bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Senin, 22 Oktober 2012

Elang, Let Me Be With You 12

**12**

http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg

19 Desember 2009
Dia harus kuat. Karena dialah yang sesungguhnya bisa menguatkan kami untuk memiliki tenaga menguatkannya. Apa pentingnya bisa bicara dan apa merananya tidak bisa bicara?Apa pentingnya bisa berjalan dan apa merananya tidak bisa berjalan? Selama hatinya bisa bicara, saya akan mendengar, selama ia memiliki cukup tenaga, bisa saya berikan sebuah kursi roda. Ia tidak bisa menegakkan punggungnya ketika duduk hari ini. Tapi, jika nanti akhirnya dia tidak bisa hidup, saya tidak yakin tidak merasa merana.

           
Hanya karena ia tidak mencintai kita dengan cara yang kita inginkan, bukan berarti ia tidak mencintai kita dengan semua yang ia miliki.


--- TANDA TANYA ---

Menurut dokter, berdasarkan pengamatan fisik dan pemeriksaan tubuh lainnya sejauh ini, Elang masih menunjukkan gejala tanda Guillain-Barre Syndrom (GBS). Karena itu, dokter sudah mulai memberikan terapi dan pengobatan kepada Elang untuk mengatasi penyakit ini.
            “Fisioterapi juga perlu dilakukan untuk memperbaiki gerakan fungsional pasien. Terapi ini juga dilakukan untuk mencegah kekakuan otot pasien, bahkan bisa mengembalikan kekuatan tubuh dan kualitas gaya berjalan,”
            “Jadi saya bisa sembuh, dok?”
            “Saya sudah sering mengatakannya, lebih dari 80% pasien yang di diagnosis GBS bisa pulih sepenuhnya,” jawab dokter. “Itu artinya anda akan bisa berjalan dengan normal lagi,”
            Syukurlah.
            Aku, Elang, dan Nicholas tampak tersenyum bahagia mendengarnya.
            Keesokan harinya, Elang mulai melakukan fisioterapi, terapi ini untuk mencegah kekakuan. Pelatihan-pelatihan dalam terapi ini untuk gerakan otot tangan dan kaki, tapi lebih fokus pada kakinya.
            Ruang fisioterapi sekilas tampak seperti gym dan di beberapa sudut ruangan seperti tempat permainan anak. Pasien yang melakukan terapi ini sekarang juga sudah mulai berkurang jumlahnya.
Kami dari pihak keluarga diajarkan juga cara-cara terapi ringan untuk menggerakkan otot kaki dan tangan Elang, sehingga setiap waktu dan sesering mungkin Elang menggerak-gerakkan seluruh ototnya.
            Tapi, pada hari selanjutnya, kaki kanan Elang menjadi susah diangkat, sehingga ketika ia menggerakkan kaki kanannya, seolah dikakinya terdapat kantung berisi beras yang menggantung.
           
***

Setiap hari Tante Ayu menjaga Elang sepanjang pagi hingga sore, dan pada malam harinya bergantian antara aku, Prakoso, Nicholas, Fredi, atau Ramadhan, tergantung kelonggaran waktu masing-masing. Karena alasan masing-masing, malam ini Tante Ayu yang akan menginap di rumah sakit.
Sore sepulang kerja aku datang dengan membawa CD film dan laptop serta berkas kerjaan sesuai pesanan Elang. Elang berencana melanjutkan pekerjaannya malam ini. Rencananya setelah mengantarkan pesanan Elang, aku akan pulang.
Elang bekerja di atas ranjang dengan kaki yang menggantung. Tidak sesuai rencana untuk segera pulang, saat ini aku malah sedang duduk di lantai beralaskan selimut sambil menggerak-gerakkan kaki Elang dengan teratur serta memijat-mijat kakinya. Aku juga sedang menonton film yang baru aku bawa. Sedangkan Tante Ayu tertidur di sofa karena kelelahan.
“Itu sudah pernah kamu tonton, Sa,” kata Elang tanpa mengalihkan pandangan dari laptop yang ia letakkan di atas paha.
“Tapi ceritanya bagus,” kataku.
“Apa masih ada bagusnya kalau sudah pernah ditonton?”
“Cerewet, lanjutkan saja pekerjaan kamu,”
Satu jam kemudian, Elang masih saja belum selesai mengotak-atik laptop dan berkas-berkas yang tadi kubawa. Aku sudah menguap berkali-kali. Melihatku begitu, Elang menyuruhku pulang.
Nggak mau. Aku pulang kalau kamu sudah tidur,” jawabku.
Pada akhirnya Elang memutuskan untuk tidur, sehingga aku bangkit dari lantai dan membereskan laptop dan kertas-kertas yang berceceran. Tidak perlu waktu lama, Elang sudah dengan posisi tidur di atas ranjang dengan selimut menutupi setengah tubuhnya.
“Pulang sana,”
“Sampai kamu tidur,” jawabku sambil membuka sebuah novel yang baru kubeli. Aku duduk di bangku yang aku letakkan di samping ranjang. Entah mengapa akhir-akhir ini aku menjadi lebih senang membaca novel untuk mengurangi kejenuhan di kantor.
Aku tertidur rupanya.
Aku mengangkat kepalaku karena leher terasa pegal. Aku juga tidak ingat kejadian tepatnya, tapi saat ini aku tengah mendapati diriku yang baru saja terbangun dari tidur. Sepertinya tadi aku tertidur membungkuk dengan kepala bersandar di atas ranjang.
Jam dua malam. Aku tidak bisa pulang sekarang.
Aku menyalakan alarm ponsel agar bangun sebelum pagi. Aku harus berganti pakaian dahulu ke rumah sebelum berangkat ke kantor esok hari.
Aku terkejut sebentar setelah menyadari sejak aku bangun tadi, tanganku berada dalam genggaman Elang dan selimut sudah menutupi seluruh punggungku.
Terima kasih untuk selimutnya.

***

Minggu kedua di rumah sakit, kaki kiri Elang sudah mulai susah untuk di angkat, seperti kaki kanannya. Sehingga ketika berjalan, Elang tampak seperti membawa beban berat di kedua kakinya.
“Itu hal yang wajar, kami masih tetap mengawasi perkembangannya,” begitu jawaban dokter ketika kami bertanya.
Malam ini aku menginap di rumah sakit. Sorenya setelah aku sampai rumah sakit, Tante Ayu pamit pulang. Tidak butuh waktu lama, kami mengantarkan Tante Ayu sampai ke depan pintu utama rumah sakit lalu berencana mencari makan di kantin. Banyak berjalan juga bisa dijadikan terapi untuk Elang, karena itu kami tadi mengantarkan Tante Ayu sampai mendapatkan taksi pulang.
“Tadi siang ada seorang bapak yang didiagnosa GBS,” kata Elang ketika kami sedang makan malam di kantin.
“Oh ya?”
“Bapak itu nggak bisa berjalan, keluarganya tampak masih shock,”
Nggak bisa berjalan? Keadaan kamu masih lebih baik, Lang,” kataku.
“Mulai besok, beliau akan menjadi partner terapiku,”
“Setelah ini kita mampir menjenguk beliau, yuk,”
“Untuk apa?”
“Memberi semangat. Lagipula kita semua bisa saling sharing. Itu akan jauh lebih baik untuk kita dan mereka,” jawabku.
Bukan jahat, tapi rasanya memang senang. Senang bertemu dengan orang dan keluarga yang didiagnosa penyakit langka yang sama. Kami akan bisa saling menguatkan.

***

Akhir pekan, aku bisa seharian menemani Elang di rumah sakit hari ini. Tante Ayu bisa beristirahat di rumah mengurusi suaminya. Aku berencana menonton banyak film dengan Elang, tapi sepertinya Elang lebih memilih melanjutkan menyelesaikan pekerjaannya.
“Memangnya mereka nggak tahu kalau kamu masih sakit?”
“Ini masalah tanggung jawab. Lagipula aku masih bisa mengerjakannya,”
Baiklah. Aku menyerah. Aku akan menonton film sendiri.
Seseorang tampak berdeham sekali, membuat aku dan Elang menoleh ke arah sumber suara. Ramadhan datang menghampiri kami sambil tersenyum setelahnya.
“Kamu belum pernah menonton film ini?” Tanya Ramadhan.
“Dia memang suka menonton lagi film kesukaannya,” jawab Elang.
Iya, betul.
“Kaki kanan dan kirimu sekarang susah digerakkan, ya?”
Iya. Jangan berisik, ah. Aku sedang serius menonton.
“Iya,” jawab Elang singkat. “Oh ya, pesananku mana?”
Aduh, ini scene yang sedang romantis. Tidak bisa hening sebentar?
“Sa, berhenti sebentar menontonnya,” kata Elang kemudian kepadaku.
Nanti, sebentar lagi. Ya ampun, sudah ditonton berkali-kali masih saja terasa romantis. Aku juga ingin segera dilamar. Ya ampun, ada apa dengan Elang?Ia memang tahu aku begitu menyukai perhiasan kalung ketimbang cincin. Tapi, kenapa aku tidak pernah mendapatkan cincin darinya?Aku ingin cinciiiiin.
“Sa,” pinta Elang lagi, membuat aku menoleh ke arahnya.
Hah? Cincin.
“Kamu nggak suka?”
Cincinnya sederhana tapi cantik sekali. Terima kasih Elang!
Aku menggeleng-geleng sambil mengambil cincin itu. Lalu aku memasangkannya di jari manisku. Sejak saat itu, aku tidak pernah lepas memandangi jari manisku yang terlihat menjadi semakin cantik.
 “Aku akan segera sembuh, lalu aku akan mendatangi keluargamu,”
Maksudnya akan melamar? Kita akan menikah?Kalau begitu ayo lekas sembuh! Syalalala.

***

Minggu keempat dan kelima, kabarnya minggu lalu bapak pasien GBS koma selama lebih dari satu minggu. Tapi untungnya hari ini bapak itu sudah membaik. Bahkan beliau yang awalnya tidak bisa berjalan, dengan menjalani pengobatan dan terapi beberapa minggu kemudian, beliau sudah bisa berdiri menopang tubuhnya sendiri.
Sedangkan Elang tampak memburuk. Kaki kanannya menjadi semakin susah diangkat, sehingga Elang harus menyeretnya di lantai. Elang mulai menggunakan satu tongkat.
Minggu ketujuh, kedua kaki Elang menjadi semakin susah untuk berjalan. Elang harus menyeret kedua kakinya satu persatu ketika berjalan. Tapi yang membuat kami heran adalah kejadian tadi siang setelah fisioterapi. Sang bapak sudah bisa berjalan menggunakan tongkat, sehingga menurut dokter beliau bisa pulang dalam beberapa hari ke depan jika kondisinya semakin membaik.
“Dokter, apakah bapak itu benar didiagnosa GBS?”
“Iya,”
“Bagaimana dengan aku? Mengapa aku tidak kunjung membaik?”
“Kondisi seseorang dalam mengatasi penyakit tidak selalu sama. Kemungkinan membaik sekitar 1 hingga 3 bulan. Kita masih perlu waktu lagi melihat perkembangannya,”
Minggu kedelapan. Akhir-akhir ini Elang lebih sering melakukan berbagai tes dan konsultasi dengan dokter, hampir setiap hari. Bahkan dokter yang memeriksa Elang bisa mencapai lebih dari lima orang dan mereka akan saling berdiskusi satu sama lain sambil berjalan pergi.
Pengobatan dan terapi masih dilakukan, tapi Elang masih belum menunjukkan perkembangan yang positif. Kami kembali menjadi cemas dengan keadaan ini.
Hari ini, ketika Om Candra baru tiba di rumah sakit, Elang tampak sedang berlatih dengan sebuah papan persegi panjang berlubang-lubang di atas meja. Dengan papan itu, Elang harus berlatih memasukkan paku satu persatu ke dalam lubang-lubang yang tersedia.
“Maaf, om, Gelisa nggak bisa jemput Om Candra dari Bandara,” kataku ketika kami sedang mengintip Elang dari luar pintu ruang fisioterapi.
Nggak apa-apa, Sa,” jawab Om Candra.
“Om Candra jadi izin satu minggu?”
“Iya,” jawab Om Candra.
Tentu saja semua orang akan merasa khawatir jika begini.
Malam hari Om Candra dan Prakoso yang menemani Elang di rumah sakit, sementara aku pulang ke rumah karena besok masih harus bekerja seperti biasa. Sudah tiga hari aku izin untuk mengurus Elang yang keadaanya semakin memburuk.

***

Satu minggu kemudian, Om Candra kembali ke Surabaya. Om Candra berjanji akan selalu datang di akhir pekan sampai Elang keluar dari rumah sakit, karena sebagai jaksa, ia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya selain hari libur.
Elang saat ini sudah menggunakan kursi roda, karena kakinya sudah tidak bisa lagi menahan tubuhnya sendiri. Entah apa istilah ‘melihat perkembangan’ seperti yang dokter katakan, karena sejauh ini kami hanya melihat ‘kemunduran’ pada tubuh Elang. Dan hingga hari ini, kami masih belum mendapat kabar kepastian dari dokter.
Ke ruang fisioterapi sudah menjadi rutinitas bagi Elang. Di ruangan ini, Elang masih mendapatkan terapi bersama-sama dengan para penderita stroke, cedera tulang, dan penderita lain yang mengalami masalah pada sarafnya.
“Papi sudah pulang, ya?” Tanya Elang ketika kami sedang menuju kamar dari ruang fisioterapi.
“Iya. Fredi sedang mengantar Om Candra ke Bandara,” jawabku.
Lalu kami terdiam lama dengan pikiran masing-masing.
“Sebenarnya aku sakit apa, ya?” Tanya Elang.
Aku juga bingung.
“Apa ya?” Aku pura-pura berpikir sambil terus mendorong kursi rodanya.
Dari hasil pencarianku di internet, aku agak curiga dengan beberapa klasifikasi GBS. Tapi aku juga tidak bisa membantu menentukan apa pun.
            “Aku takut aku nggak bisa sembuh,” kata Elang tiba-tiba.
            Sebenarnya aku juga takut tentang hal itu. Tapi tidak boleh. Kamu pasti sembuh.
            “Haiss, jangan berpikir macam-macam,” sangkalku kemudian. “Karena kamu banyak berpikir, jadinya otak kamu agak susah mengendalikan saraf-saraf kamu. Rileks, rileks, rileks,”
            “Apa itu? Mengarang cerita,”
            Memang.

***

Akhir pekan. Selesai fisioterapi, aku memijat-mijat tubuh Elang seperti waktu kemarin. Elang tampak menikmati pijatanku.
Apa begitu enak dipijat olehku? Wajah kamu bahagia sekali.
“Semakin lama tenaga kamu kemana, Sa? Kurang kuat,”
Siap, bos!
“Leherku juga agak pegal, Sa,”
Iya, dimana lagi yang pegal?
“Kamu itu memijat apa menggelitiki?”
Cerewet!
“Ini huruf apa, Lang?” Tanyaku sambil menuliskan sebuah huruf di punggungnya dengan jari telunjukku.
“N?”
Haiss! Bukan.
“C?”
“kalau ini?”
“E-R-E-W-E-T,” jawab Elang satu persatu. “Cerewet? Siapa?”
E-L-A-N-G. Aku kembali menuliskan huruf-huruf itu ke atas punggung Elang, membuat Elang marah tidak terima dibilang cerewet begitu.
Hari-hari berikutnya Elang masih belum ada kemajuan, kakinya masih susah digerakkan sehingga masih menggunakan kursi roda ketika hendak kemana-mana dan sering merasa sakit di kakinya.
Menjelang bulan keempat, dalam pemeriksaan harian, kondisi Elang memburuk lagi. Ia menjadi susah mengangkat tangannya. Ketika kedua tangannya diangkat lurus ke depan, hanya sampai batas kepalanya. Ketika kedua tangannya lurus ke samping, ia hanya mampu mengangkatnya hingga bahu.
Dokter kembali memberikan data-data hasil tes yang sudah Elang lakukan beberapa kali. Dokter kembali menjelaskan secara detil kepada Elang, Fredi, Om Candra, Prakoso, dan aku.
“Dengan mengamati perkembangannya dan berdasarkan hasil tes yang dilakukan berkali-kali, serta diskusi dari beberapa ahli, ini menunjukkan gejala yang relevan dengan Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy atau bisa kita singakat CIDP, semacam GBS kronis,”
Hah?
“Dari hasil tes tersebut, seperti pengamatan awal, terdapat gangguan pada saraf tepinya. Kami masih menemukan adanya kerusakan pada selubung yang disebut myelin,”
Lalu?
“Untungnya pengobatan CIDP sama dengan GBS, dan ...”
Apa selanjutnya?Aku tidak mengerti dengan penjelasan dokter.
“Kasus seperti ini hanya ditemukan sekitar satu dari satu juta orang,”
Sekarang perbandingannya menjadi 1:1.000.000?
 “Saya masih bisa sembuh, dok?” Tanya Elang.
            Iya, apa Elang bisa sembuh?
“Bentuk CIDP yang anda alami adalah aktif atau progresif dalam jangka waktu yang lama. Tapi CIDP sendiri jarang sekali ditemukan kasus kematian jika ditangani lebih awal seperti anda,”
Jadi  bisa sembuh? Syukurlah.
“Sebenarnya CIDP belum ada obatnya, tapi pengobatan dan terapi yang ada saat ini bisa memperlambat gejala-gejalanya. Kami tidak bisa menjanjikan anda akan kembali bergerak normal seperti sebelumnya, tapi kami akan memberikan yang terbaik,”
“Maksudnya tidak akan sembuh?”
“Bisa, tergantung kondisi pasien. Biasanya dalam waktu beberapa bulan, atau beberapa tahun. Karena itu kita harus berusaha sekuat tenaga kita,”
Syukurlah.
“Sekali lagi, karena ini kasus langka, kami juga masih perlu pengamatan lebih lanjut tentang kepastian diagnosa ini,”

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)