bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Senin, 22 Oktober 2012

Elang, Let Me Be With You 6

**6**
http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg


16 Januari 2010
Suatu sore ketika tengah menikmati udara sore di halaman samping rumah yang ditumbuhi banyak tanaman hijau, dia merindukan motornya, saya merindukan motornya. Di bawah sinar matahari sore kami menghayal dan menghitung seberapa banyak kali kami sudah menaiki motor. Senang akhirnya kemudian kami bisa menaiki motor lagi. Rasa rindu saya memeluk pinggangnya terobati, entah bagaimana ia, karena setelah itu, saya melihat air matanya jatuh setetes. Ia tidak bisa menghapusnya lagi, jadi dengan lembut sayalah yang mengusap air mata itu. Saya tidak sanggup bertanya apakah ketika itu dia senang atau sedih.
Elang, apakah kamu senang? Atau sedih? Jika kamu tahu, saya senang. Tapi untuk berkata saya senang di hadapanmu pun saya juga tidak sanggup.


Selalu ada kejutan, baik itu disengaja atau tidak disengaja. Begitulah salah satu cara menguatkan cinta. Tersenyumlah selama kejutan itu datang ketika kita bersama seseorang yang kita cintai.


--- LET ME BE WITH YOU ---

            Sudah hampir tujuh bulan Elang menjadi begitu frustasi seperti ini dan hampir setiap malam ia mengajakku keluar rumah berkeliling dengan motornya. Dia tidak bisa kuliah seni di Inggris seperti yang ia inginkan. Elang dipaksa papinya untuk kuliah Hukum di Universitas terbaik di negeri ini. Dia cerdas, ketika itu dia lulus di jurusan seni di Inggris sekaligus di fakultas Hukum di Universitas pilihan papinya.
            Aku baik-baik saja diajak pergi, tapi yang membuatku agak kesal adalah ia hanya membawaku keliling selama lebih dari satu jam, tanpa bicara sedikitpun, tanpa berhenti sekalipun, lalu akan dikembalikan ke rumah dan ia akan pergi tanpa pamit secepat kilat.
            Sebenarnya apa yang kamu pikirkan selama ini?
Malam ini juga. Aku sedang mendekap tubuh Elang semakin kuat dan berlindung di punggungnya dengan penuh harap ia bisa membaca pikiranku. Sayang sekali aku sudah terbiasa sekarang dengan motor yang melaju sangat cepat, sehingga sekarang aku tidak bisa muntah. Tapi entah mengapa kali ini aku benar-benar ingin Elang berhenti atau setidaknya melambat.
            “Kita pelan-pelan saja, ya!” Teriakku dari balik helm kepada Elang. Elang tidak mendengar. “Bisa pelan sedikit, nggak?”
            “Apa?” Teriaknya juga.
            “Kamu nggak dengar?!”        
            Dengan cara apa agar motor ini bisa melambat sedikit?
Aku mencoba mencondongkan kepalaku mendekat ke telinga Elang, agar ia bisa mendengarku. Tapi aku menjadi kaget karena sedetik kemudian, tiba-tiba Elang seperti kehilangan keseimbangan, motor terjatuh. Dengan cepat terdengar bunyi decit kendaraan di sekitar. Kejadiannya begitu cepat, aku tidak tahu ada apa. Tapi saat ini aku sedang berguling-guling di jalan aspal, sakit di badan terasa dimana-mana.
Setelah selesai berguling, dengan cepat aku mendengar bunyi decit rem mobil ketika aku mulai mengangkat kepalaku. Aku kaget sekali lagi karena tiba-tiba bemper mobil dengan cepat berhasil mengetuk helm yang sedang kupakai tepat ketika aku sedang mengangkat kepalaku.
            Tepuk tangan untuk si sopir yang mengerem mobil tepat pada waktunya. Bagaimana jika mobil itu tidak bisa berhenti ketika itu? Kepalaku akan tertabrak dan aku akan terseret-seret lalu mati? Ya aku nyaris mati malam ini.
            Aku menjadi tidak bisa menggerakkan tubuhku. Aku gemetar ketakutan. Jantungku masih berdegub cepat sekali, telingaku mendengar begitu banyak macam suara. Begitu berisik, lalu aku melihat banyak kepala tengah mengelilingiku.
            Tolong buka helm ini! Aku susah bernafas! Hei, adakah yang bisa mendengarku? Aku susah bernafas!
            Aku masih ingat bagaimana rasanya nyaris mati, aku masih ingat kejadian malam itu, ketika pada akhirnya mendengar suara ambulan, ketika pada akhirnya ada yang bersedia mengangkat tubuhku dan membuka helmku, memberikan oksigen kepadaku, membawaku ke rumah sakit, memeriksa dan memberikan berbagai perlakuan ke tubuhku hingga akhirnya aku bisa terbangun di ranjang di sebuah kamar. Aku masih bisa dengan jelas menceritakan kisah ini kepada orang lain.
            “Gelisa?” Aku mendengar suara mama ketika baru saja membuka mata. “Papa, panggil dokter! Gelisa sudah bangun!” Teriak mama kemudian sambil mengusap-usap pipiku. Aku menoleh ke arah mama yang tersenyum bahagia sekali.
            “Gelisa belum mati, Ma?” Tanyaku tiba-tiba menangis. Aku begitu bersyukur, aku sempat ketakutan setengah mati, dan aku menjadi tahu makna ketakutan setengah mati yang sebenarnya.

***

            Aku beruntung sekali tidak cedera apapun. Kepalaku selamat, tulang-tulangku selamat, tapi beberapa kulit di tangan dan kaki lecet-lecet dan hampir mengering menjadi koreng basah.
            Kamu sudah hampir membunuhku, tapi kenapa kamu tidak pernah sekalipun menampakkan wajah di rumah sakit? Apa kamu tak merasa bersalah sama sekali sudah memasukkan aku ke dalam hidup yang hampir mati?Elang, kamu akan mati hari ini juga.
            Aku membuka pintu kamar tempat Elang di rawat dengan sangat marah. Tampak Tante Ayu dan Om Surya suami Tante Ayu. Di sana Tante Ayu tampak sedang menangisi Elang yang terbaring di atas ranjang.
            “Aku akan baik-baik saja, Tante,” Elang tampak mencoba meredakan tangis Tante Ayu. Tante Ayu mengangguk-angguk sambil tersenyum.
            “Sudah lebih baik, Lang? Kami datang lagi,” tiba-tiba Fredi sudah berdiri di belakangku dan berjalan santai mendekat ke ranjang Elang diikuti Nicholas, Abdul Muis, Ramadhan, dan Prakoso. Elang, Tante Ayu, dan suaminya menoleh ke arah mereka dan memberi sambutan begitu hangat.
            Aku di sini! Ada yang lihat keberadaanku?
            Setelah melihatku, Prakoso menarik tanganku untuk ikut mendekat ke ranjang Elang. “Aku dengar kamu boleh pulang hari ini?” Bisik Prakoso padaku sebelum benar-benar mendekat ke arah Elang. Aku hanya mengangguk pelan.
            Dengan seksama aku melihat tubuh Elang. Tampaknya ia baik-baik saja seperti aku, tidak terlihat cedera apapun di tubuhnya. Aku sedikit lega. Ketika bola mataku tiba di wajahnya, aku langsung bisa menangkap matanya yang tengah menatap mataku.
            Aku dag dig dug. Hentikan!
            “Kamu mau pulang hari ini?” Tanya Elang. Aku mengangguk. “Kata orang tua, lecet itu akan cepat sembuh kalau diolesi minyak makan. Nggak tahu?” Tanya Elang lagi. Aku menggeleng.
            “Hei, mulut kamu kenapa? Jadi nggak bisa bicara begitu?” Tanya Prakoso sambil mengamati mulutku. Aku mendorong kepala Prakoso agar ia berhenti mengamati mulutku. Prakoso tertawa pelan, sebentar.
            “Aku akan baik-baik saja,” kata Elang sambil tersenyum.
            Haiss, aku juga tahu kamu akan baik-baik saja. Tapi apa kamu juga punya lecet seperti aku?Dimana? Aku memang suka sama kamu, tapi ini tidak adil kalau hanya aku yang mendapatkan lecet.
            “Oh, kamu sudah kasih tahu ke Gelisa kalau di otak kamu ada tumor?” Tanya Prakoso pada Elang. Elang menggeleng bingung.
            Tumor di otak?
            “Aku kira kamu yang sudah kasih tahu ke Gelisa,” kata Elang.
            Apa-apaan ini? Apa yang mereka bicarakan?
            “Setelah operasi, aku akan baik-baik saja,” kata Elang sambil tersenyum kecil. Tante Ayu mengangguk-angguk mengerti sambil menggenggam tangan Elang.
            Ya, aku menyadari kecelakaan malam itu memiliki arti kasih Tuhan.
Malam itu Elang mendadak pingsan setelah beberapa menit menahan sakit di kepalanya. Karena itu motor kehilangan keseimbangan dan kecelakaan itu terjadi. Jika kami tidak mengalami kecelakaan dan dibawa ke rumah sakit, maka tidak akan terdeteksi adanya tumor di kepala Elang.

***

            Sayang sekali beberapa hari kemudian, dokter mengatakan bahwa itu bukan sekedar tumor. Benda di kepala Elang berupa kanker di dalam kepala. Melihat letak benda tersebut, operasi bukanlah jawaban. Kemoterapi dan radioterapi adalah pilihan pengobatannya. Dokter pun sempat menafsirkan umur Elang tinggal satu tahun lagi dengan melihat kondisi kanker yang ada di kepalanya.
Hahaa lucu sekali. Apakah itu artinya ia akan mati tahun 2001?
Suasana menjadi berbeda setelah kabar tersebut. Elang menjadi sensitif sekali, tidak pernah lagi terdengar kalimat seperti beberapa hari yang lalu dimana ia mengucapkan kata-kata penenang kepada kami. Justru kamilah yang saat ini berjuang memberi motivasi dan ketenangan kepada Elang.
Mendengar kanker tersebut, Tante Mirani, maminya Elang, langsung datang dari Amsterdam untuk ikut menenangkan Elang dan menemani Elang.
            “Ya sudah, ambil kanker ini! Pindahkan ke otak Mami sekarang!” Teriak Elang tiba-tiba ketika Tante Mirani sedang mencoba menghibur Elang. Tante Mirani tersentak kaget sambil terus menangis. Baru saja semua orang menenangkan Elang dengan berbagai kata masing-masing, berusaha menghibur. Tapi sayang sekali tanggapan Elang seperti itu.
            Tapi itu adalah respon yang wajar sekali. Aku pun akan begitu jika menjadi dia, frustasi.
            “Elang,” Nicholas mencoba menenangkan Elang.
            “Segera? Kapan? Aku juga ingin segera naik motor lagi, berengsek! Tahun depan aku mati, mungkin bulan depan aku sudah nggak ada tenaga untuk berdiri!”
            Prakoso meninju pipi Elang tiba-tiba. Elang diam seketika, dan dengan cepat Tante Mirani menampar wajah Prakoso.
            Saat ini, aku merasa kami seperti sedang berperan dalam sebuah film.
            “Keluar semua,” kata Elang kemudian dengan suara pelan. Serentak semua orang yang ada di sekeliling ranjang Elang bergerak menuju pintu keluar kamar. Aku tetap berdiri di sudut ruangan, menatap setitik air mata yang berhasil keluar dari mata Elang.
            Elang menoleh ke arahku dengan marah sambil menghapus air mata itu. “Kamu juga keluar!” Teriak Elang padaku.
            Iya, aku keluar sekarang.
            Aku bergegas berlari mengikuti semua orang untuk keluar kamar tempat Elang dirawat. Melihatku, Prakoso berhenti melangkah dan menungguku untuk keluar kamar bersama-sama dengannya.
            Esok harinya kedua orang tua Elang memutuskan agar Elang pindah dari rumah sakit umum ke rumah sakit khusus pengobatan kanker yang ada di negeri ini.

***

            Kemoterapi dan radioterapi. Itu adalah cara yang saat ini dipercayai bisa menghilangkan kanker di otak Elang. Berkali-kali Tante Mirani menjelaskan cara tersebut, dan memberi gambaran bahwa kanker Elang akan hilang dan ia akan sembuh. Kanker adalah sebuah penyakit yang masih mungkin untuk disembuhkan.
            Mungkin saja benar apa yang dikatakan Tante Mirani. Elang pasti bisa sembuh, karena tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.
            “Kita bisa jika kita berjuang bersama, Nak,” bujuk Tante Mirani.
            “Untuk apa? Untuk menunggu mati setahun lagi?”
            “Kamu pikir perkara mati ada ditangan dokter? Ingat Tuhan, Nak. Mami akan berdoa memohon kasih-Nya untuk kamu,”
            “Aku juga akan memohon kepada Tuhan,” kataku cepat.
            “Kami juga,” kelima sahabatnya ikut bersuara.
            “Papi juga,”jawab Om Candra. “Setahun lagi kamu bisa keluar dari kuliah hukum, papi janji akan mengikuti keinginan kamu. Tapi kamu harus janji untuk berjuang membunuh kanker itu. Cuma kamu anak Papi, Lang,”
            “Mami akan selalu di sini sampai kamu sembuh, nak,”
            “Aku juga, Lang,” kataku cepat.
            “Kami juga,” kelima sahabatnya kembali ikut bersuara.
            “Papi juga?” Tanya Elang sambil menoleh ke arah Om Candra lalu tertawa kecil.
            Let Me Be With You, Lang. Kamu harus kuat, karena kamulah yang sesungguhnya bisa menguatkan kami agar kami bisa menguatkan kamu.

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)