**9**
3 Januari 2010
Hari ini saya berkata menyukai
pelangi. Tiba-tiba saja saya terpikirkan kisah saya dan dia seperti pelangi. Kadang kami senang bersama, kadang kami
bertengkar, lalu kemudian memaafkan, dan kembali bertengkar atau senang
bersama. Pelangi memiliki banyak warna dan jika warna-warna tersebut bergabung
akan membentuk warna putih. Kenangan kami pun berwarna, senang, sedih,
bertengkar, tertawa, berbagi, dan selanjutnya akan saling memaafkan setelah
bertengkar karena kami pada akhirnya akan mengingat kenangan-kenangan yang
pernah kami buat di hari yang lalu.
Terkadang cinta juga sering berkata maaf dan
bisa membuat marah. Tapi cinta itu perbuatan, berbuat maaf setelah melakukan
kesalahan, dan marah karena masih ada rasa cinta. Hal ini memang susah
dimengerti, tapi tetap saja benar dan ada.
--- PELANGI ---
“Otak kamu itu perlu di
radioterapi,” umpat Elang setelah membukakan pintu untukku. Aku tertawa kecil
mendengarnya sambil berjalan masuk ke dalam rumah. Hari ini aku lagi-lagi lupa membawa
kunci rumah, sehingga harus menggedor pintu dan membangunkan Elang minta
dibukakan pintu.
“Sudah makan?” Tanyaku.
“Belum,” jawab Elang lemas sekali.
“Kamu bawa makanan?”
Tidak
bawa makanan apapun. Sekarang sudah jam sepuluh malam, aku kira kamu sudah
makan.
“Kamu nggak masak mi instan?”
“Habis,” jawabnya. “Aku juga sedang
malas makan, sedang mengetik proposal,”
“Proposal apa?” Tanyaku.
“Bantuan dana. Kami mau mengadakan
pameran seni besar,”
“Itu hebat. Kapan?” Tanyaku sambil
masuk ke dalam kamar untuk bersiap-siap mandi. Elang menjawab, tapi aku tidak
bisa mendengarnya. Ketika aku kembali keluar hendak meminta pengulangan
jawaban, Elang sudah menghilang, kembali ke kamarnya.
Satu jam kemudian setelah mandi, aku
menjatuhkan diri di atas ranjang, karena merasa lelah sekali. Hari ini lembur
menyelesaikan desain dapur yang belum sempurna bersama dengan tim.
Basah!
Aku lupa kalau kamar ini bocor. Kasurnya basah. Kenapa tidak dijemur oleh
Elang? Tadi pagi aku sudah meminta tolong padanya.
Aku masuk ke kamar Elang dan tidur
di atas ranjangnya, lalu cepat sekali terlelap. Tapi baru saja mulai bermimpi,
Elang membangunkanku dengan melempar bantal ke wajahku.
“Kenapa?” Tanyaku agak marah tapi
dengan suara lesu.
“Kamu mendengkur, berisik,”
keluhnya.
“Apa kamu sekarang benci dengan cara
tidurku?”
“Bernafas pakai hidung seperti
biasanya, jangan pakai mulut,”
“Aku sedang flu, hidung tersumbat,”
jawabku masih dengan lesu.
“Kalau sakit berobat, jangan
didiamkan,”
“Cerewet, haiss!” Kesalku sambil
bangkit dari ranjang dan pergi keluar kamar sambil membawa bantal. Aku hendak
tidur di sofa.
“Biar aku saja yang tidur di sofa,
cepat masuk lagi,”
“Kenapa nggak diperbaiki atapnya?” Keluhku sambil menjatuhkan diri di atas
sofa dan berencana segera terlelap lagi.
“Aku sibuk seharian ini. Aku sudah
kirim nomor tukang ke ponsel kamu,”
“Aku juga sibuk, nggak sempat menelepon,” jawabku. Lalu aku sama sekali tidak ingat apa-apa
setelah menjawabnya. Sepertinya rasa lelah membuatku malam ini cepat sekali
tertidur.
Pagi-pagi sekali aku terasa ingin
buang air kecil, sehingga terbangun. Agak terkejut karena aku sudah ada di atas
ranjang kamar Elang. Di meja kerja dalam kamar sudah tidak bercecer kertas
seperti semalam. Sepertinya proposal Elang sudah selesai.
Buang
air kecil! Sudah tidak tahan!
Aku keluar kamar hendak menuju kamar
mandi. Sekejap aku melihat Elang sedang tidur di atas sofa dengan bersembunyi
di balik selimut.
***
Dua lukisan Elang dibeli dengan harga
mahal oleh dua orang pengusaha yang berbeda pada acara pameran kemarin. Aku dan
Elang sama-sama mengamati buku rekening yang tertera angka-angka yang berjumlah
besar sekali sambil tersenyum bahagia. Aku bahkan melompat-lompat kegirangan
serasa rekening itu adalah milikku.
“Kita bisa sewa apartemen yang agak
besar,” kataku.
“Uang ini bisa untuk uang muka beli
apartemen kecil,” katanya.
Ide
cemerlang!
Dua minggu setelah kejadian itu, aku
mendapat musibah. Mobil teman kantor menabrak beberapa motor yang terparkir di
halaman kantor. Kebetulan sekali aku yang mengendarainya. Mobil bagian depan
agak hancur dan tiga motor rusak parah. Aku membutuhkan uang untuk mengganti
kerusakan-kerusakan itu.
Elaaaaaang!
Aku pinjam uang!
“Kamu belum punya sim sudah sok menyetir
mobil, itu akibatnya,” Elang mengomel.
“Tapi aku sudah bisa naik mobil,”
bantahku cepat.
“Belum punya sim artinya belum bisa naik
mobil,”
“Aku sudah bisa. Tadi sedang sial, karena
motor itu parkir sembarangan,”
Parkir
sembarangan? Aku mengarang cerita.
“Kalau kejadiannya begitu, itu tandanya
kamu belum bisa,”
“Ya sudah. Sebenarnya kamu mau
meminjamkan uang, nggak?”
“Nggak,”
jawab Elang cepat.
Tidak!?
Pelit sekali makhluk ini.
“Aku pinjam, nanti aku ganti,” tegasku.
Tapi Elang kembali menolak.
“Aku butuh angka rekening sebesar itu
untuk mengurus visa ke Inggris,”
Inggris?
Kapan? Dalam rangka apa? Kenapa tidak pernah cerita? Memangnya kamu anggap aku
apa selama ini? Haiss!
“Kenapa nggak pernah cerita?”
“Minggu depan aku mau ke London,
membahas rencana bisnis dengan teman di sana. Mungkin satu bulan di sana,”
Tidak
usah cerita! Kalau aku tidak tanya, kamu akan pergi begitu saja ke sana tanpa
cerita, kan?
Aku langsung pergi keluar rumah sambil
membanting pintu karena kesal dengan Elang dan kesal ketika teringat uang yang
harus aku dapatkan besok pagi.
Cari
uang kemana?
***
Bulan pertama sama sekali tidak ada
kabar. Setelah pertengkaran malam itu, Elang tidak pulang selama satu minggu
entah menginap dimana. Tidak juga mengangkat panggilan ponselku. Sekarang satu
bulan, Elang sama sekali tidak pernah menghubungiku. Nomornya tidak pernah
aktif.
Apa
kamu lupa dengan nomor ponselku? Atau lupa dengan aku? Haiss! Kamu benar ada di
London? Bisnis apa sebenarnya?
Bulan kedua masih tidak ada kabar
apapun.
Katanya
hanya satu bulan?Apa kamu mati di sana? Kamu menyebalkan sekali, Elang!
Bulan ketiga masih tidak ada kabar satu
pun dari Elang.
Apa
kamu benar-benar mati di sana?Ah, ya ampun! Apa kankernya muncul lagi dan ia
diam-diam tidak mau membuat kami khawatir?Bukan begitu, Gelisa! Kamu berpikir
apa, sih?Elang ada rencana bisnis yang sangat besar dan perlu waktu tiga bulan
untuk dibahas.
Esok pagi aku mendapat panggilan dari
nomor Elang. Dengan cepat aku mengangkatnya. Elang di sana berbicara dengan
suara parau. “Panggil ambulan ke jalan sekitar satu kilomerter dari bandara,
kami kecelakaan,”
Kenapa
kamu selalu membuat kami khawatir? Tidak bisakah kamu membuang kata kecelakaan
dalam hidupmu?
Aku langsung menuju rumah sakit terdekat
dari bandara. Kabarnya Elang sudah masuk ke ruang Unit Gawat Darurat (UGD)
rumah sakit itu bersama sopir taksi. Aku mengecek keadaan sopir taksi yang
mengalami patah tulang kaki.
Keadaan
kamu bagaimana, Lang? Kamu dimana sekarang?
Aku bergegas mencari Elang di
ranjang-ranjang lain yang tersedia di ruang UGD. Tak lama kemudian aku
menemukan Elang yang tengah berbaring di sebuah ranjang di ruang UGD. Seorang
perawat laki-laki tampak sedang sibuk berdiri di samping Elang.
Apa
yang terjadi dengan kamu, Lang?
Aku mendekati Elang. Kulihat wajahnya terdapat
lecet dan berdarah di beberapa bagian. Perawat tampak sedang membersihkan luka-luka
itu.
Syukurlah
kamu bisa tersenyum ketika melihatku.
Elang mengubah penampilan wajahnya. Ia
membiarkan jenggot tipis dan kumisnya tumbuh agak tebal, tapi rapi. Cocok
sekali jika ia menaiki motor besarnya. Menurutku ia menjadi lebih terlihat
laki-laki.
Apa
yang kamu pikirkan Gelisa? Keadaan Elang bagaimana?
“Kamu
bagaimana? Ada yang patah tulang?” Tanyaku pada Elang.
Elang menggeleng, lalu memelukku erat
sekali. Aku kaget sebentar lalu membalas pelukannya dengan lembut.
“Rindu setengah mati,” katanya pelan.
Syukurlah
kamu baik-baik saja. Tapi sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kamu tidak pernah
menghubungiku tiga bulan ini?
Sebuah majalah fashion terkenal di dunia asal London berencana buka cabang
perusahaan di negeri ini. Elang di daulat menjadi fotografer sekaligus sebagai
orang terpercaya untuk mengurusi syarat-syarat izin perusahaan, sehingga
membutuhkan waktu lebih dari satu bulan. Elang sudah lama mendapat kabar bahwa
perusahaan itu sedang mencari partner kerja untuk cabang mereka. Ternyata
fotografer tetap di sana tertarik dengan gaya jepretan Elang setelah melihat
karya Elang yang dikirim via pos ke perusahaan itu.
Elang
berkata kalau menelepon dan mendengar suaraku, dia bisa lebih rindu dan ingin
terbang menemuiku langsung sebelum urusannya selesai di sana. Sehingga ia tidak
pernah mau menghubungiku selama tiga bulan ini. Aku kembali tersipu dengan
pernyataannya itu. Aku akan memaafkannya.
“Jadi sekarang kamu fotografer
sebuah majalah fashion?”
“Iya,” jawabnya.
“Padahal sudah bagus dipanggil Pak
Elang,” ledekku. Mendengarnya Elang langsung melotot kearahku. Aku hanya
tertawa kecil melihatnya.
Mata
itu.
***
Aku dan Elang sibuk mengangkat beberapa
barang kesana kemari. Elang langsung dikontrak dua tahun dengan harga yang
sangat mahal. Elang sudah bisa menyicil apartemen dua kamar dengan uang muka
yang besar, sehingga cicilan setiap bulan ringan. Salah satu kamarnya ia buat
sebagai tempat mencuci cetak film hasil jepretan kamera film.
Aku juga sudah pindah ke rumah sewa lain
yang lebih kecil dengan satu kamar, karena gajiku masih belum besar. Komplek
perumahan rumah baruku sekarang lebih dekat dari kantor dibanding sebelumnya.
Aku sebenarnya agak heran dan terkejut
pada awalnya. Tidak menyangka ternyata hasil jepretan Elang memiliki keunikan
dan gaya yang cocok dengan karakter majalah fashion
tersebut. Perusahaan itu berani mengontrak Elang yang seorang pemula dengan
harga yang mahal.
Aku berhenti sebentar sambil duduk di
atas sofa ruang televisi. Aku sibuk melihat-lihat hasil jepretan Elang yang
dikumpulkan di dalam kotak kecil, berusaha memahami kehebatan foto-foto yang
diambil Elang. Sementara Elang masih mengangkat barang ini dan itu yang
berukuran kecil ke beberapa sudut ruangan.
Dimana
bagusnya hasil jepretan Elang? Sepertinya aku memang tidak mengerti apa-apa
tentang fotografi.
“Ini tisu kenapa nggak dibuang ke kotak sampah?” Sungut Elang sambil
menendang-nendang beberapa tisu yang tercecer di lantai agar mendekat ke
arahku.
“Kotak sampahnya jauh,” jawabku sambil
mengusap ingus dengan tisu untuk yang kesekian kali.
“Jorok,”umpatnya. “Cepat pungut,”
Dengan lesu aku memungut tisu-tisu itu
dan membuangnya ke kotak sampah yang berada di dapur. Lalu kembali berjalan
menuju sofa.
Ruangan menjadi terasa begitu dingin
sekarang. Kepalaku terasa makin panas setelah seharian mengangkat banyak benda
berat. Hidungku terasa semakin penuh, aku susah bernafas. Hari ini libur, seharusnya
aku tidur saja di rumah, bukan di sini.
Lebih
baik aku tidur di sofa ini, aku seperti kehabisan tenaga sekarang. Sofa ini
kenapa terasa lembut sekali? Kenapa terasa hangat sekali? Ah, enaknya kalau
langsung tidur di sofa yang masih baru. Masih bau pabrik, tapi nyaman sekali.
Entah berapa lama aku tertidur, ketika
bangun, ruangan sudah rapi sekali. Tidak ada barang yang berantakan seperti
tadi. Tidak ada Elang juga.
Elang
kemana?
Pintu apartemen
terbuka tiba-tiba diikuti dengan kemunculan Elang. Awalnya aku kaget sekali
ketika itu karena belum terbiasa dengan wajah baru Elang yang sekarang memiliki
kumis dan jenggot tipisnya. Ia berencana akan memelihara jenggot dan kumisnya
sampai tua.
Tadi
kupikir kamu pencuri.
Elang datang menghampiriku lalu
meletakkan bungkusan ke atas meja depan sofa. Ia memegang dahiku dengan muka
tangannya, lalu membuka bungkusan.
“Minum obatnya, lalu jus jeruknya,”
perintah Elang lembut sekali. Dengan manja aku meminum obat dan jus jeruk, lalu
membaringkan diri lagi di sofa sambil bergaya kedinginan.
“Tidur di ranjang saja, di sini kurang
nyaman,”
Aku bangkit dan berjalan menuju kamar
Elang masih dengan bergaya manja sekali. Setelah berhasil membaringkan diri di
atas ranjang yang belum diberi bed cover,
aku senyum-senyum sendiri.
Beruntungnya
punya pacar seperti Elang.
***
Ketika sedang mencuci piring sisa
makan malam, panggilan telepon masuk ke ponselku. Aku bergegas mengangkatnya
setelah melihat panggilan itu dari Mbak Risky.
“Kenapa lama sekali baru diangkat?”
“Maaf, mbak. Baru terdengar ada
panggilan,” jawabku. “Ada apa ya?”
“Berkas tadi yang kita bahas kamu simpan
di folder apa?”
Tanya
lagi? Tadi aku sudah lapor di file ‘New project Desember 2007’. Mbak Risky
selalu saja tidak bisa mendengar laporan para junior kalau sedang sibuk seperti
ini.
“Nggak
ada. Kamu kirim saja data yang ada di laptop kamu ke email saya, ya,” perintah
Mbak Risky lalu sambungan telepon terputus. Dengan kesal aku masuk ke dalam
kamar dan menyalakan laptop dan menyambungkannya kepada koneksi internet yang
baru satu bulan aku pasang sebagai langganan.
“Aku sering bilang, gayung itu jangan
mengapung di bak, tapi diletakkan di bibir bak,” Elang muncul tiba-tiba sambil
mengomel. Aku lupa kalau Elang belum pulang dan tadi sedang mandi. Aku
mengacuhkannya karena sedang mencari-cari file
yang diminta Mbak Risky.”Kamu dengar, nggak?”
“Iya,” jawabku cepat masih sibuk
mencari-cari file.
Entah mengapa Elang tidak suka kalau ada
gayung yang mengapung di bak mandi. Menurutnya, dengan gayung yang begitu,
seseorang pada akhirnya akan mencelupkan tangannya ke dalam air bak, dan
menurutnya air bak akan menjadi kotor.
“Awas, ya, kalau besok masih begitu,”
ancam Elang.
Memangnya
itu kamar mandi siapa?Kalau tidak suka, jangan mandi di kamar mandiku. Dasar
cerewet.
“Aku lanjutkan cuci piringnya, ya,”
Elang nongol dari dari balik pintu. “Sibuk sekali. Kamu sebenarnya sedang apa,
Sa?”
“Cerewet, Haiss!” Keluhku cepat karena
sedari tadi file tidak tertemukan.
“Kenapa marah-marah? Aku mau membantu,”
“Nggak
suka kalau aku marah-marah? Kalau mau bantu ya bantu saja, jangan cerewet,”
“Kamu lagi haid, ya? Sensitif sekali,”
“Kenapa kalau aku sensitif? Nggak suka juga? Mau putus? Ayo putus
saja,”
“Kok jadi putus? Putus itu bukan kata
untuk main-main, ya,”
“Kamu sekarang marah? Seharusnya aku yang
marah. Karena kamu cerewet, file-nya
jadi nggak bisa ditemukan! Kalau mau
bantu, ayo carikan file di laptop
ini,”
“Ogah. Aku pulang!”
“Pulang sana,” Kataku dengan kesal sambil
mendorong-dorongnya ke pintu. Setelah ia keluar rumah, dengan cepat aku
mengunci pintu rumah dan kembali ke kamar berencana mencari file lagi.
Beberapa detik kemudian Elang membuat
suara berisik lagi. Ia menggedor-gedor pintu dan berteriak kalau kunci motor
tertinggal di dalam.
Aku
tidak dengar apa-apa! Aku tidak peduli! File, file, file, kamu aku simpan
dimana? Oh, ini dia. Sabar Mbak Risky, aku segera kirim.
Tiga puluh menit kemudian, aku kembali
teringat Elang. Aku mengintip ke luar rumah, masih bertengger motor di sana.
Tapi tidak kutemukan Elang ditiap sudut manapun. Aku membuka pintu dan
mencari-cari sosok Elang.
Tidak
ada.
Aku mengirim sms kepada Elang, bertanya
dimanakah ia sekarang dan bagaimana ia pulang. Tak lama Elang membalas sms dan
berkata bahwa ia sudah sampai apartemen menggunakan taksi.
***
Aku memeluk erat pinggang Elang semakin
kuat ketika terdengar bunyi petir untuk kesekian kalinya. Tadi aku sempat
memperhatikan awan hitam hampir menutupi semua langit. Pagi ini juga tidak ada
matahari, mendung sekali.
Hujan!
Bajuku!
“Berteduh, Lang! Bajuku!” Teriakku
sambil menepuk-nepuk punggung Elang agar ia segera berhenti. Elang berhenti
meminggirkan motornya di bawah sebuah pohon. Dengan cepat aku turun dari motor
dan berlari ke bawah pohon rindang. Lumayan tidak kehujanan, tapi tetap saja
masih ada hujan yang jatuh membasahi baju kerjaku.
Aku harus menyelamatkan berkas ini, aku
harus menyelamatkan baju ini, karena menjelang siang nanti timku akan
presentasi dalam rapat tiga bulan di kantor.
“Nggak
bawa mantel?”
“Nggak,”
jawab Elang santai sambil memandangi mobil-mobil yang dengan santainya melaju
di antara hujan.
Elang
tidak punya mantel, karena dia memang paling tidak suka memakai mantel. Bodoh
sekali aku bertanya.
“Kalau begini, lebih baik punya mobil,
ya,” kataku sambil ikut memandangi mobil-mobil yang melaju di jalan depan kami.
“Lang, beli mobil, dong,”
Kamu
sudah punya apartemen dan banyak uang sekarang. Ayo beli mobil.
“Aku nggak
bisa mengendarai mobil,” jawabnya.
“Nanti aku yang antar jemput kamu, aku
bisa naik mobil,”
“Aku nggak
suka naik mobil, jauh lebih baik naik motor,”
Elang menjelaskan lagi, bahwa setelah
nyaris mati beberapa tahun lalu, dia berjanji pada dirinya sendiri akan
melakukan apapun yang ia inginkan dan menikmatinya. Ia sangat menyukai motor,
maka akan terus menaikinya. Elang tidak akan membiarkan dirinya mati dengan
tidak bahagia.
Baiklah,
aku menyerah.
“Kalau begitu bawa mantel, agar aku nggak kehujanan begini. Bagaimana kalau
bajuku dan berkas ini basah? Aku ada presentasi nanti,”
“Naik taksi saja, sana,” katanya cepat
sambil menguap lalu mengusap-usap tangannya menahan dingin.
Oke.
Itu lebih baik. Tadi kamu yang memaksa mau antar aku ke kantor. Aku tidak
meminta diantar hari ini.
Aku berjalan mendekat bibir jalan untuk
mencari taksi yang lewat. Sedetik kemudian aku kembali ke bawah pohon untuk
membuka helm dan memberikannya kepada Elang tanpa bicara apapun. Lalu kembali
lagi ke bibir jalan.
Sial,
tidak ada taksi yang lewat, bajuku semakin basah, karena semakin mendekat bibir
jalan, daun semakin tipis, sehingga hujan yang jatuh semakin banyak.
Aku mundur lagi berdiri di samping Elang
sambil menatap lalu lalang kendaraan di jalan, berharap melihat taksi lewat dan
aku bisa mengejarnya nanti.
Tiba-tiba Elang membuka jaketnya yang
berukuran besar untuk ukuran tubuhku dan meletakkannya di atas punggungku.
Kemudian ia menggenggam satu tanganku tanpa menoleh ke arahku dan tanpa bicara
sepatah katapun.
Apa
ini? Tapi bagus juga.
Aku membalas genggamannya sambil
tersenyum kecil, tanpa menoleh ke arahnya dan juga tanpa bicara sepatah
katapun.
Taksi!
Taksi baru saja lewat.
“Taksi! Taksi! Taksi!” Aku berusaha
mengejar taksi itu dan berteriak keras berharap sopir melihat calon penumpang
di belakang. Elang menahan tanganku dengan tidak melepaskan genggamannya, sehingga
aku tidak bisa bergerak lebih dekat ke bibir jalan. Lalu sedetik kemudian Elang
menarikku mendekat lagi kepadanya. Aku dipaksa kembali di posisi tadi, tepat
disampingnya, menghadap ke arah yang sama dengan tubuh Elang, menghadap jalan.
Apa
ini? Itu taksi baru saja lewat. Aku mau ke kantor.
“Selamat Ulang Tahun,” katanya tiba-tiba
sambil menggenggam tanganku lebih erat, tanpa menoleh ke arahku, dan tanpa
ekspresi apapun seperti tadi.
Ulang
tahun? Ini hari apa?13 Juni?Ya ampun, aku lupa.
Aku tersenyum lebar sekali tanpa menoleh
ke arah Elang, lalu menjatuhkan kepalaku ke pundaknya.
Ternyata
karena hal ini kamu memaksa agar kamu yang mengantarku. Aku tahu kamu baru
pulang dari kantor pagi tadi, karena itu aku tidak mau kamu mengantar aku ke
kantor hari ini. Pasti sekarang kamu sedang merasa lelah sekali dan mengantuk.
“Aku ada sesuatu untuk kamu di kantong
jaket itu,” kata Elang kemudian.
Aku merogoh kantong dan menemukan sebuah
kalung berwarna perak dengan dengan bandul berlian berukuran kecil.
Elang
tahu dari mana? Padahal selama ini aku tidak pernah menceritakannya kepada
Elang. Hanya sebatas obrolan kecil dengan Intan teman sekantorku. Karena kalung
ini mahal, jadi aku hanya bisa menghayalkannya bersama Intan.
“Ini jauh lebih mahal dari motor kamu.
Kamu beli ini pakai uang apa?”
“Tabungan,” jawabnya.
“Kenapa menghamburkan uang untuk membeli
barang yang nggak penting seperti
ini?”
***
Aku melihat Elang pingsan di kamar
apartemennya ketika aku baru masuk pagi itu. Aku langsung menelepon dokter
untuk segera datang, karena Elang baru saja tersadar ketika aku tengah sibuk
menelepon dokter.
Menjelang pagi tadi aku mendapat sms
dari Elang. Ia menyuruhku mampir ke apartemen untuk mengambil baju, sekitar dua
jam yang lalu.
Apa
kamu kelelahan karena semalaman mencuci dan menyetrika baju-bajuku? Aku tidak
pernah menyuruh kamu melakukan itu. Haiss, kamu itu selalu melakukan hal aneh.
“Kamu kenapa, Lang?” Tanyaku cemas
sambil membantu Elang bangkit dan membawanya ke atas ranjang. Wajahnya tampak
lesu sekali.
Tak lama kemudian dokter datang bersama
dua orang perawat dan memberi penanganan medis kepada Elang. Elang boleh
dirawat dirumah, jadi dokter meminjamkan infus beserta tiangnya untuk Elang.
“Dia terkena infeksi saluran
percernaan,” kata dokter. “Anda tahu, makanan apa yang terakhir ia makan? Tadi
malam mungkin?”
Infeksi
saluran percernaan?Semalam ia makan apa?Aku lembur di kantor dan baru bisa
pulang pagi ini. Tapi sebelum pulang, aku mampir dulu ke apartemen Elang. Apa
ketika mengambil baju-bajuku di rumah ia memakan sesuatu dari lemari es yang
ada di rumah?
“Saya tidak tahu, dok,”
Malam harinya, setelah tenaga Elang
berangsur pulih, ia memarahiku karena tidak pernah mengecek isi lemari es.
Menurut Elang, ia mengalami sakit perut karena kemarin malam ia memakan makanan
yang aku simpan.
Sebelum
memakan apa yang ada di lemari es, aku selalu mengecek makanan tersebut layak
untuk dimakan atau tidak. Perkara aku membiarkannya di dalam lemari es, itu
urusanku, karena aku paling malas untuk masalah begitu. Itu artinya kamu yang
tidak mengecek makanan yang hendak kamu makan. Kenapa menyalahkan aku?
“Iya, maaf,” jawabku pelan.
0 komentar:
Posting Komentar
silakan komentar disini... :)