**8**
![http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg](file:///C:/Users/lily/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg)
15 februari 2010
Perkara mati ditentukan Tuhan,
begitu juga perkara hidup. Hidup baru setelah hampir mati akan lebih terasa.
Orang yang pernah mengalami hampir mati kedua kalinya, bagaimana hidupnya?
Akankah ada lagi kehidupan baru?
Jika kita mencintai
seseorang, berusahalah untuk tampil apa adanya, karena Cinta sejati selalu
dapat menerima Kelebihan dan Kekurangan. Cinta tidak berupa tatapan satu sama lain,
tetapi memandang ke luar bersama ke arah yang sama.
--- NEW LIFE ---
Perutku terasa mual sekali, kepalaku
pusing. Rasanya jika aku diturunkan di tengah jalan, aku akan merasa jauh lebih
baik. Pohon-pohon tinggi dan rindang tampak bergoyang-goyang di luar sana.
Hanya langit yang indah, tapi hanya sesekali saja yang terlihat.
“Jangan tidur begitu, nanti akan terasa
lebih mual. Nikmati pemandangan, dong, Sa,” begitu nasehat mama sambil menoleh
ke arahku yang tiduran di jok tengah. Aku mencoba bangkit dan duduk tegak
hendak mengikuti nasehat mama. Kulihat Gian yang sudah semakin besar tampak
tidur di pangkuan mama sambil meminum susu dot di jok samping sopir.
“Ma, Gian sudah besar, kenapa masih
menggunakan dot?” Protesku kemudian sambil mengusap-usapkan minyak kayu putih
yang sebelumnya dikasih mama ke perut.
“Dia rewel terus kalau nggak ada dot,”
“Tapi itu nggak
bagus, ma. Lagipula Gian sudah TK nol kecil sekarang. itu sudah besar,”
“Kamu sampai kelas 2 SD pakai dot,”
jawab mama.
“Tapi tetap nggak bagus, Ma. Selama Gelisa di rumah, akan Gelisa latih,”
“Iya,” jawab mama enteng sekali.
Tiba-tiba saja perutku benar-benar
terasa mual. Aku memalingkan wajahku ke pemandangan dari jendela samping. Masih
begitu rindang pinggiran jalannya, tapi cukup berliku-liku.
Apa
itu? Jurang? Jalan menuju rumah kami yang baru dikelilingi jurang? Papa pindah
tugas ke peradaban mana sebenarnya?
Sesuatu sudah terasa ada yang keluar
hingga kerongkongan. Beberapa detik kemudian air dan beberapa roti coklat
lembut yang belum berhasil tercerna meluncur dengan cantiknya ke karpet mobil.
“Gelisa?” Mama teriak histeris sambil
menoleh ke arahku. “Pak Budi, minggir sebentar!” Teriak mama pada sopir pribadi
keluarga kami yang baru.
“Ma, Liburan semester tahun depan Gelisa
nggak mau pulang,” Keluhku sambil
membersihkan pinggiran mulutku.
Tiga bulan yang
lalu papa pindah tugas ke Lampung Barat, sehingga kami pindah ke sana. Karena
itu, aku sekarang sudah menjadi anak kos. Ini kali pertama aku hendak
mengunjungi rumah baru. Kalau saja tidak rindu pada kelucuan Gian, maka aku
tidak akan mau pulang ke rumah baru.
Lampung
Barat itu berapa jam dari pelabuhan Bakau Heni?Kenapa lama sekali? Ini sudah
hampir 5 jam perjalanan.
***
Setiap minggu aku selalu menunggu
tukang pos datang membawa kabar dari Elang. Elang rajin sekali mengirimiku
kartu pos bergambar tempat-tempat terkenal di Inggris atau surat yang
diselipkan di amplop berukuran besar sambil menyertakan beberapa foto-foto
hasil jepretannya. Dia ikut club
fotografi di kampusnya dan sudah punya kamera sendiri.
“Aku iri dengan Elang,” Kata Falia
setiap kali ia melihat foto-foto dan kartu pos kiriman Elang. “Aku juga mau ke
Eropa,”
Sejak kedatangan surat Elang pertama
kali, Falia bersikeras melanjutkan gelar masternya di benua Eropa atau bekerja
di salah satu kedutaan Indonesia di negeri-negeri Eropa.
“Aamiin,” kataku setiap kali Falia
berkata begitu.
“Kenapa Elang jarang menelepon, Sa?”
Sudah beberapa kali Falia bertanya begitu, tapi tidak pernah kujawab satu
kalipun. Elang bilang kalau menelepon dan mendengar suaraku, dia bisa lebih
rindu dan ingin terbang segera menemuiku.
Hahahaa,
rayuannya hebat sekali hingga membuatku bisa tersenyum-senyum sendiri setiap
saat jika mengingat pernyataannya. Atau dia sekarang sudah ahli merayu
perempuan dan menjadi playboy di sana? Ah, sudah sudah sudah. Hentikan
kecurigaanmu, Sa!
Di tahun-tahun berikutnya kami sudah
mengenal Yahoo Messenger dan Skype, suatu program yang memungkinkan
kami bisa chatting, transfer file, conference, dan bicara telepon. Kami sering menggunakannya untuk chatting, karena terkadang untuk
melakukan conference dan telepon
sering mengalami gangguan koneksi.
Tapi aku memaksanya untuk tetap
mengirim surat atau kartu pos, karena
aku hanya bisa menggunakan program internet tersebut di warnet dan
laboratorium komputer kampus. Karena di kamar kosku belum tersedia internet
seperti itu.
***
Empat tahun sudah para mantan preman
sekolah berkecimpung dalam dunia kuliah. Satu persatu mereka lulus dari
universitas masing-masing. Tapi Nicholas dan Ramadhan tampak tidak ada kabar
berita tentang kelulusannya.
“Mereka betah di kampus, mau jadi
mahasiswa abadi,” begitu penuturan Fredi pada suatu acara syukuran
kelulusannya. Baru juga lulus, menurut penuturannya, tadi pagi ia sudah
mendapat panggilan kerja di perusahaan konstruksi besar yang letaknya nyaris di
pinggiran kota.
“Sisakan satu tempat buat aku di sana,
ya, Fred. Dua tahun lagi aku datang,” begitu pesanku padanya. Fredi hanya
tertawa kecil mendengarnya.
Prakoso bekerja di perusahaan tekstil
ayahnya, di bagian marketing
menurutnya. Tapi kami semua yakin sebentar saja ia akan naik jabatan. Abdul
Muis di Surabaya menjadi Pegawai Negeri Sipil kontrak di Departemen Pekerjaan
Umum Wilayah Surabaya. Sementara Elang masih tahun depan bisa menamatkan
kuliahnya.
Hingga satu tahun kemudian, aku mendapat
kiriman foto wisuda Elang Pisdana dan mendapat kabar bahwa ia berencana pulang
minggu depan.
Yihhhaaaa!
Minggu depan itu berapa jam lagi dari sekarang, ya?
Ternyata tanpa dihitung, satu minggu
sukses berjalan dengan cepat. Aku sudah berencana jauh-jauh hari membolos
kuliah. Hari ini, aku, Nicholas, dan Prakoso sedang menunggu kedatangan pesawat
yang berasal dari Singapura. Elang Pisdana beberapa jam yang lalu transit di
Bandara Singapura dan sekarang pesawatnya sudah berada di sekitar Bandara
Internasional utama negeri ini bersiap-siap landing.
“Hoi! Welkom, welkom, welkom!” Teriak
Nicholas tiba-tiba sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah pintu arrival hall. Beberapa orang memang
tampak keluar dari pintu itu, tapi aku tidak bisa menemukan sosok Elang.
“Di mana Elang, Nic?” Tanya Prakoso
sambil tengak-tengok seperti aku.
“Tertipu!” Teriak Nicholas pada Prakoso
sambil terkekeh sendirian.
Apanya
yang lucu?
“Elang!” Teriak Prakoso ketika
melihat sosok laki-laki mirip Elang.
Itu
memang Elang! Elaaaaaang!
Seperti di beberapa foto terakhir, Elang
memang tampak memanjangkan rambutnya sebahu dan kali ini digerai bebas. Elang
datang perlahan menghampiri kami sambil tersenyum lebar sekali.
“Kamu belum berubah, Nic,” kata
Elang kemudian setelah mereka saling berpelukan. “Kabarnya bulan depan jadi
wisuda, nih,”
“Kabar kelulusanku sudah sampai
Inggris, ya?”
“Senang lihat kamu sehat, Lang,”
kata Prakoso.
“Kamu masih kurus,” kata Elang
sambil menepuk pundak Prakoso. Beberapa menit mereka mengobrol banyak sekali di
depan pintu Arrival Hall hingga tidak
ada penumpang lain lagi yang keluar dari sana.
Aku?
Aku tidak terlihat? Aku di sini, aku di sini, Lang!
Elang menoleh ke arahku sambil
tersenyum.
Dag
dig dug. Mata itu, akhirnya aku bisa lihat mata itu lagi secara langsung, jelas
dan dekat seperti ini.
Elang berjalan menghampiriku dengan
santai. Setelah sampai tepat di hadapanku, ia tersenyum sebentar, lalu ia
mengecup bibirku dengan cepat.
Ciuman
pertama!
***
Mataku tidak lepas dari Mbak Risky,
pegawai yang melatih kami para pegawai baru. Telingaku juga kupasang tajam
sekali untuk mendengarkan instruksi dan penjelasannya.
Hari ini pepelatihan terakhir di
perusahaan arsitektur baru di kota ini. Berkat almamaterku yang cukup terkenal
baik, dan kemauan kerasku, aku berhasil lolos pada seleksi yang cukup ketat.
Karena pendiri perusahaan ini adalah tiga orang arsitek terkenal dari negeri
ini. Selesai pepelatihan ini aku akan resmi menjadi pegawai di sektor desain,
sesuai bidangku.
Menjelang akhir pelatihan, kami
diperlihatkan sebuah lahan untuk proyek apartemen yang bekerja sama dengan
pengusaha real-estate asal Amerika
Serikat. Perusahaan kami mendapat kontrak untuk desain ruangan apartemen. Aku
berhasil mendapatkan posisiku karena ketika proses wawancara aku memperlihatkan
rancangan dapur yang pernah kubuat beberapa bulan lalu.
Sore itu aku langsung mencari taksi
tidak sabar ingin merayakan akhir pelatihanku bersama Elang. Menurut sms Elang
beberapa menit yang lalu, ia sudah menyiapkan hidangan spesial yang pernah ia
pelajari di Inggris.
Aku
tidak peduli makanan apa itu, tapi makanan itu akan menjadi makanan pertama
yang Elang masak khusus untukku.
Sesampainya di depan sebuah rumah kecil
di sebuah kompleks perumahan yang letaknya tak jauh dari kantor baruku dan
sanggar seni Elang, aku bergegas turun dari taksi dan berlari kecil menuju
pintu rumah.
“Aku pulang!”Teriakku sambil membuka
pintu dengan penuh semangat. Wangi makanan sudah masuk ke dalam hidung,
membuatku langsung berjalan menuju meja makan. Sepiring makanan sudah tampak
ada di meja makan, kentang goreng dan sesuatu yang berwarna kecoklatan. Aku
mendekat ke meja dan mengambil benda kecoklatan itu untuk kucium aromanya.
Ikan
goreng. Sepertinya rasanya hambar. Apa ini?
Kulihat dapur berantakan sekali, di sana
tampak Elang sedang mengaduk-aduk isi panci kecil yang berwarna cream pucat dan sesuatu berwarna jingga
muncul dari dalam sana.
“Itu apa, Lang?” Tanyaku sambil mendekat
ke arahnya lalu mencondongkan wajahku ke muka panci untuk mengamati isinya.
“Sup wortel,” jawabnya. “Sudah matang.
Ayo ke meja makan,”
Ada dua menu malam ini, Fish dan Chip makanan khas Inggris dan sup wortel yang menurut Elang, Tante
Mirani yang mengajarinya membuat sup itu. Fish
dan Chip terbuat dari kentang goreng
dan ikan Cod yang dibalut dengan tepung tawar. Di sebelah piringnya berdiri
botol plastik saus tomat.
Sudah
kubilang,aku tidak peduli makanan itu, jadi bagaimanapun bentuk dan rasanya,
akan kumakan dengan lahapnya.
“Enak,” kataku di sela-sela makan malam.
Kurang dari satu jam kemudian, kami
merasa kenyang dan banyak bercerita tentang kegiatan penuh hari ini. Elang
sudah beberapa bulan mengajar seni lukis di sebuah sanggar besar milik seniman
hebat. Hari ini aku mendapat cerita lucu, karena seorang muridnya yang masih
kecil bersikeras memanggilnya ‘Pak’ ketimbang ‘Kak’. Jadi beberapa kali aku
meledekinya dengan sebutan ‘Pak Elang’ juga. Ia juga bercerita kalau tadi sore
sempat mengambil beberapa foto di beberapa tempat yang hasilnya bagus sekali.
Hobi fotografinya masih tetap ia pertahankan, bahkan ia baru membeli kamera
film jenis SLR.
Aku bangkit dari kursi hendak mencuci
piring, tapi tidak seperti biasanya, Elang menawarkan diri agar dia yang
mencuci piring. Jelas saja aku terima tawarannya, karena aku memang ingin
segera mandi.
“Aku mandi kalau begitu,” kataku sambil
berjalan menuju kamarku.
“Besok berangkat pagi?” Tanya Elang
tiba-tiba. Aku mengangguk senang sekali karena membayangkan esok hari. “Selamat
tidur kalau begitu,”
“Memangnya kamu mau kemana?”
“Ada perlu dengan Prakoso dan Nicholas,
bisa sampai pagi mungkin,” jawab Elang.
“Ada apa?”
“Nicholas sudah mulai membuka bisnis
internet kecil-kecilan, dia sekarang sudah tidak menganggur lagi,”
“Wah, senang mendengarnya,” kataku
sambil tersenyum lebar. Akhirnya teman-temanku sudah bekerja semua setelah
beberapa waktu lalu Ramadhan juga mulai mencoba usaha di dunia transportasi. Ia
menyewakan bus dan angkot yang ia beli dari modal pinjaman.
“Salam untuk mereka,” kataku kemudian
sebelum masuk ke dalam kamar.
Aku dan Elang memang mengontrak rumah
kecil di sebuah kompleks perumahan. Kami memilih menyewa rumah ini karena
alasan keuangan kami yang masih minim sekali. Kami sama-sama baru merintis
karir, dan orang tua kami sudah saling mempercayai kami satu sama lain. Ini
hanya untuk sementara saja. Lagi pula, rumah sewa ini memiliki dua kamar.
0 komentar:
Posting Komentar
silakan komentar disini... :)