bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Senin, 22 Oktober 2012

Elang, Let Me Be With You 15

**15**
http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg

10 Maret 2010
Membahagiakanku. Itu janji yang pernah kamu berikan padaku. Baiklah, aku akan meminta janjimu, bahagiakan aku sekarang. Aku bahagia jika bersamamu. Bangunlah, sembuhlah, dan bersamaku.


Kita akan berbahagia ketika kita bisa mendengar detak jantung seseorang yang kita cintai. Dan kita akan lebih berbahagia setelahnya ketika kita mengetahui bahwa detak itu karena kita dan masih ada.


--- KANTONG AJAIB DORAEMON  ---

Agustus 2009
            Ya ampun! Aku ceroboh sekali!         
Baru saja aku memecahkan maket ruangan kantor rancangan Mbak Risky. Aku langsung meletakkan kembali maket yang  masih utuh ke atas meja, dan segera memungut keping-keping sisanya. Rancangan itu akan dipresentasikan kepada klien besok senin di pagi hari. Padahal untuk menyelesaikannya Mbak Risky harus lembur selama empat hari di kantor bersama tim.
Bagaimana ini?
“Apa ini? Ya, ampun!” Teriak Mbak Risky yang kini tampak marah sekali. Ia langsung berlari memungut keping-keping papan yang pecah di lantai. “Aku harus apa sekarang?”
“Maaf, mbak. Aku salah, aku cero ...”
Aku mendapat tamparan dari Mbak Risky.
Maaf. Aku memang pantas mendapatkan ini.
“Mbak, kita harus bagaimana sekarang? Maaf, mbak,”
“Aku juga bingung, aku kesal sekarang, aku kesal!” Teriak Mbak Risky. “Terus dimana tanggung jawab kamu? Apa kamu mau diam saja?”
Aku harus bagaimana? Mau membuat itu lagi sudah tidak mungkin terselesaikan besok pagi.
“Aku kesal ada orang seperti kamu di kantor. Kamu pikir kamu di sini karena kamu mampu?” Teriak Mbak Risky. Wajahnya sudah memerah antara marah dan ingin menangis. “Nggak, Sa. Karena kamu cantik, itu saja. Seharusnya kamu sudah dipecat karena sudah sering izin untuk urusan pribadi. Kamu tahu kenapa kamu masih di sini? Karena kamu cantik, dan mereka hanya butuh penghias kantor agar mereka nggak jenuh bekerja, itu saja!”
Kamu jahat sekali berkata seperti itu. Kamu siapa bisa bicara seperti itu? Kamu pikir kamu juga hebat? Tidak, kamu juga tidak hebat, walau rancangan kamu selalu menjadi prioritas untuk direkomendasikan kepada klien. Kamu tidak hebat, kamu hanya lebih punya pengalaman saja, kamu juga tidak hebat!
Sore hari. Taksi berhenti di depan rumah sakit setelah mengantarku dari kantor, dan aku langsung berlari menuju kamar tempat Elang dirawat. Ketika membuka pintu kamarnya, kulihat ia tengah serius menonton televisi sambil berbaring di atas ranjang.
“Duduk,” perintahku setelah aku tepat berdiri disamping ranjang.
            “Kenapa?”
            “Duduk,” perintahku lagi.
            Dengan bingung Elang duduk di atas ranjang dengan kaki yang masih lurus ke depan. Ia menggerakkan tubuhnya menghadap ke arahku.
            “Hug me, please,” kataku sambil menangis keras sekali seperti anak kecil. Kurasakan Elang memeluk tubuhku sambil menepuk-nepuk punggungku dengan lembut sekali.
            “Kenapa, Sa?” Tanya Elang. Aku menceritakan kejadian tadi sore sebelum pulang dari kantor dan menumpahkan kekesalanku pada Elang, masih sambil menangis. Elang juga masih memelukku, dan ia berkali-kali menyuruhku berhenti menangis.
            Aku mau berhenti, tapi sekarang sedang tidak bisa. Hua hua hua!
            Kudengar suara deham dari arah sofa. Spontan aku melepaskan pelukan Elang dan menoleh ke arah sumber suara.
            Om Candra? Kenapa beliau ada di sini? Ini akhir pekan? Oh iya.
            “Om Candra kapan sampai ke sini? Siapa yang jemput?” Tanyaku pada Om Candra dengan terisak.
            “Naik taksi,” jawab Om Candra sambil tersenyum menahan geli.
            “Kenapa nggak minta jemput Gelisa?” Tanyaku lagi masih dengan terisak.
            “Om nggak harus dijemput, kok,”
            Aku malu, Om. Tapi aku tidak bisa berhenti menangis. Bagaimana ini?
            Satu jam kemudian, Elang membantuku untuk menelepon klien. Elang memohon persetujuan dan kesepakatan agar presentasi rancangan ditunda dua hari, karena ada beberapa masalah. Dengan kharisma yang dimiliki Elang, sang klien menerima dan menyetujuinya karena memang tidak begitu mendesak.
            Beruntungnya aku punya kamu.
            Malamnya aku langsung kembali ke kantor dan mulai mengukur papan agar bisa dipotong sesuai sketsa. Minggu pagi aku akan mulai mengecat sesuai rancangan dan membuatnya sama persis dengan yang aku pecahkan tadi.

***

Aku sedang asyik mencorat-coret kulit apel dengan spidol berwarna hitam sambil duduk di atas ranjang Elang, ketika Elang baru muncul. Kumis dan jenggotnya kembali rapi seperti sebelumnya. Wangi sabun mulai merebak ke ruangan. Baru saja perawat laki-laki membantunya mandi.
“Tampan sekali,” pujiku sambil tersenyum lebar ke arah Elang. “Mas perawat yang tampan saja masih kalah jauh dengan ketampanan kamu, Lang,” tambahku, membuat wajah sang perawat memerah tersipu malu. Perawat tersebut tersenyum sebentar lalu menawarkan diri untuk membantu Elang naik ke atas ranjang.
“Saya bisa sendiri,” tolak Elang lembut, lalu sang perawat pamit pergi.
Good morning, handsome,” sapaku pada Elang.
Nggak kerja?”
“Izin,” jawabku cepat sambil melanjutkan mencoret-coret apel pada kulitnya. Melihat apa yang kulakukan, Elang marah-marah karena dia paling suka makan apel dengan menggigitnya langsung bersama kulitnya.
Lihat, sudah aku coret semua apelnya. Jadi kamu harus makan apel-apel yang sudah dikupas mulai saat ini.
            Setelah membantu Elang untuk naik ke atas ranjang, aku berkata padanya bahwa aku dipinjamkan kantong ajaib oleh doraemon, sehingga Elang bisa melakukan apa saja, bisa kemana saja, dan meminta apa saja mulai hari ini.
            “Wah, apa karena aku akan mati?”
            “Hei, aku juga akan mati nanti,” jawabku cepat. “Karena aku cinta kamu, aku cinta, cinta,cinta, cinta,” jawabku.
            Ya, aku memang cinta kamu.
            “Liar,”
            “I’m serious, so serious. Believe me,”
            “Aku nggak punya permintaan apa-apa,”
            “Haiss, kamu nggak tahu perjuangan berat untuk mendapatkan kantong ajaib ini? Kamu mau aku mengembalikannya sekarang juga?”
            “Perjuangan berat?” Elang tertawa dengan wajah menyepelekanku.
            Aku tidak suka tertawamu!
            “Iya, aku harus adu mulut dua hari dengan Nobita, dan melawan Giant sampai aku hampir mati, lalu waktu aku di pesawat mau pulang, Suneo mengejar pesawatku dengan pesawat pribadinya, menabrak pesawatku berkali-kali hingga hampir jatuh, lalu ...”
            “Aku mau sering jalan-jalan keluar rumah sakit dengan pintu ajaib,” kata Elang di sela-sela ceritaku. Mendengar itu, aku langsung berhenti mengarang cerita.
            “Oke. Aku akan mengeluarkan kantong ajaib di setiap minggu. Karena selain hari itu, aku harus bekerja. Oke?” 
            “Oke,” jawab Elang cepat.
            Hari ini aku izin pura-pura sakit. Jadi bisa memanfaatkan waktu untuk mengemasi berkas-berkas kantor yang sudah beberapa hari ini mengotori kamar ini. Hari ini Elang mengusirku agar mengerjakan tugas kantor di rumah. Sejak kemarin ia terus memarahiku setiap aku sibuk dan mengacak-acak kamarnya.
            “Satu lagi,” kataku sambil membuka tas yang tadi kubawa, lalu mengeluarkan isinya. Aku mengotak-atiknya dan mengarahkan kamera itu kepadanya.
            Jepret! Aku memotretmu!
            “Kamera kesayanganku,” seru Elang. “Terima kasih, Sa,”
            Hari ini aku membawakan kamera kesayangan yang pertama kali Elang punya sejak masuk club fotografi di London. Kamera berukuran kecil menggunakan pita seluloid. Aku sengaja tidak membawa kamera profesionalnya. Karena menurutku ia akan kecewa ketika menyadari bahwa tangannya belum mampu memotret dengan sempurna. Sekarang kedua tangan itu sedang lemah untuk mengangkat benda berat.
            Masih ada lagi!
            “Ini kamera saku?” Tanya Elang ketika ia menemukan kamera saku di dalam tas yang aku bawa.
            “Dengan kamera saku itu, kamu bisa langsung melihat hasilnya di laptop. Jadi nggak perlu berurusan dengan cuci mencuci film,”
            “Ide bagus,” serunya sambil mengotak-atik kamera saku yang baru aku beli. “Tapi aku tetap akan menggunakan kamera kesayanganku. Karena kamu yang membawakannya,  jadi kamu yang bertugas mencuci hasil fotoku nanti,”
            Siap, bos!
            “Kamera saku ini lumayan bagus hasil gambarnya,” katanya setelah memeriksa hasil jepretannya barusan ke salah satu objek di sekitar kamar.
            Aku dibantu Firman memilih kamera itu. Teman kantor kamu yang juga seorang fotografer, tentu saja aku tidak salah pilih. Hohoho.
               
***

            Sabtu sore. Kamar Elang saat ini sedang ramai sekali. Abdul Muis datang menjenguk dari Surabaya bersama istri dan anaknya. Selain itu ada Om Candra yang memang setiap akhir pekan kemari, Ratih dari Jambi, Anang, Prakoso, Ramadhan, Fredi, dan Nicholas. Aku pun sangat terkejut ketika baru sampai di rumah sakit.
            Wah, ramai sekali.
            “Kenalkan, Sa, anakku, Amanda namanya,” Abdul Muis langsung menyambutku begitu, sambil menunjuk bayi berusia 7 bulan yang sedang berada di pangkuan Elang.
            Cantiknya! Lucunya!
            “Halo, aku Tante Gelisa. Salam kenal, sayang,” kataku sambil menggenggam tangan mungil Amanda.
            Abdul Muis bangga sekali pada anaknya, sampai-sampai langsung memperkenalkannya padaku sebelum kami saling bersalaman dan menanyakan kabar.
            “Sampai jam berapa, Ren?” Tanyaku pada istri Abdul Muis setelah saling bersalaman dan menanyakan kabar. Aku mengenal Reni sejak resepsi dua tahun yang lalu.
            “Baru saja. Kami berangkat satu pesawat dengan Om Candra,” jawabnya lembut keibuan.
            Dua jam kami habiskan dengan mengobrol dan bercanda tanpa lelah, membuat suasana hati semua orang bahagia di dalam ruangan ini. Sesekali juga kami saling berebut untuk menggendong Amanda.
            Beberapa menit kemudian, Amanda di ajak jalan-jalan oleh Om Candra untuk ditidurkan. Amanda memang anak yang supel, baru kenal tapi tidak rewel jika digendong orang lain.
            Dan tiba-tiba saja permainan lucu ini terjadi. Kami semua menjadi lupa umur, berteriak dan tertawa lepas. Permainannya sederhana sekali, kami dibagi menjadi 5 tim dengan beranggotakan dua orang. Abdul sudah tentu dengan Reni, Aku dengan Elang, Prakoso dengan Nicholas, Ramadhan dengan Fredi, dan Anang dengan Ratih.
            Giliran timku yang diuji. Kami harus menyebutkan satu dari dua pilihan yang disediakan. Jika tim tidak kompak, maka wajah anggota tim akan dicoret dengan lipstik. Dan tim yang kalah akan membayar makan siang untuk rencana kami besok minggu. Besok kami berencana bernostalgia ke SMA lalu berjalan-jalan ke kebun binatang.
            “Antara makan dan minum,” Nicholas memberi pilihan. Dalam hitungan tiga, secara bersamaan aku menjawab minum sementara Elang menjawab makan. Kami mendapat coretan pertama.
            “Antara hijau dan biru,” giliran pilihan dari Prakoso. Aku menjawab Biru dan Elang menjawab Hijau.
            “Antara ponsel dan laptop,” pilihan dari Abdul, aku menjawab laptop, Elang menjawab ponsel. Begitu terus kami mendapat coretan hingga menjelang pilihan terakhir.
            Aduh, memalukan! Pilihan dari Ramadhan kali ini harus berhasil. Elang, kita harus satu kali saja kompak. Kamu tidak bisa mendengar telepatiku? Elang? Kamu dengar? Elang?
            “Antara pensil dan pena,”
            Sedari tadi Elang selalu memilih pilihan pertama.
            “Pensil,” jawabku.
            “Pena,” jawab Elang.
            Sial. Kenapa kamu ganti pilihan?
            “Kenapa kamu pilih pensil? Sedari tadi kamu memilih pilihan kedua, kenapa di pertanyaan terakhir kamu memilih pilihan pertama?” Keluh Elang dengan wajah kesal.
            Ada apa dengan wajah kamu? Aku juga sedang kesal saat ini.
            “Maaf, bapak dan ibu, suara kalian bisa dikecilkan? Mengganggu pasien lain yang ada di kamar sebelah,” seorang perawat muncul dari balik pintu. Lalu permainan dilanjutkan dengan suara yang terkontrol, namun masih saja seru.

***

Minggu pagi, aku memaksa Elang untuk membuka mulut di kamar mandi. Ia bersikeras menyikat giginya sendiri, sementara aku juga tidak mau kalah berusaha mamaksa untuk menyikat giginya.
“Aku bukan anak kecil,” sungut Elang sambil terus menutup mulutnya dengan kuat masih dari atas kursi rodanya.
“Aku tahu,” jawabku. “Tapi hari ini aku ingin menyikat gigimu,”
Hampir setengah jam adu mulut, akhirnya Elang bersedia mengalah dengan syarat ia juga akan menyikat gigiku setelah ini.
Tadi pagi ketika bangun tidur aku langsung terpikirkan untuk menyikat gigimu, satu kali saja. Ini untuk yang pertama dan terakhir jika kamu benar-benar tidak ingin.
Beberapa menit kemudian, Elang ganti menyikat gigiku.
“Mulut kamu bau sekali,” umpat Elang ketika aku membuka mulutku. Mendengar itu, aku menghembuskan nafas berkali-kali ke arah Elang sementara Elang dengan kesusahan menghindari nafasku.
            Bukankah ini minggu pagi yang sangat menyenangkan?
            Tak lama kemudian, seorang perawat laki-laki masuk ke dalam kamar mandi. Aku bergegas bangkit dari bangku dan membilas mulutku agar Elang bisa segera mandi.
            Beberapa jam kemudian, sesuai rencana, kami sudah sampai di SMA tempat kami dulu belajar. Abdul datang tidak dengan membawa istri dan anaknya, lalu Anang yang ternyata punya waktu untuk ikut, Prakoso, Nicholas, Fredi, Ramadhan, aku, dan tentunya Elang. Ratih nanti siang mau pulang ke Jambi karena ia mendapat kabar bahwa anaknya yang berusia 4 tahun tiba-tiba sakit. Dua mobil berhasil parkir tepat hari minggu di halaman sekolah.
            Elang, kamu tahu? Mengukir kenangan manis itu indah, tapi jauh lebih indah ketika kita bisa mengenangnya. Aku akan lebih banyak melakukan keduanya bersama kamu.
            Kami langsung menuju halaman belakang sekolah. Sekarang halaman itu sudah berubah menjadi kantin sebagian dan sebagian yang lain menjadi lapangan bola voli atau bulu tangkis. Kantin sedang tutup hari ini, jadi tidak bisa icip-icip makanan kantin sekolah ala zaman sekarang. Gedung belakang sekolah yang dulu menjadi tempat persembunyian para preman sekolah juga sudah tidak ada. Selanjutnya adalah beberapa kelas, kantor bimbingan konseling, kantin sekolah yang sekarang diubah menjadi sebuah laboratorium bahasa, dan berakhir di halaman utama tempat kami dulu melakukan upacara bendera.
            Halaman utama masih belum berubah dengan posisi tiang bendera dan luas lapangannya. Hanya saja sekarang sudah tidak bertanah. Zaman sekarang memang sudah sulit menemukan tempat yang bertanah di kota ini.
            Foto kebersamaan kami sudah banyak kami dapatkan. Beberapa kali Fredi dan Elang berebut menjadi fotografer dan menguasai kamera saku yang aku bawakan untuk Elang minggu yang lalu.
            Sudah saatnya kita ke tempat selanjutnya. Ke kebun binatang yang tidak jauh dari sekolah.
Sebelum ke kebun binatang, Fredi mengajak kami lomba lari. Entah dari mana idenya, tapi kami semua menyetujui, termasuk Elang. Elang akan ikut berlari bersama kursi roda power elektrik yang kami sewa. Tombol kendalinya ada di sebelah kanan, jadi Elang menggerakkan tombol itu menggunakan jari kanan yang masih bisa berfungsi sedikit. Jarinya masih bisa digunakan jika sekedar menggerakkan tombol tersebut. Untuk selanjutnya setiap hendak jalan-jalan ke luar rumah sakit kami akan menyewa kursi roda power elektrik ini dari rumah sakit.
            Aku kelelahan, nafasku tersengal-sengal. Aku sampai finis urutan keenam seletah Abdul, Fredi, Prakoso, Nicholas, dan Anang. Sementara Ramadhan berlari tepat didepan Elang.
            “Ternyata aku sudah tua, lelah sekali,” sungut Ramadhan sambil terengah-engah. “Aku harus segera menikah,”
            “Setuju,” jawab Abdul cepat. “Sebaiknya kalian semua juga segera menikah. Tahun depan sudah tiga puluh tahun, ingat itu,”
            “Hei, tiga puluh tahun bagi laki-laki masih belum cukup,” kata Prakoso cepat.
            “Alasan dari ketidakmampuan,” umpat Abdul. Mendengar itu, Prakoso menendang Abdul dengan pelan, sehingga pada akhirnya mereka saling menghajar satu sama lain sambil tertawa-tawa.
            Aku menoleh ke arah Elang dan kudapati ia menatapku seolah berkata ‘apa lihat-lihat?’.
            Apa? Aku tidak sedang memintamu menikahiku. Aku hanya ingin tahu bagaimana wajahmu saat ini, aku ingin tahu apa yang kamu pikirkan atas nasehat Abdul tadi.

***

September 2009
            “Sa, lama-lama kamu menarik rambutku kuat sekali,” keluh Elang sambil memberikan ekspresi kesakitan.
            “Aku nggak menariknya, aku memijatnya,” jawabku sambil memijat-mijat kepalanya yang basah dan bersabun. Aku sedang mengeramasi rambutnya di wastafel kamar mandi.
            “Aduh, semakin lama kamu kasar sekali,”
            Cerewet. Rasakan, rasakan, rasakan ketika aku menarik-narik rambutmu seperti ini. Ini untuk orang yang menuduh sembarangan dan bermulut cerewet seperti kamu.
            “Aduh,” rintihnya tapi dengan pasrah ia membiarkanku hingga aku selesai mengeramasi rambutnya pagi ini.
            Rencana kami minggu ini adalah mengunjungi basecamp bersama Prakoso, Nicholas, dan Anang. Sahabat Elang yang lain tidak bisa ikut karena urusan masing-masing dan Abdul sudah pulang ke Surabaya minggu lalu. Tapi Elang masih tampak bahagia seperti minggu-minggu sebelumnya.
            Tentu saja bahagia, kamu akan keluar sebentar dari rumah sakit.
Dua jam lebih perjalanan karena beberapa kali melewati jalanan yang padat lalu lintas. Jarak rumah sakit dan basecamp memang agak jauh jika menaiki mobil yang tidak bisa menyelip seperti motor.
            Setelah mobil yang dikendari Prakoso berhenti pada tempat tujuan, kami membuka jendela lebar-lebar menatap pemandangan yang ada di hadapan kami saat ini. Beberapa rumah tampak bertengger manis di atas lapangan yang mereka sebut basecamp.
            “Apa kita gempur saja rumah itu?” Celetuk Nicholas pelan.
            “Ini karena kamu, Prakoso. Kamu orang kaya raya, kenapa nggak segera beli lapangan ini?”
            “Kenapa aku yang salah?” Prakoso membela diri.
            “Hei, kita sudah lama tahu tentang lapangan ini, tapi kenapa kalian baru bertengkar untuk masalah ini?” Tanya Elang.
            “Ayo turun, setidaknya kita foto bersama di sini,” ajak Fredi sambil membuka pintu dan turun dari mobil berjalan mendekat ke salah satu rumah.
            Itu benar. Ayo kita turun dan berfoto.
Sesuai rencana, setelah ini kami akan berkeliling di mal terdekat  sebelum kembali ke rumah sakit. Kami akan bersenang-senang di sana.
            Sore hari ketika Elang sedang mandi bersama perawat, aku, Anang, dan Prakoso sibuk menggeser-geser tangga. Kami sedang menempelkan stiker berbentuk bintang ke atap kamar Elang. Stiker yang sama yang pernah aku tempel di kamar apartemen Elang.
            “Sa, jangan main-main!” Teriak Prakoso sambil berpegangan pada tangga dengan kuat. Baru saja aku iseng menggoyang-goyangkan tangga yang sedang dinaiki Prakoso.
            “Laki-laki takut ketinggian?” Ledekku.
            “Semua orang akan ketakutan kalau tangganya digoyang-goyang seperti tadi,” Prakoso membela diri.
            “Wah, ada apa ini?” Elang tiba-tiba muncul dari dalam kamar mandi dengan di dorong perawat.
            Kamu tidak lihat di atapnya sekarang ada apa?
            “Nanti malam kamu bisa melihat bintang,” jawab Anang semangat sekali.
            “Wah, senangnya. Terima kasih,” kata Elang sambil tersenyum bahagia.
            Aku senang kalau kamu suka.
Malam hari, ketika sedang bersiap-siap hendak tidur, dari atas ranjangnya, Elang memintaku mematikan lampu tidak seperti biasanya. Ia ingin menikmati hasil kerja keras kami tadi sore. Ketika ruangan menjadi gelap, bintang-bintang itu bersinar seperti kamar apartemen Elang waktu itu.
Cantik sekali, bukan?
“Papi punya sesuatu untuk kamu,” kata Elang kemudian ketika kami sedang diam menatap langit-langit.
Tadi sepulangnya kami ke rumah sakit dari mal, di depan pintu utama rumah sakit, kami bertemu Om Candra yang hendak pulang ke Surabaya. Ketika melihat Om Candra yang sudah siap dengan koper dan tiketnya, akhirnya Prakoso kembali pergi untuk mengantarkan Om Candra ke bandara. Sementara sisanya langsung menuju kamar Elang.
Tapi tadi Om Candra tidak mengatakan apa-apa kepadaku.
“Apa itu? Kapan?” Tanyaku.
“Papi sms aku. Dia sudah meletakkannya di laci meja,”
Kalung. Cantik sekali. Tapi untuk apa kalung ini?
“Papi bilang ia hanya ingin memberikan itu untuk kamu. Kamu harus terima,” kata Elang.
Terima kasih, Om. Setelah Elang tertidur, aku akan segera menelepon Om Candra.
Aku langsung memakaikan kalung itu ke leherku, lalu mengamati kalung beserta liontinnya dengan wajah sumringah.
“Apa kamu tahu kalau kamu itu cantik?” Tiba-tiba Elang berkata begitu sambil mulai memejamkan mata.
            Aku tahu, aku tahu, aku tahu kalau aku cantik. Seharusnya dari dulu kamu bilang begitu. Ini pertama kali kamu mengatakannya. Kenapa?
            “Jangan membuatku tertawa,” kataku. “Kamu tahu aku nggak cantik,”
            “Kalau dilihat-lihat sepertinya memang begitu. Aku salah,” katanya masih dengan memejamkan mata.
            Tarik lagi ucapanmu! Aku cantik.

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)