**12**
![http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg](file:///C:/Users/lily/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg)
19 Desember 2009
Dia harus kuat. Karena dialah
yang sesungguhnya bisa menguatkan kami untuk memiliki tenaga menguatkannya. Apa
pentingnya bisa bicara dan apa merananya tidak bisa bicara?Apa pentingnya bisa
berjalan dan apa merananya tidak bisa berjalan? Selama hatinya bisa bicara,
saya akan mendengar, selama ia memiliki cukup tenaga, bisa saya berikan sebuah
kursi roda. Ia tidak bisa menegakkan punggungnya ketika duduk hari ini. Tapi,
jika nanti akhirnya dia tidak bisa hidup, saya tidak yakin tidak merasa merana.
Hanya karena ia tidak mencintai kita dengan
cara yang kita inginkan, bukan berarti ia tidak mencintai kita dengan semua
yang ia miliki.
--- TANDA TANYA ---
Menurut dokter, berdasarkan pengamatan
fisik dan pemeriksaan tubuh lainnya sejauh ini, Elang masih menunjukkan gejala
tanda Guillain-Barre Syndrom (GBS).
Karena itu, dokter sudah mulai memberikan terapi dan pengobatan kepada Elang
untuk mengatasi penyakit ini.
“Fisioterapi juga perlu dilakukan
untuk memperbaiki gerakan fungsional pasien. Terapi ini juga dilakukan untuk
mencegah kekakuan otot pasien, bahkan bisa mengembalikan kekuatan tubuh dan
kualitas gaya berjalan,”
“Jadi saya bisa sembuh, dok?”
“Saya sudah sering mengatakannya,
lebih dari 80% pasien yang di diagnosis GBS bisa pulih sepenuhnya,” jawab dokter.
“Itu artinya anda akan bisa berjalan dengan normal lagi,”
Syukurlah.
Aku, Elang, dan Nicholas tampak
tersenyum bahagia mendengarnya.
Keesokan harinya, Elang mulai
melakukan fisioterapi, terapi ini untuk mencegah kekakuan. Pelatihan-pelatihan
dalam terapi ini untuk gerakan otot tangan dan kaki, tapi lebih fokus pada
kakinya.
Ruang fisioterapi sekilas tampak
seperti gym dan di beberapa sudut ruangan seperti tempat permainan anak. Pasien
yang melakukan terapi ini sekarang juga sudah mulai berkurang jumlahnya.
Kami dari pihak keluarga diajarkan juga
cara-cara terapi ringan untuk menggerakkan otot kaki dan tangan Elang, sehingga
setiap waktu dan sesering mungkin Elang menggerak-gerakkan seluruh ototnya.
Tapi, pada hari selanjutnya, kaki
kanan Elang menjadi susah diangkat, sehingga ketika ia menggerakkan kaki
kanannya, seolah dikakinya terdapat kantung berisi beras yang menggantung.
***
Setiap hari Tante Ayu menjaga Elang
sepanjang pagi hingga sore, dan pada malam harinya bergantian antara aku, Prakoso,
Nicholas, Fredi, atau Ramadhan, tergantung kelonggaran waktu masing-masing.
Karena alasan masing-masing, malam ini Tante Ayu yang akan menginap di rumah
sakit.
Sore sepulang kerja aku datang dengan
membawa CD film dan laptop serta
berkas kerjaan sesuai pesanan Elang. Elang berencana melanjutkan pekerjaannya
malam ini. Rencananya setelah mengantarkan pesanan Elang, aku akan pulang.
Elang bekerja di atas ranjang dengan
kaki yang menggantung. Tidak sesuai rencana untuk segera pulang, saat ini aku
malah sedang duduk di lantai beralaskan selimut sambil menggerak-gerakkan kaki
Elang dengan teratur serta memijat-mijat kakinya. Aku juga sedang menonton film
yang baru aku bawa. Sedangkan Tante Ayu tertidur di sofa karena kelelahan.
“Itu sudah pernah kamu tonton, Sa,” kata
Elang tanpa mengalihkan pandangan dari laptop yang ia letakkan di atas paha.
“Tapi ceritanya bagus,” kataku.
“Apa masih ada bagusnya kalau sudah
pernah ditonton?”
“Cerewet, lanjutkan saja pekerjaan
kamu,”
Satu jam kemudian, Elang masih saja belum
selesai mengotak-atik laptop dan berkas-berkas yang tadi kubawa. Aku sudah
menguap berkali-kali. Melihatku begitu, Elang menyuruhku pulang.
“Nggak
mau. Aku pulang kalau kamu sudah tidur,” jawabku.
Pada akhirnya Elang memutuskan untuk
tidur, sehingga aku bangkit dari lantai dan membereskan laptop dan
kertas-kertas yang berceceran. Tidak perlu waktu lama, Elang sudah dengan
posisi tidur di atas ranjang dengan selimut menutupi setengah tubuhnya.
“Pulang sana,”
“Sampai kamu tidur,” jawabku sambil
membuka sebuah novel yang baru kubeli. Aku duduk di bangku yang aku letakkan di
samping ranjang. Entah mengapa akhir-akhir ini aku menjadi lebih senang membaca
novel untuk mengurangi kejenuhan di kantor.
Aku
tertidur rupanya.
Aku mengangkat kepalaku karena leher terasa
pegal. Aku juga tidak ingat kejadian tepatnya, tapi saat ini aku tengah
mendapati diriku yang baru saja terbangun dari tidur. Sepertinya tadi aku
tertidur membungkuk dengan kepala bersandar di atas ranjang.
Jam
dua malam. Aku tidak bisa pulang sekarang.
Aku menyalakan alarm ponsel agar bangun
sebelum pagi. Aku harus berganti pakaian dahulu ke rumah sebelum berangkat ke
kantor esok hari.
Aku terkejut sebentar setelah menyadari
sejak aku bangun tadi, tanganku berada dalam genggaman Elang dan selimut sudah
menutupi seluruh punggungku.
Terima
kasih untuk selimutnya.
***
Minggu kedua di rumah sakit, kaki kiri
Elang sudah mulai susah untuk di angkat, seperti kaki kanannya. Sehingga ketika
berjalan, Elang tampak seperti membawa beban berat di kedua kakinya.
“Itu hal yang wajar, kami masih tetap
mengawasi perkembangannya,” begitu jawaban dokter ketika kami bertanya.
Malam ini aku menginap di rumah sakit.
Sorenya setelah aku sampai rumah sakit, Tante Ayu pamit pulang. Tidak butuh
waktu lama, kami mengantarkan Tante Ayu sampai ke depan pintu utama rumah sakit
lalu berencana mencari makan di kantin. Banyak berjalan juga bisa dijadikan
terapi untuk Elang, karena itu kami tadi mengantarkan Tante Ayu sampai
mendapatkan taksi pulang.
“Tadi siang ada seorang bapak yang
didiagnosa GBS,” kata Elang ketika kami sedang makan malam di kantin.
“Oh ya?”
“Bapak itu nggak bisa berjalan, keluarganya tampak masih shock,”
“Nggak
bisa berjalan? Keadaan kamu masih lebih baik, Lang,” kataku.
“Mulai besok, beliau akan menjadi partner
terapiku,”
“Setelah ini kita mampir menjenguk
beliau, yuk,”
“Untuk apa?”
“Memberi semangat. Lagipula kita semua
bisa saling sharing. Itu akan jauh
lebih baik untuk kita dan mereka,” jawabku.
Bukan
jahat, tapi rasanya memang senang. Senang bertemu dengan orang dan keluarga
yang didiagnosa penyakit langka yang sama. Kami akan bisa saling menguatkan.
***
Akhir pekan, aku bisa seharian menemani
Elang di rumah sakit hari ini. Tante Ayu bisa beristirahat di rumah mengurusi
suaminya. Aku berencana menonton banyak film dengan Elang, tapi sepertinya
Elang lebih memilih melanjutkan menyelesaikan pekerjaannya.
“Memangnya mereka nggak tahu kalau kamu masih sakit?”
“Ini masalah tanggung jawab. Lagipula
aku masih bisa mengerjakannya,”
Baiklah.
Aku menyerah. Aku akan menonton film sendiri.
Seseorang tampak berdeham sekali,
membuat aku dan Elang menoleh ke arah sumber suara. Ramadhan datang menghampiri
kami sambil tersenyum setelahnya.
“Kamu belum pernah menonton film ini?”
Tanya Ramadhan.
“Dia memang suka menonton lagi film
kesukaannya,” jawab Elang.
Iya,
betul.
“Kaki kanan dan kirimu sekarang susah
digerakkan, ya?”
Iya.
Jangan berisik, ah. Aku sedang serius menonton.
“Iya,” jawab Elang singkat. “Oh ya,
pesananku mana?”
Aduh,
ini scene yang sedang romantis. Tidak bisa hening sebentar?
“Sa, berhenti sebentar menontonnya,”
kata Elang kemudian kepadaku.
Nanti,
sebentar lagi. Ya ampun, sudah ditonton berkali-kali masih saja terasa
romantis. Aku juga ingin segera dilamar. Ya ampun, ada apa dengan Elang?Ia
memang tahu aku begitu menyukai perhiasan kalung ketimbang cincin. Tapi, kenapa
aku tidak pernah mendapatkan cincin darinya?Aku ingin cinciiiiin.
“Sa,” pinta Elang lagi, membuat aku
menoleh ke arahnya.
Hah?
Cincin.
“Kamu nggak suka?”
Cincinnya
sederhana tapi cantik sekali. Terima kasih Elang!
Aku menggeleng-geleng sambil mengambil
cincin itu. Lalu aku memasangkannya di jari manisku. Sejak saat itu, aku tidak
pernah lepas memandangi jari manisku yang terlihat menjadi semakin cantik.
“Aku akan segera sembuh, lalu aku akan
mendatangi keluargamu,”
Maksudnya
akan melamar? Kita akan menikah?Kalau begitu ayo lekas sembuh! Syalalala.
***
Minggu keempat dan kelima, kabarnya
minggu lalu bapak pasien GBS koma selama lebih dari satu minggu. Tapi untungnya
hari ini bapak itu sudah membaik. Bahkan beliau yang awalnya tidak bisa
berjalan, dengan menjalani pengobatan dan terapi beberapa minggu kemudian,
beliau sudah bisa berdiri menopang tubuhnya sendiri.
Sedangkan Elang tampak memburuk. Kaki
kanannya menjadi semakin susah diangkat, sehingga Elang harus menyeretnya di
lantai. Elang mulai menggunakan satu tongkat.
Minggu ketujuh, kedua kaki Elang menjadi
semakin susah untuk berjalan. Elang harus menyeret kedua kakinya satu persatu
ketika berjalan. Tapi yang membuat kami heran adalah kejadian tadi siang
setelah fisioterapi. Sang bapak sudah bisa berjalan menggunakan tongkat,
sehingga menurut dokter beliau bisa pulang dalam beberapa hari ke depan jika
kondisinya semakin membaik.
“Dokter, apakah bapak itu benar
didiagnosa GBS?”
“Iya,”
“Bagaimana dengan aku? Mengapa aku tidak
kunjung membaik?”
“Kondisi seseorang dalam mengatasi
penyakit tidak selalu sama. Kemungkinan membaik sekitar 1 hingga 3 bulan. Kita
masih perlu waktu lagi melihat perkembangannya,”
Minggu kedelapan. Akhir-akhir ini Elang
lebih sering melakukan berbagai tes dan konsultasi dengan dokter, hampir setiap
hari. Bahkan dokter yang memeriksa Elang bisa mencapai lebih dari lima orang
dan mereka akan saling berdiskusi satu sama lain sambil berjalan pergi.
Pengobatan dan terapi masih dilakukan,
tapi Elang masih belum menunjukkan perkembangan yang positif. Kami kembali
menjadi cemas dengan keadaan ini.
Hari ini, ketika Om Candra baru tiba di
rumah sakit, Elang tampak sedang berlatih dengan sebuah papan persegi panjang
berlubang-lubang di atas meja. Dengan papan itu, Elang harus berlatih
memasukkan paku satu persatu ke dalam lubang-lubang yang tersedia.
“Maaf, om, Gelisa nggak bisa jemput Om Candra dari Bandara,” kataku ketika kami
sedang mengintip Elang dari luar pintu ruang fisioterapi.
“Nggak
apa-apa, Sa,” jawab Om Candra.
“Om Candra jadi izin satu minggu?”
“Iya,” jawab Om Candra.
Tentu
saja semua orang akan merasa khawatir jika begini.
Malam hari Om Candra dan Prakoso yang
menemani Elang di rumah sakit, sementara aku pulang ke rumah karena besok masih
harus bekerja seperti biasa. Sudah tiga hari aku izin untuk mengurus Elang yang
keadaanya semakin memburuk.
***
Satu minggu kemudian, Om Candra kembali
ke Surabaya. Om Candra berjanji akan selalu datang di akhir pekan sampai Elang
keluar dari rumah sakit, karena sebagai jaksa, ia tidak bisa meninggalkan
pekerjaannya selain hari libur.
Elang saat ini sudah menggunakan kursi
roda, karena kakinya sudah tidak bisa lagi menahan tubuhnya sendiri. Entah apa
istilah ‘melihat perkembangan’ seperti yang dokter katakan, karena sejauh ini
kami hanya melihat ‘kemunduran’ pada tubuh Elang. Dan hingga hari ini, kami
masih belum mendapat kabar kepastian dari dokter.
Ke ruang fisioterapi sudah menjadi
rutinitas bagi Elang. Di ruangan ini, Elang masih mendapatkan terapi
bersama-sama dengan para penderita stroke, cedera tulang, dan penderita lain
yang mengalami masalah pada sarafnya.
“Papi sudah pulang, ya?” Tanya Elang
ketika kami sedang menuju kamar dari ruang fisioterapi.
“Iya. Fredi sedang mengantar Om Candra
ke Bandara,” jawabku.
Lalu kami terdiam lama dengan pikiran
masing-masing.
“Sebenarnya aku sakit apa, ya?” Tanya
Elang.
Aku
juga bingung.
“Apa ya?” Aku pura-pura berpikir sambil
terus mendorong kursi rodanya.
Dari
hasil pencarianku di internet, aku agak curiga dengan beberapa klasifikasi GBS.
Tapi aku juga tidak bisa membantu
menentukan apa pun.
“Aku takut aku nggak bisa sembuh,” kata Elang tiba-tiba.
Sebenarnya aku juga takut tentang
hal itu. Tapi tidak boleh. Kamu pasti sembuh.
“Haiss, jangan berpikir
macam-macam,” sangkalku kemudian. “Karena kamu banyak berpikir, jadinya otak
kamu agak susah mengendalikan saraf-saraf kamu. Rileks, rileks, rileks,”
“Apa itu? Mengarang cerita,”
Memang.
***
Akhir pekan. Selesai fisioterapi, aku
memijat-mijat tubuh Elang seperti waktu kemarin. Elang tampak menikmati
pijatanku.
Apa
begitu enak dipijat olehku? Wajah kamu bahagia sekali.
“Semakin lama tenaga kamu kemana, Sa?
Kurang kuat,”
Siap,
bos!
“Leherku juga agak pegal, Sa,”
Iya,
dimana lagi yang pegal?
“Kamu itu memijat apa menggelitiki?”
Cerewet!
“Ini huruf apa, Lang?” Tanyaku sambil
menuliskan sebuah huruf di punggungnya dengan jari telunjukku.
“N?”
Haiss!
Bukan.
“C?”
“kalau ini?”
“E-R-E-W-E-T,” jawab Elang satu persatu.
“Cerewet? Siapa?”
E-L-A-N-G. Aku kembali menuliskan
huruf-huruf itu ke atas punggung Elang, membuat Elang marah tidak terima
dibilang cerewet begitu.
Hari-hari berikutnya Elang masih belum
ada kemajuan, kakinya masih susah digerakkan sehingga masih menggunakan kursi
roda ketika hendak kemana-mana dan sering merasa sakit di kakinya.
Menjelang bulan keempat, dalam
pemeriksaan harian, kondisi Elang memburuk lagi. Ia menjadi susah mengangkat
tangannya. Ketika kedua tangannya diangkat lurus ke depan, hanya sampai batas
kepalanya. Ketika kedua tangannya lurus ke samping, ia hanya mampu
mengangkatnya hingga bahu.
Dokter kembali memberikan data-data
hasil tes yang sudah Elang lakukan beberapa kali. Dokter kembali menjelaskan
secara detil kepada Elang, Fredi, Om Candra, Prakoso, dan aku.
“Dengan mengamati perkembangannya dan
berdasarkan hasil tes yang dilakukan berkali-kali, serta diskusi dari beberapa
ahli, ini menunjukkan gejala yang relevan dengan Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy atau bisa kita
singakat CIDP, semacam GBS kronis,”
Hah?
“Dari hasil tes tersebut, seperti
pengamatan awal, terdapat gangguan pada saraf tepinya. Kami masih menemukan adanya
kerusakan pada selubung yang disebut myelin,”
Lalu?
“Untungnya pengobatan CIDP sama dengan
GBS, dan ...”
Apa
selanjutnya?Aku tidak mengerti dengan penjelasan dokter.
“Kasus seperti ini hanya ditemukan
sekitar satu dari satu juta orang,”
Sekarang
perbandingannya menjadi 1:1.000.000?
“Saya masih bisa sembuh, dok?” Tanya Elang.
Iya,
apa Elang bisa sembuh?
“Bentuk CIDP yang anda alami adalah
aktif atau progresif dalam jangka waktu yang lama. Tapi CIDP sendiri jarang
sekali ditemukan kasus kematian jika ditangani lebih awal seperti anda,”
Jadi bisa sembuh? Syukurlah.
“Sebenarnya CIDP belum ada obatnya, tapi
pengobatan dan terapi yang ada saat ini bisa memperlambat gejala-gejalanya.
Kami tidak bisa menjanjikan anda akan kembali bergerak normal seperti
sebelumnya, tapi kami akan memberikan yang terbaik,”
“Maksudnya tidak akan sembuh?”
“Bisa, tergantung kondisi pasien.
Biasanya dalam waktu beberapa bulan, atau beberapa tahun. Karena itu kita harus
berusaha sekuat tenaga kita,”
Syukurlah.
“Sekali lagi, karena ini kasus langka,
kami juga masih perlu pengamatan lebih lanjut tentang kepastian diagnosa ini,”
0 komentar:
Posting Komentar
silakan komentar disini... :)