**10**
![http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg](file:///C:/Users/lily/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg)
16 Januari 2010
Tadi sore, ia bilang pelangi itu
adalah saya. Pelangi memiliki banyak warna sekaligus ketika satu kali muncul.
Seperti saya, yang bisa membuatnya tertawa, marah, kesal, dan bahagia sekaligus
ketika saya muncul dalam hidupnya.
Kalau begitu, dia juga pelangi.
Karena dia bisa membuat saya tertawa, marah, kesal, dan bahagia sekaligus.
Kita harus sedikit
menyerupai satu sama lain untuk mengerti satu sama lain, Tetapi kita harus
sedikit berbeda untuk mencintai satu sama lain.
--- PELANGI Episode 2 ---
“Ini foto paparazi, loh. Kamu
peluk-peluk pinggang dia,” kataku sambil menunjuk foto yang terpampang di
sebuah tabloid gosip dengan judul ‘Pacar Baru Dian Putri Seorang Fotografer
Terkenal’. Aku kesal karena sedari tadi ia menyangkal.
“Kita pacaran sudah berapa tahun? Kamu
percaya dengan tabloid gosip atau aku?” Elang masih menyangkal. “Kamu jadi
seperti anak kecil begini,”
Anak
kecil? Suruh siapa pacaran dengan anak kecil?lagipula Dian Putri si artis yang
baru naik daun tahun 2008 ini masih jauh lebih kecil dari aku. Delapan belas
tahun! Masih ingusan!
“Sekarang aku ganti pertanyaan, kamu
suka dia, kan?” Aku mulai menarik nafas dalam untuk menenangkan diri.
“Kami hanya sedang kerja sama. Itu foto
waktu sedang pemotretan di studio kantor, dan banyak yang melihat, jadi bukan
apa-apa. Mengerti?”
Peluk
mesra begitu? Mana bisa foto orang sambil peluk begitu.
“Jujur saja, kamu suka sama dia, kan?”
“Siapa yang nggak suka sama perempuan cantik dan muda seperti dia? Laki-laki
dikantor juga. Mereka semua cerita kalau mereka suka dengan Dian Putri,”
Aku
kesal kamu jadi fotografer majalah fashion. Aku tidak pernah mau kamu jadi
terkenal walau sekarang bayarannya sudah mahal. Pasti banyak model yang
mengejar kamu.
“Jadi intinya kamu suka Dian Putri?”
“Kalau boleh jujur, dia memang menarik,
tapi bukan berarti aku akan meninggalkan kamu. Kita sudah lama bersama, Sa. Dan
itu bukan alasan untuk aku bisa meninggalkan kamu,”
Jadi
bukan cinta? Karena sudah lama bersama? Apa aku sudah tidak menarik lagi? Ayo
bilang kalau kamu cinta sama aku, maka aku akan memaafkanmu sekarang juga.
“Sudahlah jangan bertengkar lagi karena
hal begini,” kata Elang. “Kalau mau cemburu, sebenarnya aku juga cemburu sama
Prakoso. Aku tahu akhir-akhir ini kamu sering bertemu dia, kan?”
Mengalihkan
pembicaraan? Permasalan hari ini adalah kamu dan Dian Putri. Kenapa jadi aku
dan Prakoso?Aku bertemu Prakoso karena aku punya hutang kepadanya beberapa
bulan lalu. Aku menyicilnya setiap bulan karena angkanya terlalu besar. Kamu
yang tidak mau meminjamkan uang untuk mengganti kerusakan mobil dan motor waktu
itu.
“Aku kesal. Putus saja, lah,” kataku
sambil bangkit dari dari sofa dan berjalan dengan cepat menuju pintu apartemen Elang. Lagi pula aku
juga sudah terlambat ke kantor. Menjadi menyesal sudah mampir kesini sebelum berangkat
ke kantor.
Elang menarik tanganku sebelum aku
berhasil membuka pintu. “Sa, jangan sembarangan kalau bicara. Hati-hati,”
Terserah
aku! Pokoknya aku mau putus.
“Ya sudah,” kata Elang tiba-tiba.
Ya
sudah apa? Ya sudah putus?
“Ya sudah berangkat ke kantor. Nanti aku
jemput kamu dan kita bahas lagi masalah ini,”
Ya
ampun, aku benar-benar terkejut tadi.
***
Setelah sampai rumah, aku langsung
turun dari motor Elang dan menyerahkan helm kepadanya. Aku pamit sebentar lalu
berbalik menuju pintu rumah.
“Gelisa, kita bahas masalah tadi
pagi,”
“Aku lelah,” tolakku sambil membuka
pintu dengan malas. Aku sama sekali tidak ingin menoleh ke arah Elang, jadi
langsung masuk ke dalam rumah.
Ada
apa ini?
Di mana-mana ada lilin yang menyala.
Lilin di sekitar pintu apinya menari-nari tertiup angin karena pintu belum aku
tutup. Lampu memang belum aku hidupkan, jadi lilin-lilin itu tampak indah
sekali malam ini di kegelapan.
Cantiknya!
Aku terus berjalan masuk dan menemukan
dua piring nasi goreng tertata rapi di meja makan dengan beberapa lilin juga.
Aku tersenyum bahagia seketika, tapi langsung kuhilangkan senyumku ketika
kurasakan Elang menepuk pundakku dari belakang.
“Ini nasi goreng spesial,” kata
Elang. “Ayo makan,”
Sok
romantis! Tapi romantis sekali. Ya Tuhan, kenapa Elang selalu bisa membuat
jantungku dag dig dug begini? Beruntungnya aku punya Elang. Haiss, stay cool,
Sa! Ini sudah pasti tak tik agar kamu memaafkan dia dengan tanpa perlu
membahasnya.
“Aku memang salah sudah peluk dia.
Waktu itu kami taruhan, siapa yang berhasil peluk Dian Putri, akan ditraktir
makan malam,”
“Hanya untuk makan malam kamu peluk
dia? Peluk saja aku, nanti akan kutraktir makan malam tiga hari
berturut-turut,”
“Lucunya pacarku,” Elang tertawa
kecil melihat ekspresiku.
Lucunya
pacarku? siapa pacar kamu? Gelisa Aninda?Itu aku, itu aku! Hohoho.
Setelah makan malam, Elang memainkan
sebuah lagu dengan gitar akustik.
Suaranya
tidak bagus, banyak yang fals kalau kata Tri Utami di sebuah ajang pencarian
bakat. Tapi tidak apa-apa selama lagu yang dimainkannya romantis. Ternyata aku
perempuan yang benar-benar mudah ditaklukkan hanya dengan lilin, nasi goreng,
dan suara sumbang.
Elang berhenti bernyanyi tiba-tiba
sambil mengamati jemari tangan kiri yang menekan senar untuk mendapatkan
kunci-kunci nada gitar. Tak lama kemudian ia kembali bernyanyi. Tapi beberapa
detik kemudian ia kembali berhenti bernyanyi. Elang meregangkan jemari kirinya
dengan gerakan membuka dan menutup beberapa kali.
“Sini aku obati,” kataku sambil
menarik tangan kirinya, lalu aku cium jemari-jemari itu berkali-kali. Aku
sempat melirik Elang sebentar ketika ia sedang tersenyum sambil menatap mataku.
Kamu
terharu rupanya. Bagaimana? Jarinya
sudah tidak lelah lagi?
“Kalau nggak hafal kuncinya, ganti lagu saja. Ayo,” kataku kemudian
setelah berhenti menciumi jemarinya. Elang menarik tangannya lalu kembali
bersiap-siap hendak memainkan gitar lagi.
Lagu romantis lain ia nyanyikan,
tapi berhenti tiba-tiba seperti tadi pada pertengahan lagu.
“Kalau lelah, berhenti saja
menyanyinya. Aku sudah nggak marah,”
“Mungkin aku memang lelah,” katanya
sambil meletakkan gitar ke samping sofa. “Aku pulang, ya,”
***
Malam ini aku sibuk sekali menempelkan
beberapa stiker berbentuk bintang ke atap kamar Elang. Stiker-stiker itu bisa
menyala dalam gelap. Setelah hampir satu jam menempelkannya dengan naik turun
tangga berkali-kali, kaki dan leherku sekarang menjadi terasa pegal.
Selesai.
Aku turun dari tangga, menutup jendela,
lalu mematikan lampu kamar. Stiker-stiker itu menyala dengan warna hijau,
kuning, biru, dan merah. Bintang-bintang tampak bersinar di atap. Elang akan
terasa tidur beratap langit mulai dari hari ini.
Elang
pulang!
Aku bergegas keluar kamar setelah
mendengar pintu apartemen terbuka. Elang muncul sambil menenteng tas berisi
kamera dan peralatan fotografi serta beberapa tumpukan berkas. Setelah Elang
membuka sepatunya, dengan cepat aku menariknya agar masuk ke dalam kamar.
“Kejutan!” Teriakku.
“Wah, hebat,” Seru Elang sambil
meletakkan benda-benda yang dibawanya ke atas ranjang, lalu kembali menatap
atap kamarnya yang berubah menjadi cantik.
“Jadi ingat bintang di basecamp kalian,” kataku.
“Lapangan itu sekarang sudah lama
dibangun menjadi rumah warga,”
Iya,
sayang sekali, ya. Daerah itu juga sekarang sudah terlalu terang, jadi tidak
akan terlihat bintang seindah waktu itu.
Tak lama kemudian, aku menyalakan lampu,
lalu menyuruh Elang mengembalikan tangga ke penjaga gedung apartemen. Dengan
sedikit mengomel dan wajah cemberut Elang mengangkat tangga itu keluar dan
mengembalikannya. Sementara aku, menyiapkan makan malam.
Elang kembali ke apartemen, tidak
langsung menemuiku di meja makan, tapi menjatuhkan diri di atas sofa.
Apa
dia marah karena kupaksa mengembalikan tangga?
“Kamu nggak mau makan?” Tanyaku.
“Badanku remuk redam, pegal
dimana-mana,” jawabnya. “Mau tidur sebentar,”
Aku berjalan mendekat ke arahnya, lalu
aku memijat-mijat punggungnya. Elang menampakkan wajah senang sambil memejamkan
mata, hendak menikmati pijatanku.
Beberapa menit kemudian, ia minta kakinya juga dipijat, lalu aku memijat
kakinya juga. Lalu kepalanya, karena ia merasa agak pusing.
“Bagaimana sekarang?” Tanyaku setelah
Elang bangkit dari tidurnya.
“Ayo makan,” ajaknya sambil
bergerak-gerak meregangkan otot tangan dan pinggangnya. Ia terlihat sudah segar
kembali dengan senyum yang begitu lebar.
“Ayo makan,” jawabku bersemangat.
“Setelah makan, aku akan memijat
wajahmu,” kata Elang.
Wah?
Senangnya. Dia memang mengerti bahwa segalanya tidak pernah gratis. Dia memang
harus membayar pijatanku.
“Aku bawa cream wajah. Olesi dengan itu juga, ya,”kataku.
“Oke, Nona Gelisa,” jawab Elang.
“Kita harus buka salon spa segera,”
kataku bercanda. Elang tertawa mendengarnya.
***
Perusahaan kami mulai membuat tabloid
tentang rumah dan desain sejak akhir bulan lalu. Aku mendapat giliran masuk ke dalam tim untuk
edisi di bulan ketujuh tahun 2008 ini.
Lembur
lagi, lagi-lagi lembur.
Ini kali pertama aku masuk kedalam tim
ini, dan menyadari bahwa hal yang paling melegakan adalah ketika artikel dan
bahan bisa tersusun sesuai deadline
dan bisa sampai ke percetakan untuk mulai proses pencetakan. Dan yang paling
membahagiakan adalah ketika tabloid edisi bulan ketujuh tahun ini bisa laris manis.
Aamiin.
Harus laris manis karena di dalamnya ada banyak artikelku.
“Mau ikut pulang, nggak, Sa?” Pinta menawarkan diri ketika kami sudah keluar dari
percetakan. Aku yang sedang mencoba menelepon Elang, hanya menggeleng dan
memberi tanda bahwa aku bisa ditinggal saja di sini.
Elang
mungkin sedang dijalan. Kalau aku ikut pulang, kasihan Elang.
Pinta, dan teman-teman lain sudah
pulang, tersisa aku berdiri sendiri di halaman depan percetakan. Sudah hampir
satu jam, tapi Elang belum juga datang. Ponselnya juga tidak diangkat. Tadi
sore Elang mengiyakan untuk menjemputku di percetakan. Percetakan ini jauh dari
jalan, sehingga tidak mungkin dilewati taksi. Ada ojek, tapi kalau hampir
tengah malam begini sudah tidak ada.
Ponsel berdering dan segera kuangkat.
Prakoso.
Bukan Elang.
Prakoso menanyakan keberadaan Elang,
karena sedari tadi ia menelepon Elang, tapi tidak diangkat.
Aku
juga, aku juga begitu. Lalu, sekarang, kamu bisa jemput aku?
“Aku juga sedang ada di dekat daerah
itu, baru pulang dari latihan memanah,” begitu jawabab Prakoso.
Bagus!
Beruntung sekali atlet panah kota ini memiliki tempat latihan di dekat
percetakan. Udara di sini memang bagus dan cocok untuk para atlet. Prakoso,
kamulah penyelamat hidupku!
Prakoso merupakan salah satu atlet panah
sekaligus pengusaha kain yang besar. Menurut penuturan Prakoso, ia menginginkan
kerjasama dengan majalah fashion
Elang untuk mempromosikan produk barunya. Tim di pabrik Prakoso juga berhasil
membuat kain yang lembut, dingin, dan kuat sehingga ia juga berencana bekerja
sama dengan desainer terkenal. Prakoso menginginkan Elang memperkenalkannya
dengan beberapa desainer.
Setelah Prakoso berhasil parkir di bawah
gedung apartemen Elang, aku dan Prakoso bergegas menuju lantai tempat apartemen
Elang berada. Sudah beberapa kali aku menekan bel, tapi tidak dibukakan pintu,
akhirnya aku mengeluarkan kunci dari dalam tas dan membuka sendiri pintunya
lalu mempersilakan Prakoso masuk.
Aku masuk ke dalam kamar Elang, terlihat
Elang sedang tertidur pulas sekali di atas ranjang. Alunan nafasnya syahdu
sekali, dengan sesekali dengkuran lembut, menandakan bahwa ia tertidur dengan
nyaman.
Aku mendekat ke ponsel yang tergeletak
di atas meja samping ranjang. Setelah aku cek, terdapat banyak panggilan tak
terjawab dariku dan Prakoso. Dengan kesal aku meletakkan kembali ponsel itu dan
menelepon ponsel Elang sekali lagi.
Apa
yang kamu lakukan ketika ponsel kamu berdering?
Suara ponselnya keras sekali, tapi Elang
masih tertidur, seperti tidak bisa mendengar apapun. Aku meletakkan ponselnya
tepat di samping telinganya, lalu kembali menelepon ponsel Elang. Aku terkejut
dibuatnya, karena dengan cepat Elang menekan tombol reject lalu kembali tidur.
“Kamu tahu aku sudah menunggu satu jam
di percetakan? Kalau nggak mau jemput
bilang dari awal!” Teriakku kemudian sambil memukulinya dengan bantal. Elang
bangun, bangkit dari tidurnya dan dengan sigap menangkis pukulan-pukulanku.
“Sekarang jam berapa?”
“Tengah malam,” jawabku kesal.
“Maaf, Sa, aku ketiduran, tiba-tiba
badan terasa lelah sekali,” kata Elang sambil mengucek-kucek matanya. “Kamu
pulang sama siapa?”
“Hei, Lang,” Prakoso muncul sambil
tersenyum.
“Wah, kamu pulang dengan Prakoso? Tengah
malam begini? Apa kalian sering bertemu hingga tengah malam?”
Apa?
Apa? Apa? Kamu mau mati malam ini? Sini aku pukul kepala kamu, atau kita ke
rumah sakit sekarang untuk radioterapi otak kamu sekali lagi. Siapa yang
seharusnya merasa bersalah malam ini?
Aku melempar bantal ke arahnya dengan
kesal lalu pergi.
***
Sudah hampir seminggu sejak kejadian
malam itu, Elang kembali menghilang tanpa jejak seperti beberapa tahun yang
lalu. Tidak ada kabar sama sekali. Ponselnya tidak aktif, apartemennya selalu
kosong setiap aku masuk ke dalamnya. Menurut penuturan Prakoso, malam itu
kesalahpahaman sudah terselesaikan antara Prakoso dan Elang.
Lalu
kenapa kamu menghilang lagi?
Aku kembali mampir ke apartemen Elang
setelah pulang ke kantor, tapi masih tetap kosong. Aku berniat menunggu Elang,
tapi tidak juga pulang sampai jam di ruang televisi berdentang menandakan sudah
tengah malam.
Kamu
ada dimana, Lang?
Aku membuka mata keesokan paginya dan
menemukan diriku tertidur di atas ranjang Elang masih menggunakan baju kerja
kemarin dan dengan selimut yang menutupi seluruh badanku.
Elang
pulang?Hmmm, ini wangi makanan dan kopi.
Aku bergegas bangkit dari ranjang dan
keluar kamar hendak melihat ke dapur. Elang berdiri di sana, sedang
mengaduk-aduk cangkir kopi. Elang tersenyum kepadaku setelah melihat
keberadaanku. Dengan tangannya ia menyuruhku mendekat dan duduk di kursi makan.
Setelah aku duduk, ia meletakkan cangkir beruapkan aroma kopi ke hadapanku.
Aku menangis seketika, menangis keras seperti
aku kecil dahulu.
“Kamu kenapa, Sa?”
“Aku takut kalau akan bertemu tiga bulan
lagi seperti waktu itu. Aku lega karena sekarang kamu sudah ada di sini,”
jawabku sambil menangis terisak-isak. Elang tertawa kecil sebentar lalu
selanjutnya sibuk menenangkanku agar berhenti menangis.
Beberapa menit kemudian aku berhenti
menangis tapi masih menyisakan isak, dan Elang pamit hendak ke kantor lagi.
Tadi pagi-pagi sekali Elang baru pulang dari pemotretan di tempat yang memang
tidak ada sinyal. Tempat itu di sebuah danau baru yang bagus, dengan banyak kupu-kupu
cantik dan air terjun yang dikelilingi batu-batu besar yang cantik.
“Aku senang waktu aku baru pulang tadi
pagi-pagi sekali, aku melihat kamu ada di kamar,” kata Elang setelah memakai
sepatu. “Sudah jangan menangis lagi, nanti malam aku makan di rumah kamu. Masak
enak, ya,” katanya ketika mendengar aku masih terisak-isak.
Sedari
tadi aku ingin berhenti terisak begini, tapi tidak bisa.
“Nanti malam aku tunggu dirumah,” kataku
sambil terisak. Elang mengangguk dengan penuh semangat sambil melangkah berjalan
menuju pintu. Tiba-tiba saja Elang jatuh sehingga pundak kirinya menabrak
tembok keras sekali.
Kamu
kenapa? Jadi salah tingkah begitu.
Elang tampak menggoyang-goyangkan pergelangan
kakinya berkali-kali seperti sedang mengecek engselnya yang sedang bermasalah.
“Keseleo?” Tanyaku masih dengan terisak.
“Nggak
tahu, tiba-tiba saja aku jatuh. Akhir-akhir ini sering begini,”
Seharusnya
kamu istirahat. Baru pulang pagi-pagi sekali, sudah mau berangkat ke kantor
lagi. Kamu terlihat lelah.
***
Aku mendapat kabar bahwa Elang masuk
rumah sakit karena kecelakaan motor tadi pagi sepulangnya ia dari makan siang
hendak menuju kantornya. Aku langsung ke rumah sakit ke rumah tempat Elang
dirawat.
Ini
sudah jam tiga sore, tapi kenapa aku baru mendapat kabar ini? Dan Fredi yang
mengabarkannya padaku.
“Elang bagaimana?” Tanyaku setelah
sampai di kamar tempat Elang dirawat. Fredi tampak sedang duduk menunggui Elang
yang sedang tertidur. Fredi bangkit dari duduknya dan menyuruhku tenang.
“Hanya lecet-lecet, tapi dari tadi belum
bangun,”
Aku mendekati Elang, dan mengusap-usap
keningnya. Melihatnya begitu, aku merasa kejadian delapan tahun lalu terulang
kembali.
Bagaimana
jika ternyata ada kanker lagi di otaknya?
Aku langsung menemui dokter yang
menangani Elang bersama Fredi, dan menceritakan keadaan Elang delapan tahun
lalu. Mendengar itu, tanpa berpikir lama, dokter menyarankan pemeriksaan lebih
lanjut jika Elang sudah sadar.
Malamnya, CT Scan menyatakan bahwa tidak ditemukan kanker di otak Elang dan
juga di bagian tubuh lainnya. Dokter menyatakan bahwa Elang baik-baik saja, dan
wajar sekali jika beberapa hari ini Elang akan merasa sakit di kepalanya karena
kepalanya sedikit terbentur aspal ketika kecelakaan. Aku merasa lega sekali,
apalagi ternyata setelahnya Elang tidak pernah mengeluh sakit di kepala.
“Aku bisa pulang hari ini?” Tanya Elang
suatu siang pada Tante Ayu yang sedang memotong-motong buah pir ke atas piring.
“Besok,” jawab Tante Ayu santai.
“Padahal aku sudah sehat. Menghabiskan
uang saja,”
“Cerewet,” umpatku sambil menutup koran
pagi yang akhirnya berhasil habis kubaca di sofa dekat pintu kamar tempat Elang
dirawat. Mendengar itu, Elang langsung bangkit dari tidurnya dan melemparku
dengan bantal.
Haiss!
“Jangan naik motor lagi, ya,” kata Tante
Ayu sambil memberikan piring berisi buah pir kepada Elang.
“Naik apa? Bus?” Tanya Elang.
“Beli mobil, dong,” kataku cepat sambil
berjalan ke arah Elang hendak ikut memakan buah pir. Elang mencibir sebentar
lalu menyingkirkan piring ke belakang tubuhnya agar aku tidak bisa mengambil
buah pir itu.
Pelit,
pelit, pelit!
Pintu kamar tiba-tiba terbuka, dan
muncul beberapa teman kerja Elang. Suasana sekarang menjadi ramai dan
menggembirakan karena canda dan tawa dari mereka. Kami semua siang itu banyak
tertawa membahas hal-hal lucu.
“Sudah dengar kabar, Lang?” Tanya
Haris, salah satu teman kantor Elang.
“Apa?” Elang balik bertanya.
“Pura-pura nggak tahu,” umpat yang lain cepat. Elang tersenyum tersipu malu.
Kabar
apa? Apa yang membuat kamu tersipu malu?
Elang
hari ini resmi diangkat menjadi manajer di perusahaan tersebut. Menurut sang
direktur cabang, Elang memiliki bakat terpendam di bidang tersebut.
“Jadi, sekarang dia sudah menjadi
manajer?” Tanyaku girang.
Senangnya,
tidak jadi fotografer lagi.
“Tapi aku harus masih dapat job memotret, ya,” kata Elang cepat
kepada teman-temannya.
Huh!
0 komentar:
Posting Komentar
silakan komentar disini... :)