bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Senin, 22 Oktober 2012

Elang, Let Me Be With You 10

**10**
http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg

16 Januari 2010
Tadi sore, ia bilang pelangi itu adalah saya. Pelangi memiliki banyak warna sekaligus ketika satu kali muncul. Seperti saya, yang bisa membuatnya tertawa, marah, kesal, dan bahagia sekaligus ketika saya muncul dalam hidupnya.
Kalau begitu, dia juga pelangi. Karena dia bisa membuat saya tertawa, marah, kesal, dan bahagia sekaligus.


Kita harus sedikit menyerupai satu sama lain untuk mengerti satu sama lain, Tetapi kita harus sedikit berbeda untuk mencintai satu sama lain.


--- PELANGI Episode 2 ---


“Ini foto paparazi, loh. Kamu peluk-peluk pinggang dia,” kataku sambil menunjuk foto yang terpampang di sebuah tabloid gosip dengan judul ‘Pacar Baru Dian Putri Seorang Fotografer Terkenal’. Aku kesal karena sedari tadi ia menyangkal.
“Kita pacaran sudah berapa tahun? Kamu percaya dengan tabloid gosip atau aku?” Elang masih menyangkal. “Kamu jadi seperti anak kecil begini,”
Anak kecil? Suruh siapa pacaran dengan anak kecil?lagipula Dian Putri si artis yang baru naik daun tahun 2008 ini masih jauh lebih kecil dari aku. Delapan belas tahun! Masih ingusan!
“Sekarang aku ganti pertanyaan, kamu suka dia, kan?” Aku mulai menarik nafas dalam untuk menenangkan diri.
“Kami hanya sedang kerja sama. Itu foto waktu sedang pemotretan di studio kantor, dan banyak yang melihat, jadi bukan apa-apa. Mengerti?”
Peluk mesra begitu? Mana bisa foto orang sambil peluk begitu.
“Jujur saja, kamu suka sama dia, kan?”
“Siapa yang nggak suka sama perempuan cantik dan muda seperti dia? Laki-laki dikantor juga. Mereka semua cerita kalau mereka suka dengan Dian Putri,”
Aku kesal kamu jadi fotografer majalah fashion. Aku tidak pernah mau kamu jadi terkenal walau sekarang bayarannya sudah mahal. Pasti banyak model yang mengejar kamu.
“Jadi intinya kamu suka Dian Putri?”
“Kalau boleh jujur, dia memang menarik, tapi bukan berarti aku akan meninggalkan kamu. Kita sudah lama bersama, Sa. Dan itu bukan alasan untuk aku bisa meninggalkan kamu,”
Jadi bukan cinta? Karena sudah lama bersama? Apa aku sudah tidak menarik lagi? Ayo bilang kalau kamu cinta sama aku, maka aku akan memaafkanmu sekarang juga.
“Sudahlah jangan bertengkar lagi karena hal begini,” kata Elang. “Kalau mau cemburu, sebenarnya aku juga cemburu sama Prakoso. Aku tahu akhir-akhir ini kamu sering bertemu dia, kan?”
Mengalihkan pembicaraan? Permasalan hari ini adalah kamu dan Dian Putri. Kenapa jadi aku dan Prakoso?Aku bertemu Prakoso karena aku punya hutang kepadanya beberapa bulan lalu. Aku menyicilnya setiap bulan karena angkanya terlalu besar. Kamu yang tidak mau meminjamkan uang untuk mengganti kerusakan mobil dan motor waktu itu.
“Aku kesal. Putus saja, lah,” kataku sambil bangkit dari dari sofa dan berjalan dengan cepat  menuju pintu apartemen Elang. Lagi pula aku juga sudah terlambat ke kantor. Menjadi menyesal sudah mampir kesini sebelum berangkat ke kantor.
Elang menarik tanganku sebelum aku berhasil membuka pintu. “Sa, jangan sembarangan kalau bicara. Hati-hati,”
Terserah aku! Pokoknya aku mau putus.
“Ya sudah,” kata Elang tiba-tiba.
Ya sudah apa? Ya sudah putus?
“Ya sudah berangkat ke kantor. Nanti aku jemput kamu dan kita bahas lagi masalah ini,”
Ya ampun, aku benar-benar terkejut tadi.

***

            Setelah sampai rumah, aku langsung turun dari motor Elang dan menyerahkan helm kepadanya. Aku pamit sebentar lalu berbalik menuju pintu rumah.
            “Gelisa, kita bahas masalah tadi pagi,”
            “Aku lelah,” tolakku sambil membuka pintu dengan malas. Aku sama sekali tidak ingin menoleh ke arah Elang, jadi langsung masuk ke dalam rumah.
            Ada apa ini?
            Di mana-mana ada lilin yang menyala. Lilin di sekitar pintu apinya menari-nari tertiup angin karena pintu belum aku tutup. Lampu memang belum aku hidupkan, jadi lilin-lilin itu tampak indah sekali malam ini di kegelapan.
Cantiknya!
Aku terus berjalan masuk dan menemukan dua piring nasi goreng tertata rapi di meja makan dengan beberapa lilin juga. Aku tersenyum bahagia seketika, tapi langsung kuhilangkan senyumku ketika kurasakan Elang menepuk pundakku dari belakang.
            “Ini nasi goreng spesial,” kata Elang. “Ayo makan,”
            Sok romantis! Tapi romantis sekali. Ya Tuhan, kenapa Elang selalu bisa membuat jantungku dag dig dug begini? Beruntungnya aku punya Elang. Haiss, stay cool, Sa! Ini sudah pasti tak tik agar kamu memaafkan dia dengan tanpa perlu membahasnya.
            “Aku memang salah sudah peluk dia. Waktu itu kami taruhan, siapa yang berhasil peluk Dian Putri, akan ditraktir makan malam,”
            “Hanya untuk makan malam kamu peluk dia? Peluk saja aku, nanti akan kutraktir makan malam tiga hari berturut-turut,”
            “Lucunya pacarku,” Elang tertawa kecil melihat ekspresiku.
            Lucunya pacarku? siapa pacar kamu? Gelisa Aninda?Itu aku, itu aku! Hohoho.
            Setelah makan malam, Elang memainkan sebuah lagu dengan gitar akustik.
            Suaranya tidak bagus, banyak yang fals kalau kata Tri Utami di sebuah ajang pencarian bakat. Tapi tidak apa-apa selama lagu yang dimainkannya romantis. Ternyata aku perempuan yang benar-benar mudah ditaklukkan hanya dengan lilin, nasi goreng, dan suara sumbang.
            Elang berhenti bernyanyi tiba-tiba sambil mengamati jemari tangan kiri yang menekan senar untuk mendapatkan kunci-kunci nada gitar. Tak lama kemudian ia kembali bernyanyi. Tapi beberapa detik kemudian ia kembali berhenti bernyanyi. Elang meregangkan jemari kirinya dengan gerakan membuka dan menutup beberapa kali.
            “Sini aku obati,” kataku sambil menarik tangan kirinya, lalu aku cium jemari-jemari itu berkali-kali. Aku sempat melirik Elang sebentar ketika ia sedang tersenyum sambil menatap mataku.
            Kamu terharu rupanya. Bagaimana? Jarinya sudah tidak lelah lagi?
            “Kalau nggak hafal kuncinya, ganti lagu saja. Ayo,” kataku kemudian setelah berhenti menciumi jemarinya. Elang menarik tangannya lalu kembali bersiap-siap hendak memainkan gitar lagi.
            Lagu romantis lain ia nyanyikan, tapi berhenti tiba-tiba seperti tadi pada pertengahan lagu.
            “Kalau lelah, berhenti saja menyanyinya. Aku sudah nggak marah,”
            “Mungkin aku memang lelah,” katanya sambil meletakkan gitar ke samping sofa. “Aku pulang, ya,”

***

Malam ini aku sibuk sekali menempelkan beberapa stiker berbentuk bintang ke atap kamar Elang. Stiker-stiker itu bisa menyala dalam gelap. Setelah hampir satu jam menempelkannya dengan naik turun tangga berkali-kali, kaki dan leherku sekarang menjadi terasa pegal.
Selesai.
Aku turun dari tangga, menutup jendela, lalu mematikan lampu kamar. Stiker-stiker itu menyala dengan warna hijau, kuning, biru, dan merah. Bintang-bintang tampak bersinar di atap. Elang akan terasa tidur beratap langit mulai dari hari ini.
Elang pulang!
Aku bergegas keluar kamar setelah mendengar pintu apartemen terbuka. Elang muncul sambil menenteng tas berisi kamera dan peralatan fotografi serta beberapa tumpukan berkas. Setelah Elang membuka sepatunya, dengan cepat aku menariknya agar masuk ke dalam kamar.
“Kejutan!” Teriakku.
“Wah, hebat,” Seru Elang sambil meletakkan benda-benda yang dibawanya ke atas ranjang, lalu kembali menatap atap kamarnya yang berubah menjadi cantik.
“Jadi ingat bintang di basecamp kalian,” kataku.
“Lapangan itu sekarang sudah lama dibangun menjadi rumah warga,”
Iya, sayang sekali, ya. Daerah itu juga sekarang sudah terlalu terang, jadi tidak akan terlihat bintang seindah waktu itu.
Tak lama kemudian, aku menyalakan lampu, lalu menyuruh Elang mengembalikan tangga ke penjaga gedung apartemen. Dengan sedikit mengomel dan wajah cemberut Elang mengangkat tangga itu keluar dan mengembalikannya. Sementara aku, menyiapkan makan malam.
Elang kembali ke apartemen, tidak langsung menemuiku di meja makan, tapi menjatuhkan diri di atas sofa.
Apa dia marah karena kupaksa mengembalikan tangga?
“Kamu nggak mau makan?” Tanyaku.
“Badanku remuk redam, pegal dimana-mana,” jawabnya. “Mau tidur sebentar,”
Aku berjalan mendekat ke arahnya, lalu aku memijat-mijat punggungnya. Elang menampakkan wajah senang sambil memejamkan mata, hendak menikmati pijatanku.  Beberapa menit kemudian, ia minta kakinya juga dipijat, lalu aku memijat kakinya juga. Lalu kepalanya, karena ia merasa agak pusing.
“Bagaimana sekarang?” Tanyaku setelah Elang bangkit dari tidurnya.
“Ayo makan,” ajaknya sambil bergerak-gerak meregangkan otot tangan dan pinggangnya. Ia terlihat sudah segar kembali dengan senyum yang begitu lebar.
“Ayo makan,” jawabku bersemangat.
“Setelah makan, aku akan memijat wajahmu,” kata Elang.
Wah? Senangnya. Dia memang mengerti bahwa segalanya tidak pernah gratis. Dia memang harus membayar pijatanku.
“Aku bawa cream wajah. Olesi dengan itu juga, ya,”kataku.
“Oke, Nona Gelisa,” jawab Elang.
“Kita harus buka salon spa segera,” kataku bercanda. Elang tertawa mendengarnya.

***

Perusahaan kami mulai membuat tabloid tentang rumah dan desain sejak akhir bulan lalu.  Aku mendapat giliran masuk ke dalam tim untuk edisi di bulan ketujuh tahun 2008 ini.
Lembur lagi, lagi-lagi lembur.
Ini kali pertama aku masuk kedalam tim ini, dan menyadari bahwa hal yang paling melegakan adalah ketika artikel dan bahan bisa tersusun sesuai deadline dan bisa sampai ke percetakan untuk mulai proses pencetakan. Dan yang paling membahagiakan adalah ketika tabloid edisi bulan ketujuh tahun ini bisa laris manis.
Aamiin. Harus laris manis karena di dalamnya ada banyak artikelku.
“Mau ikut pulang, nggak, Sa?” Pinta menawarkan diri ketika kami sudah keluar dari percetakan. Aku yang sedang mencoba menelepon Elang, hanya menggeleng dan memberi tanda bahwa aku bisa ditinggal saja di sini.
Elang mungkin sedang dijalan. Kalau aku ikut pulang, kasihan Elang.
Pinta, dan teman-teman lain sudah pulang, tersisa aku berdiri sendiri di halaman depan percetakan. Sudah hampir satu jam, tapi Elang belum juga datang. Ponselnya juga tidak diangkat. Tadi sore Elang mengiyakan untuk menjemputku di percetakan. Percetakan ini jauh dari jalan, sehingga tidak mungkin dilewati taksi. Ada ojek, tapi kalau hampir tengah malam begini sudah tidak ada.
Ponsel berdering dan segera kuangkat.
Prakoso. Bukan Elang.
Prakoso menanyakan keberadaan Elang, karena sedari tadi ia menelepon Elang, tapi tidak diangkat.
Aku juga, aku juga begitu. Lalu, sekarang, kamu bisa jemput aku?
“Aku juga sedang ada di dekat daerah itu, baru pulang dari latihan memanah,” begitu jawabab Prakoso.
Bagus! Beruntung sekali atlet panah kota ini memiliki tempat latihan di dekat percetakan. Udara di sini memang bagus dan cocok untuk para atlet. Prakoso, kamulah penyelamat hidupku!
Prakoso merupakan salah satu atlet panah sekaligus pengusaha kain yang besar. Menurut penuturan Prakoso, ia menginginkan kerjasama dengan majalah fashion Elang untuk mempromosikan produk barunya. Tim di pabrik Prakoso juga berhasil membuat kain yang lembut, dingin, dan kuat sehingga ia juga berencana bekerja sama dengan desainer terkenal. Prakoso menginginkan Elang memperkenalkannya dengan beberapa desainer.
Setelah Prakoso berhasil parkir di bawah gedung apartemen Elang, aku dan Prakoso bergegas menuju lantai tempat apartemen Elang berada. Sudah beberapa kali aku menekan bel, tapi tidak dibukakan pintu, akhirnya aku mengeluarkan kunci dari dalam tas dan membuka sendiri pintunya lalu mempersilakan Prakoso masuk.
Aku masuk ke dalam kamar Elang, terlihat Elang sedang tertidur pulas sekali di atas ranjang. Alunan nafasnya syahdu sekali, dengan sesekali dengkuran lembut, menandakan bahwa ia tertidur dengan nyaman.
Aku mendekat ke ponsel yang tergeletak di atas meja samping ranjang. Setelah aku cek, terdapat banyak panggilan tak terjawab dariku dan Prakoso. Dengan kesal aku meletakkan kembali ponsel itu dan menelepon ponsel Elang sekali lagi.
Apa yang kamu lakukan ketika ponsel kamu berdering?
Suara ponselnya keras sekali, tapi Elang masih tertidur, seperti tidak bisa mendengar apapun. Aku meletakkan ponselnya tepat di samping telinganya, lalu kembali menelepon ponsel Elang. Aku terkejut dibuatnya, karena dengan cepat Elang menekan tombol reject lalu kembali tidur.
“Kamu tahu aku sudah menunggu satu jam di percetakan? Kalau nggak mau jemput bilang dari awal!” Teriakku kemudian sambil memukulinya dengan bantal. Elang bangun, bangkit dari tidurnya dan dengan sigap menangkis pukulan-pukulanku.
“Sekarang jam berapa?”
“Tengah malam,” jawabku kesal.
“Maaf, Sa, aku ketiduran, tiba-tiba badan terasa lelah sekali,” kata Elang sambil mengucek-kucek matanya. “Kamu pulang sama siapa?”
“Hei, Lang,” Prakoso muncul sambil tersenyum.
“Wah, kamu pulang dengan Prakoso? Tengah malam begini? Apa kalian sering bertemu hingga tengah malam?”
Apa? Apa? Apa? Kamu mau mati malam ini? Sini aku pukul kepala kamu, atau kita ke rumah sakit sekarang untuk radioterapi otak kamu sekali lagi. Siapa yang seharusnya merasa bersalah malam ini?
Aku melempar bantal ke arahnya dengan kesal lalu pergi.

***

Sudah hampir seminggu sejak kejadian malam itu, Elang kembali menghilang tanpa jejak seperti beberapa tahun yang lalu. Tidak ada kabar sama sekali. Ponselnya tidak aktif, apartemennya selalu kosong setiap aku masuk ke dalamnya. Menurut penuturan Prakoso, malam itu kesalahpahaman sudah terselesaikan antara Prakoso dan Elang.
Lalu kenapa kamu menghilang lagi?
Aku kembali mampir ke apartemen Elang setelah pulang ke kantor, tapi masih tetap kosong. Aku berniat menunggu Elang, tapi tidak juga pulang sampai jam di ruang televisi berdentang menandakan sudah tengah malam.
Kamu ada dimana, Lang?
Aku membuka mata keesokan paginya dan menemukan diriku tertidur di atas ranjang Elang masih menggunakan baju kerja kemarin dan dengan selimut yang menutupi seluruh badanku.
Elang pulang?Hmmm, ini wangi makanan dan kopi.
Aku bergegas bangkit dari ranjang dan keluar kamar hendak melihat ke dapur. Elang berdiri di sana, sedang mengaduk-aduk cangkir kopi. Elang tersenyum kepadaku setelah melihat keberadaanku. Dengan tangannya ia menyuruhku mendekat dan duduk di kursi makan. Setelah aku duduk, ia meletakkan cangkir beruapkan aroma kopi ke hadapanku.
 Aku menangis seketika, menangis keras seperti aku kecil dahulu.
“Kamu kenapa, Sa?”
“Aku takut kalau akan bertemu tiga bulan lagi seperti waktu itu. Aku lega karena sekarang kamu sudah ada di sini,” jawabku sambil menangis terisak-isak. Elang tertawa kecil sebentar lalu selanjutnya sibuk menenangkanku agar berhenti menangis.
Beberapa menit kemudian aku berhenti menangis tapi masih menyisakan isak, dan Elang pamit hendak ke kantor lagi. Tadi pagi-pagi sekali Elang baru pulang dari pemotretan di tempat yang memang tidak ada sinyal. Tempat itu di sebuah danau baru yang bagus, dengan banyak kupu-kupu cantik dan air terjun yang dikelilingi batu-batu besar yang cantik.
“Aku senang waktu aku baru pulang tadi pagi-pagi sekali, aku melihat kamu ada di kamar,” kata Elang setelah memakai sepatu. “Sudah jangan menangis lagi, nanti malam aku makan di rumah kamu. Masak enak, ya,” katanya ketika mendengar aku masih terisak-isak.
Sedari tadi aku ingin berhenti terisak begini, tapi tidak bisa.
“Nanti malam aku tunggu dirumah,” kataku sambil terisak. Elang mengangguk dengan penuh semangat sambil melangkah berjalan menuju pintu. Tiba-tiba saja Elang jatuh sehingga pundak kirinya menabrak tembok keras sekali.
Kamu kenapa? Jadi salah tingkah begitu.
Elang tampak menggoyang-goyangkan pergelangan kakinya berkali-kali seperti sedang mengecek engselnya yang sedang bermasalah.
“Keseleo?” Tanyaku masih dengan terisak.
Nggak tahu, tiba-tiba saja aku jatuh. Akhir-akhir ini sering begini,”
Seharusnya kamu istirahat. Baru pulang pagi-pagi sekali, sudah mau berangkat ke kantor lagi. Kamu terlihat lelah.

***

Aku mendapat kabar bahwa Elang masuk rumah sakit karena kecelakaan motor tadi pagi sepulangnya ia dari makan siang hendak menuju kantornya. Aku langsung ke rumah sakit ke rumah tempat Elang dirawat.
Ini sudah jam tiga sore, tapi kenapa aku baru mendapat kabar ini? Dan Fredi yang mengabarkannya padaku.
“Elang bagaimana?” Tanyaku setelah sampai di kamar tempat Elang dirawat. Fredi tampak sedang duduk menunggui Elang yang sedang tertidur. Fredi bangkit dari duduknya dan menyuruhku tenang.
“Hanya lecet-lecet, tapi dari tadi belum bangun,”
Aku mendekati Elang, dan mengusap-usap keningnya. Melihatnya begitu, aku merasa kejadian delapan tahun lalu terulang kembali.
Bagaimana jika ternyata ada kanker lagi di otaknya?
Aku langsung menemui dokter yang menangani Elang bersama Fredi, dan menceritakan keadaan Elang delapan tahun lalu. Mendengar itu, tanpa berpikir lama, dokter menyarankan pemeriksaan lebih lanjut jika Elang sudah sadar.
Malamnya, CT Scan menyatakan bahwa tidak ditemukan kanker di otak Elang dan juga di bagian tubuh lainnya. Dokter menyatakan bahwa Elang baik-baik saja, dan wajar sekali jika beberapa hari ini Elang akan merasa sakit di kepalanya karena kepalanya sedikit terbentur aspal ketika kecelakaan. Aku merasa lega sekali, apalagi ternyata setelahnya Elang tidak pernah mengeluh sakit di kepala.
“Aku bisa pulang hari ini?” Tanya Elang suatu siang pada Tante Ayu yang sedang memotong-motong buah pir ke atas piring.
“Besok,” jawab Tante Ayu santai.
“Padahal aku sudah sehat. Menghabiskan uang saja,”
“Cerewet,” umpatku sambil menutup koran pagi yang akhirnya berhasil habis kubaca di sofa dekat pintu kamar tempat Elang dirawat. Mendengar itu, Elang langsung bangkit dari tidurnya dan melemparku dengan bantal.
Haiss!
“Jangan naik motor lagi, ya,” kata Tante Ayu sambil memberikan piring berisi buah pir kepada Elang.
“Naik apa? Bus?” Tanya Elang.
“Beli mobil, dong,” kataku cepat sambil berjalan ke arah Elang hendak ikut memakan buah pir. Elang mencibir sebentar lalu menyingkirkan piring ke belakang tubuhnya agar aku tidak bisa mengambil buah pir itu.
Pelit, pelit, pelit!
            Pintu kamar tiba-tiba terbuka, dan muncul beberapa teman kerja Elang. Suasana sekarang menjadi ramai dan menggembirakan karena canda dan tawa dari mereka. Kami semua siang itu banyak tertawa membahas hal-hal lucu.
            “Sudah dengar kabar, Lang?” Tanya Haris, salah satu teman kantor Elang.
            “Apa?” Elang balik bertanya.
            “Pura-pura nggak tahu,” umpat yang lain cepat. Elang tersenyum tersipu malu.
            Kabar apa? Apa yang membuat kamu tersipu malu?
            Elang hari ini resmi diangkat menjadi manajer di perusahaan tersebut. Menurut sang direktur cabang, Elang memiliki bakat terpendam di bidang tersebut.
            “Jadi, sekarang dia sudah menjadi manajer?” Tanyaku girang.
            Senangnya, tidak jadi fotografer lagi.
            “Tapi aku harus masih dapat job memotret, ya,” kata Elang cepat kepada teman-temannya.
            Huh!

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)