bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Senin, 22 Oktober 2012

Elang, Let Me Be With You 16

**16**
http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg

13 Desember2009
Akhir-akhir ini ia begitu merindukan rumah masa kecilnya. Apakah saya harus membawanya kesana? Kenapa menjadi rindu tiba-tiba, dan kenapa ingin kesana? Saya cemas karena hanya di sinilah rumah sakit neurologi terbaik di negeri ini. Saya masih ingin memberikannya penanganan yang terbaik.


Cinta tidak pernah mensyaratkan kesempurnaan. Karena cinta adalah menerima, memahami, dan rela berkorban demi kebahagiaan bersama.


--- RINDU ---

September 2009
Sudah satu minggu lebih aku tidak mengaktifkan ponsel setelah pulang ke kantor. Aku tidak ingin mendadak pergi lagi selama menemani Elang di rumah sakit. Seperti sore ini, aku akan bisa lebih tenang di rumah sakit.
            Oh, rupanya Tante Ayu memang sudah pulang. Seharusnya tadi aku pulang lebih cepat agar Elang tidak sendirian walau beberapa menit saja.
            Setelah menutup kembali pintu kamar, aku langsung menghampiri Elang yang sedang serius menonton televisi. Acara berita sore.
            Drama asia!
            Aku langsung mengganti saluran televisi ke stasiun televisi yang sedang menayangkan drama asia, kesukaanku. Dengan cepat Elang mengambil remote control televisi dari tanganku dengan tangan kirinya, lalu mengganti saluran televisi sebelumnya. Aku kembali mengganti ke saluran pilihanku, Elang masih tidak mau mengalah, ia mengganti lagi saluran televisi sebelumnya. Beberapa detik kemudian kami saling tarik menarik remote control dari sisi yang berbeda.
            “Aku butuh informasi baru,” kata Elang.
            “Bisa lewat internet,” kataku.
            “Tapi informasi itu sedang menarik,”
            “Episode drama asia itu lebih menarik hari ini,”
            “Kamu kenapa nggak bisa mengalah satu kali saja?” Tanya Elang.
            “Kamu yang nggak bisa mengalah satu kali saja,”
            Seseorang berdeham tiba-tiba, membuat aku dan Elang berhenti saling menarik remote control dan serempak menoleh ke arah sumber suara.
            Dian Putri?
            “Hai, sudah lama nggak bertemu,” sapa Elang cepat.
            Jangan terlalu manis menyapanya!
“Setelah tahu keadaan kamu, aku langsung kemari, Lang,” kata Dian Putri. “Sebenarnya aku rindu kamu, Lang,”
Lang? Kamu panggil dia Elang? Laki-laki ini sepuluh tahun lebih tua dari kamu. Lagipula ada apa dengan rindu? Untuk apa kamu rindu pada kekasih orang lain?
“Silakan duduk,” Kata Elang kemudian sambil menunjuk bangku bundar yang ada disamping ranjang. Dengan anggun Dian Putri duduk di sana. Lalu kemudian mereka mulai mengobrol akrab sekali, diselingi canda kecil, lalu tertawa bersama.
Kalian tidak lihat ada aku berdiri diantara kalian?Kenapa tidak ada yang mulai bicara padaku? Apa aku benar-benar tidak terlihat saat ini? Elang! Aku juga ada disamping kamu!
Aku berjalan ke sofa, pura-pura hendak membaca koran.
Kalau begitu silakan saja mengobrol dengan puas. Aku tidak akan mengganggu! Haiss!
            “Sa, tolong ambilkan minum untuk artis kita yang satu ini,” pinta Elang tiba-tiba sambil menoleh ke arahku.
            Tidak mau! Ambil saja sendiri!
            Aku mengambil botol kemasan air mineral dan pipet dari samping sofa, lalu berjalan mendekati mereka dengan wajah cemberut. Aku memberikannya kepada Dian Putri.
            Jangan diminum, ada racunnya!
            “Silakan diminum,” kata Elang sambil tersenyum. Tiba-tiba Elang menggenggam tangan kananku dengan tangan kirinya ketika aku hendak berjalan menuju sofa lagi. Aku menoleh ke arah Elang, sementara Elang kembali mengajak Dian Putri mengobrol seseru tadi.
            Lepas! Aku tidak tertarik bergabung bersama kalian.
            Selama mengobrol, Dian Putri sering melirik tangan kiri Elang yang masih erat menggenggam tanganku. Elang seperti tidak peduli dengan tatapan Dian Putri dan tanganku yang sedari tadi memberontak minta dilepas. Genggamannya malah semakin erat.
            “Ini Gelisa. Kalian belum pernah bertemu sebelumnya, kan?” kata Elang sambil melirik ke wajahku lalu kembali menoleh ke arah Dian Putri.
            Hai, aku pacarnya Elang. Kamu bisa lihat? Genggamannya pertanda bahwa dia tidak bisa jauh dariku. Mengerti?Sekarang cepat pulang saja. Kami mau berpacaran dan berdua lagi seperti tadi. Hohohoho senangnya melihat ekspresi kecut itu dari wajah kamu, Dian Putri ...

***

Sejak kedatangan Dian Putri beberapa waktu lalu, kabar tentang Elang sang fotografer terkenal menjadi heboh di berbagai media pemberitaan. Awal kemunculannya di kaitkan dengan Dian Putri, tapi setelah sang dokter dimintai keterangan tentang keadaan Elang, pemberitaan lebih fokus kepada penyakit yang di derita Elang.
Lobi rumah sakit terlihat padat sekali sore ini. Aku melewati mereka sambil sesekali melirik melihat keramaian tersebut. Rupanya mereka adalah wartawan yang tertahan oleh satpam agar tidak masuk dan mengganggu pasien di rumah sakit.
Mereka masih mau memburu berita tentang Elang rupanya.
Aku terkejut ketika membuka pintu kamar Elang. Elang tampak berbeda hari ini. Ia memotong kumis dan jenggot tipis yang selama ini ia pertahankan sejak ia menjadi fotografer. Karena sudah terbiasa dengan jenggot dan kumisnya, sekarang wajahnya agak terlihat asing, tapi sekarang terlihat lebih muda, karena menjadi mirip sekali dengan Elang ketika SMA dulu.
“Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba?”
“Elang mau menerima wawancara besok,” jawab Om Candra.
“Bukankah kamu nggak mau di wawancara, Lang?”
“Ini bukan media gosip. Aku sudah memilihnya,”
“Wah, memilih? Sehebat apa kamu? Jika aku menjadi wartawan, aku nggak akan mewawancarai orang sesombong kamu,”
 Ya, benar. Selama itu bukan gosip, aku juga akan bersedia.
Minggu siang, kami tidak berencana pergi kemana-mana, karena sudah memiliki janji dengan beberapa wartawan. Setelah makan siang mereka akan datang ke kamar Elang.
“Lelah?” Tanyaku pada Elang sambil memijati pundaknya sore itu setelah wawancara selesai. Elang menggeleng.
“Besok mereka mau mengambil gambar kamu di ruang fisioterapi. Kamu bersedia, Lang?” Tanya Om Candra. Elang mengangguk. “Sudahlah, kamu terlihat lelah,”
“Aku baik-baik saja, Pi,” Elang menegaskan.
Setelah wawancara itu terbit, Elang makin terkenal. Rumah sakit semakin padat saja, Elang menjadi banyak kunjungan. Tidak hanya wartawan, para simpatisan dari berbagai kalangan turut hadir, termasuk tokoh politik negeri ini.
Beberapa hari kemudian ketika aku datang kerumah sakit hendak membawa pamper pada malam hari, masih saja banyak wartawan yang sedang menunggu di lobi. Mereka tampak saling berbincang dan tertawa-tawa menghilangkan kebosanan.
“Masih banyak wartawan di lobi,” kataku setelah sampai di kamar Elang. Aku melihat Elang sudah terpejam di atas ranjang. “Sudah tidur? Terlalu cepat. Apa ia kelelahan seperti kemarin?”
“Karena itu sekarang Om menolak semua wawancara. Elang lelah, tapi mereka nggak mengerti. Lagi pula pertanyaan mereka hampir sama seperti kemarin,” kata Om candra dengan kesal.
“Aku lihat di televisi tadi pagi, om juga diwawancarai,” kataku sambil duduk di sofa tepat di samping Om candra yang sedang menyiapkan selimut dan bantal. Rupanya Om Candra juga berniat tidur lebih cepat dari biasanya.
“Papi mewakili keluarga,” jawab Elang tiba-tiba.
Oh, kamu belum tidur, Lang?
“Bagaimana denganku? Kenapa mereka nggak mewawancaraiku? Apa aku bukan keluargamu?” Aku bangkit dari sofa dan mendekati Elang.
“Tentu saja bukan,” jawab Elang sambil memejamkan matanya lagi.
“Aku juga ingin diwawancarai dan masuk koran juga televisi. Ayo menikah, agar kita menjadi keluarga,” kataku kemudian.
“Mulai lagi. Sudah. Pulang saja, sana,” timpal Elang cepat masih dengan memejamkan mata.
Akhir-akhir ini aku memang sering memintanya menikahiku. Tapi tanggapannya selalu begitu, menghindar tanpa memberikan jawaban apapun.

***

Oktober 2009
            Sejak pemberitaan tentang Elang menyebar ke segala penjuru kota, Tante Mirani kembali lagi ke negeri ini. Ia cemas setelah mendengar Elang sering kelelahan karena wawancara dan karena kunjungan yang tidak henti setiap harinya.
            Tidak pernah terpikirkan olehku, selain memotret, Elang juga menyukai seni lukis. Pada kunjungan kali ini, Tante Mirani membawa satu set alat lukis. Elang sangat senang sekali menerimanya. Setelah itu Elang mulai melukis setiap ada waktu luang. Terkadang jika bosan ia akan memotret segala hal yang menurutnya menarik ketika kuajak berkeliling rumah sakit.
            Sabtu sore, di salah satu balkon rumah sakit, Elang sedang melukis langit sore. Hari ini langit memang begitu indah dengan warna jingga dengan beberapa awan hitam di langit yang lain. Pantas saja Elang begitu bersemangat hendak melukis.
            Elang tampak serius melukis menggunakan tangan kirinya. Tangan kanannya sudah tidak bisa diandalkan untuk melukis. Sejak beberapa hari yang lalu Elang sudah mulai bisa melukis menggunakan tangan kirinya. Tidak sesempurna lukisan yang pernah ia buat sebelumnya, tapi menurutku tidak kalah bagus dengan lukisan-lukisan yang pernah ia buat.
Saat ini, aku dan Tante Mirani duduk di bangku tak jauh dari tempat Elang melukis sambil banyak mengobrol.
            “Aku juga ingin dibuatkan sup wortel, tante,” kataku ketika Tante Mirani berencana mengunjungi rumah suatu hari nanti dan berencana memasakkan banyak makanan untukku.
            “Seperti apa supnya?”
            “Seperti yang pernah tante ajarkan pada Elang,”
            “Tante nggak pernah mengajari dia memasak. Dia nggak pernah memasak,”
            Mendengar jawaban Tante Mirani, aku langsung menoleh ke arah Elang yang masih asyik melukis.
Aku ingat kamu pernah bercerita bahwa kamu diajarkan memasak sup wortel oleh Tante Mirani. Kamu berbohong selama empat tahun ini dan aku tidak pernah mengetahuinya? Wah, hebat sekali. Kamu punya bakat alami menjadi aktor.
Esoknya ketika kutanyakan perihal sup wortel tersebut, Elang menjawab dengan santai.
“Mami yang mengajariku,”
“Eh? Masih mau berbohong lagi? Tante Mirani nggak pernah mengajarimu memasak,”
“Kamu sudah tahu? Untuk apa tanya kepada mami? Aku membuat sup itu berdasarkan resep di sebuah majalah,”
Kalau aku tidak tahu dari Tante Mirani, sampai kapan kamu akan membohongiku? Untuk apa membohongiku?
“Untuk apa aku berbohong selama ini tentang resep itu kepada kamu, ya, Sa?” kata Elang tiba-tiba sambil melihat-lihat foto hasil jepretannya di layar laptop.
Ternyata kamu juga orang aneh.
Hari berikutnya ketika aku baru saja masuk ke kamar Elang, aku langsung disuruh memilih antara dua lukisan yang diletakkan di atas sofa. Rupanya itu lukisan yang baru dibuat masing-masing oleh Elang dan Tante Mirani. Mereka tengah mempeributkan lukisan mana yang paling bagus.
“Kamu belum tahu diantara kedua lukisan tersebut milik siapa,” kata Tante Mirani semangat sekali. “Kamu lebih menyukai lukisan yang mana?”
Ternyata aku memilih lukisan Tante Mirani, membuatnya bahagia sekali. Ekspresinya sama seperti Elang ketika ia berhasil mengalahkanku pada setiap permainan kecil. Dan wajah Elang kini tampak kecewa sekali.

***

Minggu selanjutnya, Elang ingin berkunjung ke kantornya. Kebetulan sekali hari ini sedang ada pemotretan produk fashion terbaru. Ini pertama kalinya aku melihat Elang begitu serius dalam sesi pemotretan. Ia diizinkan membantu dalam pemotretan walau sudah tidak bekerja lagi di sana. Rupanya Elang masih belum kehilangan bakatnya. Ia dengan bangga mengaku sebagai fotografer senior di kantor. Ia beberapa kali memberi komentar dan masukan kepada fotografer baru yang sedang bekerja. Dengan memberi arahan sudut terbaik dan pencahayaan.
Aku senang, saat ini Elang begitu lepas dan sangat menikmati momen ini.
Apa yang harus aku lakukan? Elang seperti lupa dengan siapa ia kemari. Aku akan bosan jika hanya diam saja dan melihat.
Tak lama kemudian, Firman, teman kantor Elang yang juga seorang fotografer mengajakku mengobrol. Untung saja, sehingga aku tidak merasa diacuhkan. Obrolanku dengan Firman selanjutnya adalah tentang fotografi.
Aku menjadi ingin tahu bagaimana melakukan hal yang Elang sukai, salah satunya memotret.
Pada akhirnya Firman mengajariku cara memotret, dan memberi arahan banyak ketika aku mempraktekkannya ke sebuah objek. Bahkan, Firman menyusun sendiri suatu objek di salah satu pojok ruangan untuk aku belajar. Dan hasilnya sangat memuaskan. Firman bilang, aku punya bakat terpendam, karena hasil fotoku sempurna untuk seorang pemula.
            Pemotretan belum selesai waktu hari sudah mulai malam, sehingga aku memaksa Elang untuk pulang walau ia ingin sekali di kantor sampai pemotretan selesai.
            Apa kamu juga mau lembur seperti mereka? Kamu lupa kalau kamu lembur di sini sudah tidak digaji lagi?Apa untungnya? Lebih baik kamu tidur agar besok bisa melakukan terapi dengan baik dan benar.
            Di rumah sakit satu jam kemudian, aku sedang mengamati cetakan hasil foto tadi. Elang baru keluar dari kamar mandi bersama perawat yang selama ini membantunya mandi. Melihatku begitu serius, Elang mendekatiku yang sedang duduk di sofa setelah perawat pergi. Elang menggerakkan kursi roda power elektrik yang belum kami kembalikan ke rumah sakit.
             “Kamu seharusnya nggak lupa umurmu. Apa kamu merasa masih berumur 16 tahun?”
            Apa aku pernah berkata aku berumur 16 tahun?Aku hampir 28 tahun dan aku masih ingat. Apa salahku?
            “Kenapa kamu berkata begitu tiba-tiba? Aku ingat umurku sendiri, ”
            “Kalau begitu, kenapa kamu sering sekali merajuk dan kalau tertawa selalu dengan gaya sok manis ala anak muda kepada semua orang?”
            Kapan? Aku tidak pernah begitu. Aku tidak sok manis, tapi memang bukan salahku jika tertawaku manis. Mungkin sudah sejak lahir?
            “Kapan?”
            “Kamu kira aku nggak melihat tingkah kamu di kantor?”
            “Dengan Firman?”
            “Dengan semuanya. Kamu seperti sedang merayu para laki-laki yang ada disana,”
            Di kantor?Kapan aku tertawa dan merajuk? Oh, aku tahu. Kamu sedang cemburu? Kenapa tidak bilang saja terus terang?
            “Wah, aku punya bakat terpendam. Hasil fotoku bagus, bukan?” Tanyaku kemudian mencoba membuatnya lebih cemburu, karena foto ini Firman yang mencetaknya tadi. Aku memamerkan foto itu mendekat ke wajah Elang.
            “Masih bagus fotoku. Lihat baik-baik dan pelajari, jadi kamu akan menyadari bahwa kamu nggak memiliki bakat terpendam,”
            Apa?!
            “Dok, menurut dokter, foto mana yang paling bagus?” Tanyaku cepat ketika dokter baru saja masuk untuk mengecek kesehatan Elang. Dokter tersebut kaget sebentar, lalu dengan tanggap ia memilih salah satu dari foto kami.
            Foto Elang?Hei, aku bertanya pada orang yang salah rupanya. Ternyata dokter tidak mempunyai jiwa seni. Perpaduan warna dan tata ruang yang berhasil kudapatkan dari fotoku ini penuh dengan seni dan sulit untuk dijabarkan kesempurnaanya.
            Aku menoleh ke arah Elang yang tengah tersenyum bangga.
            Jangan puas dulu! Satu jawaban tidak bisa menentukan apa-apa. Kita lihat saja nanti pada jawaban dokter yang lain atau perawat.

***

November 2009
Sudah satu minggu jari kiri Elang sesekali mulai susah digerakkan, sehingga ia sudah tidak bisa lagi melukis. Untuk memotret pun harus dengan bantuan tangan orang lain. Jari tangan kanannya sejak pagi tadi sudah total lumpuh, ia sama sekali tidak bisa menggerakkan kelima jari kanannya. Sekarang Elang sudah tidak menggunakan kursi roda biasa. Kursi roda power elektrik kami sewa sampai Elang sembuh nanti. Bahkan kursi roda power elektrik ini juga berbeda dari sebelumnya, dimana tombol kendalinya berada di sebelah kiri.
Beruntung sekali, karena hal itu tidak membuat Elang frustasi. Rupanya ia sudah siap menerima apapun yang terjadi pada dirinya.  Apalagi hari ini ia mendapat kunjungan dari Amsterdam, yaitu Esther Nooij adik tirinya yang berusia delapan tahun dan ayah tirinya Om Hans Nooij.
Awalnya aku takut tidak bisa berinteraksi dengan mereka, tapi untungnya Esther dan Om Hans Nooij bisa berbahasa Inggris cukup lancar.
“Hoe gaat het, Esther (Apa kabar, Esther)?” Tanya Elang.
”Het gaat goed (kabar baik),” jawab Esther. “Ben je ziek, wat heb je? Jij bent zo mager geworden? (Kamu sakit apa? Kapan kamu lebih baik?)” lanjut Esther.
Elang tertawa kecil, lalu berlanjut mengobrol seru dengan Esther, Om Hans Nooij, dan Tante Mirani dengan menggunakan bahasa Belanda dan sesekali dengan bahasa Inggris.
Melihat Esther, tiba-tiba aku merindukan Gian, adikku yang sekarang sudah berusia sebelas tahun. Aku keluar dari kamar dan menelepon mama di Lampung Barat.
“Mama, sedang apa? Mana Gian?”
“Gian? Sedang menonton televisi,” jawab Mama. “Ada apa?”
“Kangen Gian. Kapan kalian kesini lagi? Gelisa nggak mau kesana, perjalanannya melelahkan,”
“Curang. Siapa yang kangen, dia yang datang,” kata Mama. Mendengar itu aku tertawa kecil. Aku dan mama banyak mengobrol, lalu selanjutnya dengan Gian. Gian tidak cerewet seperti sebelumnya, mungkin saja ia sudah bukan merasa anak-anak lagi, sebelas tahun. Papa sedang ada tugas di Kalimantan, sehingga aku tidak bisa mengobrol dengan papa.
Setelah kembali mengobrol dengan mama, aku mulai menceritakan hari-hariku di rumah sakit dan di kantor. Mama berkali-kali menguatkan dan menghiburku dengan segudang kata-kata lembut yang dimilikinya.
“Maminya Elang belum pulang? Wah, mama harus segera kesana kalau begitu,”
“Kalau repot nggak apa-apa, Ma,”
“Mungkin minggu besok mama kesana,” kata mama. “Lagipula mama ingin menjenguk Elang sekali lagi,”
Setelah berbasa basi sebelum menutup obrolan, akhirnya obrolan kami benar-benar berhenti. Selanjutnya aku kembali masuk ke kamar Elang.
“Jij bentzo mager geworden (kamu kurus sekali),” umpat Esther ketika itu kepada Elang. Rupanya mereka masih mengobrol seru.
Setelah itu aku merasa waktu cepat sekali berjalan setelah aku ikut bergabung mengobrol bersama mereka. Mereka banyak mengobrol menggunakan bahasa Inggris agar aku bisa ikut bergabung.
Ya, aku memang tidak bisa bahasa Belanda sama sekali.
            Tidak kusangka satu minggu saja Esther dan Om Hans Nooij berkunjung. Setelah itu mereka pulang bersama Tante Mirani. Mulai hari ini, Tante Ayu yang kembali menjaga Elang dari pagi hingga sore seperti biasanya.
            Aku juga tidak lupa menghubungi mama agar tidak kecewa karena jika mama nanti bisa berkunjung, tidak akan bertemu Tante Mirani. Tapi mama bersikeras tetap datang, karena mama memang ingin menjenguk Elang. Gian akan mengambil izin dari sekolah untuk tidak masuk beberapa hari.

***

Mama dan Gian sudah pulang. Rumahku kembali menjadi sepi. Tidak ada masakan mama lagi di atas meja makan, tidak ada Gian yang sedang menonton televisi ketika aku pulang dari kantor.
Aku akan merindukan mereka lagi.
Hari ini kami ke rumah sakit khusus kanker. Rupanya di belakangku, Elang dan dokter Arniati saling berhubungan membuat janji. Hari ini pegawai rumah sakit dan keluarga pasien akan membuat acara untuk menghibur pasien kanker. Aku juga baru tahu kalau sejak lima tahun yang lalu, setiap tahun acara ini diadakan. Ini karena gagasan salah satu yayasan kanker nasional.
“Wah, ini Elang? Tampan sekali,” begitu kata seorang perawat yang berusia setengah baya.
Pacar siapa dulu.
“Seperti reuni, ya?” Tanya dokter Arniati kepada kedua perawat tersebut.
Ya. Ini bisa dikatakan reuni.
Acara dimulai jam tiga sore yang direncanakan akan berjalan selama satu setengah jam. Sebelumnya, aku, Ramadhan, Fredi, dan Elang membantu persiapan dan dekorasi panggung untuk acara ini. Panggung sederhana yang terbuat dari papan ini sudah ada sejak pertama kali acara ini diadakan.
Acara dimulai. Ternyata acara ini banyak memberikan atraksi lucu sehingga membuat siapapun yang menontonnya tertawa terpingkal-pingkal. Ada parodi musikal lucu yang dilakukan oleh beberapa perawat dan dokter muda, ada yang mencoba melawak, ada juga yang menyanyi dengan suara sumbang, termasuk Elang. Elang menyanyikan dua buah lagu yang liriknya mengajak pendengar untuk bersemangat dan tidak berputus asa.
“Perkenalkan, ini adalah Elang, mantan pasien di sini,” kata dokter Arniati setelah Elang selesai menyanyikan sebuah lagu. Mendengar itu, para perawat senior maupun junior bertepuk tangan meriah sekali, membuat Elang tertawa kecil.
Elang memang tampan, tapi jangan centil begitu!
Aku menatap para perawat dengan kesal.
“Selamat sore semuanya,” sapa Elang melalui mikrofon yang disambut dengan siulan beberapa perawat.
Hei, kalian perawat atau tukang ojek yang sedang memanggil pelanggan?
Elang di sana bercerita tentang kanker otak yang pernah ia derita beberapa tahun lalu. Di akhir cerita, ia berusaha memberi semangat kepada para pasien untuk terus berjuang hingga bisa sembuh seperti dirinya. Elang berpesan bahwa takdir itu di tangan Tuhan, sehingga ketika seorang dokter mengatakan sisa umur, jangan terlalu dipikirkan, tapi terus berjuang melakukan yang terbaik. Elang juga berpesan kepada keluarga untuk tidak lelah berada di samping pasien. Karena keluarga adalah penyemangat bagi pasien.
Hebat sekali, Elang! Kamu begitu memukau di panggung itu.
            Malam harinya Elang mengaku tidak merasa lelah ketika aku menyuruhnya tidur setelah beraktivitas penuh. Elang masih ingin bermain game. Aku memutuskan untuk membaca berkas dari kantor di bangku bulat samping ranjang. Beberapa tulisan mulai aku lingkari dengan pena sebagai bahan pembahasan rapat besok.
            Ketika mataku tengah menerawang ke kaki Elang hendak mencari kata efektif untuk menyusun kalimat di kertas tersebut, aku melihat kuku kaki Elang yang tampak sudah memanjang.
            Dulu Elang paling sering memotong kuku kakiku. Mulai malam ini, aku yang akan lebih sering memotong kuku kakinya.
            Aku mau potong kuku kakimu.
            Aku mengobrak-abrik isi tas dan menemukan alat potong kuku. Aku menggeser bangku mendekat ke kaki Elang.
            “Mau apa?” Tanya Elang.
            Lihat sini, kuku kakimu sudah panjang.
            Aku tak menjawab, tapi langsung bergerak memulai memotong kuku kaki Elang dengan hati-hati. Hanya beberapa menit saja, aku berhasil memotong dan merapikan kuku kakinya.
            Aku tersenyum kemudian setelah melihat jemari kaki Elang kini melebar, saling menjauh satu sama lain.Tidak seperti dulu.
            Seperti kipas. Hihihi.
            Iseng, aku mulai mencari perhatian dengan menggelitiki telapak kakinya.
            Ah? Aku menggelitikimu. Tidak terasa? Kalau di sini? Kalau di sini? Aku menggelitikimu dibagian ini juga tidak terasa?
            “Kenapa, Sa?” Tanya Elang ketika menyadari aku yang sedang kebingungan.
            “Nggak apa-apa,” jawabku cepat sambil tersenyum.
            Kaki kamu sekarang benar-benar sudah mati rasa.
Esok hari, ketika Elang sedang berada di ruang fisioterapi, aku, Om Candra, Tante Ayu, dan Nicholas berkumpul di ruang dokter. Aku izin pagi ini dan berencana berangkat ke kantor siang nanti.
Sudah satu minggu jari kiri Elang mulai susah digerakkan. Tangan kanan Elang sudah lumpuh total, sama sekali tidak bisa diangkat. Sejauh ini Elang hanya bisa menggerakkan tangan kiri dan lehernya saja.
Mungkin karena kondisi Elang yang memburuk sehingga dokter hendak menjelaskan tentang kondisi Elang menurut medis.
“Kami tidak lagi menemukan adanya antibodi Anti-Gangliosida dalam tubuh Elang, itu tandanya pengobatan CIDP berpengaruh menormalkan kembali kerja antibodi tersebut,”
Syukurlah.
“Tapi kami masih menemukan kerusakan pada myelin di beberapa bagian sarafnya,”
Maksud dokter apa lagi?
“Tampaknya sesuatu sedang menggerogoti myelinnya seperti antibodi sebelumnya,”
“Sesuatu apa, dok? Virus?”
“Kami juga tidak menemukan virus. Masih dalam penyelidikan. Kami juga berencana mengirim data hasil tes pasien kepada mitra Kami di Jepang dan Amerika Serikat agar bisa segera menemukan penyebabnya,”
 “Apa ada kemungkinan ini ALS atau Lou-Gehrig? Karena pengobatan yang diberikan sama sekali tidak berpengaruh pada kondisi Elang,”
            “Sudah pasti ini berbeda dengan amyotrophic lateral sclerosis. Elang hanya mengalami gangguan pada myelin pada saraf tepi, dan tidak ditemukan tanda adanya kerusakan neuron motorik pada saraf pusatnya.  Itulah yang membuat kami yakin ini bukan ALS,”
Keputusan tepat untuk tidak menyertakan Elang mendengarkan penjelasan dokter. Mungkin jika setelah mendengar ini, Elang akan kembali frustasi seperti waktu itu.

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)