bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Senin, 22 Oktober 2012

Elang, Let Me Be With You 8

**8**
http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg

15 februari 2010
Perkara mati ditentukan Tuhan, begitu juga perkara hidup. Hidup baru setelah hampir mati akan lebih terasa. Orang yang pernah mengalami hampir mati kedua kalinya, bagaimana hidupnya? Akankah ada lagi kehidupan baru?


Jika kita mencintai seseorang, berusahalah untuk tampil apa adanya, karena Cinta sejati selalu dapat menerima Kelebihan dan Kekurangan. Cinta tidak berupa tatapan satu sama lain, tetapi memandang ke luar bersama ke arah yang sama.
           

--- NEW LIFE ---

Perutku terasa mual sekali, kepalaku pusing. Rasanya jika aku diturunkan di tengah jalan, aku akan merasa jauh lebih baik. Pohon-pohon tinggi dan rindang tampak bergoyang-goyang di luar sana. Hanya langit yang indah, tapi hanya sesekali saja yang terlihat.
“Jangan tidur begitu, nanti akan terasa lebih mual. Nikmati pemandangan, dong, Sa,” begitu nasehat mama sambil menoleh ke arahku yang tiduran di jok tengah. Aku mencoba bangkit dan duduk tegak hendak mengikuti nasehat mama. Kulihat Gian yang sudah semakin besar tampak tidur di pangkuan mama sambil meminum susu dot di jok samping sopir.
“Ma, Gian sudah besar, kenapa masih menggunakan dot?” Protesku kemudian sambil mengusap-usapkan minyak kayu putih yang sebelumnya dikasih mama ke perut.
“Dia rewel terus kalau nggak ada dot,”
 “Tapi itu nggak bagus, ma. Lagipula Gian sudah TK nol kecil sekarang. itu sudah besar,”
“Kamu sampai kelas 2 SD pakai dot,” jawab mama.
“Tapi tetap nggak bagus, Ma. Selama Gelisa di rumah, akan Gelisa latih,”
“Iya,” jawab mama enteng sekali.
Tiba-tiba saja perutku benar-benar terasa mual. Aku memalingkan wajahku ke pemandangan dari jendela samping. Masih begitu rindang pinggiran jalannya, tapi cukup berliku-liku.
Apa itu? Jurang? Jalan menuju rumah kami yang baru dikelilingi jurang? Papa pindah tugas ke peradaban mana sebenarnya?
Sesuatu sudah terasa ada yang keluar hingga kerongkongan. Beberapa detik kemudian air dan beberapa roti coklat lembut yang belum berhasil tercerna meluncur dengan cantiknya ke karpet mobil.
“Gelisa?” Mama teriak histeris sambil menoleh ke arahku. “Pak Budi, minggir sebentar!” Teriak mama pada sopir pribadi keluarga kami yang baru.
“Ma, Liburan semester tahun depan Gelisa nggak mau pulang,” Keluhku sambil membersihkan pinggiran mulutku.
 Tiga bulan yang lalu papa pindah tugas ke Lampung Barat, sehingga kami pindah ke sana. Karena itu, aku sekarang sudah menjadi anak kos. Ini kali pertama aku hendak mengunjungi rumah baru. Kalau saja tidak rindu pada kelucuan Gian, maka aku tidak akan mau pulang ke rumah baru.
Lampung Barat itu berapa jam dari pelabuhan Bakau Heni?Kenapa lama sekali? Ini sudah hampir 5 jam perjalanan.

***

            Setiap minggu aku selalu menunggu tukang pos datang membawa kabar dari Elang. Elang rajin sekali mengirimiku kartu pos bergambar tempat-tempat terkenal di Inggris atau surat yang diselipkan di amplop berukuran besar sambil menyertakan beberapa foto-foto hasil jepretannya. Dia ikut club fotografi di kampusnya dan sudah punya kamera sendiri.
            “Aku iri dengan Elang,” Kata Falia setiap kali ia melihat foto-foto dan kartu pos kiriman Elang. “Aku juga mau ke Eropa,”
            Sejak kedatangan surat Elang pertama kali, Falia bersikeras melanjutkan gelar masternya di benua Eropa atau bekerja di salah satu kedutaan Indonesia di negeri-negeri Eropa.
            “Aamiin,” kataku setiap kali Falia berkata begitu.
            “Kenapa Elang jarang menelepon, Sa?” Sudah beberapa kali Falia bertanya begitu, tapi tidak pernah kujawab satu kalipun. Elang bilang kalau menelepon dan mendengar suaraku, dia bisa lebih rindu dan ingin terbang segera menemuiku.
Hahahaa, rayuannya hebat sekali hingga membuatku bisa tersenyum-senyum sendiri setiap saat jika mengingat pernyataannya. Atau dia sekarang sudah ahli merayu perempuan dan menjadi playboy di sana? Ah, sudah sudah sudah. Hentikan kecurigaanmu, Sa!
            Di tahun-tahun berikutnya kami sudah mengenal Yahoo Messenger dan Skype, suatu program yang memungkinkan kami bisa chatting, transfer file, conference, dan bicara telepon. Kami sering menggunakannya untuk chatting, karena terkadang untuk melakukan conference dan telepon sering mengalami gangguan koneksi.
            Tapi aku memaksanya untuk tetap mengirim surat atau kartu pos, karena  aku hanya bisa menggunakan program internet tersebut di warnet dan laboratorium komputer kampus. Karena di kamar kosku belum tersedia internet seperti itu.
           
***

Empat tahun sudah para mantan preman sekolah berkecimpung dalam dunia kuliah. Satu persatu mereka lulus dari universitas masing-masing. Tapi Nicholas dan Ramadhan tampak tidak ada kabar berita tentang kelulusannya.
“Mereka betah di kampus, mau jadi mahasiswa abadi,” begitu penuturan Fredi pada suatu acara syukuran kelulusannya. Baru juga lulus, menurut penuturannya, tadi pagi ia sudah mendapat panggilan kerja di perusahaan konstruksi besar yang letaknya nyaris di pinggiran kota.
“Sisakan satu tempat buat aku di sana, ya, Fred. Dua tahun lagi aku datang,” begitu pesanku padanya. Fredi hanya tertawa kecil mendengarnya.
Prakoso bekerja di perusahaan tekstil ayahnya, di bagian marketing menurutnya. Tapi kami semua yakin sebentar saja ia akan naik jabatan. Abdul Muis di Surabaya menjadi Pegawai Negeri Sipil kontrak di Departemen Pekerjaan Umum Wilayah Surabaya. Sementara Elang masih tahun depan bisa menamatkan kuliahnya.
Hingga satu tahun kemudian, aku mendapat kiriman foto wisuda Elang Pisdana dan mendapat kabar bahwa ia berencana pulang minggu depan.
Yihhhaaaa! Minggu depan itu berapa jam lagi dari sekarang, ya?
Ternyata tanpa dihitung, satu minggu sukses berjalan dengan cepat. Aku sudah berencana jauh-jauh hari membolos kuliah. Hari ini, aku, Nicholas, dan Prakoso sedang menunggu kedatangan pesawat yang berasal dari Singapura. Elang Pisdana beberapa jam yang lalu transit di Bandara Singapura dan sekarang pesawatnya sudah berada di sekitar Bandara Internasional utama negeri ini bersiap-siap landing.
“Hoi! Welkom, welkom, welkom!” Teriak Nicholas tiba-tiba sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah pintu arrival hall. Beberapa orang memang tampak keluar dari pintu itu, tapi aku tidak bisa menemukan sosok Elang.
“Di mana Elang, Nic?” Tanya Prakoso sambil tengak-tengok seperti aku.
“Tertipu!” Teriak Nicholas pada Prakoso sambil terkekeh sendirian.
Apanya yang lucu?
            “Elang!” Teriak Prakoso ketika melihat sosok laki-laki mirip Elang.
Itu memang Elang! Elaaaaaang!
Seperti di beberapa foto terakhir, Elang memang tampak memanjangkan rambutnya sebahu dan kali ini digerai bebas. Elang datang perlahan menghampiri kami sambil tersenyum lebar sekali.
            “Kamu belum berubah, Nic,” kata Elang kemudian setelah mereka saling berpelukan. “Kabarnya bulan depan jadi wisuda, nih,”
            “Kabar kelulusanku sudah sampai Inggris, ya?”
            “Senang lihat kamu sehat, Lang,” kata Prakoso.
            “Kamu masih kurus,” kata Elang sambil menepuk pundak Prakoso. Beberapa menit mereka mengobrol banyak sekali di depan pintu Arrival Hall hingga tidak ada penumpang lain lagi yang keluar dari sana.
            Aku? Aku tidak terlihat? Aku di sini, aku di sini, Lang!
            Elang menoleh ke arahku sambil tersenyum.
            Dag dig dug. Mata itu, akhirnya aku bisa lihat mata itu lagi secara langsung, jelas dan dekat seperti ini.
            Elang berjalan menghampiriku dengan santai. Setelah sampai tepat di hadapanku, ia tersenyum sebentar, lalu ia mengecup bibirku dengan cepat.
            Ciuman pertama!
                       
***

Mataku tidak lepas dari Mbak Risky, pegawai yang melatih kami para pegawai baru. Telingaku juga kupasang tajam sekali untuk mendengarkan instruksi dan penjelasannya.
Hari ini pepelatihan terakhir di perusahaan arsitektur baru di kota ini. Berkat almamaterku yang cukup terkenal baik, dan kemauan kerasku, aku berhasil lolos pada seleksi yang cukup ketat. Karena pendiri perusahaan ini adalah tiga orang arsitek terkenal dari negeri ini. Selesai pepelatihan ini aku akan resmi menjadi pegawai di sektor desain, sesuai bidangku.
Menjelang akhir pelatihan, kami diperlihatkan sebuah lahan untuk proyek apartemen yang bekerja sama dengan pengusaha real-estate asal Amerika Serikat. Perusahaan kami mendapat kontrak untuk desain ruangan apartemen. Aku berhasil mendapatkan posisiku karena ketika proses wawancara aku memperlihatkan rancangan dapur yang pernah kubuat beberapa bulan lalu.
Sore itu aku langsung mencari taksi tidak sabar ingin merayakan akhir pelatihanku bersama Elang. Menurut sms Elang beberapa menit yang lalu, ia sudah menyiapkan hidangan spesial yang pernah ia pelajari di Inggris.
Aku tidak peduli makanan apa itu, tapi makanan itu akan menjadi makanan pertama yang Elang masak khusus untukku.
Sesampainya di depan sebuah rumah kecil di sebuah kompleks perumahan yang letaknya tak jauh dari kantor baruku dan sanggar seni Elang, aku bergegas turun dari taksi dan berlari kecil menuju pintu rumah.
“Aku pulang!”Teriakku sambil membuka pintu dengan penuh semangat. Wangi makanan sudah masuk ke dalam hidung, membuatku langsung berjalan menuju meja makan. Sepiring makanan sudah tampak ada di meja makan, kentang goreng dan sesuatu yang berwarna kecoklatan. Aku mendekat ke meja dan mengambil benda kecoklatan itu untuk kucium aromanya.
Ikan goreng. Sepertinya rasanya hambar. Apa ini?
Kulihat dapur berantakan sekali, di sana tampak Elang sedang mengaduk-aduk isi panci kecil yang berwarna cream pucat dan sesuatu berwarna jingga muncul dari dalam sana.
“Itu apa, Lang?” Tanyaku sambil mendekat ke arahnya lalu mencondongkan wajahku ke muka panci untuk mengamati isinya.
“Sup wortel,” jawabnya. “Sudah matang. Ayo ke meja makan,”
Ada dua menu malam ini, Fish dan Chip makanan khas Inggris dan sup wortel yang menurut Elang, Tante Mirani yang mengajarinya membuat sup itu. Fish dan Chip terbuat dari kentang goreng dan ikan Cod yang dibalut dengan tepung tawar. Di sebelah piringnya berdiri botol plastik saus tomat.
Sudah kubilang,aku tidak peduli makanan itu, jadi bagaimanapun bentuk dan rasanya, akan kumakan dengan lahapnya.
“Enak,” kataku di sela-sela makan malam.
Kurang dari satu jam kemudian, kami merasa kenyang dan banyak bercerita tentang kegiatan penuh hari ini. Elang sudah beberapa bulan mengajar seni lukis di sebuah sanggar besar milik seniman hebat. Hari ini aku mendapat cerita lucu, karena seorang muridnya yang masih kecil bersikeras memanggilnya ‘Pak’ ketimbang ‘Kak’. Jadi beberapa kali aku meledekinya dengan sebutan ‘Pak Elang’ juga. Ia juga bercerita kalau tadi sore sempat mengambil beberapa foto di beberapa tempat yang hasilnya bagus sekali. Hobi fotografinya masih tetap ia pertahankan, bahkan ia baru membeli kamera film jenis SLR.
Aku bangkit dari kursi hendak mencuci piring, tapi tidak seperti biasanya, Elang menawarkan diri agar dia yang mencuci piring. Jelas saja aku terima tawarannya, karena aku memang ingin segera mandi.
“Aku mandi kalau begitu,” kataku sambil berjalan menuju kamarku.
“Besok berangkat pagi?” Tanya Elang tiba-tiba. Aku mengangguk senang sekali karena membayangkan esok hari. “Selamat tidur kalau begitu,”
“Memangnya kamu mau kemana?”
“Ada perlu dengan Prakoso dan Nicholas, bisa sampai pagi mungkin,” jawab Elang.
“Ada apa?”
“Nicholas sudah mulai membuka bisnis internet kecil-kecilan, dia sekarang sudah tidak menganggur lagi,”
“Wah, senang mendengarnya,” kataku sambil tersenyum lebar. Akhirnya teman-temanku sudah bekerja semua setelah beberapa waktu lalu Ramadhan juga mulai mencoba usaha di dunia transportasi. Ia menyewakan bus dan angkot yang ia beli dari modal pinjaman.
“Salam untuk mereka,” kataku kemudian sebelum masuk ke dalam kamar.
Aku dan Elang memang mengontrak rumah kecil di sebuah kompleks perumahan. Kami memilih menyewa rumah ini karena alasan keuangan kami yang masih minim sekali. Kami sama-sama baru merintis karir, dan orang tua kami sudah saling mempercayai kami satu sama lain. Ini hanya untuk sementara saja. Lagi pula, rumah sewa ini memiliki dua kamar.

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)