bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Senin, 22 Oktober 2012

Elang, Let Me Be With You 11

**11**
http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg

21 Desember 2009
Tadi dokter menjelaskan kondisi terakhir Elang. 1 berbanding semua manusia di seluruh dunia sangat menyedihkan. Saya sedang menangis. Saya pernah berpikir tentang kesempatan kedua. Tuhan sudah memberikan kesempatan kedua untuk Elang hidup setelah berhasil mengatasi kanker otak. Apakah benar tidak ada istilah kesempatan ketiga? Saya takut dengan apa yang akan terjadi nanti.

           
Kita tidak akan pernah tahu jika kita tidak pernah mencoba. Berikanlah kesempatan sehingga ia bisa memberi kita alasan untuk melupakannya atau menerimanya.


--- KESEMPATAN KEDUA ---

Tadi siang Elang jatuh dari tangga di kantor. Karena itu, malam ini setelah pulang dari kantor, aku langsung mampir ke apartemen Elang untuk menjenguk dan mengurusnya. Elang bilang sudah lebih baik, tapi aku masih khawatir jika tidak melihatnya secara langsung.
Aku menekan bel.
“Apa saja yang luka?” Tanyaku cepat setelah pintu baru saja dibuka. Elang menyuruhku masuk lalu menjawab kalau kepalanya tadi terbentur lantai jadi sedari tadi masih sedikit pusing dan pergelangan tangan kirinya sedikit terasa linu.
 “Tapi aku nggak apa-apa,” tegasnya kemudian sambil duduk di atas sofa.
Aku melirik layar televisi yang masih menyala dan stick game yang tergeletak di atas meja depan sofa. Melihat atribut game tersebut, aku menjadi yakin kalau Elang memang terlihat baik-baik saja. Tak lama kemudian Elang bermain game sepak bola ketika aku berjalan mengambil minum di dapur.
Dasar. Sakit itu seharusnya istirahat, bukan bermain game.
“Bagaimana kepalanya?” Tanyaku.
“Masih pusing,” jawabnya cepat terdengar diantara suara efek game.
Aku berjalan menuju sofa, dan duduk di samping Elang.
“Sudah makan?” Tanyaku.
“Sudah,” jawabnya cepat tapi matanya masih fokus ke layar televisi.
“Katanya masih pusing,”
“Memang,”
“Ayo cek ke rumah sakit,”
“Pijat saja kepalaku, ya,” pintanya manja sambil menoleh ke arahku.
Keesokan paginya, aku memaksa Elang ke rumah sakit untuk mengecek kepalanya. Menurut dokter, ia hanya kelelahan dan menderita anemia ringan. Sehingga perlu istirahat banyak dan meminum suplemen penambah darah.
“Aku sudah bilang aku baik-baik saja,” keluh Elang.
“Kepala kamu benar sudah nggak pusing lagi?”
“Bukan kanker otak, Sa. Jangan khawatir,”

***

            Aku terbangun malam itu dan masih melihat Elang sibuk di depan laptop. Kertas tercecer kemana-mana, dan secangkir kopi tampak bergelimpang di atas meja, tidak diurus. Malam ini Elang harus mengurus sesuatu dan harus segera di kirim ke London, sehingga ia menggunakan jaringan internet di rumahku. Aku kasihan kepada Elang, sejak menjadi manajer, ia menjadi lebih sibuk dari sebelumnya.
            “Jangan terus lihat aku seperti itu, buat kopi saja, sana,” tiba-tiba Elang bersuara sambil membuka-buka berkas.
            Malas ah, aku lelah, masih mengantuk, buat saja sendiri. Eh, apa kamu punya mata di kepala belakang? Dimana? Dimana? Bagaimana kamu tahu kalau aku terbangun dan sedang asyik memperhatikanmu?
            Aku memejamkan mata lagi. Tapi beberapa detik kemudian terdengar suara gelas jatuh ke lantai. Aku membuka mata, dan menemukan cangkir kopi pecah di lantai dan Elang yang sedang memungut cangkir itu dengan tangannya. Aku bangkit dari ranjang segera untuk membantu Elang.
            Beberapa menit kemudian, kami duduk di sofa sambil meminum kopi hangat. Elang merasa lelah, jadi ia memintaku menemaninya mengobrol untuk memberikan jeda istirahat kepada tubuh dan matanya.
            “Mataku terlihat aneh, ya?” Elang memamerkan kedua matanya ke arahku.
            “Nggak. Memang kenapa?”
            “Tadi seperti agak susah melirik ke atas,” jawabnya sambil memutar-mutar bola matanya, lalu ke atas, ke bawah, ke kanan, dan ke kiri, bergantian berkali-kali.

***

            Aku menyuruh Elang duduk di bangku tak jauh dari eskalator. Dia duduk dengan kesal karena kupaksa duduk tadi. Baru saja ia terjatuh setelah berada di puncak eskalator. Wajahnya tidak terlihat pucat dan tampak sehat bugar, tapi aku menjadi khawatir dengannya.
            “Kamu masih lelah, ya? Kita pulang saja, ya,” kataku.
            “Kita jarang keluar bersama begini, Sa. Aku baik-baik saja,”
            “Tapi ini sudah kedua kalinya kamu tersandung,”
            “Kamu sudah nggak mau jalan bersamaku lagi? Aku tersandung dua kali sudah membuatmu malu?”
            Haiss! Bukan itu maksudku. Kamu itu suka sekali berpikir aneh yang membuatku kesal. Apa kita harus bertengkar hari ini? Ini pasti karena tadi pagi kamu lupa meminum suplemen penambah darah. Ini juga yang membuatku marah karena tadi kamu memesan salad sepertiku dan bukan steak daging sapi.
            “Seharusnya tadi kamu makan daging, bukan salad. Nggak usah ikut diet sepertiku,”
            “Aku sudah bosan diberi daging terus sama kamu,”
            “Tapi itu bisa menambah darah kamu,”
            “Kita pulang saja,” keluhnya kemudian sambil bangkit dari bangku.

***

            Prakoso, Nicholas, dan Ramadhan sedang berlomba meniup balon. Di lantai sudah bertaburan banyak balon warna-warni. Karena semua laki-laki di sini perokok, maka pintu balkon apartemen dibiarkan terbuka, sehingga beberapa balon terbang ke dapur.
Di dapur, aku, Resti, Vira, dan Tari menyusun makanan dan minuman ke atas meja makan. Fredi, Haris, dan Steven sedang asyik mengobrol sambil mempersiapkan kamera untuk foto-foto. Pesta kecil kejutan ulang tahun untuk Elang bersama teman kantor dan sahabatnya hampir selesai.
            Pintu apartemen tiba-tiba terbuka dan muncul Elang di sana.
            Kejutan. Kamu mengejutkan aku dan teman-teman, Lang. Kami belum siap, kenapa sudah pulang?
            “Ada apa ini?” Tanya Elang dengan polosnya bertampang kebingungan.
            “Meniup balon, “ jawab Nicholas. “Sini bantu kami meniup balon,”
            Sini bantu kami meniup balon? Nicholas bodoh! Kita memang tidak siap mendapat kejutan begini, tapi tetap kita yang seharusnya berekspresi pemberi kejutan.
            “Kejutan! Selamat ulang tahun, Elang,” kataku sambil berjalan ke arahnya. Melihatku begitu, yang lain menjadi ikut bersorak menyambut kedatangan Elang yang masih kebingungan.
            “1 April itu masih beberapa jam lagi, kan?” Elang memastikan.
            “Haris bilang kamu lembur hari ini dan pulang nanti tengah malam,”
            Ini masih jam setengah sebelas malam. Kenapa sudah pulang?!
            Akhirnya pesta ulang tahun dilakukan malam sebelum tanggal 1 April, tapi acara tiup lilin dan potong kue tetap pada jam dua belas malam.
            Elang bersama Fredi hendak berduet bermain gitar menyanyikan sebuah lagu sebagai persembahan untuk kami. Lagu romantis yang sering Elang nyanyikan untukku kembali ia nyanyikan malam ini.
Seperti beberapa bulan yang lalu, Elang kembali berhenti bernyanyi dan berhenti memetik gitar di tengah lagu. Tapi tetap tidak mengurangi keromantisan lagunya, karena masih ada Fredi yang masih bernyanyi dan bermain gitar melanjutkan lagu itu. Suara Fredi bagus sekali, tidak sumbang seperti suara Elang.
“Jariku kenapa?” Tanya Elang setelah lagu selesai dinyanyikan.
Keesokan harinya, aku, Nicholas, dan Fredi mengantar Elang ke rumah sakit. Aku izin tiga jam dari kantor. Wajah Elang tampak gelisah sekali karena jemarinya tiba-tiba susah digerakkan. Tiga jarinya, yaitu jempol, telunjuk, dan jari tengah bergerak sangat lambat dan menurut Elang, sesekali terasa seperti ditusuk-tusuk jarum.
Setelah konsultasi dan pemeriksaan kurang dari tiga puluh menit, diagnosa dokter adalah Elang menderita kelelahan. Sebelum pergi, Elang diberi suntikan stamina dan beberapa resep multivitamin.
“Kita pindah rumah sakit,” ajak Fredi setelah mendengar diagnosa dokter dari mulutku.

***

Aku langsung ke kantor ketika Elang memeriksa jarinya ke rumah sakit lain, karena teman kantor meneleponku untuk segera datang ke kantor dan mengurusi rencana proyek baru.
“Gejala ini seperti menunjukkan stroke, tapi saya kurang yakin,” Elang memperagakan apa yang dikatakan dokter di rumah sakit lain.
“Jadi stroke?” Tanyaku malam itu sambil menyiapkan makan malam untuk aku, Prakoso, dan Elang.
“Tapi sekarang sudah normal lagi. Tadi Prakoso memijat-mijat jariku, jadi sekarang sudah bisa digerakkan dengan bebas,”
“Besok aku bisa mengantar Elang ke rumah sakit,” kata Prakoso sambil bangkit dari sofa dan berjalan mendekatiku.
“Besok aku mau ke kantor,” kata Elang cepat.
“Kata dokter, kamu harus kembali lagi besok,” kata Prakoso.
Ke kantor?Haiss keras kepala.
Jam makan siang esok harinya aku menghampiri Elang di kantor dan kupaksa ia ke dokter seperti yang sudah disarankan kemarin. Awalnya Elang menolak, tapi pada akhirnya ia menurut.
Dokter mengatakan Elang baik-baik saja, sehingga hanya diberi beberapa obat untuk dikonsumsi selama beberapa hari.
“Aku ini nggak apa-apa,” keluh Elang ketika dalam perjalanan pulang. Motor ia kendarai cepat sekali menuju kantorku. Ia hendak mengantarku untuk kembali bekerja lalu ia juga akan kembali ke kantornya.
“Jadi manajer itu terlalu sibuk dan lelah, ya? Bisa jadi fotografer lagi, nggak?” Tanyaku.

***

Malam ini aku dan Prakoso ke rumah sakit tempat Elang dirawat sambil membawa beberapa baju untuk Elang. Tadi sore di kantor, kaki Elang tiba-tiba sulit digerakkan dan setelah di bawa ke rumah sakit, Elang disarankan menginap beberapa hari di rumah sakit. Setelah dokter melakukan pemeriksaan untuk kesekian kalinya, Elang diharuskan pindah ke ruangan dokter lain, yaitu dokter saraf.
Setelah konsultasi dan pemeriksaan selama lebih dari dua jam di ruangan dokter saraf, besok Elang harus melakukan berbagai pemeriksaan dan tes. Dokter belum memberitahu kami tentang apa yang terjadi pada Elang. Dokter hanya mengatakan bahwa ini salah satu gejala gangguan saraf dan harus diteliti lebih lanjut untuk diketahui sebabnya.
Ada apa sebenarnya?Benar-benar Stroke?
Belum genap satu bulan di rumah sakit, Elang merasa seluruh badannya sakit. Dan keesokan paginya Elang menjadi agak susah menggerakkan kakinya ketika berjalan.
Ini mal praktek, ya? Kenapa kondisi Elang bertambah buruk?
Sore harinya dengan memperlihatkan data hasil pemeriksaan sementara yang telah dilakukan Elang selama beberapa hari ini, dokter mulai menjelaskan apa yang terjadi pada Elang di hadapan Elang, aku, Prakoso, dan Nicholas.
Dokter menyebut bagian-bagian tubuh yang sebelumnya pernah kudengar di pelajaran Biologi ketika SMA. Myelin, akson, selanjutnya saraf, sistem imun, protein tinggi, dan istilah-istilah lain yang sama sekali tidak bisa kumengerti.
“Jadi stroke, dok?” Tanyaku setelah dokter memberikan penjelasan.
“Beberapa bulan yang lalu ia masuk rumah sakit karena infeksi, bukan?
“Iya, dok,” jawabku mantap.
Apakah infeksi itu menyebar ke kakinya?
“Ia pernah mengeluh susah menggerakkan mata dan jarinya?”
“Iya, dok,” jawabku kembali mantap.
Sudah menyebar ke kepalanya juga?
“Melihat gejala awal kelumpuhannya dan ...” dokter menjelaskan.
Lumpuh?
Lalu selanjutnya aku tertinggal penjelasan dokter.
“Diagnosa awal kami adalah GBS atau Guillain-Barre Syndrom, Penyakit ini timbul karena adanya kerusakan pada saraf tepi dimana myelin diserang oleh antibodi alami dari tubuhnya. Akibatnya tubuh Elang mengalami gangguan dalam menggerakan tubuhnya sendiri,” kata dokter.
GBS? Guillain-Barre Syndrom?
“Tapi kami masih perlu pengamatan yang lebih lengkap lagi,”
Maksudnya, dok?
 “Ini penyakit langka. Kasus ini hanya ditemukan sekitar satu dari seratus ribu orang, jadi kemungkinan pengamatan yang panjang dibutuhkan untuk meyakinkan kami,” kata dokter.
1:100.000?

***

Hari ini juga ada rapat untuk membahas artikel tabloid kami. Jadi, aku tidak bisa menemani Elang. Untung saja ada Tante Ayu yang siap sedia menunggui Elang. Rapat hari ini aku tidak konsentrasi sama sekali. Pikiranku sudah penuh dengan GBS atau Guillain-Barre Syndrom.
Menurut dokter, GBS merupakan syndrom, bukan penyakit, dan tidak jelas spesifik agen penyebabnya. GBS adalah kelainan dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. Dokter juga mengatakan Keadaan Elang akan membaik dalam waktu beberapa bulan jika ia ditangani dengan baik di rumah sakit ini.
Keadaan Elang akan membaik. Fakta mengatakan bahwa 80% orang yang didiagnosa penyakit ini bisa sembuh.
            “Ini kesempatan kedua dari Tuhan untukku,” kata Elang suatu malam ketika aku menampakkan wajah khawatir. “Kesempatanku memutuskan untuk berjuang hingga sembuh sekali lagi atau membiarkan tubuhku lumpuh dan mati oleh keputusasaan,” lanjutnya.
            Perfect! Jadi aku memang tidak perlu khawatir berlebihan
            “Data pasien lain juga menunjukkan bahwa mereka berhasil mengalahkan syndrom dan hidup normal sekali lagi,” kataku penuh semangat.
            “Jadi aku hanya perlu serius terapi,”
            “Iya, semangat!” Seruku.
            “Aku akan bisa sehat lagi,”
            “Iya, pasti!” Seruku lagi bergaya seperti sedang kampanye kepala daerah. Elang tertawa melihat tingkahku.
            Ini adalah kesempatan kedua kamu dalam berjuang mengatasi cobaan. Kesempatan pertama berhasil kamu lalui, kenapa tidak untuk kesempatan kedua? Kamu benar, kamu akan berhasil sekali lagi.

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)