bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Senin, 22 Oktober 2012

Elang, Let Me Be With You 2

**2**
http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg

21 Maret 2010
Langkah kedua setelah jatuh adalah mengetahui namanya. Bagaimana saya mengetahui namanya, dia sempat menanyakannya. Pertama kali mengetahui namanya rupanya menjadi hal yang paling penting juga. Sayang sekali banyak orang yang menghapus kenangan tentang pertama kali seseorang mengetahui nama cinta dengan alasan momen itu terjadi begitu saja. Paling seringnya adalah seseorang itu mampu mengenang ketika pertama bertemu atau pertama jatuh cinta. Saya masih menyimpan semua kenangan itu, beruntung sekali, sehingga bisa saya ceritakan kepadanya sambil tersenyum.


Kita tidak pernah tahu bila kita akan jatuh cinta.tapi apabila saatnya telah tiba, raihlah dengan kedua tangan dan jangan biarkan dia pergi dengan sejuta rasa tanda tanya di hati.


--- ELANG PISDANA ---

Tidak tahu bagaimana ceritanya, setelah OSPEK dan resmi diperbolehkan menggunakan pakaian putih abu-abu, aku, Falia, Ratih, dan Anang menjadi sering berkumpul berempat. Hingga Ratih meminta tukar tempat duduk dengan Renita. Karena Renita memang tidak tahan duduk di belakang bersama tiga anak sok heboh di kelas ini, dengan senang hati menerima permintaan Ratih.
Kami mulai bersahabat.
“Hei, perempuan rumpi. Aku tahu nama preman-preman itu,” Anang tiba-tiba muncul dan duduk di meja kantin sekolah bersama Falia dan Ratih.
Mendengarnya, bakso yang belum selesai aku kunyah langsung tertelan, membuatku tidak bisa bernafas tiba-tiba. Anang langsung menepuk-nepuk punggungku.
Anang ini unik sekali, berhati perempuan tapi memang asli laki-laki. Aduh, punggung bekas tepukan tangan Anang terasa sakit sekali seperti baru saja terkena timpuk bola voli. Hei, Anang! Kamu punya niat menolong atau ingin menghancurkan tulang punggungku?!
“Siapa namanya?”
“Anak yang bermuka bulat sekali bernama Nicholas di kelas 3 IPS 1. Anak yang rambutnya dicat merah bernama Abdul Muis dan anak yang agak lumayan pendek namanya Fredi Arya Sanudirta, mereka berdua kelas 3 IPA 4,”
“Terus?” Tanyaku penasaran dengan ketiga orang yang belum Anang sebutkan.
Hehe sebenarnya hanya satu saja sih yang aku tunggu. Antara Ramadhan, Elang, dan Prakoso. Siapakah nama pemilik wajah tampan itu?
“Anak yang paling tampan namanya Elang Pisdana, anak yang paling kurus karena narkoba namanya Prakoso Syarif. Dan, anak yang botak namanya Ramadhan Ali. Mereka bertiga satu kelas di kelas 3 IPS 3,” jawab Anang.
Oke. Elang Pisdana. Aku yakin dia yang disebut Anang paling tampan. Karena beberapa kali memang Anang menyebut anak itu si tampan. Soalnya memang preman sekolah yang satu itu asli tampan. Cuma kalah tenar dan aura tampannya tertutup dengan pamor badung yang melekat di dirinya.
 “Tahu dari mana,?” Tanya Ratih.
“Dari berbagai sumber. Bertanya kepada orang-orang. Ternyata mereka berenam memang sudah terkenal badung di sekolah,”
Gigih sekali, kamu, Nang!
“Pantas wajah mereka seram sekali,” celetuk Falia. “Kecuali si tampan itu, sih,” tambahnya pelan.
“Iya. Tapi setampan apapun, kalau preman, nggak jadi tampan, ah. Yang tampan itu ketua basket sekolah kita, Kak David,” seru Ratih kemudian sambil meneguk teh botol.
“Hmm, banyak yang tampan dan keren di sekolah ini. Punya prestasi semua, lagi. Wakil ketua OSIS, Ketua ekskul elektronik, ketua ekskul renang. Mario, Arya, dan Wayan temen sekelas kita kalau diperhatikan lumayan tuh. Lalu kemarin aku melihat beberapa anak kelas dua dan kelas tiga yang berseliweran di sekolah juga banyak yang cute,” kata Falia ikut-ikutan.
“Tapi aku sukanya sama Elang Pisdana,” kataku tiba-tiba sambil kembali mengunyah bakso yang kuahnya sudah dingin. Spontan mereka bertiga tersedak dan berebut teh botol kepunyaan Anang yang masih penuh isinya.
Nggak waras,” umpat Falia setelah berhasil memenangkan perebutan teh botol, sementara yang lain masih batuk-batuk. Bahkan Anang sampai muntah di tempat membuat penghuni kantin menjerit karena jijik.

***

Dua bulan di sekolah, aku menjadi punya hobi baru. Melirik kelas Elang kalau hendak dan dari kantin sekolah. Atau celingak-celinguk ke arah lapangan kalau-kalau ada Elang muncul. Tapi, aku tidak pernah menemukan sosok Elang Pisdana. Di kantin tidak ada, di kelas tidak ada, di lapangan tidak ada, perpustakaan apa lagi.
Atau jangan-jangan di belakang sekolah, ya?
            “Kamu cari siapa, Sa?” Tanya Ratih yang ikut berdiri di pinggiran kelas lantai dua sambil ikutan celingak-celinguk. Karena beberapa kelas di lantai satu hendak diubah fungsi menjadi ruang beberapa ekstrakurikuler baru, beberapa kelas 1, termasuk kelasku, satu bulan yang lalu harus pindah ke lantai dua, satu deret dengan kelas 3 IPS, salah satunya kelasnya Elang.
            How Lucky I am.
            “Elang,” jawabku pelan.
            “Ya Tuhan, ini anak masih saja nggak punya otak,” celetuk Anang yang sudah ikut bergabung berdiri di pinggir tembok balkon sekolah. “Kamu nggak  melihat anak-anak tampan di lapangan? Atau yang sedang berjalan seliweran di bawah kita itu? Banyak anak tampan. Gila, kamu, ya,”
            “Iya, aku gila, gila karena Elang. Kemana, ya, si Elang?”
            “Di belakang sekolah, pasti sedang merokok,” jawab Falia asal. “Masih ingat waktu pertama kali kita melihat mereka di halaman belakang sekolah? Mereka semua sedang merokok,” tambah Falia sok tahu.
            “Sa, ini surat buat Elang?” Tanya Ratih yang baru keluar dari dalam kelas. Melihat surat pink itu, aku langsung mengambilnya dari tangan Ratih lalu kusimpan ke kantong baju.
Sembarangan ambil surat orang!
            “Surat buat Elang?” Tanya Anang melotot. “Sini aku baca,”
            Enak saja! Tidak boleh.
            “Jangan, ah. Buat Elang, bukan buat kamu,” tolakku cepat. Kemudian aku melirik ke arah Ratih. ”Ratih, untuk apa kamu ambil ini dari tasku?”
            “Mau taruh dompet kamu. Tadi kamu memintaku memasukkan dompet ke tas kamu,” jawab Ratih. “Tapi, benar itu buat Elang?”
            “Iya,” jawabku.
            “Kapan kamu mau kasih surat itu?” Tanya Anang.
            “Nanti, pulang sekolah,” jawabku.
            Pulang sekolah, aku menunggu Elang di depan sekolah sampai kaki pegal-pegal ditemani Falia, Anang, dan Ratih. Tapi, sampai sore, Elang tidak muncul-muncul. Ketika lima anak badung muncul dari jauh dengan motor masing-masing, spontan Falia, Anang, dan Ratih bersembunyi di pohon depan sekolah hingga lima preman sekolah menghilang dari pandangan.
            Kecil sekali nyali kalian?
            “Nggak ada Elang di antara mereka,” celetuk Ratih setelah keluar dari tempat persembunyiannya. Ia berdiri di sampingku.
            “Pulang, yuk,” ajak Falia diikuti Anang yang memaksa ingin pulang segera. Karena aku bertahan untuk menunggu Elang sebentar lagi, akhirnya sore itu aku ditinggal sendirian, menunggu Elang.
Tidak sia-sia. Lima menit kemudian, Elang muncul dengan motor besarnya, sementara helm ala Moto GP dia gantung di salah satu setang motor. Melihat Elang, dari jauh aku sudah berdiri siap di gerbang mencoba menghalangi Elang.
Berhasil. Motor Elang berhenti tepat di depanku.
            “Kamu mau mati?”
            “Aku ada perlu sama kamu,” jawabku cepat.
            “Kamu siapa?”
            “Aku Gelisa, anak kelas 1-4,”
            “Anak baru? Perlu apa sama aku?”
            Tanpa jawab, aku langsung menyodorkan surat pink yang sudah kubuat semalam kepada Elang. Elang cuma melirikku sebentar sambil keheranan.
            “Apa itu? Kamu kira aku punya tampang tukang baca?”
            Iya, kamu punya tampang tukang baca. Ambil surat ini, lalu baca.
            “Ini surat, Lang, bukan materi pelajaran,”
            “Aku nggak mau,” tolaknya sambil pergi meninggalkanku di depan gerbang sekolah. Sementara aku, sambil menggenggam surat pink menatap kepergian Elang hingga hilang di belokan jalan.
            Haiss! Sombong sekali! Tapi masih saja tampan.

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)