**6**
![http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg](file:///C:/Users/lily/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg)
16 Januari 2010
Suatu sore ketika tengah
menikmati udara sore di halaman samping rumah yang ditumbuhi banyak tanaman
hijau, dia merindukan motornya, saya merindukan motornya. Di bawah sinar
matahari sore kami menghayal dan menghitung seberapa banyak kali kami sudah
menaiki motor. Senang akhirnya kemudian kami bisa menaiki motor lagi. Rasa
rindu saya memeluk pinggangnya terobati, entah bagaimana ia, karena setelah
itu, saya melihat air matanya jatuh setetes. Ia tidak bisa menghapusnya lagi,
jadi dengan lembut sayalah yang mengusap air mata itu. Saya tidak sanggup
bertanya apakah ketika itu dia senang atau sedih.
Elang, apakah kamu senang? Atau
sedih? Jika kamu tahu, saya senang. Tapi untuk berkata saya senang di hadapanmu
pun saya juga tidak sanggup.
Selalu ada kejutan, baik itu disengaja atau
tidak disengaja. Begitulah salah satu cara menguatkan cinta. Tersenyumlah
selama kejutan itu datang ketika kita bersama seseorang yang kita cintai.
--- LET ME BE WITH YOU ---
Sudah hampir tujuh bulan Elang
menjadi begitu frustasi seperti ini dan hampir setiap malam ia mengajakku
keluar rumah berkeliling dengan motornya. Dia tidak bisa kuliah seni di Inggris
seperti yang ia inginkan. Elang dipaksa papinya untuk kuliah Hukum di
Universitas terbaik di negeri ini. Dia cerdas, ketika itu dia lulus di jurusan
seni di Inggris sekaligus di fakultas Hukum di Universitas pilihan papinya.
Aku baik-baik saja diajak pergi,
tapi yang membuatku agak kesal adalah ia hanya membawaku keliling selama lebih
dari satu jam, tanpa bicara sedikitpun, tanpa berhenti sekalipun, lalu akan
dikembalikan ke rumah dan ia akan pergi tanpa pamit secepat kilat.
Sebenarnya
apa yang kamu pikirkan selama ini?
Malam ini juga. Aku sedang mendekap
tubuh Elang semakin kuat dan berlindung di punggungnya dengan penuh harap ia
bisa membaca pikiranku. Sayang sekali aku sudah terbiasa sekarang dengan motor
yang melaju sangat cepat, sehingga sekarang aku tidak bisa muntah. Tapi entah
mengapa kali ini aku benar-benar ingin Elang berhenti atau setidaknya melambat.
“Kita pelan-pelan saja, ya!”
Teriakku dari balik helm kepada Elang. Elang tidak mendengar. “Bisa pelan
sedikit, nggak?”
“Apa?” Teriaknya juga.
“Kamu nggak dengar?!”
Dengan
cara apa agar motor ini bisa melambat sedikit?
Aku mencoba mencondongkan kepalaku
mendekat ke telinga Elang, agar ia bisa mendengarku. Tapi aku menjadi kaget
karena sedetik kemudian, tiba-tiba Elang seperti kehilangan keseimbangan, motor
terjatuh. Dengan cepat terdengar bunyi decit kendaraan di sekitar. Kejadiannya
begitu cepat, aku tidak tahu ada apa. Tapi saat ini aku sedang berguling-guling
di jalan aspal, sakit di badan terasa dimana-mana.
Setelah selesai berguling, dengan cepat
aku mendengar bunyi decit rem mobil ketika aku mulai mengangkat kepalaku. Aku kaget
sekali lagi karena tiba-tiba bemper mobil dengan cepat berhasil mengetuk helm
yang sedang kupakai tepat ketika aku sedang mengangkat kepalaku.
Tepuk
tangan untuk si sopir yang mengerem mobil tepat pada waktunya. Bagaimana jika
mobil itu tidak bisa berhenti ketika itu? Kepalaku akan tertabrak dan aku akan
terseret-seret lalu mati? Ya aku nyaris mati malam ini.
Aku menjadi tidak bisa menggerakkan
tubuhku. Aku gemetar ketakutan. Jantungku masih berdegub cepat sekali,
telingaku mendengar begitu banyak macam suara. Begitu berisik, lalu aku melihat
banyak kepala tengah mengelilingiku.
Tolong
buka helm ini! Aku susah bernafas! Hei, adakah yang bisa mendengarku? Aku susah
bernafas!
Aku masih ingat bagaimana rasanya
nyaris mati, aku masih ingat kejadian malam itu, ketika pada akhirnya mendengar
suara ambulan, ketika pada akhirnya ada yang bersedia mengangkat tubuhku dan
membuka helmku, memberikan oksigen kepadaku, membawaku ke rumah sakit,
memeriksa dan memberikan berbagai perlakuan ke tubuhku hingga akhirnya aku bisa
terbangun di ranjang di sebuah kamar. Aku masih bisa dengan jelas menceritakan
kisah ini kepada orang lain.
“Gelisa?” Aku mendengar suara mama
ketika baru saja membuka mata. “Papa, panggil dokter! Gelisa sudah bangun!”
Teriak mama kemudian sambil mengusap-usap pipiku. Aku menoleh ke arah mama yang
tersenyum bahagia sekali.
“Gelisa belum mati, Ma?” Tanyaku tiba-tiba
menangis. Aku begitu bersyukur, aku sempat ketakutan setengah mati, dan aku
menjadi tahu makna ketakutan setengah mati yang sebenarnya.
***
Aku beruntung sekali tidak cedera
apapun. Kepalaku selamat, tulang-tulangku selamat, tapi beberapa kulit di
tangan dan kaki lecet-lecet dan hampir mengering menjadi koreng basah.
Kamu
sudah hampir membunuhku, tapi kenapa kamu tidak pernah sekalipun menampakkan
wajah di rumah sakit? Apa kamu tak merasa bersalah sama sekali sudah memasukkan
aku ke dalam hidup yang hampir mati?Elang, kamu akan mati hari ini juga.
Aku membuka pintu kamar tempat Elang
di rawat dengan sangat marah. Tampak Tante Ayu dan Om Surya suami Tante Ayu. Di
sana Tante Ayu tampak sedang menangisi Elang yang terbaring di atas ranjang.
“Aku akan baik-baik saja, Tante,”
Elang tampak mencoba meredakan tangis Tante Ayu. Tante Ayu mengangguk-angguk
sambil tersenyum.
“Sudah lebih baik, Lang? Kami datang
lagi,” tiba-tiba Fredi sudah berdiri di belakangku dan berjalan santai mendekat
ke ranjang Elang diikuti Nicholas, Abdul Muis, Ramadhan, dan Prakoso. Elang,
Tante Ayu, dan suaminya menoleh ke arah mereka dan memberi sambutan begitu
hangat.
Aku
di sini! Ada yang lihat keberadaanku?
Setelah melihatku, Prakoso menarik
tanganku untuk ikut mendekat ke ranjang Elang. “Aku dengar kamu boleh pulang
hari ini?” Bisik Prakoso padaku sebelum benar-benar mendekat ke arah Elang. Aku
hanya mengangguk pelan.
Dengan seksama aku melihat tubuh
Elang. Tampaknya ia baik-baik saja seperti aku, tidak terlihat cedera apapun di
tubuhnya. Aku sedikit lega. Ketika bola mataku tiba di wajahnya, aku langsung
bisa menangkap matanya yang tengah menatap mataku.
Aku
dag dig dug. Hentikan!
“Kamu mau pulang hari ini?” Tanya
Elang. Aku mengangguk. “Kata orang tua, lecet itu akan cepat sembuh kalau
diolesi minyak makan. Nggak tahu?”
Tanya Elang lagi. Aku menggeleng.
“Hei, mulut kamu kenapa? Jadi nggak bisa bicara begitu?” Tanya Prakoso
sambil mengamati mulutku. Aku mendorong kepala Prakoso agar ia berhenti
mengamati mulutku. Prakoso tertawa pelan, sebentar.
“Aku akan baik-baik saja,” kata
Elang sambil tersenyum.
Haiss,
aku juga tahu kamu akan baik-baik saja. Tapi apa kamu juga punya lecet seperti
aku?Dimana? Aku memang suka sama kamu, tapi ini tidak adil kalau hanya aku yang
mendapatkan lecet.
“Oh, kamu sudah kasih tahu ke Gelisa
kalau di otak kamu ada tumor?” Tanya Prakoso pada Elang. Elang menggeleng
bingung.
Tumor
di otak?
“Aku kira kamu yang sudah kasih tahu
ke Gelisa,” kata Elang.
Apa-apaan
ini? Apa yang mereka bicarakan?
“Setelah operasi, aku akan baik-baik
saja,” kata Elang sambil tersenyum kecil. Tante Ayu mengangguk-angguk mengerti sambil
menggenggam tangan Elang.
Ya,
aku menyadari kecelakaan malam itu memiliki arti kasih Tuhan.
Malam itu Elang mendadak pingsan setelah
beberapa menit menahan sakit di kepalanya. Karena itu motor kehilangan
keseimbangan dan kecelakaan itu terjadi. Jika kami tidak mengalami kecelakaan
dan dibawa ke rumah sakit, maka tidak akan terdeteksi adanya tumor di kepala
Elang.
***
Sayang sekali beberapa hari
kemudian, dokter mengatakan bahwa itu bukan sekedar tumor. Benda di kepala
Elang berupa kanker di dalam kepala. Melihat letak benda tersebut, operasi
bukanlah jawaban. Kemoterapi dan radioterapi adalah pilihan pengobatannya.
Dokter pun sempat menafsirkan umur Elang tinggal satu tahun lagi dengan melihat
kondisi kanker yang ada di kepalanya.
Hahaa
lucu sekali. Apakah itu artinya ia akan mati tahun 2001?
Suasana menjadi berbeda setelah kabar
tersebut. Elang menjadi sensitif sekali, tidak pernah lagi terdengar kalimat
seperti beberapa hari yang lalu dimana ia mengucapkan kata-kata penenang kepada
kami. Justru kamilah yang saat ini berjuang memberi motivasi dan ketenangan
kepada Elang.
Mendengar kanker tersebut, Tante Mirani,
maminya Elang, langsung datang dari Amsterdam untuk ikut menenangkan Elang dan
menemani Elang.
“Ya sudah, ambil kanker ini!
Pindahkan ke otak Mami sekarang!” Teriak Elang tiba-tiba ketika Tante Mirani
sedang mencoba menghibur Elang. Tante Mirani tersentak kaget sambil terus
menangis. Baru saja semua orang menenangkan Elang dengan berbagai kata
masing-masing, berusaha menghibur. Tapi sayang sekali tanggapan Elang seperti
itu.
Tapi
itu adalah respon yang wajar sekali. Aku pun akan begitu jika menjadi dia,
frustasi.
“Elang,” Nicholas mencoba
menenangkan Elang.
“Segera? Kapan? Aku juga ingin
segera naik motor lagi, berengsek! Tahun depan aku mati, mungkin bulan depan
aku sudah nggak ada tenaga untuk
berdiri!”
Prakoso meninju pipi Elang
tiba-tiba. Elang diam seketika, dan dengan cepat Tante Mirani menampar wajah
Prakoso.
Saat
ini, aku merasa kami seperti sedang berperan dalam sebuah film.
“Keluar semua,” kata Elang kemudian
dengan suara pelan. Serentak semua orang yang ada di sekeliling ranjang Elang
bergerak menuju pintu keluar kamar. Aku tetap berdiri di sudut ruangan, menatap
setitik air mata yang berhasil keluar dari mata Elang.
Elang menoleh ke arahku dengan marah
sambil menghapus air mata itu. “Kamu juga keluar!” Teriak Elang padaku.
Iya,
aku keluar sekarang.
Aku bergegas berlari mengikuti semua
orang untuk keluar kamar tempat Elang dirawat. Melihatku, Prakoso berhenti
melangkah dan menungguku untuk keluar kamar bersama-sama dengannya.
Esok harinya kedua orang tua Elang
memutuskan agar Elang pindah dari rumah sakit umum ke rumah sakit khusus
pengobatan kanker yang ada di negeri ini.
***
Kemoterapi dan radioterapi. Itu
adalah cara yang saat ini dipercayai bisa menghilangkan kanker di otak Elang.
Berkali-kali Tante Mirani menjelaskan cara tersebut, dan memberi gambaran bahwa
kanker Elang akan hilang dan ia akan sembuh. Kanker adalah sebuah penyakit yang
masih mungkin untuk disembuhkan.
Mungkin
saja benar apa yang dikatakan Tante Mirani. Elang pasti bisa sembuh, karena
tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.
“Kita bisa jika kita berjuang
bersama, Nak,” bujuk Tante Mirani.
“Untuk apa? Untuk menunggu mati
setahun lagi?”
“Kamu pikir perkara mati ada
ditangan dokter? Ingat Tuhan, Nak. Mami akan berdoa memohon kasih-Nya untuk
kamu,”
“Aku juga akan memohon kepada
Tuhan,” kataku cepat.
“Kami juga,” kelima sahabatnya ikut
bersuara.
“Papi juga,”jawab Om Candra. “Setahun
lagi kamu bisa keluar dari kuliah hukum, papi janji akan mengikuti keinginan
kamu. Tapi kamu harus janji untuk berjuang membunuh kanker itu. Cuma kamu anak
Papi, Lang,”
“Mami akan selalu di sini sampai
kamu sembuh, nak,”
“Aku juga, Lang,” kataku cepat.
“Kami juga,” kelima sahabatnya
kembali ikut bersuara.
“Papi juga?” Tanya Elang sambil
menoleh ke arah Om Candra lalu tertawa kecil.
Let
Me Be With You, Lang. Kamu harus kuat, karena kamulah yang sesungguhnya bisa
menguatkan kami agar kami bisa menguatkan kamu.
0 komentar:
Posting Komentar
silakan komentar disini... :)