bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Senin, 22 Oktober 2012

Elang, Let Me Be With You 9

**9**

http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg

3 Januari 2010
Hari ini saya berkata menyukai pelangi. Tiba-tiba saja saya terpikirkan kisah saya dan dia seperti pelangi. Kadang kami senang bersama, kadang kami bertengkar, lalu kemudian memaafkan, dan kembali bertengkar atau senang bersama. Pelangi memiliki banyak warna dan jika warna-warna tersebut bergabung akan membentuk warna putih. Kenangan kami pun berwarna, senang, sedih, bertengkar, tertawa, berbagi, dan selanjutnya akan saling memaafkan setelah bertengkar karena kami pada akhirnya akan mengingat kenangan-kenangan yang pernah kami buat di hari yang lalu.


Terkadang cinta juga sering berkata maaf dan bisa membuat marah. Tapi cinta itu perbuatan, berbuat maaf setelah melakukan kesalahan, dan marah karena masih ada rasa cinta. Hal ini memang susah dimengerti, tapi tetap saja benar dan ada.


--- PELANGI ---

            “Otak kamu itu perlu di radioterapi,” umpat Elang setelah membukakan pintu untukku. Aku tertawa kecil mendengarnya sambil berjalan masuk ke dalam rumah. Hari ini aku lagi-lagi lupa membawa kunci rumah, sehingga harus menggedor pintu dan membangunkan Elang minta dibukakan pintu.
            “Sudah makan?” Tanyaku.
            “Belum,” jawab Elang lemas sekali. “Kamu bawa makanan?”
            Tidak bawa makanan apapun. Sekarang sudah jam sepuluh malam, aku kira kamu sudah makan.
            “Kamu nggak masak mi instan?”
            “Habis,” jawabnya. “Aku juga sedang malas makan, sedang mengetik proposal,”
            “Proposal apa?” Tanyaku.
            “Bantuan dana. Kami mau mengadakan pameran seni besar,”
            “Itu hebat. Kapan?” Tanyaku sambil masuk ke dalam kamar untuk bersiap-siap mandi. Elang menjawab, tapi aku tidak bisa mendengarnya. Ketika aku kembali keluar hendak meminta pengulangan jawaban, Elang sudah menghilang, kembali ke kamarnya.
            Satu jam kemudian setelah mandi, aku menjatuhkan diri di atas ranjang, karena merasa lelah sekali. Hari ini lembur menyelesaikan desain dapur yang belum sempurna bersama dengan tim.
            Basah! Aku lupa kalau kamar ini bocor. Kasurnya basah. Kenapa tidak dijemur oleh Elang? Tadi pagi aku sudah meminta tolong padanya.
            Aku masuk ke kamar Elang dan tidur di atas ranjangnya, lalu cepat sekali terlelap. Tapi baru saja mulai bermimpi, Elang membangunkanku dengan melempar bantal ke wajahku.
            “Kenapa?” Tanyaku agak marah tapi dengan suara lesu.
            “Kamu mendengkur, berisik,” keluhnya.
            “Apa kamu sekarang benci dengan cara tidurku?”
            “Bernafas pakai hidung seperti biasanya, jangan pakai mulut,”
            “Aku sedang flu, hidung tersumbat,” jawabku masih dengan lesu.
            “Kalau sakit berobat, jangan didiamkan,”
            “Cerewet, haiss!” Kesalku sambil bangkit dari ranjang dan pergi keluar kamar sambil membawa bantal. Aku hendak tidur di sofa.
            “Biar aku saja yang tidur di sofa, cepat masuk lagi,”
            “Kenapa nggak diperbaiki atapnya?” Keluhku sambil menjatuhkan diri di atas sofa dan berencana segera terlelap lagi.
            “Aku sibuk seharian ini. Aku sudah kirim nomor tukang ke ponsel kamu,”
            “Aku juga sibuk, nggak sempat menelepon,” jawabku. Lalu aku sama sekali tidak ingat apa-apa setelah menjawabnya. Sepertinya rasa lelah membuatku malam ini cepat sekali tertidur.
            Pagi-pagi sekali aku terasa ingin buang air kecil, sehingga terbangun. Agak terkejut karena aku sudah ada di atas ranjang kamar Elang. Di meja kerja dalam kamar sudah tidak bercecer kertas seperti semalam. Sepertinya proposal Elang sudah selesai.
            Buang air kecil! Sudah tidak tahan!
            Aku keluar kamar hendak menuju kamar mandi. Sekejap aku melihat Elang sedang tidur di atas sofa dengan bersembunyi di balik selimut.

***

Dua lukisan Elang dibeli dengan harga mahal oleh dua orang pengusaha yang berbeda pada acara pameran kemarin. Aku dan Elang sama-sama mengamati buku rekening yang tertera angka-angka yang berjumlah besar sekali sambil tersenyum bahagia. Aku bahkan melompat-lompat kegirangan serasa rekening itu adalah milikku.
“Kita bisa sewa apartemen yang agak besar,” kataku.
“Uang ini bisa untuk uang muka beli apartemen kecil,” katanya.
Ide cemerlang!
Dua minggu setelah kejadian itu, aku mendapat musibah. Mobil teman kantor menabrak beberapa motor yang terparkir di halaman kantor. Kebetulan sekali aku yang mengendarainya. Mobil bagian depan agak hancur dan tiga motor rusak parah. Aku membutuhkan uang untuk mengganti kerusakan-kerusakan itu.
Elaaaaaang! Aku pinjam uang!
“Kamu belum punya sim sudah sok menyetir mobil, itu akibatnya,” Elang mengomel.
“Tapi aku sudah bisa naik mobil,” bantahku cepat.
“Belum punya sim artinya belum bisa naik mobil,”
“Aku sudah bisa. Tadi sedang sial, karena motor itu parkir sembarangan,”
Parkir sembarangan? Aku mengarang cerita.
“Kalau kejadiannya begitu, itu tandanya kamu belum bisa,”
“Ya sudah. Sebenarnya kamu mau meminjamkan uang, nggak?”
Nggak,” jawab Elang cepat.
Tidak!? Pelit sekali makhluk ini.
“Aku pinjam, nanti aku ganti,” tegasku. Tapi Elang kembali menolak.
“Aku butuh angka rekening sebesar itu untuk mengurus visa ke Inggris,”
Inggris? Kapan? Dalam rangka apa? Kenapa tidak pernah cerita? Memangnya kamu anggap aku apa selama ini? Haiss!
“Kenapa nggak pernah cerita?”
“Minggu depan aku mau ke London, membahas rencana bisnis dengan teman di sana. Mungkin satu bulan di sana,”
Tidak usah cerita! Kalau aku tidak tanya, kamu akan pergi begitu saja ke sana tanpa cerita, kan?
Aku langsung pergi keluar rumah sambil membanting pintu karena kesal dengan Elang dan kesal ketika teringat uang yang harus aku dapatkan besok pagi.
Cari uang kemana?

***

Bulan pertama sama sekali tidak ada kabar. Setelah pertengkaran malam itu, Elang tidak pulang selama satu minggu entah menginap dimana. Tidak juga mengangkat panggilan ponselku. Sekarang satu bulan, Elang sama sekali tidak pernah menghubungiku. Nomornya tidak pernah aktif.
Apa kamu lupa dengan nomor ponselku? Atau lupa dengan aku? Haiss! Kamu benar ada di London? Bisnis apa sebenarnya?
Bulan kedua masih tidak ada kabar apapun.
Katanya hanya satu bulan?Apa kamu mati di sana? Kamu menyebalkan sekali, Elang!
Bulan ketiga masih tidak ada kabar satu pun dari Elang.
Apa kamu benar-benar mati di sana?Ah, ya ampun! Apa kankernya muncul lagi dan ia diam-diam tidak mau membuat kami khawatir?Bukan begitu, Gelisa! Kamu berpikir apa, sih?Elang ada rencana bisnis yang sangat besar dan perlu waktu tiga bulan untuk dibahas.
Esok pagi aku mendapat panggilan dari nomor Elang. Dengan cepat aku mengangkatnya. Elang di sana berbicara dengan suara parau. “Panggil ambulan ke jalan sekitar satu kilomerter dari bandara, kami kecelakaan,”
Kenapa kamu selalu membuat kami khawatir? Tidak bisakah kamu membuang kata kecelakaan dalam hidupmu?
Aku langsung menuju rumah sakit terdekat dari bandara. Kabarnya Elang sudah masuk ke ruang Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit itu bersama sopir taksi. Aku mengecek keadaan sopir taksi yang mengalami patah tulang kaki.
Keadaan kamu bagaimana, Lang? Kamu dimana sekarang?
Aku bergegas mencari Elang di ranjang-ranjang lain yang tersedia di ruang UGD. Tak lama kemudian aku menemukan Elang yang tengah berbaring di sebuah ranjang di ruang UGD. Seorang perawat laki-laki tampak sedang sibuk berdiri di samping Elang.
Apa yang terjadi dengan kamu, Lang?
Aku mendekati Elang. Kulihat wajahnya terdapat lecet dan berdarah di beberapa bagian. Perawat tampak sedang membersihkan luka-luka itu.
Syukurlah kamu bisa tersenyum ketika melihatku.
Elang mengubah penampilan wajahnya. Ia membiarkan jenggot tipis dan kumisnya tumbuh agak tebal, tapi rapi. Cocok sekali jika ia menaiki motor besarnya. Menurutku ia menjadi lebih terlihat laki-laki.
Apa yang kamu pikirkan Gelisa? Keadaan Elang bagaimana?
 “Kamu bagaimana? Ada yang patah tulang?” Tanyaku pada Elang.
Elang menggeleng, lalu memelukku erat sekali. Aku kaget sebentar lalu membalas pelukannya dengan lembut.
“Rindu setengah mati,” katanya pelan.
Syukurlah kamu baik-baik saja. Tapi sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kamu tidak pernah menghubungiku tiga bulan ini?
Sebuah majalah fashion terkenal di dunia asal London berencana buka cabang perusahaan di negeri ini. Elang di daulat menjadi fotografer sekaligus sebagai orang terpercaya untuk mengurusi syarat-syarat izin perusahaan, sehingga membutuhkan waktu lebih dari satu bulan. Elang sudah lama mendapat kabar bahwa perusahaan itu sedang mencari partner kerja untuk cabang mereka. Ternyata fotografer tetap di sana tertarik dengan gaya jepretan Elang setelah melihat karya Elang yang dikirim via pos ke perusahaan itu.
Elang berkata kalau menelepon dan mendengar suaraku, dia bisa lebih rindu dan ingin terbang menemuiku langsung sebelum urusannya selesai di sana. Sehingga ia tidak pernah mau menghubungiku selama tiga bulan ini. Aku kembali tersipu dengan pernyataannya itu. Aku akan memaafkannya.
            “Jadi sekarang kamu fotografer sebuah majalah fashion?”
            “Iya,” jawabnya.
            “Padahal sudah bagus dipanggil Pak Elang,” ledekku. Mendengarnya Elang langsung melotot kearahku. Aku hanya tertawa kecil melihatnya.
            Mata itu.

***

Aku dan Elang sibuk mengangkat beberapa barang kesana kemari. Elang langsung dikontrak dua tahun dengan harga yang sangat mahal. Elang sudah bisa menyicil apartemen dua kamar dengan uang muka yang besar, sehingga cicilan setiap bulan ringan. Salah satu kamarnya ia buat sebagai tempat mencuci cetak film hasil jepretan kamera film.
Aku juga sudah pindah ke rumah sewa lain yang lebih kecil dengan satu kamar, karena gajiku masih belum besar. Komplek perumahan rumah baruku sekarang lebih dekat dari kantor dibanding sebelumnya.
Aku sebenarnya agak heran dan terkejut pada awalnya. Tidak menyangka ternyata hasil jepretan Elang memiliki keunikan dan gaya yang cocok dengan karakter majalah fashion tersebut. Perusahaan itu berani mengontrak Elang yang seorang pemula dengan harga yang mahal.
Aku berhenti sebentar sambil duduk di atas sofa ruang televisi. Aku sibuk melihat-lihat hasil jepretan Elang yang dikumpulkan di dalam kotak kecil, berusaha memahami kehebatan foto-foto yang diambil Elang. Sementara Elang masih mengangkat barang ini dan itu yang berukuran kecil ke beberapa sudut ruangan.
Dimana bagusnya hasil jepretan Elang? Sepertinya aku memang tidak mengerti apa-apa tentang fotografi.
“Ini tisu kenapa nggak dibuang ke kotak sampah?” Sungut Elang sambil menendang-nendang beberapa tisu yang tercecer di lantai agar mendekat ke arahku.
“Kotak sampahnya jauh,” jawabku sambil mengusap ingus dengan tisu untuk yang kesekian kali.
“Jorok,”umpatnya. “Cepat pungut,”
Dengan lesu aku memungut tisu-tisu itu dan membuangnya ke kotak sampah yang berada di dapur. Lalu kembali berjalan menuju sofa.
Ruangan menjadi terasa begitu dingin sekarang. Kepalaku terasa makin panas setelah seharian mengangkat banyak benda berat. Hidungku terasa semakin penuh, aku susah bernafas. Hari ini libur, seharusnya aku tidur saja di rumah, bukan di sini.
Lebih baik aku tidur di sofa ini, aku seperti kehabisan tenaga sekarang. Sofa ini kenapa terasa lembut sekali? Kenapa terasa hangat sekali? Ah, enaknya kalau langsung tidur di sofa yang masih baru. Masih bau pabrik, tapi nyaman sekali.
Entah berapa lama aku tertidur, ketika bangun, ruangan sudah rapi sekali. Tidak ada barang yang berantakan seperti tadi. Tidak ada Elang juga.
Elang kemana?
 Pintu apartemen terbuka tiba-tiba diikuti dengan kemunculan Elang. Awalnya aku kaget sekali ketika itu karena belum terbiasa dengan wajah baru Elang yang sekarang memiliki kumis dan jenggot tipisnya. Ia berencana akan memelihara jenggot dan kumisnya sampai tua.
Tadi kupikir kamu pencuri.
Elang datang menghampiriku lalu meletakkan bungkusan ke atas meja depan sofa. Ia memegang dahiku dengan muka tangannya, lalu membuka bungkusan.
“Minum obatnya, lalu jus jeruknya,” perintah Elang lembut sekali. Dengan manja aku meminum obat dan jus jeruk, lalu membaringkan diri lagi di sofa sambil bergaya kedinginan.
“Tidur di ranjang saja, di sini kurang nyaman,”
Aku bangkit dan berjalan menuju kamar Elang masih dengan bergaya manja sekali. Setelah berhasil membaringkan diri di atas ranjang yang belum diberi bed cover, aku senyum-senyum sendiri.
Beruntungnya punya pacar seperti Elang.

***

            Ketika sedang mencuci piring sisa makan malam, panggilan telepon masuk ke ponselku. Aku bergegas mengangkatnya setelah melihat panggilan itu dari Mbak Risky.
“Kenapa lama sekali baru diangkat?”
“Maaf, mbak. Baru terdengar ada panggilan,” jawabku. “Ada apa ya?”
“Berkas tadi yang kita bahas kamu simpan di folder apa?”
Tanya lagi? Tadi aku sudah lapor di file ‘New project Desember 2007’. Mbak Risky selalu saja tidak bisa mendengar laporan para junior kalau sedang sibuk seperti ini.
Nggak ada. Kamu kirim saja data yang ada di laptop kamu ke email saya, ya,” perintah Mbak Risky lalu sambungan telepon terputus. Dengan kesal aku masuk ke dalam kamar dan menyalakan laptop dan menyambungkannya kepada koneksi internet yang baru satu bulan aku pasang sebagai langganan.
“Aku sering bilang, gayung itu jangan mengapung di bak, tapi diletakkan di bibir bak,” Elang muncul tiba-tiba sambil mengomel. Aku lupa kalau Elang belum pulang dan tadi sedang mandi. Aku mengacuhkannya karena sedang mencari-cari file yang diminta Mbak Risky.”Kamu dengar, nggak?
“Iya,” jawabku cepat masih sibuk mencari-cari file.
Entah mengapa Elang tidak suka kalau ada gayung yang mengapung di bak mandi. Menurutnya, dengan gayung yang begitu, seseorang pada akhirnya akan mencelupkan tangannya ke dalam air bak, dan menurutnya air bak akan menjadi kotor.
“Awas, ya, kalau besok masih begitu,” ancam Elang.
Memangnya itu kamar mandi siapa?Kalau tidak suka, jangan mandi di kamar mandiku. Dasar cerewet.
“Aku lanjutkan cuci piringnya, ya,” Elang nongol dari dari balik pintu. “Sibuk sekali. Kamu sebenarnya sedang apa, Sa?”
“Cerewet, Haiss!” Keluhku cepat karena sedari tadi file tidak tertemukan.
“Kenapa marah-marah? Aku mau membantu,”
Nggak suka kalau aku marah-marah? Kalau mau bantu ya bantu saja, jangan cerewet,”
“Kamu lagi haid, ya? Sensitif sekali,”
“Kenapa kalau aku sensitif? Nggak suka juga? Mau putus? Ayo putus saja,”
“Kok jadi putus? Putus itu bukan kata untuk main-main, ya,”
“Kamu sekarang marah? Seharusnya aku yang marah. Karena kamu cerewet, file-nya jadi nggak bisa ditemukan! Kalau mau bantu, ayo carikan file di laptop ini,”
“Ogah. Aku pulang!”
“Pulang sana,” Kataku dengan kesal sambil mendorong-dorongnya ke pintu. Setelah ia keluar rumah, dengan cepat aku mengunci pintu rumah dan kembali ke kamar berencana mencari file lagi.
Beberapa detik kemudian Elang membuat suara berisik lagi. Ia menggedor-gedor pintu dan berteriak kalau kunci motor tertinggal di dalam.
Aku tidak dengar apa-apa! Aku tidak peduli! File, file, file, kamu aku simpan dimana? Oh, ini dia. Sabar Mbak Risky, aku segera kirim.
Tiga puluh menit kemudian, aku kembali teringat Elang. Aku mengintip ke luar rumah, masih bertengger motor di sana. Tapi tidak kutemukan Elang ditiap sudut manapun. Aku membuka pintu dan mencari-cari sosok Elang.
Tidak ada.
Aku mengirim sms kepada Elang, bertanya dimanakah ia sekarang dan bagaimana ia pulang. Tak lama Elang membalas sms dan berkata bahwa ia sudah sampai apartemen menggunakan taksi.

***

Aku memeluk erat pinggang Elang semakin kuat ketika terdengar bunyi petir untuk kesekian kalinya. Tadi aku sempat memperhatikan awan hitam hampir menutupi semua langit. Pagi ini juga tidak ada matahari, mendung sekali.
Hujan! Bajuku!
“Berteduh, Lang! Bajuku!” Teriakku sambil menepuk-nepuk punggung Elang agar ia segera berhenti. Elang berhenti meminggirkan motornya di bawah sebuah pohon. Dengan cepat aku turun dari motor dan berlari ke bawah pohon rindang. Lumayan tidak kehujanan, tapi tetap saja masih ada hujan yang jatuh membasahi baju kerjaku.
Aku harus menyelamatkan berkas ini, aku harus menyelamatkan baju ini, karena menjelang siang nanti timku akan presentasi dalam rapat tiga bulan di kantor.
Nggak bawa mantel?”
Nggak,” jawab Elang santai sambil memandangi mobil-mobil yang dengan santainya melaju di antara hujan.
Elang tidak punya mantel, karena dia memang paling tidak suka memakai mantel. Bodoh sekali aku bertanya.
“Kalau begini, lebih baik punya mobil, ya,” kataku sambil ikut memandangi mobil-mobil yang melaju di jalan depan kami. “Lang, beli mobil, dong,”
Kamu sudah punya apartemen dan banyak uang sekarang. Ayo beli mobil.
“Aku nggak bisa mengendarai mobil,” jawabnya.
“Nanti aku yang antar jemput kamu, aku bisa naik mobil,”
“Aku nggak suka naik mobil, jauh lebih baik naik motor,”
Elang menjelaskan lagi, bahwa setelah nyaris mati beberapa tahun lalu, dia berjanji pada dirinya sendiri akan melakukan apapun yang ia inginkan dan menikmatinya. Ia sangat menyukai motor, maka akan terus menaikinya. Elang tidak akan membiarkan dirinya mati dengan tidak bahagia.
Baiklah, aku menyerah.
“Kalau begitu bawa mantel, agar aku nggak kehujanan begini. Bagaimana kalau bajuku dan berkas ini basah? Aku ada presentasi nanti,”
“Naik taksi saja, sana,” katanya cepat sambil menguap lalu mengusap-usap tangannya menahan dingin.
Oke. Itu lebih baik. Tadi kamu yang memaksa mau antar aku ke kantor. Aku tidak meminta diantar hari ini.
Aku berjalan mendekat bibir jalan untuk mencari taksi yang lewat. Sedetik kemudian aku kembali ke bawah pohon untuk membuka helm dan memberikannya kepada Elang tanpa bicara apapun. Lalu kembali lagi ke bibir jalan.
Sial, tidak ada taksi yang lewat, bajuku semakin basah, karena semakin mendekat bibir jalan, daun semakin tipis, sehingga hujan yang jatuh semakin banyak.
Aku mundur lagi berdiri di samping Elang sambil menatap lalu lalang kendaraan di jalan, berharap melihat taksi lewat dan aku bisa mengejarnya nanti.
Tiba-tiba Elang membuka jaketnya yang berukuran besar untuk ukuran tubuhku dan meletakkannya di atas punggungku. Kemudian ia menggenggam satu tanganku tanpa menoleh ke arahku dan tanpa bicara sepatah katapun.
Apa ini? Tapi bagus juga.
Aku membalas genggamannya sambil tersenyum kecil, tanpa menoleh ke arahnya dan juga tanpa bicara sepatah katapun.
Taksi! Taksi baru saja lewat.
“Taksi! Taksi! Taksi!” Aku berusaha mengejar taksi itu dan berteriak keras berharap sopir melihat calon penumpang di belakang. Elang menahan tanganku dengan tidak melepaskan genggamannya, sehingga aku tidak bisa bergerak lebih dekat ke bibir jalan. Lalu sedetik kemudian Elang menarikku mendekat lagi kepadanya. Aku dipaksa kembali di posisi tadi, tepat disampingnya, menghadap ke arah yang sama dengan tubuh Elang, menghadap jalan.
Apa ini? Itu taksi baru saja lewat. Aku mau ke kantor.
“Selamat Ulang Tahun,” katanya tiba-tiba sambil menggenggam tanganku lebih erat, tanpa menoleh ke arahku, dan tanpa ekspresi apapun seperti tadi.
Ulang tahun? Ini hari apa?13 Juni?Ya ampun, aku lupa.
Aku tersenyum lebar sekali tanpa menoleh ke arah Elang, lalu menjatuhkan kepalaku ke pundaknya.
Ternyata karena hal ini kamu memaksa agar kamu yang mengantarku. Aku tahu kamu baru pulang dari kantor pagi tadi, karena itu aku tidak mau kamu mengantar aku ke kantor hari ini. Pasti sekarang kamu sedang merasa lelah sekali dan mengantuk.
“Aku ada sesuatu untuk kamu di kantong jaket itu,” kata Elang kemudian.
Aku merogoh kantong dan menemukan sebuah kalung berwarna perak dengan dengan bandul berlian berukuran kecil.
Elang tahu dari mana? Padahal selama ini aku tidak pernah menceritakannya kepada Elang. Hanya sebatas obrolan kecil dengan Intan teman sekantorku. Karena kalung ini mahal, jadi aku hanya bisa menghayalkannya bersama Intan.
“Ini jauh lebih mahal dari motor kamu. Kamu beli ini pakai uang apa?”
“Tabungan,” jawabnya.
“Kenapa menghamburkan uang untuk membeli barang yang nggak penting seperti ini?”

***

Aku melihat Elang pingsan di kamar apartemennya ketika aku baru masuk pagi itu. Aku langsung menelepon dokter untuk segera datang, karena Elang baru saja tersadar ketika aku tengah sibuk menelepon dokter.
Menjelang pagi tadi aku mendapat sms dari Elang. Ia menyuruhku mampir ke apartemen untuk mengambil baju, sekitar dua jam yang lalu.
Apa kamu kelelahan karena semalaman mencuci dan menyetrika baju-bajuku? Aku tidak pernah menyuruh kamu melakukan itu. Haiss, kamu itu selalu melakukan hal aneh.
“Kamu kenapa, Lang?” Tanyaku cemas sambil membantu Elang bangkit dan membawanya ke atas ranjang. Wajahnya tampak lesu sekali.
Tak lama kemudian dokter datang bersama dua orang perawat dan memberi penanganan medis kepada Elang. Elang boleh dirawat dirumah, jadi dokter meminjamkan infus beserta tiangnya untuk Elang.
“Dia terkena infeksi saluran percernaan,” kata dokter. “Anda tahu, makanan apa yang terakhir ia makan? Tadi malam mungkin?”
Infeksi saluran percernaan?Semalam ia makan apa?Aku lembur di kantor dan baru bisa pulang pagi ini. Tapi sebelum pulang, aku mampir dulu ke apartemen Elang. Apa ketika mengambil baju-bajuku di rumah ia memakan sesuatu dari lemari es yang ada di rumah?
“Saya tidak tahu, dok,”
Malam harinya, setelah tenaga Elang berangsur pulih, ia memarahiku karena tidak pernah mengecek isi lemari es. Menurut Elang, ia mengalami sakit perut karena kemarin malam ia memakan makanan yang aku simpan.
Sebelum memakan apa yang ada di lemari es, aku selalu mengecek makanan tersebut layak untuk dimakan atau tidak. Perkara aku membiarkannya di dalam lemari es, itu urusanku, karena aku paling malas untuk masalah begitu. Itu artinya kamu yang tidak mengecek makanan yang hendak kamu makan. Kenapa menyalahkan aku?
“Iya, maaf,” jawabku pelan.

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)