**2**
![http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg](file:///C:/Users/lily/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg)
21 Maret 2010
Langkah kedua setelah jatuh
adalah mengetahui namanya. Bagaimana saya mengetahui namanya, dia sempat
menanyakannya. Pertama kali mengetahui namanya rupanya menjadi hal yang paling
penting juga. Sayang sekali banyak orang yang menghapus kenangan tentang pertama
kali seseorang mengetahui nama cinta dengan alasan momen itu terjadi begitu
saja. Paling seringnya adalah seseorang itu mampu mengenang ketika pertama
bertemu atau pertama jatuh cinta. Saya masih menyimpan semua kenangan itu,
beruntung sekali, sehingga bisa saya ceritakan kepadanya sambil tersenyum.
Kita tidak pernah tahu bila kita akan jatuh
cinta.tapi apabila saatnya telah tiba, raihlah dengan kedua tangan dan jangan
biarkan dia pergi dengan sejuta rasa tanda tanya di hati.
--- ELANG PISDANA ---
Tidak tahu bagaimana ceritanya, setelah
OSPEK dan resmi diperbolehkan menggunakan pakaian putih abu-abu, aku, Falia,
Ratih, dan Anang menjadi sering berkumpul berempat. Hingga Ratih meminta tukar
tempat duduk dengan Renita. Karena Renita memang tidak tahan duduk di belakang
bersama tiga anak sok heboh di kelas ini, dengan senang hati menerima
permintaan Ratih.
Kami
mulai bersahabat.
“Hei, perempuan rumpi. Aku tahu nama
preman-preman itu,” Anang tiba-tiba muncul dan duduk di meja kantin sekolah
bersama Falia dan Ratih.
Mendengarnya, bakso yang belum selesai aku
kunyah langsung tertelan, membuatku tidak bisa bernafas tiba-tiba. Anang
langsung menepuk-nepuk punggungku.
Anang
ini unik sekali, berhati perempuan tapi memang asli laki-laki. Aduh, punggung
bekas tepukan tangan Anang terasa sakit sekali seperti baru saja terkena timpuk
bola voli.
Hei, Anang! Kamu punya niat menolong atau ingin menghancurkan tulang
punggungku?!
“Siapa namanya?”
“Anak yang bermuka bulat sekali bernama
Nicholas di kelas 3 IPS 1. Anak yang rambutnya dicat merah bernama Abdul Muis
dan anak yang agak lumayan pendek namanya Fredi Arya Sanudirta, mereka berdua
kelas 3 IPA 4,”
“Terus?” Tanyaku penasaran dengan ketiga
orang yang belum Anang sebutkan.
Hehe
sebenarnya hanya satu saja sih yang aku tunggu. Antara Ramadhan, Elang, dan
Prakoso. Siapakah nama pemilik wajah tampan itu?
“Anak yang paling tampan namanya Elang
Pisdana, anak yang paling kurus karena narkoba namanya Prakoso Syarif. Dan,
anak yang botak namanya Ramadhan Ali. Mereka bertiga satu kelas di kelas 3 IPS
3,” jawab Anang.
Oke.
Elang Pisdana. Aku yakin dia yang disebut Anang paling tampan. Karena beberapa
kali memang Anang menyebut anak itu si tampan. Soalnya memang preman sekolah
yang satu itu asli tampan. Cuma kalah tenar dan aura tampannya tertutup dengan
pamor badung yang melekat di dirinya.
“Tahu dari mana,?” Tanya Ratih.
“Dari berbagai sumber. Bertanya kepada
orang-orang. Ternyata mereka berenam memang sudah terkenal badung di sekolah,”
Gigih
sekali, kamu, Nang!
“Pantas wajah mereka seram sekali,”
celetuk Falia. “Kecuali si tampan itu, sih,” tambahnya pelan.
“Iya. Tapi setampan apapun, kalau
preman, nggak jadi tampan, ah. Yang
tampan itu ketua basket sekolah kita, Kak David,” seru Ratih kemudian sambil
meneguk teh botol.
“Hmm, banyak yang tampan dan keren di
sekolah ini. Punya prestasi semua, lagi. Wakil ketua OSIS, Ketua ekskul
elektronik, ketua ekskul renang. Mario, Arya, dan Wayan temen sekelas kita
kalau diperhatikan lumayan tuh. Lalu kemarin aku melihat beberapa anak kelas
dua dan kelas tiga yang berseliweran di sekolah juga banyak yang cute,” kata Falia ikut-ikutan.
“Tapi aku sukanya sama Elang Pisdana,”
kataku tiba-tiba sambil kembali mengunyah bakso yang kuahnya sudah dingin.
Spontan mereka bertiga tersedak dan berebut teh botol kepunyaan Anang yang
masih penuh isinya.
“Nggak
waras,” umpat Falia setelah berhasil memenangkan perebutan teh botol, sementara
yang lain masih batuk-batuk. Bahkan Anang sampai muntah di tempat membuat
penghuni kantin menjerit karena jijik.
***
Dua bulan di sekolah, aku menjadi punya
hobi baru. Melirik kelas Elang kalau hendak dan dari kantin sekolah. Atau
celingak-celinguk ke arah lapangan kalau-kalau ada Elang muncul. Tapi, aku
tidak pernah menemukan sosok Elang Pisdana. Di kantin tidak ada, di kelas tidak
ada, di lapangan tidak ada, perpustakaan apa lagi.
Atau
jangan-jangan di belakang sekolah, ya?
“Kamu cari siapa, Sa?” Tanya Ratih
yang ikut berdiri di pinggiran kelas lantai dua sambil ikutan
celingak-celinguk. Karena beberapa kelas di lantai satu hendak diubah fungsi
menjadi ruang beberapa ekstrakurikuler baru, beberapa kelas 1, termasuk
kelasku, satu bulan yang lalu harus pindah ke lantai dua, satu deret dengan
kelas 3 IPS, salah satunya kelasnya Elang.
How
Lucky I am.
“Elang,” jawabku pelan.
“Ya Tuhan, ini anak masih saja nggak punya otak,” celetuk Anang yang
sudah ikut bergabung berdiri di pinggir tembok balkon sekolah. “Kamu nggak melihat anak-anak tampan di lapangan? Atau
yang sedang berjalan seliweran di bawah kita itu? Banyak anak tampan. Gila,
kamu, ya,”
“Iya, aku gila, gila karena Elang.
Kemana, ya, si Elang?”
“Di belakang sekolah, pasti sedang
merokok,” jawab Falia asal. “Masih ingat waktu pertama kali kita melihat mereka
di halaman belakang sekolah? Mereka semua sedang merokok,” tambah Falia sok
tahu.
“Sa, ini surat buat Elang?” Tanya
Ratih yang baru keluar dari dalam kelas. Melihat surat pink itu, aku langsung
mengambilnya dari tangan Ratih lalu kusimpan ke kantong baju.
Sembarangan
ambil surat orang!
“Surat buat Elang?” Tanya Anang
melotot. “Sini aku baca,”
Enak
saja! Tidak boleh.
“Jangan, ah. Buat Elang, bukan buat
kamu,” tolakku cepat. Kemudian aku melirik ke arah Ratih. ”Ratih, untuk apa
kamu ambil ini dari tasku?”
“Mau taruh dompet kamu. Tadi kamu
memintaku memasukkan dompet ke tas kamu,” jawab Ratih. “Tapi, benar itu buat
Elang?”
“Iya,” jawabku.
“Kapan kamu mau kasih surat itu?”
Tanya Anang.
“Nanti, pulang sekolah,” jawabku.
Pulang sekolah, aku menunggu Elang
di depan sekolah sampai kaki pegal-pegal ditemani Falia, Anang, dan Ratih.
Tapi, sampai sore, Elang tidak muncul-muncul. Ketika lima anak badung muncul
dari jauh dengan motor masing-masing, spontan Falia, Anang, dan Ratih
bersembunyi di pohon depan sekolah hingga lima preman sekolah menghilang dari pandangan.
Kecil
sekali nyali kalian?
“Nggak
ada Elang di antara mereka,” celetuk Ratih setelah keluar dari tempat
persembunyiannya. Ia berdiri di sampingku.
“Pulang, yuk,” ajak Falia diikuti
Anang yang memaksa ingin pulang segera. Karena aku bertahan untuk menunggu
Elang sebentar lagi, akhirnya sore itu aku ditinggal sendirian, menunggu Elang.
Tidak sia-sia. Lima menit kemudian,
Elang muncul dengan motor besarnya, sementara helm ala Moto GP dia gantung di
salah satu setang motor. Melihat Elang, dari jauh aku sudah berdiri siap di
gerbang mencoba menghalangi Elang.
Berhasil.
Motor Elang berhenti tepat di depanku.
“Kamu mau mati?”
“Aku ada perlu sama kamu,” jawabku
cepat.
“Kamu siapa?”
“Aku Gelisa, anak kelas 1-4,”
“Anak baru? Perlu apa sama aku?”
Tanpa jawab, aku langsung
menyodorkan surat pink yang sudah kubuat semalam kepada Elang. Elang cuma
melirikku sebentar sambil keheranan.
“Apa itu? Kamu kira aku punya
tampang tukang baca?”
Iya,
kamu punya tampang tukang baca. Ambil surat ini, lalu baca.
“Ini surat, Lang, bukan materi
pelajaran,”
“Aku nggak mau,” tolaknya sambil pergi meninggalkanku di depan gerbang
sekolah. Sementara aku, sambil menggenggam surat pink menatap kepergian Elang
hingga hilang di belokan jalan.
Haiss!
Sombong sekali! Tapi masih saja tampan.
0 komentar:
Posting Komentar
silakan komentar disini... :)