**7**
11 Desember 2009
Dokter dengan tegas mengatakan
terapi ini bukan untuk menyembuhkannya, tapi hanya untuk memperlambat
kemundurannya. Tapi aku terkejut dengan keterangan dokter tadi. Apa yang harus
aku lakukan?
Cinta memberi senyum
tulus yang mengartikan rasa terima kasih dan pengungkapan rasa berbahagia.
tersenyumlah untuk seseorang yang kita cintai. Hal mudah, bukan?
--- TERIMA KASIH ---
Elang sudah bangkit kembali.
Keinginannya untuk hidup menjadi tinggi sekali, membuat kami yang ada di
sekelilingnya ikut bersemangat.
Ya,
kita semua akan memenangkan cobaan ini bersama-sama. Seperti yang Tante Mirani
pernah katakan suatu malam padamu, bahwa sakitmu bukan milikmu seorang, tapi
juga milik Tante Mirani. Aku juga ingin kamu tahu, sakitmu memang bukan milikmu
seorang, tapi juga milikku. Itulah alasan kenapa aku sering sekali
mengunjungimu.
Dengan cepat setelah Elang menjadi
pasien di rumah sakit khusus kanker, Elang melakukan CT Scan sebagai langkah awal radioterapi dan kebetulan langsung
mendapatkan jadwal radioterapi. Radioterapi direncakan dilakukan sebanyak 35
kali setiap hari senin hingga jumat.
“Bagaimana, dok?” Tanya Tante Mirani.
“Datanglah ke gedung radioterapi minggu
depan. Kita bisa langsung mulai,” kata dokter.
Hari pertama, sebelum dilakukan
radioterapi, Elang harus cek darah dulu untuk mengetahui kondisi badannya
memungkinkan untuk dilakukan tindakan ini atau ditunda terlebih dahulu. Hasil
tes menyatakan bahwa Elang bisa diradioterapi pada hari itu juga.
“Pasien sebenarnya tidak harus rawat
inap, tapi biasanya jika menginap, bisa mendapat radioterapi pada urutan awal
di pagi hari,” begitu saran dokter, sehingga Om Candra dan Tante Mirani
memutuskan untuk memasukkan Elang sebagai pasien rawat inap di rumah sakit khusus
kanker ini. Di sini ternyata tidak sedikit yang menderita kanker, sehingga
banyak yang mengantri perawatan radioterapi.
Seperti yang dijelaskan dokter
sebelumnya, bahwa Elang akan dilakukan pengobatan radioterapi di hari pertama
lalu mendapatkan kemoterapi di hari yang sama. Aku mendapatkan cerita itu dari
Prakoso, karena hari pertama perawatan Elang, aku harus sekolah.
“Selama kemoterapi Elang diharuskan
buang air kecil terus menerus dan air seninya pun ditakar oleh perawatnya,”
begitu cerita Prakoso ketika kami sedang dalam perjalanan dari sekolahku menuju
rumah sakit. Perjuangan di hari pertama, Elang membutuhkan sekitar 12 jam untuk
radioterapi sekaligus kemoterapi.
Hari-hari selanjutnya Elang menjadi
terlihat lesu dan kurus sekali. Menurutnya efek kemoterapi membuatnya mual,
sehingga berkali-kali ia muntah dari atas ranjang.
“Elang nggak punya tenaga untuk berlari ke kamar mandi ketika hendak
muntah, jadi Tante Mirani menyiapkan wadah ini untuk Elang muntah,” begitu kata
Nicholas sambil memperagakan orang muntah di wadah tersebut.
“Itu bukan untuk main-main,” kata Elang
dengan lesu.
Wajah
kamu pucat sekali, Lang. Apa kamu merasa baik-baik saja?
“Apa kamu hamil? Mual seperti orang
hamil?” Ledek Nicholas sambil terkekeh sendirian.
Apanya
yang lucu? Makhluk satu ini masih saja belum berubah.
“Aku lelah sekali seperti hampir mati,”
kata Elang tiba-tiba.
“Kamu bicara apa? Kamu nggak akan mati karena kanker ini, kamu
pasti sembuh,” kata Tante Mirani cepat. “Mami punya majalah yang menceritakan
tentang penderita kanker dan hingga sekarang ternyata masih hidup dan sehat,”
lanjut Tante Mirani sambil memperlihatkan sebuah majalah berbahasa Inggris
kepada Elang.
Waktu cepat sekali berlalu. Hampir tiga
bulan Elang berhasil menjalani 35 kali radioterapi dan 2 kali kemoterapi
seperti yang disarankan dokter. Badannya saat ini lebih kurus dari sebelumnya.
Dan wajahnya terlihat pucat.
Hari minggu. Aku, keempat sahabatku,
kelima sahabat Elang, Om Candra, dan Tante Mirani saat ini sudah berdiri di
halaman depan rumah Tante Ayu. Hari ini Elang pulang ke rumah, karena
pengobatan sudah selesai dilakukan.
“Aku pulang, mi?” Celetuk Elang ketika
ia sedang ditopang turun dari kursi mobil menuju kursi roda.
“Selamat datang di rumah,” sambut Tante
Ayu sambil tersenyum lalu mengajak semua orang masuk ke rumahnya. Elang masih
tampak kelelahan setibanya di rumah. Sebelum pulang, dokter menyarankan
pemulihan dan pemeriksaan rutin terhadap Elang setiap bulan ke rumah sakit.
“Mami hamil, ya?” Tanya Elang tiba-tiba
ketika kami semua tengah mengobrol di ruang televisi. Serentak semua mata
memandang ke arah Tante Mirani yang sedang berjalan ke arah kami sambil membawa
nampan yang berjajar gelas berisi minuman di atasnya.
“Empat bulan,” jawab Tante Mirani sambil
tersenyum. “Sureprise,”
Eh?
Hamil? Tapi memang tidak begitu terlihat sehingga tak satupun dari kami yang
menyadarinya.
***
Hari ini Tante Mirani sudah pulang lagi
ke Amsterdam. Kami semua mengantarkan kepergian Tante Mirani ke Bandara.
“Hati-hati dan jaga kesehatan, ya, Nak,”
kata Tante Mirani pada Elang.
“Mami juga,” jawab Elang.
“Terima kasih semuanya sudah
mengantarkan tante kemari. Terima kasih juga untuk bantuan kalian kepada Elang
selama ini,” kata Tante Mirani sebelum akhirnya masuk ke pintu departure hall.
Hari-hari selanjutnya Tante Ayulah yang
merawat Elang di rumah dan mengantarkan Elang chek-up ke rumah sakit. Om Candra masih sering datang seperti
sebelumnya, yaitu setiap akhir minggu.
Elang menjadi rajin melukis setelah
Tante Mirani membelikannya alat-alat lukis. Sudah enam belas lukisan di
beberapa bulan masa pemulihan tubuhnya. Beberapa bulan kemudian wajahnya sudah
tidak pucat lagi, tapi badannya masih tampak kurus. Elang sedikit memanjangkan
rambutnya, tidak sebatas telinga lagi seperti sebelumnya.
“Lukisan kamu di ikutkan pameran kampus
kita, ya,” Fredi bersuara suatu malam ketika aku dan ketiga sahabatku serta
kelima mantan preman sekolah berkumpul untuk membuat pesta ulang tahun untuk
Elang.
“Kalau nanti paling bagus, aku jadi nggak enak,” jawab Elang bercanda.
Serempak kami semua mencibir ke arah Elang, lalu tertawa kecil bersama. Tidak
membutuhkan waktu lama berpikir, lukisan Elang ikut pameran di kampus Fredi
yang kebetulan juga menjadi kampus Elang.
Delapan lukisan terjual dengan harga
yang lumayan, dan Elang memutuskannya untuk disumbangkan ke yayasan kanker yang
ada di kota ini.
“Bekal mati,” celetuk Elang dengan
entengnya sepulangnya dari yayasan kanker. Mendengar itu, kami semua terdiam
seketika.
Entah itu suatu firasat atau bukan, satu
bulan setelah pameran itu, hasil CT Scan
pada check-up selanjutnya, Elang
diharuskan melakukan kemoterapi kedua. Seperti ketika itu, semua berjalan
dengan cepat. Jadwal kemoterapi Elang sudah ditentukan setelah hasil tes darah
laboratorium keluar, yaitu besok pagi.
***
Kondisi badan Elang sudah membaik, tidak
terlihat lesu ketika jadwal yang dijanjikan untuk melakukan radioterapi. Aku
sudah kelas tiga sekarang. Elang juga sudah mengundurkan diri dari kuliah
hukumnya.
Sore hari di hari pertama kemoterapi
kedua, perawat datang dengan memberitahukan cara-cara kemoterapi yang kedua
ini, dan kemungkinan efeknya kepada Elang dan keluarga. Kemoterapi kali ini
menggunakan obat yang berbeda dari sebelumnya, Elang akan diberi obat anti mual
yang lebih baik.
Aku dan kelima preman sekolah menguping
di pojok ruangan. Menurut perawat tersebut, efek yang bisa ditimbulkan seperti
rambut rontok, kuku menjadi gelap, diare ringan. Perawat juga menyarankan agar
Elang jangan terkena cahaya matahari langsung selama 7-10 hari setelah
kemoterapi. Elang harus menerima kemoterapi selama 4 hari berturut-turut untuk
satu siklusnya dengan interval tiga minggu.
“Wah, drakula rupanya orang ini,”
celetuk Ramadhan tiba-tiba setelah perawat sedang melakukan persiapan untuk
kemoterapi.
“Drakula?” Tanya Elang.
“Nggak
boleh terkena sinar matahari,” jawab Ramadhan, membuat penghuni kamar tertawa
kecil beramai-ramai.
“Kira-kira berapa siklus, ya, dok?”
Tanya Om Candra pada dokter yang baru datang.
“Tergantung perkembangan, biasanya 6
siklus. Tapi kita lihat nanti,” jawab sang dokter.
Waktu yang diperlukan untuk kemoterapi
hari pertama sekitar 4,5 jam dari persiapan. Jam tiga siang kemoterapi dimulai
dan berakhir pada jam setengah delapan malam. Hari pertama, Elang masih
terlihat baik-baik saja, membuat orang-orang yang menungguinya merasa Elang
hanya sakit ringan.
Tak beberapa lama kemudian aku dan
kelima preman pamit kepada Tante Ayu dan Om Candra untuk pulang ke rumah
masing-masing. Besok aku masih harus sekolah dan kelima preman juga harus
kuliah.
Hari kedua dan ketiga aku tidak bisa ke
rumah sakit. Tapi ketika aku bisa mengunjungi Elang pada kemoterapi hari
keempat, aku menjadi sedih melihatnya. Badannya agak sedikit lemas, dan
keringatnya banyak keluar dari wajahnya. Ia sudah mulai terlihat seperti orang
sakit.
“Besok pagi Elang pulang, nih,” kata
Tante Ayu kepadaku, Prakoso, dan Fredi sebelum kami pamit pulang malam itu.
Kemoterapi siklus pertama berakhir, dan
siklus kedua akan dilanjutkan sekitar tiga minggu yang akan datang.
***
Tiga minggu kemudian Elang masuk ke
rumah sakit lagi untuk melakukan kemoterapi siklus kedua. Elang kembali menjadi
pasien rawat inap di rumah sakit khusus kanker. Kebetulan hari itu sekolah
sedang libur. Jadi aku dan keempat sahabatku bisa menjenguk dan menemani Elang
melakukan kemoterapi hari pertama siklus kedua. Tante Ayu, Om Candra, Om Surya,
Nicholas dan Fredi juga sudah ada di sana. Mereka sedang menunggu hasil
laboratorium tes darah.
Setelah tes darah keluar, hasil tes
tersebut menyatakan bahwa kondisi Elang bisa mulai menerima kemoterapi hari ini
juga.
“Makin cepat kemoterapi, makin cepat
sembuh,” kata Om Candra menenangkan Elang yang wajahnya tidak setenang tadi
pagi.
Pada kemoterapi siklus kedua ini
badan Elang semakin terlihat letih dan mulai muntah-muntah seperti waktu itu.
Tapi melihat ia begitu kuat dan bersemangat, membuat kami tidak terlalu
khawatir. Ini adalah sebuah perjuangan menghilangkan kanker, jadi kami semua
hanya bisa membayangkan hari setelah ini dimana Elang bisa sehat kembali.
Tiga minggu kemudian pada siklus
selanjutnya efek-efek yang diberikan perawat sebelum kemoterapi beberapa waktu
lalu satu persatu terwujud. Kuku-kuku Elang menjadi gelap, dan ia semakin
sering ke kamar mandi karena merasa mulas. Rambutnya juga sudah semakin banyak
yang rontok.
Sore itu ketika aku dan kelima
mantan preman sekolah datang mengunjungi Elang, Elang sedang memuntahkan
sesuatu ke dalam baskom kecil yang dilapisi kain. Tante Ayu tampak sedang
mengusap-usap punggung Elang dengan lembut. Hanya air yang keluar dari mulut
Elang dan ia tampak begitu menderita.
Elang,
kamu kasihan sekali. Apa terasa begitu sakit?
“Aku bawa ini, Lang,” Suatu hari
setelah Elang terbangun dari tidurnya, Ramadhan memamerkan sebuah benda sambil
tersenyum.
“Apa?” Tanya Elang pelan.
“Cukur rambut,” jawab Ramadhan
santai sekali.
“Cukur?” tanyaku cepat sambil
menoleh ke arah kepala ramadhan yang botak.
“Biar seperti aku. Botak,” terang
Ramadhan tertawa kecil.
Beberapa menit kemudian Tante Ayu
menyiapkan segala keperluan untuk cukur rambut dan mendudukkan Elang yang lemas
ke sebuah bangku dekat jendela kamar inap rumah sakit.
Sekitar tiga puluh menit sesi pemotongan
rambut selesai. Kepala Elang sekarang nyaris sama dengan kepala Ramadhan. Mirip
telur karena bagian atasnya terlihat lonjong. Ramadhan mulai memanggilnya
kepala telur untuk mencairkan suasana.
Hingga di akhir siklus keenam
beberapa bulan kemudian, dokter menyarankan untuk Elang agar istirahat dulu
dari kemoterapi. Badan Elang semakin bertambah kurus. Hampir setiap minggu
Elang harus ke rumah sakit untuk cek ke laboratorium dan ke dokter. Ia tampak
begitu lemah seperti kehabisan tenaga, sehingga ia pergi ke rumah sakit
menggunakan kursi roda dan wajahnya selalu tampak sedang tertidur ketika di
atas kursi roda.
Elang
menjadi lemah sekarang. Tuhan, apakah benar ada keajaiban? Aku tidak ingin
Elang mati seperti perkiraan dokter waktu itu.
***
Check-up
terakhir menyatakan bahwa kanker sudah tidak ada lagi di kepala Elang setelah
perjuangan selama lebih dari satu tahun. 100% ia berhasil melawan kanker itu.
Tuhan tidak menginginkan Elang mati di
tahun yang pernah ditafsirkan dokter dahulu. Semua benar, bahwa hidup mati
bukan ditentukan oleh seorang dokter, tapi oleh Tuhan. Keadaan Elang juga saat
ini sudah membaik, tubuhnya sudah kembali berisi. Kami semua menangis
bersama-sama ketika itu lalu tersenyum bahagia sekali.
Tuhan,
terima kasih.
Satu bulan kemudian Om Candra tidak lagi
mengunjungi Elang di akhir pekan, karena Elang benar-benar dinyatakan sembuh
total dari kankernya. Sementara Elang sudah bersiap-siap mendaftarkan diri
masuk ke sekolah seni di London. Di sana, Tante Mirani sudah mencarikan rumah
sakit untuk Elang kontrol kesehatan yang harus dilakukan setiap bulan selama
setahun, tiga bulan sekali selama setahun, dan selanjutnya enam bulan sekali.
Begitu saran dokter sebelum Elang pergi ke London.
***
Aku sudah masuk ke universitas yang
sama dengan universitas Elang yang dulu, mengambil jurusan arsitektur. Siapa
sangka aku menjadi adik tingkat Fredi Ardi Sanudirta sekali lagi. Karena hal
itu, aku menjadi terselamatkan dari kejamnya OSPEK mahasiswa baru, karena
beberapa kali Fredi melindungiku. Falia di Universitas yang sama mengambil
jurusan Hubungan Internasional. Anang memilih masuk ke sekolah tinggi
perhotelan di Bogor. Sementara Ratih kembali ke daerah asalnya, kuliah
kebidanan di Sekolah Tinggi Kesehatan Negeri di Jambi.
Kami
semua lupa kejadian beberapa bulan lalu tentang Elang, dan aku benar-benar
bersyukur semua sudah terlewati dengan penuh keajaiban.
Elang datang suatu malam ke rumahku.
Tubuhnya sekarang sama kurusnya dengan Prakoso, tapi matanya masih saja
sempurna seperti dulu. Lama mengobrol, akhirnya ia menunjukkan sebuah amplop
pink yang pernah kukenal. Amplop itu berisi sebuah kertas pink yang penuh
dengan isolasi bening. Rupanya itu surat yang pernah aku kasih ke Elang tiga
tahun lalu.
Wajahku memerah sambil mencoba melirik
Elang untuk melihat ekspresinya saat ini.
“Kamu mau pacaran jarak jauh?” Tanya
Elang tiba-tiba.
“Hah?”
“Atau kamu mau menunggu empat tahun
lagi?”
“Kalau dua-duanya? Boleh?” Tanyaku
pelan.
0 komentar:
Posting Komentar
silakan komentar disini... :)