**13**
![http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg](file:///C:/Users/lily/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg)
4 Januari 2010
Sebenarnya saya tidak ingin lagi
melihat dia memaksa saya pergi dengan
cara apapun. Saya selalu ingin bersamanya dalam senang, maupun susahnya, sehat
ataupun sakitnya. Klasik? Sepertinya begitulah saya. Let Me Be With You,
Please. Saya membaca makna itu dalam setiap tatapannya, begitulah isi hati
sebenarnya. Tapi, tak bisakah ia menerima makna itu dari saya? Setiap pagi saya
memberi makna itu kepadanya. Saya benar-benar ingin bersamanya.
Banyak yang mengatakan bahwa
mempertahankan sesuatu itu tidak mudah, dan berlaku juga dalam cinta. Seberapa
besar seseorang bertahan, sebesar itulah rasa yang ia punya. Ketika seseorang
berkata tidak mampu bertahan, maka benar bahwa rasa yang ia punya berencana
hendak hilang. Selalu ada waktu kapan rasa itu akan hilang, atau malah
menyadari bahwa tidak akan pernah hilang.
--- LET ME BE WITH YOU, PLEASE ---
Juli 2009
Dua minggu setelah diagnosa
terakhir, dokter kembali memanggil kami ke dalam ruangannya. Sore itu setelah
keluar dari ruangan fisoterapi, aku dan Om Candra mendorong Elang ke ruangan
dokter.
Seperti hari ketika itu, dokter
kembali memperlihatkan hasil gambar otak, gambar tulang belakang Elang, dan
beberapa gambar lain.
“Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, sistem imun tubuh Elang yang disebut antibodi Anti-Gangliosida saat ini sedang menyerang selubung myelin. Pada
kasus normal, dengan pengobatan yang ada, maka sistem imun ini akan berhenti
menyerang myelin dan bisa kembali bekerja dengan semestinya,”
“Semua jenis pengobatan terhadap CIDP
sudah kami lakukan, tapi dari data terakhir ini, tampaknya tidak berpengaruh
apa-apa, antibodinya masih kami temukan ditubuh pasien,”
Maksudnya?
“Kami sekarang menjadi ragu dengan
CIDP,”
“Jadi, ini apa, dok?”
“Elang mengalami kasus yang berbeda dari
yang pernah ada. Ini benar-benar kasus langka, jadi kami tidak bisa
memperkirakan gejala yang mungkin akan terjadi di kemudian hari,”
***
Setelah kemarin malam menahan diri agar
tidak menangis ketika menginap di rumah sakit, akhirnya malam ini aku menangis
di rumah. Aku tidak ingin menangisi Elang di depannya. Sebenarnya aku takut
membayangkan Elang akan lumpuh. Aku tidak bisa membayangkan berapa lama atau
berapa cepat itu akan terjadi. Aku tidak tahu bagaimana aku menghadapi Elang
esok hari. Aku tidak bisa membayangkan perasaannya saat ini.
Apa
salahku sehingga aku harus melihat orang terdekatku mengalami cobaan ini?
Tidakkah cukup dengan kanker otak sembilan tahun lalu?
“Elang, Nang,” tangisku dalam telepon
bersama Anang. Aku salah menelepon. Anang bukan menghiburku, tapi malah lebih
kuat menangisnya ketimbang aku, membuat aku semakin menangis.
“Bagaimana jika Elang akan lumpuh atau
mati?” Tangisku lagi.
Tiga jam kemudian, aku memutuskan
menjadi kuat seutuhnya. Penderitaanku jauh lebih kecil ketimbang Elang.
Jika
aku menangisinya, bagaimana dengan hatinya? Aku harus kuat. Aku tidak boleh
menangis. Aku akan membuatnya tertawa setiap hari. Aku akan menguatkannya.
Esok pagi, aku mengompres mataku dengan
air es, lalu air hangat, tapi mataku masih saja bengkak. Aku tidak mau nanti
sore Elang melihat mataku seperti ini. Aku ingin terlihat biasa saja di
hadapannya.
Semua
baik-baik saja. Kejaiban pasti akan terjadi sekali lagi. Waktu itu Elang
diramalkan dokter akan mati dalam satu tahun, tapi nyatanya ia bisa hidup lama
sekali. Kenapa tidak kali ini? Elang akan hidup lebih lama dariku.
Setelah mandi pagi, aku menyadari
keanehan pada jari manisku. Aku
kehilangan cincin. Masih menggunakan bathrobe,
aku berkeliling rumah mencarinya ke setiap sudut dan di bawah perabotan setelah
tidak berhasil menemukan cincin di kamar mandi.
“Iya, tante, kalau menemukan cincin
berwarna perak tolong kabari Gelisa,” begitu pada akhir telepon dengan Tante
Ayu yang sudah ada di rumah sakit untuk menjaga Elang. “Oh iya, jangan beri
tahu Elang, ya, tante,”
Ceroboh
sekali.
Seperti sore biasanya, aku langsung
ke rumah sakit sepulangnya dari kantor. Ketika aku masuk, Tante Ayu berpamitan
pulang. Setelah mengantarkan Tante Ayu sampai pintu rumah sakit, aku kembali ke
kamar Elang.
Elang
sedang tidur. Sejak kapan ia tidur sore?
Aku duduk di bangku samping ranjang,
lalu menyalakan televisi hendak menonton kelanjutan episode drama asia
kesukaanku.
Mencoba
bersikap seperti biasa.
“Ini acara apa? Aku mau berita sore,”
kata Elang tiba-tiba.
Siapa
duluan yang menonton? Aku. Siapa yang menghidupkan televisi? Aku. Salah siapa
dari tadi diam pura-pura tidur?Tidak mau. Aku mau menonton drama asia.
“Aku bilang ganti!” Teriak Elang
tiba-tiba mengagetkanku. Dengan cepat aku mengganti saluran televisi berita
sore. Aku bangkit dari bangku dan berjalan ke sofa untuk membaca koran sore
yang baru datang. Beberapa menit kemudian, ketika aku menoleh ke arah Elang,
Elang kembali tidur, tidak menonton televisi.
Apa
ini?
Menit selanjutnya, Elang sering sekali
membuatku kesal. Dia berteriak lagi hanya karena aku melarangnya memakan apel
dengan cara menggigitnya beserta kulit. Dia juga marah karena aku salah
menggaruk bagian pada punggungnya. Dia mengumpatku dengan kata-kata kasar
ketika aku sedang mengobrol dengan Anang lewat ponsel.
Apa salahnya tertawa di telepon? Aku
centil?Aku tidak tahu diri?
“Aku sedang kesal karena kamu. Karena
itu aku mencari hiburan menelepon Anang. Kenapa? Nggak suka?”
Aku
ingin bertengkar seperti biasanya. Ayo jawab dan balas aku.
“Kamu seperti anak kecil. Sebenarnya
apa salahku?” Tanyaku sambil berjalan mendekatinya yang masih berbaring di atas
ranjang.
Jangan
begini, Lang. Ayo balas aku.
Elang tiba-tiba menangis,
terisak-isak, lalu berteriak keras sekali.
Elang...
“Kamu tahu rasanya memiliki penyakit
aneh? Kamu tahu rasanya nggak bisa
berjalan?” Elang bertanya masih sambil terisak. “Sebenarnya apa salahku? Kenapa
harus aku yang terkena penyakit aneh sialan ini?”
Maafkan
aku. Aku tidak tahu kalau kamu begitu frustasi memikirkan hal ini. Apa sekarang
hatimu sangat sakit memikirkan cobaan ini? Apa kamu merasa tidak kuat menerima
cobaan ini? Apa yang harus aku lakukan? Jangan menangis, Elang.
***
Elang masih menonton televisi ketika aku
mulai mencari-cari cincin ke setiap sudut kamar Elang. Bolak-balik ke kamar
mandi, tapi masih juga tidak menemukan cincin itu.
“Kamu cari apa?” Tanya Elang pelan
ketika aku tengah mengintip lantai di bawah sofa.
Cincin.
“Bukan apa-apa. Kamu lanjutkan menonton
televisi saja,”
“Kalau bukan apa-apa, kenapa masih
mencari?”
Iya,
Elang benar. Jadi aku harus pura-pura berhenti mencari?
Aku langsung duduk di atas sofa,
pura-pura melanjutkan membaca novel. Tapi, mataku masih saja awas bergerak
kesana-kemari berharap sesuatu berkilau tertangkap oleh mata.
“Sebenarnya kamu mencari apa? Apakah
sesuatu yang penting?” Tanya Elang lagi. Ia tahu aku masih gelisah.
“Bukan apa-apa, kamu nggak perlu memikirkannya,” jawabku
kembali pura-pura membaca novel.
“Karena aku lumpuh? Kamu kira aku nggak bisa membantumu mencari sesuatu?”
Bukan
itu maksudku. Apa
aku sudah menyinggungmu? Maaf, Lang.
“Kamu mau aku pijati seperti waktu itu?”
Tanyaku cepat sambil menutup novel dan menatapnya penuh harap.
“Jangan mengalihkan pembicaraan,”
Kamu
tahu aku sedang mengalihkan pembicaraan.
“Kemarin kamu nggak ke kantor, kenapa hari ini nggak ke kantor lagi?”
“Aku izin,” jawabku pelan.
“Untuk apa izin?”
“Aku ingin bersama kamu,” jawabku lagi.
“Kamu pikir aku nggak bisa melakukan apa-apa sehingga kamu harus bersamaku setiap
saat?”
Apa
yang harus aku lakukan sekarang?Jangan begini terus, Lang. Sejak kemarin
suasana hatimu tidak baik. Bagaimana caranya aku mengembalikan suasana hatimu
agar kembali seperti dulu?
***
Elang sedang sibuk mengerjakan
pekerjaannya di atas ranjang. Kamar kembali bertebaran kertas dimana-mana.
Seperti biasanya, laptop ia letakkan di atas pahanya.
Sore setelah pulang dari kantor, aku
melihat suasana hatinya kembali membaik. Wajah dan sikapnya kembali seperti
semula. Aku lega sekali, ketika ia tidak menolak untuk aku latih kakinya agar
terus bergerak sesuai saran ahli fisioterapi.
“Tadi di kantor aku webcam sama Falia. Dia titip salam buat
kamu,”
“Di kantor? Jelas sekali kalau kamu
bermalas-masalan,” Elang menanggapi ceritaku tanpa menoleh, benar-benar serius
dengan pekerjaan sebagai manajer.
“Hanya sebentar. Setelah itu aku
bekerja lebih keras dari orang lain,”
“Alasan,”
Apa
maksud kamu? Kata-katamu menyakitkan. Kalau tidak suka aku bicara, aku akan
diam. Aku diam.
Aku terus melatih gerakan kaki Elang
dengan cemberut. Lalu terhenti sebentar. Karena spidol Elang jatuh ke lantai,
aku mengambil spidol itu dan memberikannya kepada Elang.
Apa?
Kenapa menatap marah kepadaku?
“Kembalikan spidol itu ke lantai,”
perintah Elang padaku.
Hah?
“Aku bisa mengambilnya sendiri.
Jangan perlakukan aku seperti orang yang lumpuh dan nggak bisa bergerak,” kata Elang. Mendengar itu, aku meletakkan
spidol ke tempat yang tadi.
Elang menyingkirkan laptop dari pahanya
ke bantal, lalu bergerak berusaha menggapai spidol dengan tangannya. Tapi
ternyata terlalu jauh, sehingga Elang perlu menggeser badannya agar lebih dekat
ke tepi ranjang. Dengan kesusahan akhirnya ia berhasil menggapai spidol. Tapi
bersamaan dengan itu, spidol menggelinding menjauh, membuat Elang tiba-tiba
terjatuh. Aku langsung bergerak membantunya untuk naik ke atas ranjang lagi.
“Ambilkan spidol itu,” perintah Elang
kemudian setelah berhasil kembali ke posisi sebelumnya di atas ranjang.
Keras
kepala. Kamu menjadi terlalu sensitif.
Suatu pagi di hari yang lain, sebelum
berangkat ke kantor aku mampir ke rumah sakit membawa pamper dewasa pesanan
Tante Ayu. Menurut Tante Ayu, semalam Elang jatuh dari ranjang dan mengompol.
Rupanya semalam ia ingin buang air kecil tapi takut membangunkan Tante Ayu.
“Ini apa?” Tanya Elang sambil melempar pamper
yang aku letakkan di meja samping ranjang.
Kamu
kenapa lagi?
“Aku nggak
mau pakai. Apa karena semalam aku mengompol? Itu hal biasa pada orang dewasa
ketika mereka sudah nggak tahan,”
“Kami tahu. Ini hanya akan dipakai
kalau malam saja,”
“Nggak mau pakai,” tolaknya lagi.
“Lucunya bayi besarku kalau lagi manja
dan ngambek begini,” kataku sambil memungut pamper dan berjalan menghampirinya.
“Bayi? Kamu pikir aku bayi sehingga
harus pakai pamper? Aku masih bisa bergerak ke kamar mandi, aku belum lumpuh,”
Elang
...
***
Akhir pekan. Menurut cerita Om
Candra, tadi siang pimpinan dan beberapa teman kantor Elang datang menjenguk.
Hari ini adalah hari paling berat untuk Elang, karena kedatangan mereka selain
untuk menjenguk juga memberi kabar bahwa Elang dibebas tugaskan dari pekerjaan
kantor sampai Elang sehat kembali. Tanpa gaji, sehingga tidak jauh berbeda
dengan pemecatan.
“Aku nggak mau rasa ini, aku mau rasa leci,” kata Elang setelah aku baru
sampai di rumah sakit sore itu. Aku membawakan minuman untuk panas dalam
pesanan Elang yang aku beli sepulang dari kantor tadi. Aku kembali keluar kamar
dan ke mini market dekat rumah sakit untuk membeli minuman rasa leci.
“Bukan roti seperti ini yang aku
jelaskan tadi,” Beberapa menit kemudian menjelang makan malam ia kembali
membuatku bolak-balik. Kali ini aku salah membeli roti di kantin rumah sakit.
Menit kemudian ia minta dibacakan
buku biografi seorang tokoh dunia.
“Kamu terlalu cepat membaca,” kata
Elang, lalu aku membacanya dengan lambat. “Ulangi paragraf yang tadi,”
Ketika menjelang tidur, Elang banyak
meminta dan protes seperti tadi.
“Aku masih belum nyaman dengan
posisi seperti ini,”
“Ambilkan minum,”
“Air hangat, bukan air dingin,”
“Aku nggak
mau pakai selimut ini. Aku mau selimut yang ada di apartemen. Cepat ambilkan,”
Om Candra yang sedari tadi hanya
menyaksikan apa yang terjadi dari sofa, datang menghampiri Elang lalu menampar
wajahnya.
“Apa yang sedang kamu lakukan!”
Teriak Om Candra.
Elang menangis. Jenggot dan kumis
Elang bergoyang-goyang.
“Apa yang dia cari dariku sekarang? Aku nggak seperti dulu lagi. Aku lumpuh, aku
nggak punya gaji, dan mungkin saja
sebentar lagi aku mati,” Jawab Elang dengan berteriak juga. “Jika dia kesal,
dia akan memutuskanku dan pergi,”
Inikah
caramu agar aku meninggalkan kamu? Kamu pikir aku akan kesal dengan begitu? Aku
tidak akan kesal. Teruskan saja. Aku akan bertahan bersamamu. Jika tidak
diizinkan setelah memohon pun, aku akan terus bersamamu.
0 komentar:
Posting Komentar
silakan komentar disini... :)