**11**
![http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg](file:///C:/Users/lily/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg)
21 Desember 2009
Tadi dokter menjelaskan kondisi
terakhir Elang. 1 berbanding semua manusia di seluruh dunia sangat menyedihkan.
Saya sedang menangis. Saya pernah berpikir tentang kesempatan kedua. Tuhan
sudah memberikan kesempatan kedua untuk Elang hidup setelah berhasil mengatasi
kanker otak. Apakah benar tidak ada istilah kesempatan ketiga? Saya takut
dengan apa yang akan terjadi nanti.
Kita tidak akan
pernah tahu jika kita tidak pernah mencoba. Berikanlah kesempatan sehingga ia
bisa memberi kita alasan untuk melupakannya atau menerimanya.
--- KESEMPATAN KEDUA ---
Tadi siang Elang jatuh dari tangga di
kantor. Karena itu, malam ini setelah pulang dari kantor, aku langsung mampir
ke apartemen Elang untuk menjenguk dan mengurusnya. Elang bilang sudah lebih
baik, tapi aku masih khawatir jika tidak melihatnya secara langsung.
Aku menekan bel.
“Apa saja yang luka?” Tanyaku cepat
setelah pintu baru saja dibuka. Elang menyuruhku masuk lalu menjawab kalau
kepalanya tadi terbentur lantai jadi sedari tadi masih sedikit pusing dan
pergelangan tangan kirinya sedikit terasa linu.
“Tapi aku nggak
apa-apa,” tegasnya kemudian sambil duduk di atas sofa.
Aku melirik layar televisi yang masih
menyala dan stick game yang
tergeletak di atas meja depan sofa. Melihat atribut game tersebut, aku menjadi yakin kalau Elang memang terlihat baik-baik
saja. Tak lama kemudian Elang bermain game
sepak bola ketika aku berjalan mengambil minum di dapur.
Dasar.
Sakit itu seharusnya istirahat, bukan bermain game.
“Bagaimana kepalanya?” Tanyaku.
“Masih pusing,” jawabnya cepat terdengar
diantara suara efek game.
Aku berjalan menuju sofa, dan duduk di
samping Elang.
“Sudah makan?” Tanyaku.
“Sudah,” jawabnya cepat tapi matanya
masih fokus ke layar televisi.
“Katanya masih pusing,”
“Memang,”
“Ayo cek ke rumah sakit,”
“Pijat saja kepalaku, ya,” pintanya
manja sambil menoleh ke arahku.
Keesokan paginya, aku memaksa Elang ke
rumah sakit untuk mengecek kepalanya. Menurut dokter, ia hanya kelelahan dan
menderita anemia ringan. Sehingga perlu istirahat banyak dan meminum suplemen
penambah darah.
“Aku sudah bilang aku baik-baik saja,”
keluh Elang.
“Kepala kamu benar sudah nggak pusing lagi?”
“Bukan kanker otak, Sa. Jangan
khawatir,”
***
Aku terbangun malam itu dan masih
melihat Elang sibuk di depan laptop. Kertas tercecer kemana-mana, dan secangkir
kopi tampak bergelimpang di atas meja, tidak diurus. Malam ini Elang harus
mengurus sesuatu dan harus segera di kirim ke London, sehingga ia menggunakan
jaringan internet di rumahku. Aku kasihan kepada Elang, sejak menjadi manajer,
ia menjadi lebih sibuk dari sebelumnya.
“Jangan terus lihat aku seperti itu,
buat kopi saja, sana,” tiba-tiba Elang bersuara sambil membuka-buka berkas.
Malas
ah, aku lelah, masih mengantuk, buat saja sendiri. Eh, apa kamu punya mata di
kepala belakang? Dimana? Dimana? Bagaimana kamu tahu kalau aku terbangun dan
sedang asyik memperhatikanmu?
Aku memejamkan mata lagi. Tapi
beberapa detik kemudian terdengar suara gelas jatuh ke lantai. Aku membuka
mata, dan menemukan cangkir kopi pecah di lantai dan Elang yang sedang memungut
cangkir itu dengan tangannya. Aku bangkit dari ranjang segera untuk membantu
Elang.
Beberapa menit kemudian, kami duduk
di sofa sambil meminum kopi hangat. Elang merasa lelah, jadi ia memintaku
menemaninya mengobrol untuk memberikan jeda istirahat kepada tubuh dan matanya.
“Mataku terlihat aneh, ya?” Elang
memamerkan kedua matanya ke arahku.
“Nggak.
Memang kenapa?”
“Tadi seperti agak susah melirik ke
atas,” jawabnya sambil memutar-mutar bola matanya, lalu ke atas, ke bawah, ke
kanan, dan ke kiri, bergantian berkali-kali.
***
Aku menyuruh Elang duduk di bangku
tak jauh dari eskalator. Dia duduk dengan kesal karena kupaksa duduk tadi. Baru
saja ia terjatuh setelah berada di puncak eskalator. Wajahnya tidak terlihat
pucat dan tampak sehat bugar, tapi aku menjadi khawatir dengannya.
“Kamu masih lelah, ya? Kita pulang
saja, ya,” kataku.
“Kita jarang keluar bersama begini,
Sa. Aku baik-baik saja,”
“Tapi ini sudah kedua kalinya kamu
tersandung,”
“Kamu sudah nggak mau jalan bersamaku lagi? Aku tersandung dua kali sudah
membuatmu malu?”
Haiss!
Bukan itu maksudku. Kamu itu suka sekali berpikir aneh yang membuatku kesal.
Apa kita harus bertengkar hari ini? Ini
pasti karena tadi pagi kamu lupa meminum suplemen penambah darah. Ini juga yang
membuatku marah karena tadi kamu memesan salad sepertiku dan bukan steak daging
sapi.
“Seharusnya tadi kamu makan daging,
bukan salad. Nggak usah ikut diet
sepertiku,”
“Aku sudah bosan diberi daging terus
sama kamu,”
“Tapi itu bisa menambah darah kamu,”
“Kita pulang saja,” keluhnya
kemudian sambil bangkit dari bangku.
***
Prakoso, Nicholas, dan Ramadhan
sedang berlomba meniup balon. Di lantai sudah bertaburan banyak balon
warna-warni. Karena semua laki-laki di sini perokok, maka pintu balkon
apartemen dibiarkan terbuka, sehingga beberapa balon terbang ke dapur.
Di dapur, aku, Resti, Vira, dan Tari
menyusun makanan dan minuman ke atas meja makan. Fredi, Haris, dan Steven
sedang asyik mengobrol sambil mempersiapkan kamera untuk foto-foto. Pesta kecil
kejutan ulang tahun untuk Elang bersama teman kantor dan sahabatnya hampir
selesai.
Pintu apartemen tiba-tiba terbuka
dan muncul Elang di sana.
Kejutan.
Kamu mengejutkan aku dan teman-teman, Lang. Kami belum siap, kenapa sudah
pulang?
“Ada apa ini?” Tanya Elang dengan
polosnya bertampang kebingungan.
“Meniup balon, “ jawab Nicholas.
“Sini bantu kami meniup balon,”
Sini
bantu kami meniup balon? Nicholas bodoh! Kita memang tidak siap mendapat
kejutan begini, tapi tetap kita yang seharusnya berekspresi pemberi kejutan.
“Kejutan! Selamat ulang tahun,
Elang,” kataku sambil berjalan ke arahnya. Melihatku begitu, yang lain menjadi
ikut bersorak menyambut kedatangan Elang yang masih kebingungan.
“1 April itu masih beberapa jam lagi,
kan?” Elang memastikan.
“Haris bilang kamu lembur hari ini
dan pulang nanti tengah malam,”
Ini
masih jam setengah sebelas malam. Kenapa sudah pulang?!
Akhirnya pesta ulang tahun dilakukan
malam sebelum tanggal 1 April, tapi acara tiup lilin dan potong kue tetap pada
jam dua belas malam.
Elang bersama Fredi hendak berduet
bermain gitar menyanyikan sebuah lagu sebagai persembahan untuk kami. Lagu
romantis yang sering Elang nyanyikan untukku kembali ia nyanyikan malam ini.
Seperti beberapa bulan yang lalu, Elang
kembali berhenti bernyanyi dan berhenti memetik gitar di tengah lagu. Tapi
tetap tidak mengurangi keromantisan lagunya, karena masih ada Fredi yang masih
bernyanyi dan bermain gitar melanjutkan lagu itu. Suara Fredi bagus sekali,
tidak sumbang seperti suara Elang.
“Jariku kenapa?” Tanya Elang setelah
lagu selesai dinyanyikan.
Keesokan harinya, aku, Nicholas, dan
Fredi mengantar Elang ke rumah sakit. Aku izin tiga jam dari kantor. Wajah
Elang tampak gelisah sekali karena jemarinya tiba-tiba susah digerakkan. Tiga
jarinya, yaitu jempol, telunjuk, dan jari tengah bergerak sangat lambat dan
menurut Elang, sesekali terasa seperti ditusuk-tusuk jarum.
Setelah konsultasi dan pemeriksaan
kurang dari tiga puluh menit, diagnosa dokter adalah Elang menderita kelelahan.
Sebelum pergi, Elang diberi suntikan stamina dan beberapa resep multivitamin.
“Kita pindah rumah sakit,” ajak Fredi
setelah mendengar diagnosa dokter dari mulutku.
***
Aku langsung ke kantor ketika Elang
memeriksa jarinya ke rumah sakit lain, karena teman kantor meneleponku untuk
segera datang ke kantor dan mengurusi rencana proyek baru.
“Gejala ini seperti menunjukkan stroke,
tapi saya kurang yakin,” Elang memperagakan apa yang dikatakan dokter di rumah
sakit lain.
“Jadi stroke?” Tanyaku malam itu sambil
menyiapkan makan malam untuk aku, Prakoso, dan Elang.
“Tapi sekarang sudah normal lagi. Tadi
Prakoso memijat-mijat jariku, jadi sekarang sudah bisa digerakkan dengan
bebas,”
“Besok aku bisa mengantar Elang ke rumah
sakit,” kata Prakoso sambil bangkit dari sofa dan berjalan mendekatiku.
“Besok aku mau ke kantor,” kata Elang
cepat.
“Kata dokter, kamu harus kembali lagi
besok,” kata Prakoso.
Ke
kantor?Haiss keras kepala.
Jam makan siang esok harinya aku
menghampiri Elang di kantor dan kupaksa ia ke dokter seperti yang sudah
disarankan kemarin. Awalnya Elang menolak, tapi pada akhirnya ia menurut.
Dokter mengatakan Elang baik-baik saja,
sehingga hanya diberi beberapa obat untuk dikonsumsi selama beberapa hari.
“Aku ini nggak apa-apa,” keluh Elang ketika dalam perjalanan pulang. Motor
ia kendarai cepat sekali menuju kantorku. Ia hendak mengantarku untuk kembali
bekerja lalu ia juga akan kembali ke kantornya.
“Jadi manajer itu terlalu sibuk dan
lelah, ya? Bisa jadi fotografer lagi, nggak?”
Tanyaku.
***
Malam ini aku dan Prakoso ke rumah sakit
tempat Elang dirawat sambil membawa beberapa baju untuk Elang. Tadi sore di
kantor, kaki Elang tiba-tiba sulit digerakkan dan setelah di bawa ke rumah
sakit, Elang disarankan menginap beberapa hari di rumah sakit. Setelah dokter
melakukan pemeriksaan untuk kesekian kalinya, Elang diharuskan pindah ke
ruangan dokter lain, yaitu dokter saraf.
Setelah konsultasi dan pemeriksaan
selama lebih dari dua jam di ruangan dokter saraf, besok Elang harus melakukan
berbagai pemeriksaan dan tes. Dokter belum memberitahu kami tentang apa yang
terjadi pada Elang. Dokter hanya mengatakan bahwa ini salah satu gejala
gangguan saraf dan harus diteliti lebih lanjut untuk diketahui sebabnya.
Ada
apa sebenarnya?Benar-benar Stroke?
Belum genap satu bulan di rumah sakit,
Elang merasa seluruh badannya sakit. Dan keesokan paginya Elang menjadi agak
susah menggerakkan kakinya ketika berjalan.
Ini
mal praktek, ya? Kenapa kondisi Elang bertambah buruk?
Sore harinya dengan memperlihatkan data
hasil pemeriksaan sementara yang telah dilakukan Elang selama beberapa hari
ini, dokter mulai menjelaskan apa yang terjadi pada Elang di hadapan Elang,
aku, Prakoso, dan Nicholas.
Dokter menyebut bagian-bagian tubuh yang
sebelumnya pernah kudengar di pelajaran Biologi ketika SMA. Myelin, akson,
selanjutnya saraf, sistem imun, protein tinggi, dan istilah-istilah lain yang
sama sekali tidak bisa kumengerti.
“Jadi stroke, dok?” Tanyaku setelah
dokter memberikan penjelasan.
“Beberapa bulan yang lalu ia masuk rumah
sakit karena infeksi, bukan?
“Iya, dok,” jawabku mantap.
Apakah
infeksi itu menyebar ke kakinya?
“Ia pernah mengeluh susah menggerakkan
mata dan jarinya?”
“Iya, dok,” jawabku kembali mantap.
Sudah
menyebar ke kepalanya juga?
“Melihat gejala awal kelumpuhannya dan
...” dokter menjelaskan.
Lumpuh?
Lalu selanjutnya aku tertinggal
penjelasan dokter.
“Diagnosa awal kami adalah GBS atau Guillain-Barre Syndrom, Penyakit ini
timbul karena adanya kerusakan pada saraf tepi dimana myelin diserang oleh antibodi
alami dari tubuhnya. Akibatnya tubuh Elang mengalami gangguan dalam menggerakan
tubuhnya sendiri,” kata dokter.
GBS?
Guillain-Barre Syndrom?
“Tapi kami masih perlu pengamatan yang
lebih lengkap lagi,”
Maksudnya,
dok?
“Ini penyakit langka. Kasus ini hanya
ditemukan sekitar satu dari seratus ribu orang, jadi kemungkinan pengamatan
yang panjang dibutuhkan untuk meyakinkan kami,” kata dokter.
1:100.000?
***
Hari ini juga ada rapat untuk membahas
artikel tabloid kami. Jadi, aku tidak bisa menemani Elang. Untung saja ada
Tante Ayu yang siap sedia menunggui Elang. Rapat hari ini aku tidak konsentrasi
sama sekali. Pikiranku sudah penuh dengan GBS atau Guillain-Barre Syndrom.
Menurut dokter, GBS merupakan syndrom,
bukan penyakit, dan tidak jelas spesifik agen penyebabnya. GBS adalah kelainan
dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. Dokter juga mengatakan
Keadaan Elang akan membaik dalam waktu beberapa bulan jika ia ditangani dengan
baik di rumah sakit ini.
Keadaan
Elang akan membaik. Fakta mengatakan bahwa 80% orang yang didiagnosa penyakit
ini bisa sembuh.
“Ini kesempatan kedua dari Tuhan
untukku,” kata Elang suatu malam ketika aku menampakkan wajah khawatir.
“Kesempatanku memutuskan untuk berjuang hingga sembuh sekali lagi atau
membiarkan tubuhku lumpuh dan mati oleh keputusasaan,” lanjutnya.
Perfect!
Jadi aku memang tidak perlu khawatir berlebihan
“Data pasien lain juga menunjukkan
bahwa mereka berhasil mengalahkan syndrom dan hidup normal sekali lagi,” kataku
penuh semangat.
“Jadi aku hanya perlu serius
terapi,”
“Iya, semangat!” Seruku.
“Aku akan bisa sehat lagi,”
“Iya, pasti!” Seruku lagi bergaya
seperti sedang kampanye kepala daerah. Elang tertawa melihat tingkahku.
Ini
adalah kesempatan kedua kamu dalam berjuang mengatasi cobaan. Kesempatan
pertama berhasil kamu lalui, kenapa tidak untuk kesempatan kedua? Kamu benar,
kamu akan berhasil sekali lagi.
0 komentar:
Posting Komentar
silakan komentar disini... :)