bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Senin, 22 Oktober 2012

Elang, Let Me Be With You 19

**19**
http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg

3 Januari 2009
Kami berada di dalam pesawat terbang, Elang tertidur pulas sekali di kursinya. Tiba-tiba saya ingin menghitung. Jarak usia saya dengannya dua tahun. Mengenalnya hampir dua belas tahun. Bersama dengannya selama sebelas tahun, tapi menurutnya baru sembilan tahun? Tidak. Kebersamaan kami memang sebelas tahun, dia harus menerima itu. Pacaran jarak jauh selama empat tahun, berarti kebersamaan kami bersihnya adalah tujuh tahun.
Mengapa saya menghitung hal yang tidak penting ini? :O


Melupakan seseorang yang telah memberikan kita banyak hal untuk diingat adalah hal yang sangat sulit, tapi jika itu yang terbaik, maka lepaskanlah. Karena terkadang ketika kita harus melepaskan seseorang, bukan karena tidak mencintainya, tapi karena kita menginginkan orang yang kita cintai tidak terluka.


--- MENGHITUNG ---

Maret 2010          
Om Candra dan aku yang selalu ada di rumah sakit hendak menunggu perkembangan Elang dan berencana melihatnya dengan mata kepala kami sendiri. Sama seperti Om Candra, aku izin dari kantor dan pimpinanku bisa mengerti keadaanku. Hampir setiap malam keempat sahabat Elang datang berkunjung, bahkan Prakoso dan Nicholas hampir setiap hari menginap bersama kami. Abdul Muis belum bisa meninggalkan tugasnya di Surabaya selain akhir pekan.
“Kami tidak bisa melakukan apapun kecuali memberi penanganan yang terbaik ketika otot pernafasan atau otot jantungnya mulai melemah suatu hari nanti. Kita semua harus sudah siap dengan apa yang akan terjadi nanti,” Begitu kata dokter suatu hari setelah mengecek kondisi Elang yang masih tertidur di atas ranjang ICU.
Apakah memang benar itu yang akan terjadi? Dokter semakin sok tahu sekarang. Bukankah kalian masih belum menemukan penyebabnya? Jangan bicara sembarangan kalau begitu!
“Adakah kemungkinan ia akan sadar lagi?” Tanya Om Candra.
“Kami tidak bisa menjawab,” jawab dokter.
Sudah kubilang, dokter memang tidak tahu apa-apa.
Satu minggu kemudian Tante Mirani, Om Hans Nooij, Esther, dan Falia datang bersamaan dari Belanda. Sejak hari itu, hampir setiap hari lorong depan ruang ICU ramai sekali karena kami berkumpul di dekat ruang ICU. Kami juga bergantian menunggu Elang di samping ranjang kamarnya.
`           Suatu malam di samping ranjang Elang, Tante Mirani menangis.
“Jika kamu begitu menderita, mami ikhlas, Nak, kamu bisa pergi segera,”
            Aku tidak, Lang! Aku tidak akan melepasmu, maka kamu tidak akan pernah bisa pergi. Itu janjimu waktu itu, ingat janjimu waktu itu! Kamu harus bangun dan sehat kembali. Tunjukkan keajaiban sekali lagi!
Aku masih berharap keajaiban pada Tuhan, bahwa Elang akan bangun dari koma, dan menjadi pulih berangsur-angsur kemudian. Begitulah harapan itu muncul setelah mendapati sebuah kasus di lain negara. Bahwa pasien tersebut bangun dari koma, dan beberapa bulan kemudian bisa menaiki tangga memperbaiki atap rumahnya yang bocor. Tapi aku menjadi pesimis karena ketika kuingat-ingat lagi, pasien tersebut tidak memiliki penyakit seperti Elang.
Bisakah keajaiban itu datang sekali lagi?
 “Wakker worder Elang, ik ben er al (Bangun, Elang, aku di sini),” Esther menangis di samping Tante Mirani.
            Tuhan, bolehkah aku tidak berputus asa kali ini? Apakah permintaanku untuk Elang tetap hidup begitu berat untuk dikabulkan?Dia segalanya bagiku, apakah bisa aku melepaskannya?Apakah sekarang ia begitu menderita dan sedang berteriak dalam hati hendak mati saja atau sedang meminta tolong agar kami memberikan penanganan terbaik?
            “Makan malam dulu,” Prakoso tiba-tiba membuka pintu kamar ICU Elang. “Biar aku yang menunggu Elang di sini,”
            “Kalian makan saja duluan. Nanti setelah kalian, tante makan,” jawab Tante Mirani cepat sambil mengusap-usap tangan Elang. Prakoso tampak masuk agar mendekat ke arahku.
            “Esther, let’s get dinner with us,” ajakku lembut pada Esther. Esther mengangguk sambil berjalan keluar kamar bersama aku dan Prakoso.

***

            Sore itu aku berteriak di ruang ICU sambil melempar ponselku ke lantai. Prakoso langsung memungut ponselku dan menarikku keluar dari ruang ICU. Ia menepuk-nepuk pundakku agar bisa meredakan emosiku, lalu kembali menarik tanganku hingga ke parkir rumah sakit.
            “Terkadang mereka sangat jahat,” kesalku setelah Prakoso berhasil membuatku duduk di kursi mobil samping kemudi.
            “Bukan begitu. Jika bisa, mereka nggak akan membuatmu mengurusi urusan kantor saat ini,”
            “Apa nggak ada orang lain?”
            “Kamu sudah menerima tanggung jawab ini sejak Desember kemarin. Jangan berhenti menjelang akhir. Ini bukan hanya akan menjadi urusanmu, tapi urusan semua orang di kantor,”
            “Persetan dengan semua orang,”
            “Kamu harus bertanggung jawab. Dan Elang nggak mungkin suka melihat kamu lari dari tanggung jawab hanya karena dia,”
            “Aku kesal,”
            “Kerjakan saja revisinya, aku yang akan memantau Elang dari sini untuk kamu. Aku janji, ketika membaik atau memburuk, aku akan segera mengabari kamu,”
            “Tapi aku ...”
            “Aku antar kamu ke rumah, lakukan dengan baik. Jika sudah selesai, aku akan segera menjemput kamu lagi kemari,”
             Jam tiga malam aku berhasil menyelesaikan revisi rancangan yang diminta klien. Dan segera kembali ke rumah sakit dengan membawa laptop dan berkas penting untuk diambil Vira esok hari. Vira bersedia membantuku menyelesaikan sisa persiapan untuk rapat nanti sore.
Hari ini sejak pagi Elang beberapa kali kejang-kejang  masih di ruang ICU. Nafasnya masih tidak teratur sama seperti kemarin, terkadang cepat, terkadang terlalu lambat. Melihat kondisinya, aku selalu menangis.
“Tante, aku mau jemput Tante Ayu di rumah. Esther mau ikut,” Prakoso tampak dari balik pintu tengah menatap Tante Mirani. Tante Mirani bangkit dari bangku samping ranjang Elang dan keluar kamar sebentar.
            “Kamu harus kuat, Sa. Kita tahu bahwa Elang lebih menderita dari pada kita. Kita ada di sini untuk menguatkannya dan memberikan semua yang terbaik yang kita punya. Jika kamu menangis seperti ini, ia bisa mendapat kekuatan dari mana lagi?” Falia memelukku.
            Tiba-tiba ponselku bergetar, membuatku melepaskan pelukan Falia.
            Vira.
            Aku mengangkatnya untuk mencari tahu ia menungguku dimana. Ternyata Vira saat ini sudah ada di depan pintu utama ruang ICU, sehingga dengan cepat aku menghampirinya dengan membawa laptop dan berkas file.
            “Mau kemana, Sa? Ada apa?” Tanya Fredi ketika melihatku keluar dari kamar ICU Elang dengan tergesa-gesa. Di luar kamar ramai sekali. Fredi, Ramadhan, Nicholas, Om Candra, dan Om Hans Nooij. Rupanya Esther benar sedang ikut Prakoso, karena tidak ada Esther di antara mereka.
            “Vira menunggu di depan pintu utama ruang ICU,” jawabku sambil kesusahan membawa laptop dan berkas dengan wadah yang masing-masing terpisah.
            “Maaf, Sa. Kami bukan tidak peduli dengan kondisi kamu. Tapi proyek ini sudah kamu ambil tiga bulan yang lalu dan nggak mungkin untuk mengganti kamu dengan orang lain,” kata Vira setelah aku menemuinya.
            “Iya, aku mengerti. Aku minta maaf karena nggak bisa ke kantor beberapa hari ini,” jawabku.
            “Jangan bersedih, karena Tuhan akan selalu memberikan jalan terbaik bagi Elang,” Vira mencoba menghiburku. Aku menangguk sambil mengajaknya duduk di bangku lorong dekat pintu utama ICU. Aku mulai menyalakan laptop dan memperlihatkan file desain yang sudah aku revisi sejak kemarin sore.
            “Ini desain revisi yang sudah kubuat. Setelah berhasil mengingat lokasi proyek itu, desain ini memberikan sirkulasi angin dan udara yang sempurna. Ada perubahan di bagian timur. Melihat letak tanah sekitar, aku memprediksi bagian timur ini nantinya akan terhalangi oleh bangunan lain,” kataku sambil memperlihatkan gambar desain tersebut. Sambil menjelaskan sedikit revisi dan menunjukkan arah gerakan angin.
            Vira mengangguk-angguk mengerti.
            Apa yang terbaik dari Tuhan untuk Elang saat ini?
            “Sa? Gelisa?” Vira mengagetkanku.
            Aku melamun.
            Aku kembali menjelaskan lebih detil lagi.
            Apa yang Elang rasakan saat ini? Apakah benar terasa sakit? Apakah jalan terbaik buat Elang adalah merelakannya pergi agar ia tidak merasa sakit lagi? Tidak adakah jalan lain agar ia tidak sakit lagi? Jika benar hanya itu jalan terbaik, apakah benar aku harus membiarkannya pergi?
            “Gelisa?”
            Aku sekarang menjadi tidak bisa fokus pada pekerjaan.
            “Tolong kamu perbaiki proposalnya, ya, sesuai penjelasanku tadi,”
            “Untuk itulah aku di sini, membantumu,’ jawab Vira.
            Aku kembali memberi arahan kepada Vira dan beberapa kali pula Vira mencatatnya ke dalam sebuah note berukuran sedang. Tapi kemudian aku terhenti ketika aku melihat beberapa dokter dan perawat tengah berlari-lari menuju pintu ruang ICU.
            Apakah mereka datang untuk Elang?
            “Gelisa, ada apa?”
            Dokter, kenapa kalian berlari seperti itu?
            Aku langsung berlari mengikuti dokter dan perawat tersebut yang berakhir di kamar ICU tempat Elang dirawat. Suara elektrokardiografi, alat yang merekam aktivitas jantung berbunyi tidak senormal biasanya dan elektrokardiogram di monitornya menggambarkan garis-garis yang berbeda dari garis-garis sebelumnya.
            “Defibrillator!” Perintah salah satu dokter sambil memberi CPR pada Elang dengan menekan-nekan dadanya secara terus menerus. “100 Joule!” Teriaknya lagi sambil terus memberikan CPR hingga defibrillator siap digunakan.
            “100 joule,” kata dokter lain sambil memberikan elektroda defibrillator kepada dokter yang mengurusi Elang. Tubuh Elang mengalami kejut sekali ketika elektroda defibrillator menempel di sekitar dada Elang.
            “150!”
            “150,”
            Hingga akhirnya suara elektrokardiografi berbunyi nyaring dan elektrogram membentuk garis datar tiba-tiba. Dokter mengumumkan kematian Elang.
            ”8:16 malam ...”
            Mendengar itu, aku terduduk di lantai, sementara Tante Mirani berlari mendekati Elang sambil menangis. Tante Mirani mengusap-usap wajah Elang dengan lembut. Tak lama kemudian Falia memelukku sambil menghapus air mataku sambil ikut meneteskan air matanya. Sementara seorang perawat tengah sibuk mencopot semua alat yang selama ini digunakan Elang di ruang ICU.
            Sekali lagi, perkara mati dan hidup bukan di tangan dokter, tapi di tangan Tuhan. Siapa sangka ketika dokter menyatakan bahwa Elang akan sembuh sejak diagnosa awal, ternyata Elang berakhir begini, hanya hidup satu tahun lebih setelah itu.
            “Apakah kamu sudah sampai home plate itu, Lang?”
             

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)