang akan terjadi padamu, Lang?
“Bapak jangan cemas, sekarang pasien
sudah lebih baik,” begitu kata Dokter. Tapi dua hari kemudian, Elang menjadi
tidak sadarkan diri dan harus masuk ke ruang ICU.
Ketika mendapat kabar tentang hal
ini, Tante Mirani dan Falia berusaha mencari waktu agar bisa kembali ke negeri
ini untuk menjenguk Elang. Semua orang mencemaskan keadaan Elang saat ini.
0 komentar:
Posting Komentar
silakan komentar disini... :)