**4**
3 Januari 2010
Saya tidak pernah jatuh sekali
lagi selain kepadanya. Saya tidak bisa tidak melihatnya dan menggerakkan bola
mata ke arah lain. Ternyata alam yang bersama saya mengarahkan saya hanya
kepadanya, sama sekali tidak ke arah lain. Jadi saya mengikuti petunjuk alam
saja. Dia bahkan tidak akan bisa memaksa kepada siapa saya harus jatuh sekali
lagi. Jika alam menyuruh saya jatuh lagi kepadanya untuk kedua kalinya dan
ketiga kalinya, seharusnya dia tidak boleh menolak. Untuk apa dia memaksa saya
jatuh kepada orang lain? Tentu saja dia boleh melakukannya, lakukan saja, maka
aku lebih tidak akan bisa jatuh kepada orang lain.
Memang menyakitkan mencintai orang yang tidak
mencintai kita. Tapi akan lebih menyakitkan jika kita mencintai seseorang tapi
tidak pernah memiliki keberanian untuk menyatakan cinta kepadanya.
--- BERLARI UNTUKNYA Episode 2---
Di kantin. Anang, Falia, dan Ratih
menjadi salah tingkah tiba-tiba setelah Prakoso bergabung bersama di meja kami.
Anang beberapa kali menjatuhkan sendoknya sendiri dan Ratih berkali-kali
tersedak tanpa sebab setiap Prakoso mulai berceloteh. Falia tidak terlalu
parah, tapi pandangannya selalu ke bawah meja, seperti tengah menjaga
sepatu-sepatu dari sosok maling yang iseng.
Prakoso berkali-kali juga
mempermainkan Anang yang memang sejak awal bertemu dengan preman sekolah selalu
berwajah ketakutan. Mata Prakoso sering melotot iseng ke arah Anang, dan ketika
wajah Anang berubah ketakutan, Prakoso akan tersenyum puas, atau menahan tawa
dengan senang.
“Kalau mau mengganggu kami, pergi
saja,” kataku kemudian karena juga merasa tidak nyaman dengan kehadirannya.
“Nggak
mau,” jawab Prakoso enteng.
Kamu
itu orang aneh. Tiba-tiba saja menjadi sering menemuiku. Kamu tahu rumahku dan
datang dengan semau hatimu. Aku sebenarnya sudah merasa sangat kesal karena
kamu sering mengancam kalau aku tidak mau menemuimu di depan rumah. Apalagi
kamu selalu bermain-main dengan menghitung waktu agar aku segera menemuimu.
“Sejak seminggu yang lalu kamu
aneh,” kataku.
“Aneh bagaimana?”
“Sering bergabung bersama kami
setiap jam istirahat pertama. Ada apa sebenarnya?”
“Sedang suka ke kantin ketimbang di
halaman sekolah,” jawab Prakoso. “Oh ya, aku sudah bilang kalau aku suka kamu?”
Tanya Prakoso tiba-tiba.
Anang, Falia, dan Ratih kompak tersedak,
membuat Prakoso terkikik senang sekali. Aku langsung menoleh ke arah Prakoso
diikuti tiga pasang mata milik ketiga sahabatku.
“Kenapa?” Tanya Prakoso masih
santai.
“Kamu playboy, ya?” Tanyaku tiba-tiba. Itu yang baru saja kupikirkan.
“Aku suka kamu sejak SD. Kamu nggak ingat kita dulu satu sekolah SD?”
“Jangan main-main, ya,” kataku
cepat.
“Serius,” jawab Prakoso masih santai
seperti tadi. Dia tersenyum mengaduk-aduk es yang mengapung di dalam gelas
berisi teh manis. Tadi Prakoso merebut gelas itu dari hadapanku, tanpa izin dan
tanpa rasa bersalah. Sementara ketiga sahabatku tampak mencuri lirik ke wajah
Prakoso, dengan wajah yang sama terkejutnya denganku.
Kita
pernah satu sekolah?
“Nggak
ingat,” jawabku pelan.
“Kejadian kita waktu di SD, kamu nggak ingat sama sekali?”
Aku mengggeleng pelan sambil mencoba
mengingat-ingat. Prakoso tampak menghembuskan nafas menahan kesal.
“Huh, di sini juga nggak asyik, aku ke kelas saja kalau
begitu,” kata Prakoso sambil bangkit dari duduknya meninggalkan meja kami. Aku
menatap kepergian Prakoso hingga menghilang sambil mengobrak-abrik isi memoriku
tentang sosok bernama Prakoso yang menurutnya pernah hadir dalam hidupku ketika
masih kecil.
Maksud
Prakoso adalah dia suka sama aku sejak SD? Begitu? Wah, rupanya dia juga anak
yang tidak waras. Bukankah ketika itu terlalu kecil untuk seorang anak menyukai
seseorang?
“Hidup kamu rumit, Sa,” celetuk
Falia tiba-tiba.
“Kenapa rumit?”
“Suka dengan preman, sekaligus
disukai teman preman yang juga preman,” jawab Falia sambil geleng-geleng kepala
dengan ekspresi mengasihaniku.
***
Prakoso kembali membawaku ke sebuah
kapling yang menyerupai lapangan tempat dimana keenam preman sekolah sering
berkumpul. Malam itu gerah sekali, langit juga gelap sehingga tidak ada bintang
di atas sana. Dengan pelan-pelan aku mengikuti Prakoso di belakang untuk
berjalan bergabung bersama mereka di tengah rerumputan.
Dengan cepat tiba-tiba Prakoso
ambruk hampir menimpa tubuhku. Aku menjerit kaget melihat apa yang terjadi. Di
hadapanku berdiri seseorang entah siapa tampak tengah menatap Prakoso yang
tersungkur di atas rumput liar. Mataku masih belum bisa beradaptasi dengan
kegelapan ini.
Seseorang
itu Elang.
Akhirnya aku bisa lihat dengan jelas
orang yang berdiri di dahadapanku.
“Kamu nggak pernah mengerti apa maksudku,” kata Elang kemudian ketika
Prakoso sedang mencoba bangkit berdiri.
“Aku nggak perlu mengerti,” jawab Prakoso.
“Bawa dia pulang, sebelum kita semua
berkelahi lagi malam ini,” perintah Elang dengan nada yang sama santainya
dengan Prakoso.
“Nggak
mau,” jawab Prakoso.
“Kamu mau dihajar?” Teriak Nicholas
tiba-tiba menghampiri dan langsung menendang Prakoso dengan kuatnya. Prakoso
mundur beberapa langkah dan terjatuh sekali lagi dengan bunyi debam yang lebih
hebat dari sebelumnya. Nicholas memang sedang tidak main-main. Melihat Nicholas
hendak melanjutkan aksinya, Elang menahan Nicholas diikuti dengan ketiga
lainnya yang sedari tadi hanya menonton.
Kalian
mau berkelahi?
“Kamu, pulang sekarang!” Teriak
Elang sambil menoleh ke arahku. Wajahnya masih tenang seperti biasanya, tapi
suaranya terdengar marah sekali. “Kamu masih nggak tahu kalau kami pada akhirnya berkelahi hanya gara-gara
kamu?”
Aku?
Aku menggeleng cepat.
“Dia nggak
tahu apa-apa. Aku yang memaksa dia ikut. Jangan ganggu dia,” kata Prakoso
cepat.
“Kamu pulang sekarang!” Teriak Elang
sambil mendekat ke arahku. Tapi tiba-tiba Prakoso memukul Elang sebelum sempat
mendekatiku hingga Elang mundur dua langkah. Aku berteriak histeris khas
perempuan, seperti di sinetron yang pernah kutonton.
“Dia suka kamu, berengsek!” Teriak
Prakoso kemudian kepada Elang.
Iya,
aku suka kamu, Elang!
“Jadi ini semua salah aku? Oke. Akan aku
selesaikan,” kata Elang sambil menarik tanganku untuk menjauhi mereka dan
berjalan ke arah motor-motor yang terparkir. Prakoso tampak tengah mengejar
kami di belakang.
Aku
hendak dibawa kemana? Tolong! Prakoso, kamu harus menolongku!
“Jangan macam-macam,” ancam Prakoso
setelah berhasil menggapai tangan Elang.
Elang hanya menepis tangan Prakoso dan kembali
berjalan mendekat ke motor Elang yang terparkir tak jauh dari motor Prakoso dan
motor lainnya. Elang naik ke atas motornya dan menyuruhku duduk di belakang
sambil berteriak karena awalnya aku bersikeras menolak untuk naik.
Tapi
aku hendak dibawa kemana?
Beberapa detik kemudian, Elang membawaku
menjauh dari tempat itu, entah hendak kemana. Motor melaju lebih kencang
ketimbang Prakoso waktu pertama kali, membuatku memejamkan mata dan menunduk
berlindung di punggung Elang. Aku berpegang erat pada jok di antara pahaku,
sambil berdoa kepada Tuhan agar aku tidak terjatuh.
Aku
bermimpi? Tapi ini mimpi menyeramkan sekaligus menyenangkan.
Ini pertama kali aku berada satu motor
dengan Elang. Aku senang sekali, sekaligus mual. Perutku menjadi penuh
tiba-tiba.
Aku
ingin muntah sekarang.
Sedetik kemudian aku muntah pada akhirnya
di punggung Elang, membuat Elang melaju lebih pelan dan berhenti setelah
meminggirkan motornya dari tengah jalan.
Mampus. Aku akan mati di sini.
“Maaf, Lang. Tadi kebut sekali, perutku
jadi mual,” kataku pelan terbata-bata ketika Elang menoleh ke arah punggungnya.
Elang tidak menghiraukanku. Ia sibuk membersihkan punggungnya. Tak lama
kemudian ia turun dan mendekat ke bawah pohon. Elang kemudian
menggosong-gosokkan punggung ke batang pohon hingga akhirnya ia membuka kaos
oblong yang berwarna gelap itu.
“Turun!” Perintah Elang setelah
menatapku dengan kesal. Mendengar itu, aku cepat turun dari motor. Elang dengan
cepat melempar kaosnya kepadaku dan berjalan naik ke atas motornya. Tanpa
berkata apa-apa ia melaju meninggalkanku, dengan telanjang dada.
Aku sempat memanggil Elang
berkali-kali sampai Elang menghilang di kegelapan. Menyadari kesendirianku, aku
mulai tengak-tengok ke jalan mencari taksi yang lewat. Untung aku berada di daerah
yang tidak terlalu sepi, sehingga beberapa menit kemudian aku berhasil
mendapatkan taksi untuk pulang.
***
Selanjutnya, karena Prakoso, aku menjadi
banyak tahu tentang kegiatan mereka, aku tahu bahwa predikat preman yang mereka
miliki karena mereka berenam adalah anak yang terlalu bebas berekspresi dan
tidak terlalu mempedulikan aturan sekolah yang terlalu mengikat.
Dasar
anak badung.
Mereka sama saja seperti siswa lainnya,
hanya saja memang lebih aktif dan berani dibanding anak lain. Karena sudah
terlanjur dicap preman oleh siswa lain, mereka sering iseng bertampang sok
galak dan melotot ke arah siswa yang memperlihatkan wajah ketakutan. Karena
menurut Prakoso, setelah itu, mereka akan menjadikan kejadian itu sebagai
cerita yang lucu dan bersama-sama akan tertawa terpingkal-pingkal di halaman
belakang sekolah.
Wah,
kalian nakal sekali. Iseng?
Pada akhirnya aku banyak bertanya
tentang Elang Pisdana. Prakoso dengan santai menjawab dan bercerita tentang
Elang kepadaku. Di antara cerita itu, satu cerita tentang Elang yang membuatku
kagum pada diri Elang, bahwa Elang ternyata seorang anak yang cerdas dan tidak
pernah membolos pelajaran hanya karena malas belajar. Elang berencana kuliah di
Inggris, ia sangat menyukai seni lukis. Elang adalah anak tunggal dari sebuah
keluarga yang bercerai. Ayahnya di Surabaya sebagai jaksa wilayah sekaligus
pengusaha penyewa traktor untuk pertambangan. Ayah Elang yang sepenuhnya
mengatur dan membiayai hidup Elang. Sedangkan ibunya yang keturunan China
tinggal di Amsterdam bersama suami baru sejak satu tahun yang lalu. Elang
tinggal bersama Tante Ayu, tante dari pihak ayahnya di kota ini.
Begitukah
kamu, Lang?
“Bagaimana dengan aku? Apa yang kalian
pikirkan tentang aku?” Tanyaku cepat pada Prakoso suatu hari.
“Cewek unik yang pemberani,” jawab
Prakoso. “Kami selalu heran dengan wajah kamu yang selalu tersenyum lebar kalau
bertemu kami, nggak seperti anak lain
yang ketakutan. Apa kamu benar-benar nggak
waras?”
Kamu
juga pasti menganggapku tidak waras. Ya, menurut Falia, Anang, dan ratih, aku
cewek tidak waras yang jatuh cinta dengan salah satu preman seperti kalian.
“Kenapa bukan aku saja yang kamu sukai?”
Tanya Prakoso tiba-tiba.
“Kamu terlalu kurus seperti pengguna
narkoba,” jawabku cepat. Prakoso terkekeh.
“Kami bebas narkoba,”
0 komentar:
Posting Komentar
silakan komentar disini... :)