**3**
![http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg](file:///C:/Users/lily/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg)
24 Maret 2010
Langkah selanjutnya adalah
menikmati. Saya memang orang yang pertama kali jatuh sehingga berani mengambil
langkah mengejarnya hingga ia bisa jatuh kepada saya. Adakah mengejar itu
sambil berjalan santai? Saya belum pernah mendengar, karena itu saya berlari
mengejarnya. Berkali-kali saya mendapat umpatan karena saya terlalu cepat
berlari, agresif menurut sahabat-sahabat saya dan dia. Tapi saya tidak peduli.
Efek jatuh sudah membuat saya benar-benar tidak lagi mengenal malu dan putus
asa.
Tidak ada cinta dalam diam. Cinta selalu
menggerakkan pemain utamanya. Dengar saja jantungnya, “dug dug dug” cepat
sekali. Dengar saja suara hatinya, tidak pernah diam untuk mengungkapkan
cinta.Lihat saja bola matanya, ia bergerak ke arah cintanya berada, dan ketika
sangat malu tertangkap bola mata cinta, bola mata itu akan dengan sangat cepat
bergerak ke arah lain. Saya benar telah jatuh, dan saya bergerak untuk cinta.
--- BERLARI UNTUKNYA ---
Tanpa basa-basi, aku langsung memberi
surat pink yang kemarin kepada Elang. Lalu dengan cepatnya kabur meninggalkan
Elang di parkiran. Pagi ini aku sudah mengatur strategi ini, agar Elang tidak
menolak suratku lagi.
Setelah merasa sudah jauh dan aman, aku
berhenti dan mencari tempat persembunyian untuk mengintip Elang yang masih di
parkiran. Berharap Elang membaca suratku.
Aku
tidak mau ditolak lagi seperti kemarin.
Selesai parkir dan menaruh helm di
atas setang motor, Elang tengak-tengok ke segala penjuru. Tidak lama dari itu,
akhirnya Elang membuka suratku.
Aku
tahu pasti kamu akan membaca surat itu.
Elang menyeringai sinis ala preman,
seolah baru saja mendapat ancaman dari lawan agar jangan macam-macam di
sekolah. Beberapa detik kemudian surat itu ia robek lalu dibuang ke tong
sampah.
Wah,
surat yang mengenaskan, harus berakhir di tong sampah. Aku gagal. Tapi
setidaknya Elang tahu kalau aku menyukainya. Syalalalala.
***
Aku menghampiri Elang di gedung kosong
halaman belakang sekolah, tempat biasa ia berkumpul bersama kelima preman
sekolah lain. Seperti biasa juga, kelima preman sekolah lainnya juga ada
bersama Elang, sedang mengobrol bercanda sambil merokok. Dari kejauhan,
terdengar sesekali tawa dari mereka berenam, bahagia sekali.
Ada
suara Elang, itu artinya Elang memang ada di antara mereka.
“Untuk apa kamu ke sini? Masih baru
sudah berani,” anak yang bernama Ramadhan marah waktu melihatku jalan
pelan-pelan mendekati mereka.
“Siapa?” Tanya yang lain sambil
menengok ke arahku, yang hasilnya membuatku hampir mati ketakutan karena
dilihat oleh enam pasang mata preman sekolah sekaligus.
“Maaf, aku ada perlu sebentar sama
Elang,” kataku memberanikan diri tapi dengan terbata-bata. Mendengar itu, Elang
spontan melotot ke arahku. Aku yang hampir mati karena ketakutan, berubah
menjadi hampir mati karena terpesona oleh matanya.
Ya
ampun! Aku sudah gila.
“Apa lagi?” Tanyanya sambil berdiri
mendekatiku. Elang dengan gaya ala premannya menghembuskan asap rokok ke
mukaku. Secara reflek aku memejamkan mata dan menahan nafas sebentar.
“Aku mau bicara sama kamu, Lang,”
“Bicara apa?”
“Agak jauh sedikit, bisa, nggak? Aku malu,”
“Di sini saja, cepat. Sebentar lagi
bel istirahat bunyi, aku mau masuk kelas,”
Dengan ragu-ragu, akhirnya aku
memberanikan diri mengatakannya di sini, di depan kelima preman sekolah. “Aku
mau menjadi pacar kamu, Lang,”
Lima anak di belakang langsung
tertawa sampai ada yang tersedak asap rokok sendiri. Muka Elang langsung merah,
mungkin juga mukaku sekarang. Tapi aku tidak peduli, aku sudah mengumpulkan
keberanian sejak tadi pagi dan tidak berencana lari sampai mendapat jawaban
Elang.
“Kamu nggak waras, ya,” Kata Elang kemudian sambil menatap tajam mataku.
“Kamu mau, nggak, jadi pacar aku?” Tanyaku lagi.
“Nggak,”
jawabnya hampir bersamaan dengan bunyi bel masuk tanda istirahat siang sudah
berakhir. Mendengar jawaban Elang dan bel sekolah, aku langsung balik badan dan
berlari ke kelas dengan jantung berdegub kencang.
Hari ini untuk pertama kalinya, aku
merasakan adegan saling tatap lama dengan mata Elang dari jarak yang begitu
dekat. Aku senang sekaligus gugup sekali.
Mata
itu, mata itu, mata itu! Ya ampun!
“Bagaimana, Sa?” Tanya Anang cepat
ketika aku baru saja duduk di bangkuku di kelas.
“Sa, kamu kenapa?” Tanya Falia yang
ikut penasaran sambil menggoyang-goyang pundakku. Aku masih diam sambil senyum-senyum
sendiri karena kejadian saling tatap tadi.
“Elang menerima kamu, ya? Benar,
Sa?” Tanya Ratih kemudian dengan wajah ikut sumringah. Lama aku diam, akhirnya
aku sadar, dan langsung menggeleng-gelengkan kepala.
“Kenapa kamu senyum-senyum, Sa?”
Tanya Falia lagi.
“Matanya membuat dag-dig-dug,”
jawabku sambil senyum-senyum bahagia. Mereka bertiga bengong melihat tingkahku.
***
Hari-hariku di sekolah dipenuhi oleh
Elang Pisdana, kakak tingkatku di sekolah. Telingaku suka cepat menangkap
obrolan para siswa hingga staf guru yang menyebut nama Elang di dalam
percakapan mereka. Di sana, biasanya aku mendapat informasi-informasi tentang
Elang.
Menurut salah satu dari mereka,
Elang sering sekali mendapat hukuman karena tidak mengerjakan PR dan sering
protes dengan guru yang sedang mengajar di depan kelas.
Keenam preman sekolah malas sekali untuk
urusan mengerjakan PR, sehingga sering mendapat hukuman untuk masalah ini.
Tapi, beberapa guru memang mengagumi mereka lantaran dengan kebadungan
tersebut, mereka masih tergolong siswa sepuluh besar di kelas, sehingga mereka
masih bisa dipertahankan oleh sekolah. Tapi beberapa guru memang tidak menyukai
sikap mereka yang dianggap tidak menghormati guru. Apalagi jika merasa bosan
dengan cara guru mengajar, mereka tidak segan-segan membolos atau izin ke
toilet sampai jam pelajaran berakhir.
Ketika sedang asyik menguping pada
suatu siang, bel masuk tanda istirahat berbunyi. Spontan aku, Anang, Falia, dan
Ratih meneguk minuman masing-masing dengan cepat, karena pelajaran selanjutnya
adalah pelajaran geografi yang gurunya super galak.
Setelah itu, tanpa pikir panjang, kami
berempat langsung berlari bersama-sama menuju kelas.
Anang larinya paling cepat, sehingga
Anang memimpin di depan. Falia dan Ratih bergandengan tangan di belakang Anang.
Aku, karena tidak bisa berjajar bertiga bersama Falia dan Ratih, terpaksa
memilih posisi di belakang, menjadi ekor.
Eits,
aku tiba-tiba melihat Elang dari ujung jalan sama-sama sedang menuju tangga.
Kelasku dengan kelas Elang memang
sama-sama di lantai dua. Mungkin karena aku tidak bisa lepas pandangan dari
Elang, aku spontan tersenyum ke arah Elang dan melambai sok akrab kepada Elang.
Elang sempat melihat aku, tapi dia sama sekali tidak menghiraukanku. Pura-pura
tidak lihat, masih sambil jalan santai menuju tangga.
“Cepat, Sa! Lihat, Pak Sodikin sudah
keluar dari kantor,” Teriak Ratih sambil menunjuk-nunjuk Pak Sodikin yang baru
keluar dari pintu kantor hendak menuju tangga. Melihat itu, dengan gugup aku
langsung naik tangga tanpa menengok lagi ke arah Elang.
***
Aku berlari menghampiri Prakoso, salah
satu dari enam preman sekolah. Ia sedang menungguku di depan rumah sehingga aku
harus bergegas menghampirinya. Dari atas motor ia melihat kedatanganku melalui
celah helm sambil berteriak menghitung pada angka ke-47. Aku menghampirinya
dengan nafas tersengal-sengal. Ia menyuruhku cepat menghampirinya setelah aku selesai
mengganti bajuku.
Entah
aku hendak dibawa kemana. Tapi aku tidak terlalu khawatir, karena menurutnya ini untuk bertemu
dengan Elang.
“Gesit sekali,” kata Prakoso. “Ayo
naik,”
“Kita mau kemana?” Tanyaku cepat
masih sambil mengatur nafas.
“Naik. Mau lebih dekat sama Elang, nggak?” Tanyanya. Spontan aku mengangguk
dan langsung naik ke jok belakang motor besar Prakoso, tanpa merasa khawatir
sedikitpun dibonceng oleh seorang preman sekolah yang kabarnya suka sekali naik
motor dengan kebut.
“Kita mau kemana?” Teriakku ketika
motor mulai melaju mendahului kendaraan-kendaraan lain.
“Nanti kamu akan tahu,” Jawab
Prakoso sambil menancap gas lebih kebut dari sebelumnya. Aku memejamkan mata
karena mulai merasa takut. Dengan memegang pinggiran jok kuat-kuat, aku menggantungkan
hidup di sana agar tidak jatuh atau terjengkang dari motor. Ini pertama kalinya
aku naik motor secepat ini, wajahku terasa ditampar-tampar, perut mulai mual
beberapa detik, dan rambut berkibar
tertiup angin kencang sekali.
Ya
Tuhan, lindungi aku! Perjuanganku terhadap Elang Pisdana begitu besar, semoga
tidak sia-sia. Bantu aku Tuhan! Bantu akuuuuuuu....
Beberapa
menit kemudian, motor sudah tidak melaju kencang, dan berbelok ke sebuah
kompleks kumuh. Dalam selang waktu beberapa menit saja, motor berhenti di
sebuah kapling tanah agak luas menyerupai lapangan yang lumayan jauh dari
perumahan warga dengan rumput-rumput yang tumbuh tinggi. Terdengar tawa dan
obrolan dari beberapa laki-laki yang tidak asing di telingaku. Kelima preman
sekolah lainnya.
“Di sana ada Elang?” Tanyaku sambil
tengak tengok ke tengah lapangan yang gelap gulita. Tapi beberapa titik
berwarna merah yang menurutku adalah rokok-rokok yang terbakar tampak
melayang-layang sendiri di udara.
“Nggak
percaya?” Prakoso balik bertanya. “Elang! Kamu masih di sana, kan?” Teriak
Prakoso kemudian ke arah tengah lapangan. Elang menjawab dengan berteriak juga.
“Wah, pacar baru, ya?” Teriak salah
seorang dari mereka, entah suara milik siapa.
“Nanti akan tahu!” Jawab Prakoso
sambil menyuruhku untuk turun dari motornya. Setelah turun dari motor, aku
segera menyisir rambut menggunakan jari-jari dengan kesusahan, sebelum
menghampiri Elang. Prakoso sempat melirikku sambil tersenyum lalu menarik
tanganku untuk berjalan bergabung bersama mereka.
”Eh, anak baru itu,” celetuk
seseorang di antara mereka setelah aku dan Prakoso berhasil bergabung bersama
mereka. Lambat laun akhirnya aku bisa melihat wajah-wajah mereka. Satu di
antara mereka tengah berbaring di rerumputan sementara sisanya duduk santai
berdekatan satu sama lain.
“Untuk apa kamu bawa dia kesini?”
Tanya Nicholas sambil bangkit dari tidurnya. Sekarang aku bisa mengenali mereka
satu persatu, semuanya, termasuk Elang yang duduk di samping Nicholas
menggunakan jins biru dan kaos oblong berwarna putih bergambar bendera Negara
Inggris.
“Iseng,” jawab Prakoso santai sambil
duduk bergabung mendekat kepada mereka. Prakoso tampaknya memilih di paling
ujung dekat tempat aku berdiri dan mulai menyalakan sebatang rokok. Ia tampak
sedang tersenyum menatap Elang sambil menghirup asap pertama.
“Iseng? Mau diapakan anak baru ini?”
Tanya Fredi Aria sambil menatap tajam ke arahku. Spontan aku menutup dadaku
dengan kedua tanganku cepat sambil menoleh ke arah Prakoso.
“Enaknya diapakan?” Tanya Prakoso lagi-lagi
tersenyum.
“Prakoso, kamu sama nggak warasnya sama dia,” umpat Elang
sambil berbaring di atas rumput.
“Hei, jangan macam-macam ya,”
ancamku dengan terbata-bata. “ Kalau kalian macam-macam, orang tuaku bakal cari
kamu, Prakoso. Tadi aku sempat pamit dengan mama kalau mau menemui kamu,”
“Kamu mau diapakan?” Tanya Prakoso
dengan wajah menahan tawa.
“Aku serius. Kalau aku nggak pulang, orang tuaku akan cepat
mencari anak yang bernama Prakoso,” ancamku dengan tegas. Sekarang aku mulai
merasa khawatir berada di antara mereka malam ini. Entah pikiran darimana,
seharusnya aku tadi tidak mau diajak oleh Prakoso ke tempat yang mereka sebut basecamp ini.
Akhirnya Prakoso tertawa sampai
terbatuk-batuk. Tidak lama kemudian Prakoso menarik tanganku agar duduk juga
disampingnya. Karena tenaganya begitu kuat, ia berhasil mendudukkan aku dengan
paksa. Laki-laki walaupun kurus ternyata masih punya tenaga yang kuat.
“Lihat ke atas,” perintah Prakoso
sambil menghirup asap rokok dan menghembuskannya ke depan. Masih dengan
hati-hati dan waspada tingkat tinggi aku menatap ke atas dan takjub sedetik
kemudian dengan bintang-bintang yang hampir menutupi langit. Seperti coklat
misis yang berada di atas roti tawar, bertaburan asal.
“Kampung,” umpat Abdul Muis kemudian
setelah melihat wajahku.
“Wah, ini seperti di Planetarium,
ya,” celetukku sambil tersenyum senang sekali.
“Besok aku ajak lagi ke sini, mau?”
Tanya Prakoso.
“Siapa bilang dia boleh ke sini lagi?
Nggak diizinkan,” timpal Nicholas
cepat sebelum aku sempat mengangguk.
“Sejak kapan aku harus minta izin
untuk bawa orang lain kesini?” Tanya Prakoso.
“Kamu mau dihajar? Kita selama ini nggak pernah bawa siapa-siapa ke sini.
Ini tempat punyaku, harus izin dari aku,” jawab Nicholas dengan suara yang
meninggi.
“Persetan sama izin kamu,” kata
Prakoso cepat.
Mendengar itu, Nicholas langsung
bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Prakoso dengan wajah garang.
Melihat itu, Prakoso bangkit untuk meladeni Nicholas. Ketiga preman lainnya,
tidak termasuk Elang, langsung ikut bangkit untuk menjauhkan mereka dan menahan
agar tidak terjadi perkelahian.
“Bodoh semuanya,” umpat Elang sambil
bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan kami, berjalan menuju ke tempat
dimana lima motor terparkir. “Prakoso, kamu yang memulai, segera selesaikan,”
tambah Elang dengan santai.
“Prakoso, bawa dia pulang,” kata
Ramadhan sambil menarik tanganku untuk berdiri. Ramadhan kemudian
mendorong-dorong tubuhku dan Prakoso untuk pergi meninggalkan Nicholas dan
lapangan ini. Beberapa detik kemudian, Elang pergi bersama motornya tanpa
pamit. Aku masih dalam diam menatap kepergian Elang tidak merasakan kerasnya
Ramadhan mendorong-dorong tubuhku.
Elang
sudah pergi.
“Malam ini nggak asyik. Kita mau kemana?” Tanya Prakoso sebelum ia naik ke
atas motornya.
“Pulang,” jawabku.
“Pulang?” Tanya Prakoso. Aku
mengangguk dengan pasti.
0 komentar:
Posting Komentar
silakan komentar disini... :)