bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Senin, 22 Oktober 2012

Elang, Let Me Be With You 3

**3**

http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg
24 Maret 2010
Langkah selanjutnya adalah menikmati. Saya memang orang yang pertama kali jatuh sehingga berani mengambil langkah mengejarnya hingga ia bisa jatuh kepada saya. Adakah mengejar itu sambil berjalan santai? Saya belum pernah mendengar, karena itu saya berlari mengejarnya. Berkali-kali saya mendapat umpatan karena saya terlalu cepat berlari, agresif menurut sahabat-sahabat saya dan dia. Tapi saya tidak peduli. Efek jatuh sudah membuat saya benar-benar tidak lagi mengenal malu dan putus asa.


Tidak ada cinta dalam diam. Cinta selalu menggerakkan pemain utamanya. Dengar saja jantungnya, “dug dug dug” cepat sekali. Dengar saja suara hatinya, tidak pernah diam untuk mengungkapkan cinta.Lihat saja bola matanya, ia bergerak ke arah cintanya berada, dan ketika sangat malu tertangkap bola mata cinta, bola mata itu akan dengan sangat cepat bergerak ke arah lain. Saya benar telah jatuh, dan saya bergerak untuk cinta.


--- BERLARI UNTUKNYA ---

Tanpa basa-basi, aku langsung memberi surat pink yang kemarin kepada Elang. Lalu dengan cepatnya kabur meninggalkan Elang di parkiran. Pagi ini aku sudah mengatur strategi ini, agar Elang tidak menolak suratku lagi.
Setelah merasa sudah jauh dan aman, aku berhenti dan mencari tempat persembunyian untuk mengintip Elang yang masih di parkiran. Berharap Elang membaca suratku.
            Aku tidak mau ditolak lagi seperti kemarin.
            Selesai parkir dan menaruh helm di atas setang motor, Elang tengak-tengok ke segala penjuru. Tidak lama dari itu, akhirnya Elang membuka suratku.
Aku tahu pasti kamu akan membaca surat itu.
            Elang menyeringai sinis ala preman, seolah baru saja mendapat ancaman dari lawan agar jangan macam-macam di sekolah. Beberapa detik kemudian surat itu ia robek lalu dibuang ke tong sampah.
Wah, surat yang mengenaskan, harus berakhir di tong sampah. Aku gagal. Tapi setidaknya Elang tahu kalau aku menyukainya. Syalalalala.

***

Aku menghampiri Elang di gedung kosong halaman belakang sekolah, tempat biasa ia berkumpul bersama kelima preman sekolah lain. Seperti biasa juga, kelima preman sekolah lainnya juga ada bersama Elang, sedang mengobrol bercanda sambil merokok. Dari kejauhan, terdengar sesekali tawa dari mereka berenam, bahagia sekali.
Ada suara Elang, itu artinya Elang memang ada di antara mereka.
            “Untuk apa kamu ke sini? Masih baru sudah berani,” anak yang bernama Ramadhan marah waktu melihatku jalan pelan-pelan mendekati mereka.
            “Siapa?” Tanya yang lain sambil menengok ke arahku, yang hasilnya membuatku hampir mati ketakutan karena dilihat oleh enam pasang mata preman sekolah sekaligus.
            “Maaf, aku ada perlu sebentar sama Elang,” kataku memberanikan diri tapi dengan terbata-bata. Mendengar itu, Elang spontan melotot ke arahku. Aku yang hampir mati karena ketakutan, berubah menjadi hampir mati karena terpesona oleh matanya.
Ya ampun! Aku sudah gila.
            “Apa lagi?” Tanyanya sambil berdiri mendekatiku. Elang dengan gaya ala premannya menghembuskan asap rokok ke mukaku. Secara reflek aku memejamkan mata dan menahan nafas sebentar.
            “Aku mau bicara sama kamu, Lang,”
            “Bicara apa?”
            “Agak jauh sedikit, bisa, nggak? Aku malu,”
            “Di sini saja, cepat. Sebentar lagi bel istirahat bunyi, aku mau masuk kelas,”
            Dengan ragu-ragu, akhirnya aku memberanikan diri mengatakannya di sini, di depan kelima preman sekolah. “Aku mau menjadi pacar kamu, Lang,”
            Lima anak di belakang langsung tertawa sampai ada yang tersedak asap rokok sendiri. Muka Elang langsung merah, mungkin juga mukaku sekarang. Tapi aku tidak peduli, aku sudah mengumpulkan keberanian sejak tadi pagi dan tidak berencana lari sampai mendapat jawaban Elang.
            “Kamu nggak waras, ya,” Kata Elang kemudian sambil menatap tajam mataku.
            “Kamu mau, nggak, jadi pacar aku?” Tanyaku lagi.
            “Nggak,” jawabnya hampir bersamaan dengan bunyi bel masuk tanda istirahat siang sudah berakhir. Mendengar jawaban Elang dan bel sekolah, aku langsung balik badan dan berlari ke kelas dengan jantung berdegub kencang.
Hari ini untuk pertama kalinya, aku merasakan adegan saling tatap lama dengan mata Elang dari jarak yang begitu dekat. Aku senang sekaligus gugup sekali.
Mata itu, mata itu, mata itu! Ya ampun!
            “Bagaimana, Sa?” Tanya Anang cepat ketika aku baru saja duduk di bangkuku di kelas.
            “Sa, kamu kenapa?” Tanya Falia yang ikut penasaran sambil menggoyang-goyang pundakku. Aku masih diam sambil senyum-senyum sendiri karena kejadian saling tatap tadi.
            “Elang menerima kamu, ya? Benar, Sa?” Tanya Ratih kemudian dengan wajah ikut sumringah. Lama aku diam, akhirnya aku sadar, dan langsung menggeleng-gelengkan kepala.
            “Kenapa kamu senyum-senyum, Sa?” Tanya Falia lagi.
            “Matanya membuat dag-dig-dug,” jawabku sambil senyum-senyum bahagia. Mereka bertiga bengong melihat tingkahku.

***

            Hari-hariku di sekolah dipenuhi oleh Elang Pisdana, kakak tingkatku di sekolah. Telingaku suka cepat menangkap obrolan para siswa hingga staf guru yang menyebut nama Elang di dalam percakapan mereka. Di sana, biasanya aku mendapat informasi-informasi tentang Elang.
            Menurut salah satu dari mereka, Elang sering sekali mendapat hukuman karena tidak mengerjakan PR dan sering protes dengan guru yang sedang mengajar di depan kelas.
Keenam preman sekolah malas sekali untuk urusan mengerjakan PR, sehingga sering mendapat hukuman untuk masalah ini. Tapi, beberapa guru memang mengagumi mereka lantaran dengan kebadungan tersebut, mereka masih tergolong siswa sepuluh besar di kelas, sehingga mereka masih bisa dipertahankan oleh sekolah. Tapi beberapa guru memang tidak menyukai sikap mereka yang dianggap tidak menghormati guru. Apalagi jika merasa bosan dengan cara guru mengajar, mereka tidak segan-segan membolos atau izin ke toilet sampai jam pelajaran berakhir.
            Ketika sedang asyik menguping pada suatu siang, bel masuk tanda istirahat berbunyi. Spontan aku, Anang, Falia, dan Ratih meneguk minuman masing-masing dengan cepat, karena pelajaran selanjutnya adalah pelajaran geografi yang gurunya super galak.
Setelah itu, tanpa pikir panjang, kami berempat langsung berlari bersama-sama menuju kelas.
            Anang larinya paling cepat, sehingga Anang memimpin di depan. Falia dan Ratih bergandengan tangan di belakang Anang. Aku, karena tidak bisa berjajar bertiga bersama Falia dan Ratih, terpaksa memilih posisi di belakang, menjadi ekor.
            Eits, aku tiba-tiba melihat Elang dari ujung jalan sama-sama sedang menuju tangga.
Kelasku dengan kelas Elang memang sama-sama di lantai dua. Mungkin karena aku tidak bisa lepas pandangan dari Elang, aku spontan tersenyum ke arah Elang dan melambai sok akrab kepada Elang. Elang sempat melihat aku, tapi dia sama sekali tidak menghiraukanku. Pura-pura tidak lihat, masih sambil jalan santai menuju tangga.
            “Cepat, Sa! Lihat, Pak Sodikin sudah keluar dari kantor,” Teriak Ratih sambil menunjuk-nunjuk Pak Sodikin yang baru keluar dari pintu kantor hendak menuju tangga. Melihat itu, dengan gugup aku langsung naik tangga tanpa menengok lagi ke arah Elang.

***

Aku berlari menghampiri Prakoso, salah satu dari enam preman sekolah. Ia sedang menungguku di depan rumah sehingga aku harus bergegas menghampirinya. Dari atas motor ia melihat kedatanganku melalui celah helm sambil berteriak menghitung pada angka ke-47. Aku menghampirinya dengan nafas tersengal-sengal. Ia menyuruhku cepat menghampirinya setelah aku selesai mengganti bajuku.
Entah aku hendak dibawa kemana. Tapi aku tidak terlalu khawatir, karena menurutnya ini untuk bertemu dengan Elang.
            “Gesit sekali,” kata Prakoso. “Ayo naik,”
            “Kita mau kemana?” Tanyaku cepat masih sambil mengatur nafas.
            “Naik. Mau lebih dekat sama Elang, nggak?” Tanyanya. Spontan aku mengangguk dan langsung naik ke jok belakang motor besar Prakoso, tanpa merasa khawatir sedikitpun dibonceng oleh seorang preman sekolah yang kabarnya suka sekali naik motor dengan kebut.
            “Kita mau kemana?” Teriakku ketika motor mulai melaju mendahului kendaraan-kendaraan lain.
            “Nanti kamu akan tahu,” Jawab Prakoso sambil menancap gas lebih kebut dari sebelumnya. Aku memejamkan mata karena mulai merasa takut. Dengan memegang pinggiran jok kuat-kuat, aku menggantungkan hidup di sana agar tidak jatuh atau terjengkang dari motor. Ini pertama kalinya aku naik motor secepat ini, wajahku terasa ditampar-tampar, perut mulai mual beberapa detik, dan rambut  berkibar tertiup angin kencang sekali.
            Ya Tuhan, lindungi aku! Perjuanganku terhadap Elang Pisdana begitu besar, semoga tidak sia-sia. Bantu aku Tuhan! Bantu akuuuuuuu....
            Beberapa menit kemudian, motor sudah tidak melaju kencang, dan berbelok ke sebuah kompleks kumuh. Dalam selang waktu beberapa menit saja, motor berhenti di sebuah kapling tanah agak luas menyerupai lapangan yang lumayan jauh dari perumahan warga dengan rumput-rumput yang tumbuh tinggi. Terdengar tawa dan obrolan dari beberapa laki-laki yang tidak asing di telingaku. Kelima preman sekolah lainnya.
            “Di sana ada Elang?” Tanyaku sambil tengak tengok ke tengah lapangan yang gelap gulita. Tapi beberapa titik berwarna merah yang menurutku adalah rokok-rokok yang terbakar tampak melayang-layang sendiri di udara.
            “Nggak percaya?” Prakoso balik bertanya. “Elang! Kamu masih di sana, kan?” Teriak Prakoso kemudian ke arah tengah lapangan. Elang menjawab dengan berteriak juga.
            “Wah, pacar baru, ya?” Teriak salah seorang dari mereka, entah suara milik siapa.
            “Nanti akan tahu!” Jawab Prakoso sambil menyuruhku untuk turun dari motornya. Setelah turun dari motor, aku segera menyisir rambut menggunakan jari-jari dengan kesusahan, sebelum menghampiri Elang. Prakoso sempat melirikku sambil tersenyum lalu menarik tanganku untuk berjalan bergabung bersama mereka.
            ”Eh, anak baru itu,” celetuk seseorang di antara mereka setelah aku dan Prakoso berhasil bergabung bersama mereka. Lambat laun akhirnya aku bisa melihat wajah-wajah mereka. Satu di antara mereka tengah berbaring di rerumputan sementara sisanya duduk santai berdekatan satu sama lain.
            “Untuk apa kamu bawa dia kesini?” Tanya Nicholas sambil bangkit dari tidurnya. Sekarang aku bisa mengenali mereka satu persatu, semuanya, termasuk Elang yang duduk di samping Nicholas menggunakan jins biru dan kaos oblong berwarna putih bergambar bendera Negara Inggris.
            “Iseng,” jawab Prakoso santai sambil duduk bergabung mendekat kepada mereka. Prakoso tampaknya memilih di paling ujung dekat tempat aku berdiri dan mulai menyalakan sebatang rokok. Ia tampak sedang tersenyum menatap Elang sambil menghirup asap pertama.
            “Iseng? Mau diapakan anak baru ini?” Tanya Fredi Aria sambil menatap tajam ke arahku. Spontan aku menutup dadaku dengan kedua tanganku cepat sambil menoleh ke arah Prakoso.
            “Enaknya diapakan?” Tanya Prakoso lagi-lagi tersenyum.
“Prakoso, kamu sama nggak warasnya sama dia,” umpat Elang sambil berbaring di atas rumput.
            “Hei, jangan macam-macam ya,” ancamku dengan terbata-bata. “ Kalau kalian macam-macam, orang tuaku bakal cari kamu, Prakoso. Tadi aku sempat pamit dengan mama kalau mau menemui kamu,”
            “Kamu mau diapakan?” Tanya Prakoso dengan wajah menahan tawa.
“Aku serius. Kalau aku nggak pulang, orang tuaku akan cepat mencari anak yang bernama Prakoso,” ancamku dengan tegas. Sekarang aku mulai merasa khawatir berada di antara mereka malam ini. Entah pikiran darimana, seharusnya aku tadi tidak mau diajak oleh Prakoso ke tempat yang mereka sebut basecamp ini.
            Akhirnya Prakoso tertawa sampai terbatuk-batuk. Tidak lama kemudian Prakoso menarik tanganku agar duduk juga disampingnya. Karena tenaganya begitu kuat, ia berhasil mendudukkan aku dengan paksa. Laki-laki walaupun kurus ternyata masih punya tenaga yang kuat.
            “Lihat ke atas,” perintah Prakoso sambil menghirup asap rokok dan menghembuskannya ke depan. Masih dengan hati-hati dan waspada tingkat tinggi aku menatap ke atas dan takjub sedetik kemudian dengan bintang-bintang yang hampir menutupi langit. Seperti coklat misis yang berada di atas roti tawar, bertaburan asal.
            “Kampung,” umpat Abdul Muis kemudian setelah melihat wajahku.
            “Wah, ini seperti di Planetarium, ya,” celetukku sambil tersenyum senang sekali.
            “Besok aku ajak lagi ke sini, mau?” Tanya Prakoso.
            “Siapa bilang dia boleh ke sini lagi? Nggak diizinkan,” timpal Nicholas cepat sebelum aku sempat mengangguk.
            “Sejak kapan aku harus minta izin untuk bawa orang lain kesini?” Tanya Prakoso.
            “Kamu mau dihajar? Kita selama ini nggak pernah bawa siapa-siapa ke sini. Ini tempat punyaku, harus izin dari aku,” jawab Nicholas dengan suara yang meninggi.
            “Persetan sama izin kamu,” kata Prakoso cepat.
            Mendengar itu, Nicholas langsung bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Prakoso dengan wajah garang. Melihat itu, Prakoso bangkit untuk meladeni Nicholas. Ketiga preman lainnya, tidak termasuk Elang, langsung ikut bangkit untuk menjauhkan mereka dan menahan agar tidak terjadi perkelahian.
            “Bodoh semuanya,” umpat Elang sambil bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan kami, berjalan menuju ke tempat dimana lima motor terparkir. “Prakoso, kamu yang memulai, segera selesaikan,” tambah Elang dengan santai.
            “Prakoso, bawa dia pulang,” kata Ramadhan sambil menarik tanganku untuk berdiri. Ramadhan kemudian mendorong-dorong tubuhku dan Prakoso untuk pergi meninggalkan Nicholas dan lapangan ini. Beberapa detik kemudian, Elang pergi bersama motornya tanpa pamit. Aku masih dalam diam menatap kepergian Elang tidak merasakan kerasnya Ramadhan mendorong-dorong tubuhku.
            Elang sudah pergi.
            “Malam ini nggak asyik. Kita mau kemana?” Tanya Prakoso sebelum ia naik ke atas motornya.
            “Pulang,” jawabku.
            “Pulang?” Tanya Prakoso. Aku mengangguk dengan pasti.

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)