**14**
20 Januari 2010
Ia akhirnya benar-benar tertawa
terbahak-bahak. Senang sekali melihatnya. Tadi saya menuturkan bahwa hidupnya
memiliki kisah unik tentang pindah profesi. Tahun 2000 ia pernah menjadi calon
jaksa. Setelah keluar dari rumah sakit dari perawatan kanker setahun kemudian,
ia menjadi calon pelukis. Tahun 2005 ia menjadi pelukis. Setelah keluar dari
rumah sakit dari kecelakaan taksi
sepulangnya dari rencana bisnis di UK tiga bulan kemudian, ia menjadi
fotografer. Ketika kecelakaan motor di tahun 2008, setelah keluar dari rumah
sakit ia menjadi seorang manajer.
Om Candra menambahkan ketika
usianya 16 tahun, ia juga pernah masuk rumah sakit karena jatuh dari lantai dua
waktu sedang berkunjung ke rumah Tante Ayu. Setelah keluar dari rumah sakit,
dengan tiba-tiba ia meminta pindah profesi dari anak kampung menjadi anak kota
dengan melanjutkan sekolah SMA di kota tempat Tante Ayu tinggal.
Memberikan hal yang terbaik ketika kita
sedang berlebih adalah hal biasa. Tapi karena cinta tidak biasa, maka ia mampu
memberikan hal terbaik meski dalam kekurangan.
--- PINDAH ---
Agustus 2009
Elang berubah menjadi sensitif, mudah
marah, dan tidak banyak bicara. Ia berkali-kali absen untuk fisioterapi dan
sering menolak untuk mandi ketika perawat yang biasa, datang untuk memandikan
Elang. Ia terlihat seperti orang yang tidak terurus. Jenggot dan kumisnya terus
memanjang tidak rapi. Padahal biasanya dia selalu rajin untuk menjaga bentuk
jenggot dan kumis agar tampak terlihat rapi.
Tante Mirani datang dari Amsterdam
setelah mengetahui penyakit yang diderita Elang. Ia membawa dua koper besar
yang ia letakkan di apartemen Elang. Tante Mirani berencana tinggal lama di
negeri ini demi menguatkan Elang.
“Hari ini dia masih nggak mau terapi,” keluh Tante Mirani
ketika kami sedang makan malam di kantin. Kami bersama meninggalkan Elang
karena Elang meminta kami meninggalkannya sendirian di kamar.
“Gelisa juga nggak tahu harus bagaimana sekarang,”
“Ada kabar lagi dari dokter?” Tanya
Tante Mirani. Aku menggeleng.
Esok harinya, Elang mengeluh karena
tangan kanannya menjadi susah diangkat lebih tinggi lagi. Ia juga mengeluh
karena jari kanannya kurang berfungsi dengan baik. Ia sulit memegang sesuatu
yang bentuknya kecil atau tipis seperti sendok, tisu, spidol, dan kertas.
Akhir-akhir ini ia banyak menghabiskan bermain game di laptopnya sepanjang
hari.
“Aku bisa makan sendiri,” kata Elang
ketika Tante Mirani hendak menyuapi sarapan kepada Elang. Tangan kanan Elang
masih seperti kemarin, jadi ia makan menggunakan tangan kirinya.
Pindah
tangan begini, apakah untuk selamanya atau sementara saja? Apakah tanganmu akan
membaik nanti?
***
“Kamu tahu Prakoso adalah senior
kamu di SD?” Tanya Elang tiba-tiba ketika aku tengah membacakan novel untuknya.
Aku berhenti membaca lalu mengangguk.
“Ada apa, Lang? Kamu mau bicara
apa?” Tanyaku.
“Dulu aku dan Prakoso pernah
berkelahi dan dia menyebutku pencuri. Pencuri cinta pertamanya,”
Aku
ingat Prakoso juga pernah mengatakan kepadaku bahwa dia menyukaiku. Cinta
pertamanya? Apa maksud kamu membicarakan masalah ini?
Elang menceritakan apa yang ia dengar dari
Prakoso waktu itu. Dulu ketika SD, Prakoso kelas 5 dan aku kelas 3. Kebetulan
jadwal olahraga kelas 5 dan 3 itu pada hari dan jam yang sama. Jadi ketika
salah satu guru tidak bisa hadir, maka kedua kelas akan bergabung. Suatu hari
ketika jam olahraga di kolam renang, kami berolahraga bersama.
“Ketika itu kamu dan Prakoso
berciuman,”
Hah?
Kami apa? Berciuman? Prakoso mengarang cerita!
Aku menjadi mengingat sesuatu. Waktu
di kolam renang, ada dua orang anak kelas 5 yang sedang bertengkar. Salah satu
dari mereka jatuh ke kolam renang setelah ditendang oleh anak yang lain.
Kebetulan aku sedang berdiri di pinggir kolam, jadi tersenggol dan ikut
terjatuh. Di dalam kolam renang, tidak sengaja bibir kami saling menempel.
Tapi
itu kejadiannya cepat sekali dan bukan sebuah ciuman. Haiss! Kenapa Prakoso bisa mengingat itu sebagai sebuah ciuman?
Lagipula aku juga baru tahu kalau anak laki-laki itu adalah Prakoso.
“Kenapa kamu nggak menyukai Prakoso saja?”
Kamu
pikir aku tidak mau menyukai Prakoso? Dia yang selalu baik kepadaku ketika itu.
Aku juga tidak tahu kenapa aku tetap menyukai kamu walau Prakoso pernah bilang
menyukaiku.
“Kenapa hatimu nggak bisa pindah kepada Prakoso?”
Apa
harus kujawab?
“Aku lanjutkan lagi, ya, novelnya,”
kataku mengalihkan pembicaraan.
“Aku mau tidur,” jawab Elang cepat.
Tidur?
Tidak bisa. Aku akan terus membacakan novel ini sampai kamu marah. Kamu tahu
aku sedang marah karena pertanyaanmu barusan? Kamu pikir perkara menyukai dan
meninggalkan seseorang itu mudah? Kamu pikir rasa cintaku sekecil itu? Apa itu
sebenarnya yang kamu pikirkan tentang aku selama ini? Aku tidak akan berhenti
membacakan novel sampai aku tidak marah lagi. Rasakan!
***
Aku menonton film Jepang yang berjudul
‘1 Litre Of Tears’ setelah direkomendasikan oleh teman kantor. Film itu
diangkat dari sebuah kisah nyata gadis Jepang bernama Aya yang menderita
penyakit Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) atau biasa dikenal dengan Lou-Gehrig. Ceritanya menyedihkan
sehingga ketika menonton di kamar tempat Elang dirawat, aku menangis
sesenggukan, tapi berusaha tidak membangunkan Elang dan Tante Mirani.
Membayangkan
akan lumpuh lalu mati seperti Aya, sungguh tidak mudah. Aku bisa merasakan
penderitaan Aya. Apakah Elang nanti akan begitu? Apakah Elang akan lumpuh total
suatu hari nanti dan mati? Sekarang aku menjadi mengerti perasaan Elang.
“Kamu sedang apa, Sa?” Tanya Elang yang
ternyata terbangun. Aku tidak menjawab. Aku mendekat ke arah Elang lalu
memeluknya dengan lembut.
“Aku mengerti apa yang kamu rasakan.
Mulai sekarang aku akan menguatkan kamu,” kataku masih sesenggukan.
Sorenya setelah turun dari taksi, aku
melihat dokter yang dulu merawat kanker Elang berjalan keluar dari pintu utama
rumah sakit. Aku langsung menghampirinya dan menyapa.
“Kamu Gelisa? Wah, masih saja seperti
dulu,”
“Dokter juga, masih terlihat cantik,”
kataku cepat. “Oh ya, dokter punya kenalan yang dirawat di sini?”
“Elang. Saya baru tahu tentang Elang
semalam,”
“Dokter sudah bertemu Elang?”
“Baru saja bertemu,” jawab dokter
Arniati. “Oh ya, saya buru-buru mau ke rumah sakit khusus kanker lagi,”
pamitnya kemudian.
Setelah melihat Dokter Arniati hingga
menghilang dari pandangan, aku berjalan menuju kamar Elang. Aku terkejut karena
di sana ia tengah menangis dalam pelukan Tante Mirani.
“Aku ingin sembuh, Mi,” isaknya.
“Kamu bisa sembuh, Nak,”
“Aku benar-benar ingin sembuh,”
“Mami tahu kamu ingin sembuh. Kamu pasti
bisa, Nak. Sekali lagi kamu harus bisa menang melawan sakit,”
Sejak malam itu, Elang perlahan bangkit.
Ia kembali menjalani fisioterapi. Entah apa yang dikatakan Dokter Arniati
ketika itu, tapi kami sangat berterima kasih kepadanya.
***
Satu minggu kemudian, Tante Mirani
pulang ke Amsterdam karena kondisi jiwa Elang sudah membaik. Elang, Prakoso,
Ramadhan, dan aku yang mengantarkan Tante Mirani ke Bandara menggunakan mobil
Prakoso.
“Tante titip Elang, ya,” kata Tante
Mirani sebelum masuk pintu departure hall.
Kami semua mengangguk sambil tersenyum, sementara Elang cemberut mendengarnya.
“Mami pikir aku anak kecil?”
Kurang dari satu jam kami sudah kembali
ke rumah sakit. Ketika itu Elang tidak mau langsung masuk rumah sakit, tapi
mengajak kami berjalan sebentar di parkiran rumah sakit.
Mau apa dia? Kenapa kemari?
Elang memberikan sebuah kunci mobil
kepadaku lalu menunjuk salah satu mobil yang diparkir di sana.
Apa
ini? Hah, apa kamu membeli mobil? Wah, senangnya!
“Itu mobil kamu?” Tanyaku. Elang
mengangguk.
Dengan bantuan Prakoso, Elang menjual
motor dan membeli mobil baru. Tanpa basa-basi, aku mengajak Elang jalan-jalan
menggunakan mobil baru. Elang menaiki mobil dengan ditopang oleh Prakoso dan Ramadhan.
Lalu selanjutnya kami berdua jalan-jalan sebentar menggunakan mobil itu, aku
yang menyetir. Prakoso dan Ramadhan kami tinggal di rumah sakit.
“Kenapa tiba-tiba jadi ingin beli
mobil?”
“Aku Nggak
tahu,”
Tidak
tahu?
“Kamu nggak menyesal? Kamu sangat menyukai motor itu. Kalau aku jadi
kamu, aku nggak akan rela membiarkan
motor itu pindah tangan ke orang lain,”
“Aku melakukannya karena aku ingin.
Kamu ingat janjiku pada diriku sendiri?”
Untuk
membahagiakan dirimu sendiri sebelum kamu mati? Dan melakukan apa yang ingin
kamu lakukan serta menikmatinya? Ya, aku masih ingat. Itu janjimu pada dirimu
sendiri.
“Aku ingin membahagiakanmu dengan
melakukan apa yang kamu inginkan. Dan aku berjanji nggak akan pergi sampai kamu yang melepaskanku,”
Kamu
ingin membahagiakanku dan tidak akan pergi sampai aku melepasmu? Wah, kamu
sudah kembali seperti dulu, Lang. Aku senang mendengarnya. Baiklah, aku
berjanji, aku juga akan melakukan apapun yang kamu inginkan dan tidak akan
pernah melepasmu.
“Sa, lampu merah!” Teriak Elang
tiba-tiba sehingga aku mengerem mendadak.
Aku
melamun!
“Kalau menyetir jangan melamun!”
“Aku harus protes kepada polisi karena
lampu lalu lintas di sini sering rusak. Tiba-tiba merah setelah hijau tanpa
warna kuning dahulu,”
“Kamu pintar sekali mencari alasan,”
“Ini bukan alasan. Aku sering lewat
jalan ini dan lampunya memang sering rusak begitu,”
“Tapi tadi lampunya kuning dahulu,”
“Ah, cerewet,” umpatku.
1 komentar:
Baccarat: Learn how to play the card game with the dealer
In the game, you deccasino play septcasino the dealer's hand and the hand is dealt face down and you'll be dealt with a hand that's 52 (or 52), 바카라 사이트 with the goal
Posting Komentar
silakan komentar disini... :)