bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Senin, 22 Oktober 2012

Elang, Let Me Be With You 7

**7**

http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg
11 Desember 2009
Dokter dengan tegas mengatakan terapi ini bukan untuk menyembuhkannya, tapi hanya untuk memperlambat kemundurannya. Tapi aku terkejut dengan keterangan dokter tadi. Apa yang harus aku lakukan?

            Cinta memberi senyum tulus yang mengartikan rasa terima kasih dan pengungkapan rasa berbahagia. tersenyumlah untuk seseorang yang kita cintai. Hal mudah, bukan?


--- TERIMA KASIH ---

Elang sudah bangkit kembali. Keinginannya untuk hidup menjadi tinggi sekali, membuat kami yang ada di sekelilingnya ikut bersemangat.
Ya, kita semua akan memenangkan cobaan ini bersama-sama. Seperti yang Tante Mirani pernah katakan suatu malam padamu, bahwa sakitmu bukan milikmu seorang, tapi juga milik Tante Mirani. Aku juga ingin kamu tahu, sakitmu memang bukan milikmu seorang, tapi juga milikku. Itulah alasan kenapa aku sering sekali mengunjungimu.
Dengan cepat setelah Elang menjadi pasien di rumah sakit khusus kanker, Elang melakukan CT Scan sebagai langkah awal radioterapi dan kebetulan langsung mendapatkan jadwal radioterapi. Radioterapi direncakan dilakukan sebanyak 35 kali setiap hari senin hingga jumat.
“Bagaimana, dok?” Tanya Tante Mirani.
“Datanglah ke gedung radioterapi minggu depan. Kita bisa langsung mulai,” kata dokter.
Hari pertama, sebelum dilakukan radioterapi, Elang harus cek darah dulu untuk mengetahui kondisi badannya memungkinkan untuk dilakukan tindakan ini atau ditunda terlebih dahulu. Hasil tes menyatakan bahwa Elang bisa diradioterapi pada hari itu juga.
“Pasien sebenarnya tidak harus rawat inap, tapi biasanya jika menginap, bisa mendapat radioterapi pada urutan awal di pagi hari,” begitu saran dokter, sehingga Om Candra dan Tante Mirani memutuskan untuk memasukkan Elang sebagai pasien rawat inap di rumah sakit khusus kanker ini. Di sini ternyata tidak sedikit yang menderita kanker, sehingga banyak yang mengantri perawatan radioterapi.
Seperti yang dijelaskan dokter sebelumnya, bahwa Elang akan dilakukan pengobatan radioterapi di hari pertama lalu mendapatkan kemoterapi di hari yang sama. Aku mendapatkan cerita itu dari Prakoso, karena hari pertama perawatan Elang, aku harus sekolah.
“Selama kemoterapi Elang diharuskan buang air kecil terus menerus dan air seninya pun ditakar oleh perawatnya,” begitu cerita Prakoso ketika kami sedang dalam perjalanan dari sekolahku menuju rumah sakit. Perjuangan di hari pertama, Elang membutuhkan sekitar 12 jam untuk radioterapi sekaligus kemoterapi.
Hari-hari selanjutnya Elang menjadi terlihat lesu dan kurus sekali. Menurutnya efek kemoterapi membuatnya mual, sehingga berkali-kali ia muntah dari atas ranjang.
“Elang nggak punya tenaga untuk berlari ke kamar mandi ketika hendak muntah, jadi Tante Mirani menyiapkan wadah ini untuk Elang muntah,” begitu kata Nicholas sambil memperagakan orang muntah di wadah tersebut.
“Itu bukan untuk main-main,” kata Elang dengan lesu.
Wajah kamu pucat sekali, Lang. Apa kamu merasa baik-baik saja?
“Apa kamu hamil? Mual seperti orang hamil?” Ledek Nicholas sambil terkekeh sendirian.
Apanya yang lucu? Makhluk satu ini masih saja belum berubah.
“Aku lelah sekali seperti hampir mati,” kata Elang tiba-tiba.
“Kamu bicara apa? Kamu nggak akan mati karena kanker ini, kamu pasti sembuh,” kata Tante Mirani cepat. “Mami punya majalah yang menceritakan tentang penderita kanker dan hingga sekarang ternyata masih hidup dan sehat,” lanjut Tante Mirani sambil memperlihatkan sebuah majalah berbahasa Inggris kepada Elang.
Waktu cepat sekali berlalu. Hampir tiga bulan Elang berhasil menjalani 35 kali radioterapi dan 2 kali kemoterapi seperti yang disarankan dokter. Badannya saat ini lebih kurus dari sebelumnya. Dan wajahnya terlihat pucat.
Hari minggu. Aku, keempat sahabatku, kelima sahabat Elang, Om Candra, dan Tante Mirani saat ini sudah berdiri di halaman depan rumah Tante Ayu. Hari ini Elang pulang ke rumah, karena pengobatan sudah selesai dilakukan.
“Aku pulang, mi?” Celetuk Elang ketika ia sedang ditopang turun dari kursi mobil menuju kursi roda.
“Selamat datang di rumah,” sambut Tante Ayu sambil tersenyum lalu mengajak semua orang masuk ke rumahnya. Elang masih tampak kelelahan setibanya di rumah. Sebelum pulang, dokter menyarankan pemulihan dan pemeriksaan rutin terhadap Elang setiap bulan ke rumah sakit.
“Mami hamil, ya?” Tanya Elang tiba-tiba ketika kami semua tengah mengobrol di ruang televisi. Serentak semua mata memandang ke arah Tante Mirani yang sedang berjalan ke arah kami sambil membawa nampan yang berjajar gelas berisi minuman di atasnya.
“Empat bulan,” jawab Tante Mirani sambil tersenyum. “Sureprise,”
Eh? Hamil? Tapi memang tidak begitu terlihat sehingga tak satupun dari kami yang menyadarinya.

***

Hari ini Tante Mirani sudah pulang lagi ke Amsterdam. Kami semua mengantarkan kepergian Tante Mirani ke Bandara.
“Hati-hati dan jaga kesehatan, ya, Nak,” kata Tante Mirani pada Elang.
“Mami juga,” jawab Elang.
“Terima kasih semuanya sudah mengantarkan tante kemari. Terima kasih juga untuk bantuan kalian kepada Elang selama ini,” kata Tante Mirani sebelum akhirnya masuk ke pintu departure hall.
Hari-hari selanjutnya Tante Ayulah yang merawat Elang di rumah dan mengantarkan Elang chek-up ke rumah sakit. Om Candra masih sering datang seperti sebelumnya, yaitu setiap akhir minggu.
Elang menjadi rajin melukis setelah Tante Mirani membelikannya alat-alat lukis. Sudah enam belas lukisan di beberapa bulan masa pemulihan tubuhnya. Beberapa bulan kemudian wajahnya sudah tidak pucat lagi, tapi badannya masih tampak kurus. Elang sedikit memanjangkan rambutnya, tidak sebatas telinga lagi seperti sebelumnya.
“Lukisan kamu di ikutkan pameran kampus kita, ya,” Fredi bersuara suatu malam ketika aku dan ketiga sahabatku serta kelima mantan preman sekolah berkumpul untuk membuat pesta ulang tahun untuk Elang.
“Kalau nanti paling bagus, aku jadi nggak enak,” jawab Elang bercanda. Serempak kami semua mencibir ke arah Elang, lalu tertawa kecil bersama. Tidak membutuhkan waktu lama berpikir, lukisan Elang ikut pameran di kampus Fredi yang kebetulan juga menjadi kampus Elang.
Delapan lukisan terjual dengan harga yang lumayan, dan Elang memutuskannya untuk disumbangkan ke yayasan kanker yang ada di kota ini.
“Bekal mati,” celetuk Elang dengan entengnya sepulangnya dari yayasan kanker. Mendengar itu, kami semua terdiam seketika.
Entah itu suatu firasat atau bukan, satu bulan setelah pameran itu, hasil CT Scan pada check-up selanjutnya, Elang diharuskan melakukan kemoterapi kedua. Seperti ketika itu, semua berjalan dengan cepat. Jadwal kemoterapi Elang sudah ditentukan setelah hasil tes darah laboratorium keluar, yaitu besok pagi.

***

Kondisi badan Elang sudah membaik, tidak terlihat lesu ketika jadwal yang dijanjikan untuk melakukan radioterapi. Aku sudah kelas tiga sekarang. Elang juga sudah mengundurkan diri dari kuliah hukumnya.
Sore hari di hari pertama kemoterapi kedua, perawat datang dengan memberitahukan cara-cara kemoterapi yang kedua ini, dan kemungkinan efeknya kepada Elang dan keluarga. Kemoterapi kali ini menggunakan obat yang berbeda dari sebelumnya, Elang akan diberi obat anti mual yang lebih baik.
Aku dan kelima preman sekolah menguping di pojok ruangan. Menurut perawat tersebut, efek yang bisa ditimbulkan seperti rambut rontok, kuku menjadi gelap, diare ringan. Perawat juga menyarankan agar Elang jangan terkena cahaya matahari langsung selama 7-10 hari setelah kemoterapi. Elang harus menerima kemoterapi selama 4 hari berturut-turut untuk satu siklusnya dengan interval tiga minggu.
“Wah, drakula rupanya orang ini,” celetuk Ramadhan tiba-tiba setelah perawat sedang melakukan persiapan untuk kemoterapi.
“Drakula?” Tanya Elang.
Nggak boleh terkena sinar matahari,” jawab Ramadhan, membuat penghuni kamar tertawa kecil beramai-ramai.
“Kira-kira berapa siklus, ya, dok?” Tanya Om Candra pada dokter yang baru datang.
“Tergantung perkembangan, biasanya 6 siklus. Tapi kita lihat nanti,” jawab sang dokter.
Waktu yang diperlukan untuk kemoterapi hari pertama sekitar 4,5 jam dari persiapan. Jam tiga siang kemoterapi dimulai dan berakhir pada jam setengah delapan malam. Hari pertama, Elang masih terlihat baik-baik saja, membuat orang-orang yang menungguinya merasa Elang hanya sakit ringan.
Tak beberapa lama kemudian aku dan kelima preman pamit kepada Tante Ayu dan Om Candra untuk pulang ke rumah masing-masing. Besok aku masih harus sekolah dan kelima preman juga harus kuliah.
Hari kedua dan ketiga aku tidak bisa ke rumah sakit. Tapi ketika aku bisa mengunjungi Elang pada kemoterapi hari keempat, aku menjadi sedih melihatnya. Badannya agak sedikit lemas, dan keringatnya banyak keluar dari wajahnya. Ia sudah mulai terlihat seperti orang sakit.
“Besok pagi Elang pulang, nih,” kata Tante Ayu kepadaku, Prakoso, dan Fredi sebelum kami pamit pulang malam itu.
Kemoterapi siklus pertama berakhir, dan siklus kedua akan dilanjutkan sekitar tiga minggu yang akan datang.

***

            Tiga minggu kemudian Elang masuk ke rumah sakit lagi untuk melakukan kemoterapi siklus kedua. Elang kembali menjadi pasien rawat inap di rumah sakit khusus kanker. Kebetulan hari itu sekolah sedang libur. Jadi aku dan keempat sahabatku bisa menjenguk dan menemani Elang melakukan kemoterapi hari pertama siklus kedua. Tante Ayu, Om Candra, Om Surya, Nicholas dan Fredi juga sudah ada di sana. Mereka sedang menunggu hasil laboratorium tes darah.
Setelah tes darah keluar, hasil tes tersebut menyatakan bahwa kondisi Elang bisa mulai menerima kemoterapi hari ini juga.
“Makin cepat kemoterapi, makin cepat sembuh,” kata Om Candra menenangkan Elang yang wajahnya tidak setenang tadi pagi.
            Pada kemoterapi siklus kedua ini badan Elang semakin terlihat letih dan mulai muntah-muntah seperti waktu itu. Tapi melihat ia begitu kuat dan bersemangat, membuat kami tidak terlalu khawatir. Ini adalah sebuah perjuangan menghilangkan kanker, jadi kami semua hanya bisa membayangkan hari setelah ini dimana Elang bisa sehat kembali.
            Tiga minggu kemudian pada siklus selanjutnya efek-efek yang diberikan perawat sebelum kemoterapi beberapa waktu lalu satu persatu terwujud. Kuku-kuku Elang menjadi gelap, dan ia semakin sering ke kamar mandi karena merasa mulas. Rambutnya juga sudah semakin banyak yang rontok.
            Sore itu ketika aku dan kelima mantan preman sekolah datang mengunjungi Elang, Elang sedang memuntahkan sesuatu ke dalam baskom kecil yang dilapisi kain. Tante Ayu tampak sedang mengusap-usap punggung Elang dengan lembut. Hanya air yang keluar dari mulut Elang dan ia tampak begitu menderita.
            Elang, kamu kasihan sekali. Apa terasa begitu sakit?
            “Aku bawa ini, Lang,” Suatu hari setelah Elang terbangun dari tidurnya, Ramadhan memamerkan sebuah benda sambil tersenyum.
            “Apa?” Tanya Elang pelan.
            “Cukur rambut,” jawab Ramadhan santai sekali.
            “Cukur?” tanyaku cepat sambil menoleh ke arah kepala ramadhan yang botak.
            “Biar seperti aku. Botak,” terang Ramadhan tertawa kecil.
            Beberapa menit kemudian Tante Ayu menyiapkan segala keperluan untuk cukur rambut dan mendudukkan Elang yang lemas ke sebuah bangku dekat jendela kamar inap rumah sakit.
            Sekitar tiga puluh menit sesi pemotongan rambut selesai. Kepala Elang sekarang nyaris sama dengan kepala Ramadhan. Mirip telur karena bagian atasnya terlihat lonjong. Ramadhan mulai memanggilnya kepala telur untuk mencairkan suasana.
            Hingga di akhir siklus keenam beberapa bulan kemudian, dokter menyarankan untuk Elang agar istirahat dulu dari kemoterapi. Badan Elang semakin bertambah kurus. Hampir setiap minggu Elang harus ke rumah sakit untuk cek ke laboratorium dan ke dokter. Ia tampak begitu lemah seperti kehabisan tenaga, sehingga ia pergi ke rumah sakit menggunakan kursi roda dan wajahnya selalu tampak sedang tertidur ketika di atas kursi roda.
            Elang menjadi lemah sekarang. Tuhan, apakah benar ada keajaiban? Aku tidak ingin Elang mati seperti perkiraan dokter waktu itu.

***

             Check-up terakhir menyatakan bahwa kanker sudah tidak ada lagi di kepala Elang setelah perjuangan selama lebih dari satu tahun. 100% ia berhasil melawan kanker itu.
Tuhan tidak menginginkan Elang mati di tahun yang pernah ditafsirkan dokter dahulu. Semua benar, bahwa hidup mati bukan ditentukan oleh seorang dokter, tapi oleh Tuhan. Keadaan Elang juga saat ini sudah membaik, tubuhnya sudah kembali berisi. Kami semua menangis bersama-sama ketika itu lalu tersenyum bahagia sekali.
            Tuhan, terima kasih.
Satu bulan kemudian Om Candra tidak lagi mengunjungi Elang di akhir pekan, karena Elang benar-benar dinyatakan sembuh total dari kankernya. Sementara Elang sudah bersiap-siap mendaftarkan diri masuk ke sekolah seni di London. Di sana, Tante Mirani sudah mencarikan rumah sakit untuk Elang kontrol kesehatan yang harus dilakukan setiap bulan selama setahun, tiga bulan sekali selama setahun, dan selanjutnya enam bulan sekali. Begitu saran dokter sebelum Elang pergi ke London.

***

            Aku sudah masuk ke universitas yang sama dengan universitas Elang yang dulu, mengambil jurusan arsitektur. Siapa sangka aku menjadi adik tingkat Fredi Ardi Sanudirta sekali lagi. Karena hal itu, aku menjadi terselamatkan dari kejamnya OSPEK mahasiswa baru, karena beberapa kali Fredi melindungiku. Falia di Universitas yang sama mengambil jurusan Hubungan Internasional. Anang memilih masuk ke sekolah tinggi perhotelan di Bogor. Sementara Ratih kembali ke daerah asalnya, kuliah kebidanan di Sekolah Tinggi Kesehatan Negeri di Jambi.
            Kami semua lupa kejadian beberapa bulan lalu tentang Elang, dan aku benar-benar bersyukur semua sudah terlewati dengan penuh keajaiban.
Elang datang suatu malam ke rumahku. Tubuhnya sekarang sama kurusnya dengan Prakoso, tapi matanya masih saja sempurna seperti dulu. Lama mengobrol, akhirnya ia menunjukkan sebuah amplop pink yang pernah kukenal. Amplop itu berisi sebuah kertas pink yang penuh dengan isolasi bening. Rupanya itu surat yang pernah aku kasih ke Elang tiga tahun lalu.
Wajahku memerah sambil mencoba melirik Elang untuk melihat ekspresinya saat ini.
“Kamu mau pacaran jarak jauh?” Tanya Elang tiba-tiba.
“Hah?”
“Atau kamu mau menunggu empat tahun lagi?”
“Kalau dua-duanya? Boleh?” Tanyaku pelan.

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)