bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Senin, 22 Oktober 2012

Elang, Let Me Be With You 4

**4**
http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg

3 Januari 2010
Saya tidak pernah jatuh sekali lagi selain kepadanya. Saya tidak bisa tidak melihatnya dan menggerakkan bola mata ke arah lain. Ternyata alam yang bersama saya mengarahkan saya hanya kepadanya, sama sekali tidak ke arah lain. Jadi saya mengikuti petunjuk alam saja. Dia bahkan tidak akan bisa memaksa kepada siapa saya harus jatuh sekali lagi. Jika alam menyuruh saya jatuh lagi kepadanya untuk kedua kalinya dan ketiga kalinya, seharusnya dia tidak boleh menolak. Untuk apa dia memaksa saya jatuh kepada orang lain? Tentu saja dia boleh melakukannya, lakukan saja, maka aku lebih tidak akan bisa jatuh kepada orang lain.


Memang menyakitkan mencintai orang yang tidak mencintai kita. Tapi akan lebih menyakitkan jika kita mencintai seseorang tapi tidak pernah memiliki keberanian untuk menyatakan cinta kepadanya.


--- BERLARI UNTUKNYA Episode 2---

            Di kantin. Anang, Falia, dan Ratih menjadi salah tingkah tiba-tiba setelah Prakoso bergabung bersama di meja kami. Anang beberapa kali menjatuhkan sendoknya sendiri dan Ratih berkali-kali tersedak tanpa sebab setiap Prakoso mulai berceloteh. Falia tidak terlalu parah, tapi pandangannya selalu ke bawah meja, seperti tengah menjaga sepatu-sepatu dari sosok maling yang iseng.
            Prakoso berkali-kali juga mempermainkan Anang yang memang sejak awal bertemu dengan preman sekolah selalu berwajah ketakutan. Mata Prakoso sering melotot iseng ke arah Anang, dan ketika wajah Anang berubah ketakutan, Prakoso akan tersenyum puas, atau menahan tawa dengan senang.
            “Kalau mau mengganggu kami, pergi saja,” kataku kemudian karena juga merasa tidak nyaman dengan kehadirannya.
            “Nggak mau,” jawab Prakoso enteng.
            Kamu itu orang aneh. Tiba-tiba saja menjadi sering menemuiku. Kamu tahu rumahku dan datang dengan semau hatimu. Aku sebenarnya sudah merasa sangat kesal karena kamu sering mengancam kalau aku tidak mau menemuimu di depan rumah. Apalagi kamu selalu bermain-main dengan menghitung waktu agar aku segera menemuimu.
            “Sejak seminggu yang lalu kamu aneh,” kataku.
            “Aneh bagaimana?”
            “Sering bergabung bersama kami setiap jam istirahat pertama. Ada apa sebenarnya?”
            “Sedang suka ke kantin ketimbang di halaman sekolah,” jawab Prakoso. “Oh ya, aku sudah bilang kalau aku suka kamu?” Tanya Prakoso tiba-tiba.
            Anang, Falia, dan Ratih kompak tersedak, membuat Prakoso terkikik senang sekali. Aku langsung menoleh ke arah Prakoso diikuti tiga pasang mata milik ketiga sahabatku.
            “Kenapa?” Tanya Prakoso masih santai.
            “Kamu playboy, ya?” Tanyaku tiba-tiba. Itu yang baru saja kupikirkan.
            “Aku suka kamu sejak SD. Kamu nggak ingat kita dulu satu sekolah SD?”
            “Jangan main-main, ya,” kataku cepat.
            “Serius,” jawab Prakoso masih santai seperti tadi. Dia tersenyum mengaduk-aduk es yang mengapung di dalam gelas berisi teh manis. Tadi Prakoso merebut gelas itu dari hadapanku, tanpa izin dan tanpa rasa bersalah. Sementara ketiga sahabatku tampak mencuri lirik ke wajah Prakoso, dengan wajah yang sama terkejutnya denganku.
            Kita pernah satu sekolah?
            “Nggak ingat,” jawabku pelan.
            “Kejadian kita waktu di SD, kamu nggak ingat sama sekali?”
            Aku mengggeleng pelan sambil mencoba mengingat-ingat. Prakoso tampak menghembuskan nafas menahan kesal.
            “Huh, di sini juga nggak asyik, aku ke kelas saja kalau begitu,” kata Prakoso sambil bangkit dari duduknya meninggalkan meja kami. Aku menatap kepergian Prakoso hingga menghilang sambil mengobrak-abrik isi memoriku tentang sosok bernama Prakoso yang menurutnya pernah hadir dalam hidupku ketika masih kecil.
            Maksud Prakoso adalah dia suka sama aku sejak SD? Begitu? Wah, rupanya dia juga anak yang tidak waras. Bukankah ketika itu terlalu kecil untuk seorang anak menyukai seseorang?
            “Hidup kamu rumit, Sa,” celetuk Falia tiba-tiba.
            “Kenapa rumit?”
            “Suka dengan preman, sekaligus disukai teman preman yang juga preman,” jawab Falia sambil geleng-geleng kepala dengan ekspresi mengasihaniku.

***

            Prakoso kembali membawaku ke sebuah kapling yang menyerupai lapangan tempat dimana keenam preman sekolah sering berkumpul. Malam itu gerah sekali, langit juga gelap sehingga tidak ada bintang di atas sana. Dengan pelan-pelan aku mengikuti Prakoso di belakang untuk berjalan bergabung bersama mereka di tengah rerumputan.
            Dengan cepat tiba-tiba Prakoso ambruk hampir menimpa tubuhku. Aku menjerit kaget melihat apa yang terjadi. Di hadapanku berdiri seseorang entah siapa tampak tengah menatap Prakoso yang tersungkur di atas rumput liar. Mataku masih belum bisa beradaptasi dengan kegelapan ini.
Seseorang itu Elang.
Akhirnya aku bisa lihat dengan jelas orang yang berdiri di dahadapanku.
            “Kamu nggak pernah mengerti apa maksudku,” kata Elang kemudian ketika Prakoso sedang mencoba bangkit berdiri.
            “Aku nggak perlu mengerti,” jawab Prakoso.
            “Bawa dia pulang, sebelum kita semua berkelahi lagi malam ini,” perintah Elang dengan nada yang sama santainya dengan Prakoso.
            “Nggak mau,” jawab Prakoso.
            “Kamu mau dihajar?” Teriak Nicholas tiba-tiba menghampiri dan langsung menendang Prakoso dengan kuatnya. Prakoso mundur beberapa langkah dan terjatuh sekali lagi dengan bunyi debam yang lebih hebat dari sebelumnya. Nicholas memang sedang tidak main-main. Melihat Nicholas hendak melanjutkan aksinya, Elang menahan Nicholas diikuti dengan ketiga lainnya yang sedari tadi hanya menonton.
            Kalian mau berkelahi?
            “Kamu, pulang sekarang!” Teriak Elang sambil menoleh ke arahku. Wajahnya masih tenang seperti biasanya, tapi suaranya terdengar marah sekali. “Kamu masih nggak tahu kalau kami pada akhirnya berkelahi hanya gara-gara kamu?”
            Aku?
Aku menggeleng cepat.
“Dia nggak tahu apa-apa. Aku yang memaksa dia ikut. Jangan ganggu dia,” kata Prakoso cepat.
“Kamu pulang sekarang!” Teriak Elang sambil mendekat ke arahku. Tapi tiba-tiba Prakoso memukul Elang sebelum sempat mendekatiku hingga Elang mundur dua langkah. Aku berteriak histeris khas perempuan, seperti di sinetron yang pernah kutonton.
“Dia suka kamu, berengsek!” Teriak Prakoso kemudian kepada Elang.
Iya, aku suka kamu, Elang!
“Jadi ini semua salah aku? Oke. Akan aku selesaikan,” kata Elang sambil menarik tanganku untuk menjauhi mereka dan berjalan ke arah motor-motor yang terparkir. Prakoso tampak tengah mengejar kami di belakang.
Aku hendak dibawa kemana? Tolong! Prakoso, kamu harus menolongku!
“Jangan macam-macam,” ancam Prakoso setelah berhasil menggapai tangan Elang.
Elang hanya menepis tangan Prakoso dan kembali berjalan mendekat ke motor Elang yang terparkir tak jauh dari motor Prakoso dan motor lainnya. Elang naik ke atas motornya dan menyuruhku duduk di belakang sambil berteriak karena awalnya aku bersikeras menolak untuk naik.
Tapi aku hendak dibawa kemana?
Beberapa detik kemudian, Elang membawaku menjauh dari tempat itu, entah hendak kemana. Motor melaju lebih kencang ketimbang Prakoso waktu pertama kali, membuatku memejamkan mata dan menunduk berlindung di punggung Elang. Aku berpegang erat pada jok di antara pahaku, sambil berdoa kepada Tuhan agar aku tidak terjatuh.
Aku bermimpi? Tapi ini mimpi menyeramkan sekaligus menyenangkan.
Ini pertama kali aku berada satu motor dengan Elang. Aku senang sekali, sekaligus mual. Perutku menjadi penuh tiba-tiba.
Aku ingin muntah sekarang.
Sedetik kemudian aku muntah pada akhirnya di punggung Elang, membuat Elang melaju lebih pelan dan berhenti setelah meminggirkan motornya dari tengah jalan.
            Mampus. Aku akan mati di sini.
            “Maaf, Lang. Tadi kebut sekali, perutku jadi mual,” kataku pelan terbata-bata ketika Elang menoleh ke arah punggungnya. Elang tidak menghiraukanku. Ia sibuk membersihkan punggungnya. Tak lama kemudian ia turun dan mendekat ke bawah pohon. Elang kemudian menggosong-gosokkan punggung ke batang pohon hingga akhirnya ia membuka kaos oblong yang berwarna gelap itu.
            “Turun!” Perintah Elang setelah menatapku dengan kesal. Mendengar itu, aku cepat turun dari motor. Elang dengan cepat melempar kaosnya kepadaku dan berjalan naik ke atas motornya. Tanpa berkata apa-apa ia melaju meninggalkanku, dengan telanjang dada.
            Aku sempat memanggil Elang berkali-kali sampai Elang menghilang di kegelapan. Menyadari kesendirianku, aku mulai tengak-tengok ke jalan mencari taksi yang lewat. Untung aku berada di daerah yang tidak terlalu sepi, sehingga beberapa menit kemudian aku berhasil mendapatkan taksi untuk pulang.

***

Selanjutnya, karena Prakoso, aku menjadi banyak tahu tentang kegiatan mereka, aku tahu bahwa predikat preman yang mereka miliki karena mereka berenam adalah anak yang terlalu bebas berekspresi dan tidak terlalu mempedulikan aturan sekolah yang terlalu mengikat.
Dasar anak badung.
Mereka sama saja seperti siswa lainnya, hanya saja memang lebih aktif dan berani dibanding anak lain. Karena sudah terlanjur dicap preman oleh siswa lain, mereka sering iseng bertampang sok galak dan melotot ke arah siswa yang memperlihatkan wajah ketakutan. Karena menurut Prakoso, setelah itu, mereka akan menjadikan kejadian itu sebagai cerita yang lucu dan bersama-sama akan tertawa terpingkal-pingkal di halaman belakang sekolah.
Wah, kalian nakal sekali. Iseng?
Pada akhirnya aku banyak bertanya tentang Elang Pisdana. Prakoso dengan santai menjawab dan bercerita tentang Elang kepadaku. Di antara cerita itu, satu cerita tentang Elang yang membuatku kagum pada diri Elang, bahwa Elang ternyata seorang anak yang cerdas dan tidak pernah membolos pelajaran hanya karena malas belajar. Elang berencana kuliah di Inggris, ia sangat menyukai seni lukis. Elang adalah anak tunggal dari sebuah keluarga yang bercerai. Ayahnya di Surabaya sebagai jaksa wilayah sekaligus pengusaha penyewa traktor untuk pertambangan. Ayah Elang yang sepenuhnya mengatur dan membiayai hidup Elang. Sedangkan ibunya yang keturunan China tinggal di Amsterdam bersama suami baru sejak satu tahun yang lalu. Elang tinggal bersama Tante Ayu, tante dari pihak ayahnya di kota ini.
Begitukah kamu, Lang?
“Bagaimana dengan aku? Apa yang kalian pikirkan tentang aku?” Tanyaku cepat pada Prakoso suatu hari.
“Cewek unik yang pemberani,” jawab Prakoso. “Kami selalu heran dengan wajah kamu yang selalu tersenyum lebar kalau bertemu kami, nggak seperti anak lain yang ketakutan. Apa kamu benar-benar nggak waras?”
Kamu juga pasti menganggapku tidak waras. Ya, menurut Falia, Anang, dan ratih, aku cewek tidak waras yang jatuh cinta dengan salah satu preman seperti kalian.
“Kenapa bukan aku saja yang kamu sukai?” Tanya Prakoso tiba-tiba.
“Kamu terlalu kurus seperti pengguna narkoba,” jawabku cepat. Prakoso terkekeh.
“Kami bebas narkoba,”

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)