**17**
![http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg](file:///C:/Users/lily/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg)
6 Januari 2010
Elang pernah berkata inilah home
plate baginya. Ia sudah puas berhenti di base-base sementara dan ingin lama di
sini. Aku menjadi takut dengan istilah
itu. Home plate seluruh makhluk Tuhan sebenarnya adalah pulang kepada Tuhan.
Apakah itu artinya ia sudah puas hidup dan ingin pulang kepada Tuhan?
Gelisa! Buang jauh-jauh pikiran
itu. Elang masih punya segudang harapan sembuh dan hidup.
Tidak memerlukan
banyak kata untuk menunjukkan bahwa kita peduli terhadap orang yang kita cintai,
karena terkadang diam adalah cara terbaik untuk menunjukkan kepedulian kita
terhadapnya.
--- HOME PLATE ---
Desember 2009
Kunjungan pertama Elang di rumah sakit
khusus kanker ternyata membekas di hati Elang dan penghuni rumah sakit kanker,
baik itu pasien, keluarga pasien, maupun pegawai dokter, perawat, dan pegawai
di bagian admistrasi. Sejak hari itu, ketika aku tidak memiliki ide hendak
membawa Elang kemana, ia selalu memilih berkunjung ke rumah sakit khusus
kanker.
Seperti hari ini, Elang sedang sibuk
mengobrol dengan penderita kanker yang tidak sedang menjalani kemoterapi
ataupun radioterapi. Mereka berkumpul bercanda dan saling berbagi pengalaman
dengan Elang.
“Jadi benar di diagnosa satu tahun saja
hidupmu?” Tanya seorang pasien.
“Hei, dia sudah bercerita banyak kali
untuk masalah itu. Aku bosan mendengarnya,” keluh pasien yang lain.
“Sebenarnya kamu sakit apa sekarang?”
“Iya, sakit apa? Stroke? Kaki dan tanganmu nggak
bisa digerakkan?”
“Stroke? Di usia muda?”
“Apa kamu kecelakaan?”
“Bagaimana dia bisa menjawab pertanyaan
kalian sekaligus?” Seorang perawat yang duduk di antara mereka langsung
menengahi. Dari kejauhan aku dan Ramadhan hanya tersenyum melihat mereka.
Sore hari sepulangnya dari rumah sakit
kanker, Elang ingin mampir ke toko buku. Ia ingin membeli beberapa buku untuk
ia baca. Akhir-akhir ini Elang memang suka dibacakan buku.
Kami sudah ada di depan toko buku.
Ramadhan menggotong Elang naik di kursi roda, lalu ia pamit pergi sebentar,
entah kemana. Tanpa lama-lama, aku bergegas mmengajak Elang menuju pintu toko
buku. Tepat di depan pintu toko aku berhenti, membuatnya bertanya.
“Nanti dulu, aku mau keluarkan pintu
ajaib agar kita bisa ke toko buku,”
kataku sambil berpantomin mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong
celana, lalu meletakkan sesuatu itu di depan pintu toko buku.
“Apa itu?”
“Ayo masuk, kalau kita buka pintu kemana
saja yang itu, kita akan sampai ke toko buku,” kataku sambil menunjuk pintu
toko.
“Anak kecil sekali, kita sudah ada di
depan toko buku sekarang. Jelas saja kalau masuk pintu itu, kita akan ada di
dalam toko buku,”
“Kamu nggak bisa pura-pura? Membosankan sekali,” umpatku sambil membuka
pintu toko buku lebar-lebar, lalu menyuruh Elang yang duduk di kursi roda power
elektrik masuk ke toko buku.
“Lagipula kantong doraemon itu di dada,
bukan di kantong celana,”
“Hah? Otak mesum, apa maksud kamu?
Kantong di dada? Seperti tukang jamu menyimpan uangnya?”
“Bukan itu maksudku,” kata Elang cepat.
“Sepertinya kamu yang berotak mesum,”
Eh?
Aku?
Aku melotot ke arahnya ketika ia menoleh
ke arahku. Elang tertawa lalu menyuruhku terus mendorong untuk melihat buku di
rak lain.
Eh,
kalau diingat-ingat lagi, kantong doraemon itu di perut. Jadi, siapa yang
berotak mesum?
Satu jam kemudian, Elang mengajakku ke
kasir, karena buku yang ia inginkan sudah ada di pangkuannya. Aku menurut,
masih dengan penuh semangat aku mengikuti Elang di belakang.
“Oh ya, Ramadhan kenapa belum kembali?”
Tanyaku pada Elang sambil tengak-tengok ke sekeliling toko buku.
“Sa, ambil diary itu,” perintah Elang tiba-tiba ketika melewati sebuah rak
yang tersusun banyak jenis diary di sana. “Ambil yang warna kuning muda itu,”
Eh?
Kuning muda? Warna kuning muda itu adalah diary yang dari tadi aku lihat.
Tadi ketika Elang tengah membaca
sinopsis buku yang hendak dia beli di rak sebelahnya, aku menatap diary itu
sambil memutuskan untuk beli atau tidak.
Wah,
dia mau menghadiahiku dengan itu? Sebenarnya aku juga tidak tahu pasti ingin
menulis diary atau tidak.
“Ini hadiah anniversary kita,”
Hari
ini? Bukan. Aku sudah bilang di setiap tahunnya kalau ini bukan hari jadi kita.
“Sudah mau pulang sekarang?” Tanya
Ramadhan yang tiba-tiba muncul di dekat kasir. “Ini pesanan kamu, Lang,”
Elang mengambilnya dari tangan Ramadhan
dengan tangan kirinya, lalu menyerahkannya kepadaku.
Apa
ini?
“Buka, nanti akan tahu itu apa,”
Cincin?
Kamu sudah tahu kalau cincin itu hilang? Sejak kapan?
“Kamu tahu kenapa aku nggak pernah tanya kemana cincin yang
pernah aku berikan?” Tanya Elang padaku.
Aku
kira hingga sekarang kamu tidak tahu tentang cincin itu. Aku sudah menyiapkan
alasan bahwa cincin itu aku simpan di rumah jika suatu waktu kamu bertanya.
Aku menggeleng.
“Karena aku tahu cincin itu ada dimana,”
“Dimana?” Tanyaku.
“Mungkin sekarang ada di tempat akhir pembuangan
tinja. Waktu itu aku mencuri cincin dari tanganmu ketika kamu tidur, lalu
membuangnya di toilet esok paginya,”
Hah?
“Waktu itu aku begitu frustasi,”
Jadi
kamu sekarang melamarku lagi?
“Jangan terus memintaku menikahimu lagi.
Hanya ingat ini saja, aku akan menikahimu jika aku sembuh,”
Baiklah.
Kamu harus sembuh agar bisa menikahiku.
***
“Ada calon klien yang tertarik dengan rancangan
kami di beberapa proyek sebelumnya dan sedang mempertimbangkan untuk bekerja
sama. Aku ditunjuk menjadi ketua tim. Bagaimana menurutmu? Aku harus terima
atau tolak?”
“Pertanyaan apa itu? Tentu saja terima,”
jawab Elang.
Ya
benar. Ini pertama kalinya aku ditawari menjadi ketua tim dalam suatu proyek
kantor.
Sejak menerima menjadi ketua tim, aku lebih
sering di rumah ketimbang di rumah sakit. Dan setelah klien menandatangi
kontrak, dalam seminggu, hanya dua kali saja aku bisa menjenguk Elang sepulang
kantor. Selebihnya aku habiskan untuk istirahat di rumah karena sepanjang hari
selalu kesana-kemari menemui klien untuk berdiskusi atau meninjau lokasi
proyek. Terkadang aku lembur di rumah hingga menjelang pagi dan esok paginya harus
buru-buru ke kantor.
Sesibuk apapun, aku berusaha
mengosongkan waktuku di hari minggu untuk bersama Elang. Aku harus selalu siap
sedia ke tempat-tempat yang Elang ingin kunjungi.
“Hari ini benar ingin di rumah sakit
saja?” Sekali lagi aku bertanya pada Elang yang duduk di kursi roda menghadap
jendela.
“Aku lelah, mau bermain game saja,” jawabnya sambil menggerakkan
kursi roda dan berputar menuju laptop yang tergeletak di atas meja samping
ranjang.
“Aku bisa bosan kalau hanya melihat kamu
bermain game sepanjang hari. Kita
keliling rumah sakit saja, bagaimana?”
“Ide bagus,” jawab Elang.
Beberapa hari kemudian, Rabu pagi. Pintu
rumahku diketuk dari luar. Aku mencoba bangkit dari ranjang kamarku, tapi
rasanya kepalaku sedang tertimpa satu ton kantung beras. Berat sekali.
Pintu masih saja diketuk, sehingga
dengan sekuat tenaga aku akhirnya bisa bangkit dan berjalan untuk membukakan
pintu.
Prakoso?
Ada apa?
“Ternyata Elang benar kalau kamu sedang
sakit. Kenapa nggak berobat?”
“Hanya pusing sedikit, sedang flu,”
jawabku sambil berjalan menuju sofa dan duduk di sana. Aku menyuruh Prakoso
masuk.
“Elang meneleponku untuk mengecek kamu
di rumah. Menurut Elang kemarin kamu nggak
masuk kerja dan hari ini juga,”
Hari
ini aku berencana masuk ke kantor. Sekarang jam berapa? Ya ampun, sudah jam
sepuluh siang? Aku terlambat.
“Aku terlambat,” kataku cepat sambil
bangkit dari sofa. Prakoso menahan badanku agar duduk kembali di atas sofa.
“Ayo kita berobat,” perintah Prakoso.
“Aku harus ke kantor,”
“Aku melarang kamu,”
Kamu
siapa berani melarangku?
“Elang bilang, kamu harus segera
mengaktifkan ponselmu. Dari kemarin nggak
aktif,”
Tidak
aktif? Mungkin baterenya habis dan aku tidak sempat men-charge-nya. Maafkan aku
Elang, kamu pasti sangat khawatir sekarang sampai-sampai mengirim Prakoso untuk
mengecek keadaanku.
“Aku benar kalau kamu sakit, Sa? Prakoso
sudah sampai di sana?” Kata Elang ketika aku mengangkat panggilan ponselnya.
Ponselku baru aku charge lalu
langsung mengaktifkannya.
“Aku hanya flu,”
“Makanya jangan terlalu lelah,” kata
Elang lagi.
“Sa, bukan itu maksud Elang, apa dia
selalu kasar begitu padamu?” Suara sudah berganti menjadi suara Tante Ayu.
“Berobat, ya, Sa,”
“Dia itu manja sekali. Nggak mau berangkat berobat sendiri,
selalu mengkhawatirkan orang lain,” kata Elang dengan suara yang terdengar
lebih kecil dari sebelumnya. Sepertinya Tante Ayu tidak mendekatkan ponsel ke
mulut Elang.
“Kamu terlalu lelah,” kata Prakoso
setelah panggilan dari Elang terputus.
Iya,
urusan kantor memang melelahkan.
“Kamu terlalu bekerja keras untuk Elang.
Harus lebih santai sedikit menghadapi sakit Elang, Sa,”
Iya,
aku lelah dengan sakit Elang. Tapi jika aku lelah, maka Elang sudah pasti lebih
lelah dariku. Aku tidak boleh lelah.
***
Setelah sembuh dari sakitku dan bisa
beraktivitas seperti biasanya, kurasakan aku menjadi cerewet dan banyak
bertanya kepada dokter. Aku terus saja mencari-cari gejala-gejala penyakit yang
ada di internet. Berharap bisa membantu dokter untuk mengetahui penyebab
sakitnya Elang.
“Dokter, bagaimana dengan penyakit
ini? Gejalanya hampir sama dengan Elang,” kataku sambil memperlihatkan kertas
berisi informasi tentang sebuah penyakit.
“Tapi hasil tesnya tidak ditemukan
zat tersebut dalam tubuh Elang dan bukan oleh limfosit T,” jawab dokter setelah
membaca nama penyakitnya.
“Bagaimana dengan yang ini, dok?”
“Itu disebabkan oleh virus. Tidak
ditemukan virus apa-apa,”
“Kalau dengan ini,dok?”
“Kamu pikir kami tidak memikirkan
kemungkinan tentang penyakit-penyakit itu? Kami juga mempelajarinya, dan hasil
menunjukkan, Elang terserang oleh sesuatu yang lain,”
Iya,
aku tahu itu. Tapi kapan kalian menemukannya?
“Tapi, dok, kenapa masih dilakukan
terapi-terapi tersebut?”
“Kami memberikan obat penahan rasa
sakit, karena beberapa kali dia mengeluh sakit di badannya,”
“Apa fisioterapi bisa
menyembuhkannya?”
“Terapi itu hanya untuk memperlambat
kemundurannya,”
Setelah
lama berdebat, akhirnya aku kembali ke kamar Elang malam itu. Elang tampak
sudah tertidur di ranjangnya. Lampu kamar dimatikan, sehingga stiker bintang-bintang
tampak bersinar cantik sekali.
“Aku
yakin dokter memarahimu,” kata Prakoso sambil menyiapkan bantal dan selimut
untuk ia tidur di sofa. Malam ini Prakoso yang menginap di rumah sakit. “Ayo,
aku antar pulang sekarang,”
Siapa bilang aku mau
pulang?
“Aku
ingin pulang,” kata Elang tiba-tiba.
Rupanya kamu belum
tidur, Lang?
Prakoso
mendekati Elang, sementara aku duduk di atas sofa.
“Kalian
tahu permainan baseball?”
Tahu sedikit sekali.
Ada apa?
“Tidurlah,
Lang. Sudah waktunya kamu tidur,” kata Prakoso.
Elang
menjelaskan seorang pemain baseball setelah memukul bola, maka ia akan berlari
berlawanan arah dengan jarum jam melewati base-base
untuk selanjutnya pulang ke tempat awal yang dinamakan home plate.
Apa yang ingin kamu
katakan?
“Home plate-ku adalah rumah masa kecilku.
Tentu saja, aku akan kembali ke home
plate seperti pemain baseball tersebut. Sepertinya sudah saatnya aku
kembali ke home plate-ku, rumah masa
kecilku,”
Rumah masa kecil? Di
Surabaya?
“Aku
ingin pulang,”
***
Pagi ini aku mendapat telepon dari
Nicholas bahwa punggung Elang sudah melemah. Elang harus menyandarkan punggungnya
pada sesuatu untuk sekedar duduk. Mendengar kabar tersebut, aku bergegas ke
rumah sakit.
Seperti waktu itu, dokter menjelaskan
keadaan Elang ketika Elang sedang melakukan fisioterapi. Dengan seksama Aku dan
Nicholas mendengarkannya. Kemarin Tante Ayu, Om Surya, dan Om Candara ke
Melbourne karena ada acara keluarga besar yang harus mereka hadiri dan akan
pulang setelah tahun baru. Karena itu beliau mempercayakan semuanya kepada aku
dan keempat sahabat Elang yang berada di kota ini.
“Pada tes terakhir, kerusakan myelin
masih terjadi bukan karena antibodi sebelumnya dan kami juga menemukan
kerusakan di beberapa bagian otak dan sumsum tulang belakangnya. Dari hasil MRI terbaru dan sebelumnya, bisa dilihat
bentuk dari sumsum tulang belakangnya mengalami perubahan,” kata dokter sambil
menunjuk gambar hasil MRI kepada
kami.
Saya
sedikit mulai sedikit mengerti setelah banyak membaca tentang jaringan
koordinasi.
“Gerak refleknya juga mengalami
gangguan. Sesuatu memang sedang terjadi. Mereka perlahan telah merusak saraf
pusat dan saraf tepi sekaligus,”
Merusak
saraf pusat dan saraf tepi sekaligus?
“Selain itu, mereka juga merusak lebih
cepat dari yang kami perkirakan. Jika saraf
pusatnya rusak, kemungkinan terburuk adalah suatu hari nanti otot
jantungnya yang akan melemah,”
Mendadak ruangan menjadi pengap,
dadaku sesak sekali.
“Kami sudah melakukan konsultasi
melalui data hasil tes dan perkembangan pasien yang sudah kami kirim kepada
mitra kami di Jepang dan Amerika Serikat. Mereka juga belum bisa menemukan
penyebabnya,” kata dokter lagi. “Jika keluarga mau, pasien bisa dibawa kesana
untuk penelitian lebih lanjut dan penangangan lain,”
Tuhan,
ada apa ini?
“Tapi, saya bisa memastikan,
penanganan pasien di sana akan sama saja dengan di sini. Karena selama ini
memang belum ditemukan kasus seperti ini,”
Apa
yang harus kami lakukan?
“Dalam
dunia medis saat ini, Elang adalah pasien pertama yang mengalami keadaan seperti
ini,”
Jadi
sekarang perbandingan kali ini adalah 1 : seluruh manusia di bumi?
“Apa benar tidak ada cara lain,
dok?”
“Kami pasti berusaha memberikan cara
pengobatan yang tepat setelah mengetahui sebabnya,”
Ya
Tuhan.
Satu minggu kemudian, dua orang
dokter dan beberapa pegawai salah satu rumah sakit di Amerika Serikat datang
mengunjungi Elang. Mereka banyak bertanya tentang kondisi Elang dan melakukan
banyak tes. Mereka menawarkan pengobatan gratis di sana kalau Elang bersedia
pindah ke rumah sakit mereka.
Beberapa hari kemudian giliran
dokter dari Jepang yang menawarkan hal yang sama kepada Elang.
“Ada apa sebenarnya?” Tanya Elang
padaku dan Nicholas setelah mengantarkan kepergian dokter dari Jepang keluar
dari rumah sakit hendak menuju bandara.
“Mereka sudah mendengar bahwa kamu
didiagnosa penyakit langka,” jawab Nicholas.
Malam hari Elang mengetahui keadaan
tubuh yang sebenarnya dari dokter. Elang menolak untuk pindah ke rumah sakit di
Amerika Serikat atau di Jepang. Ia memilih pulang ke Surabaya, ke rumah masa
kecilnya.
“Malam itu aku juga menonton film
tentang Aya dan penyakit ALS-nya. Aku pikir aku memang akan menjadi seperti
dia. Lumpuh, dan akhirnya akan mati,” tiba-tiba Elang bercerita.
Tidak, Elang! Ini bukan ALS seperti
Aya. Kamu harus sembuh, kamu bisa sembuh, kita hanya butuh keajaiban sekali
lagi. Perkara mati bukan ditangan dokter atau di tanganmu, tapi ditangan Tuhan.
Dokter tidak bisa menolak keinginan
Elang untuk pulang ke rumah masa kecilnya. Dokter menyarankan Elang agar setiap
minggu harus mengecek keadaan terakhirnya ke rumah sakit di Surabaya yang sudah
mendapat rujukan dari dokter. Selain itu, pihak keluarga juga harus sering
memberikan terapi ringan kepada semua anggota tubuhnya, terutama tangan kirinya
agar menjadi tidak cepat lumpuh total seperti tangan kanan.
0 komentar:
Posting Komentar
silakan komentar disini... :)