bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Senin, 22 Oktober 2012

Elang, Let Me Be With You 13

**13**
http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg

4 Januari 2010
Sebenarnya saya tidak ingin lagi melihat  dia memaksa saya pergi dengan cara apapun. Saya selalu ingin bersamanya dalam senang, maupun susahnya, sehat ataupun sakitnya. Klasik? Sepertinya begitulah saya. Let Me Be With You, Please. Saya membaca makna itu dalam setiap tatapannya, begitulah isi hati sebenarnya. Tapi, tak bisakah ia menerima makna itu dari saya? Setiap pagi saya memberi makna itu kepadanya. Saya benar-benar ingin bersamanya.

           
Banyak yang mengatakan bahwa mempertahankan sesuatu itu tidak mudah, dan berlaku juga dalam cinta. Seberapa besar seseorang bertahan, sebesar itulah rasa yang ia punya. Ketika seseorang berkata tidak mampu bertahan, maka benar bahwa rasa yang ia punya berencana hendak hilang. Selalu ada waktu kapan rasa itu akan hilang, atau malah menyadari bahwa tidak akan pernah hilang.


--- LET ME BE WITH YOU, PLEASE ---

Juli 2009
            Dua minggu setelah diagnosa terakhir, dokter kembali memanggil kami ke dalam ruangannya. Sore itu setelah keluar dari ruangan fisoterapi, aku dan Om Candra mendorong Elang ke ruangan dokter.
            Seperti hari ketika itu, dokter kembali memperlihatkan hasil gambar otak, gambar tulang belakang Elang, dan beberapa gambar lain.
            “Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, sistem imun tubuh Elang yang disebut antibodi Anti-Gangliosida saat ini sedang menyerang selubung myelin. Pada kasus normal, dengan pengobatan yang ada, maka sistem imun ini akan berhenti menyerang myelin dan bisa kembali bekerja dengan semestinya,”
“Semua jenis pengobatan terhadap CIDP sudah kami lakukan, tapi dari data terakhir ini, tampaknya tidak berpengaruh apa-apa, antibodinya masih kami temukan ditubuh pasien,”
Maksudnya?
“Kami sekarang menjadi ragu dengan CIDP,”
            “Jadi, ini apa, dok?”
“Elang mengalami kasus yang berbeda dari yang pernah ada. Ini benar-benar kasus langka, jadi kami tidak bisa memperkirakan gejala yang mungkin akan terjadi di kemudian hari,”
           
***

Setelah kemarin malam menahan diri agar tidak menangis ketika menginap di rumah sakit, akhirnya malam ini aku menangis di rumah. Aku tidak ingin menangisi Elang di depannya. Sebenarnya aku takut membayangkan Elang akan lumpuh. Aku tidak bisa membayangkan berapa lama atau berapa cepat itu akan terjadi. Aku tidak tahu bagaimana aku menghadapi Elang esok hari. Aku tidak bisa membayangkan perasaannya saat ini.
Apa salahku sehingga aku harus melihat orang terdekatku mengalami cobaan ini? Tidakkah cukup dengan kanker otak sembilan tahun lalu?
“Elang, Nang,” tangisku dalam telepon bersama Anang. Aku salah menelepon. Anang bukan menghiburku, tapi malah lebih kuat menangisnya ketimbang aku, membuat aku semakin menangis.
“Bagaimana jika Elang akan lumpuh atau mati?” Tangisku lagi.
Tiga jam kemudian, aku memutuskan menjadi kuat seutuhnya. Penderitaanku jauh lebih kecil ketimbang Elang.
Jika aku menangisinya, bagaimana dengan hatinya? Aku harus kuat. Aku tidak boleh menangis. Aku akan membuatnya tertawa setiap hari. Aku akan menguatkannya.
Esok pagi, aku mengompres mataku dengan air es, lalu air hangat, tapi mataku masih saja bengkak. Aku tidak mau nanti sore Elang melihat mataku seperti ini. Aku ingin terlihat biasa saja di hadapannya.
Semua baik-baik saja. Kejaiban pasti akan terjadi sekali lagi. Waktu itu Elang diramalkan dokter akan mati dalam satu tahun, tapi nyatanya ia bisa hidup lama sekali. Kenapa tidak kali ini? Elang akan hidup lebih lama dariku.
Setelah mandi pagi, aku menyadari keanehan pada jari manisku. Aku  kehilangan cincin. Masih menggunakan bathrobe, aku berkeliling rumah mencarinya ke setiap sudut dan di bawah perabotan setelah tidak berhasil menemukan cincin di kamar mandi.
“Iya, tante, kalau menemukan cincin berwarna perak tolong kabari Gelisa,” begitu pada akhir telepon dengan Tante Ayu yang sudah ada di rumah sakit untuk menjaga Elang. “Oh iya, jangan beri tahu Elang, ya, tante,”
Ceroboh sekali.
            Seperti sore biasanya, aku langsung ke rumah sakit sepulangnya dari kantor. Ketika aku masuk, Tante Ayu berpamitan pulang. Setelah mengantarkan Tante Ayu sampai pintu rumah sakit, aku kembali ke kamar Elang.
            Elang sedang tidur. Sejak kapan ia tidur sore?
            Aku duduk di bangku samping ranjang, lalu menyalakan televisi hendak menonton kelanjutan episode drama asia kesukaanku.
            Mencoba bersikap seperti biasa.
“Ini acara apa? Aku mau berita sore,” kata Elang tiba-tiba.
Siapa duluan yang menonton? Aku. Siapa yang menghidupkan televisi? Aku. Salah siapa dari tadi diam pura-pura tidur?Tidak mau. Aku mau menonton drama asia.
“Aku bilang ganti!” Teriak Elang tiba-tiba mengagetkanku. Dengan cepat aku mengganti saluran televisi berita sore. Aku bangkit dari bangku dan berjalan ke sofa untuk membaca koran sore yang baru datang. Beberapa menit kemudian, ketika aku menoleh ke arah Elang, Elang kembali tidur, tidak menonton televisi.
Apa ini?
Menit selanjutnya, Elang sering sekali membuatku kesal. Dia berteriak lagi hanya karena aku melarangnya memakan apel dengan cara menggigitnya beserta kulit. Dia juga marah karena aku salah menggaruk bagian pada punggungnya. Dia mengumpatku dengan kata-kata kasar ketika aku sedang mengobrol dengan Anang lewat ponsel.
 Apa salahnya tertawa di telepon? Aku centil?Aku tidak tahu diri?
“Aku sedang kesal karena kamu. Karena itu aku mencari hiburan menelepon Anang. Kenapa? Nggak suka?”
Aku ingin bertengkar seperti biasanya. Ayo jawab dan balas aku.
            “Kamu seperti anak kecil. Sebenarnya apa salahku?” Tanyaku sambil berjalan mendekatinya yang masih berbaring di atas ranjang.
            Jangan begini, Lang. Ayo balas aku.
            Elang tiba-tiba menangis, terisak-isak, lalu berteriak keras sekali.
            Elang...
            “Kamu tahu rasanya memiliki penyakit aneh? Kamu tahu rasanya nggak bisa berjalan?” Elang bertanya masih sambil terisak. “Sebenarnya apa salahku? Kenapa harus aku yang terkena penyakit aneh sialan ini?”
            Maafkan aku. Aku tidak tahu kalau kamu begitu frustasi memikirkan hal ini. Apa sekarang hatimu sangat sakit memikirkan cobaan ini? Apa kamu merasa tidak kuat menerima cobaan ini? Apa yang harus aku lakukan? Jangan menangis, Elang.

***

Elang masih menonton televisi ketika aku mulai mencari-cari cincin ke setiap sudut kamar Elang. Bolak-balik ke kamar mandi, tapi masih juga tidak menemukan cincin itu.
“Kamu cari apa?” Tanya Elang pelan ketika aku tengah mengintip lantai di bawah sofa.
Cincin.
“Bukan apa-apa. Kamu lanjutkan menonton televisi saja,”
“Kalau bukan apa-apa, kenapa masih mencari?”
Iya, Elang benar. Jadi aku harus pura-pura berhenti mencari?
Aku langsung duduk di atas sofa, pura-pura melanjutkan membaca novel. Tapi, mataku masih saja awas bergerak kesana-kemari berharap sesuatu berkilau tertangkap oleh mata.
“Sebenarnya kamu mencari apa? Apakah sesuatu yang penting?” Tanya Elang lagi. Ia tahu aku masih gelisah.
“Bukan apa-apa, kamu nggak perlu memikirkannya,” jawabku kembali pura-pura membaca novel.
“Karena aku lumpuh? Kamu kira aku nggak bisa membantumu mencari sesuatu?”
Bukan itu maksudku. Apa aku sudah menyinggungmu? Maaf, Lang.
“Kamu mau aku pijati seperti waktu itu?” Tanyaku cepat sambil menutup novel dan menatapnya penuh harap.
“Jangan mengalihkan pembicaraan,”
Kamu tahu aku sedang mengalihkan pembicaraan.
“Kemarin kamu nggak ke kantor, kenapa hari ini nggak ke kantor lagi?”
“Aku izin,” jawabku pelan.
“Untuk apa izin?”
“Aku ingin bersama kamu,” jawabku lagi.
“Kamu pikir aku nggak bisa melakukan apa-apa sehingga kamu harus bersamaku setiap saat?”
Apa yang harus aku lakukan sekarang?Jangan begini terus, Lang. Sejak kemarin suasana hatimu tidak baik. Bagaimana caranya aku mengembalikan suasana hatimu agar kembali seperti dulu?

***

            Elang sedang sibuk mengerjakan pekerjaannya di atas ranjang. Kamar kembali bertebaran kertas dimana-mana. Seperti biasanya, laptop ia letakkan di atas pahanya.
            Sore setelah pulang dari kantor, aku melihat suasana hatinya kembali membaik. Wajah dan sikapnya kembali seperti semula. Aku lega sekali, ketika ia tidak menolak untuk aku latih kakinya agar terus bergerak sesuai saran ahli fisioterapi.
            “Tadi di kantor aku webcam sama Falia. Dia titip salam buat kamu,”
            “Di kantor? Jelas sekali kalau kamu bermalas-masalan,” Elang menanggapi ceritaku tanpa menoleh, benar-benar serius dengan pekerjaan sebagai manajer.
            “Hanya sebentar. Setelah itu aku bekerja lebih keras dari orang lain,”
            “Alasan,”
            Apa maksud kamu? Kata-katamu menyakitkan. Kalau tidak suka aku bicara, aku akan diam. Aku diam.
            Aku terus melatih gerakan kaki Elang dengan cemberut. Lalu terhenti sebentar. Karena spidol Elang jatuh ke lantai, aku mengambil spidol itu dan memberikannya kepada Elang.
            Apa? Kenapa menatap marah kepadaku?
            “Kembalikan spidol itu ke lantai,” perintah Elang padaku.
            Hah?
            “Aku bisa mengambilnya sendiri. Jangan perlakukan aku seperti orang yang lumpuh dan nggak bisa bergerak,” kata Elang. Mendengar itu, aku meletakkan spidol ke tempat yang tadi.
Elang menyingkirkan laptop dari pahanya ke bantal, lalu bergerak berusaha menggapai spidol dengan tangannya. Tapi ternyata terlalu jauh, sehingga Elang perlu menggeser badannya agar lebih dekat ke tepi ranjang. Dengan kesusahan akhirnya ia berhasil menggapai spidol. Tapi bersamaan dengan itu, spidol menggelinding menjauh, membuat Elang tiba-tiba terjatuh. Aku langsung bergerak membantunya untuk naik ke atas ranjang lagi.
“Ambilkan spidol itu,” perintah Elang kemudian setelah berhasil kembali ke posisi sebelumnya di atas ranjang.
Keras kepala. Kamu menjadi terlalu sensitif.
Suatu pagi di hari yang lain, sebelum berangkat ke kantor aku mampir ke rumah sakit membawa pamper dewasa pesanan Tante Ayu. Menurut Tante Ayu, semalam Elang jatuh dari ranjang dan mengompol. Rupanya semalam ia ingin buang air kecil tapi takut membangunkan Tante Ayu.
“Ini apa?” Tanya Elang sambil melempar pamper yang aku letakkan di meja samping ranjang.
Kamu kenapa lagi?
“Aku nggak mau pakai. Apa karena semalam aku mengompol? Itu hal biasa pada orang dewasa ketika mereka sudah nggak tahan,”
            “Kami tahu. Ini hanya akan dipakai kalau malam saja,”
 “Nggak mau pakai,” tolaknya lagi.
“Lucunya bayi besarku kalau lagi manja dan ngambek begini,” kataku sambil memungut pamper dan berjalan menghampirinya.
“Bayi? Kamu pikir aku bayi sehingga harus pakai pamper? Aku masih bisa bergerak ke kamar mandi, aku belum lumpuh,”
Elang ...

***

            Akhir pekan. Menurut cerita Om Candra, tadi siang pimpinan dan beberapa teman kantor Elang datang menjenguk. Hari ini adalah hari paling berat untuk Elang, karena kedatangan mereka selain untuk menjenguk juga memberi kabar bahwa Elang dibebas tugaskan dari pekerjaan kantor sampai Elang sehat kembali. Tanpa gaji, sehingga tidak jauh berbeda dengan pemecatan.
            “Aku nggak mau rasa ini, aku mau rasa leci,” kata Elang setelah aku baru sampai di rumah sakit sore itu. Aku membawakan minuman untuk panas dalam pesanan Elang yang aku beli sepulang dari kantor tadi. Aku kembali keluar kamar dan ke mini market dekat rumah sakit untuk membeli minuman rasa leci.
            “Bukan roti seperti ini yang aku jelaskan tadi,” Beberapa menit kemudian menjelang makan malam ia kembali membuatku bolak-balik. Kali ini aku salah membeli roti di kantin rumah sakit.
            Menit kemudian ia minta dibacakan buku biografi seorang tokoh dunia.
            “Kamu terlalu cepat membaca,” kata Elang, lalu aku membacanya dengan lambat. “Ulangi paragraf yang tadi,”
            Ketika menjelang tidur, Elang banyak meminta dan protes seperti tadi.
            “Aku masih belum nyaman dengan posisi seperti ini,”
            “Ambilkan minum,”
            “Air hangat, bukan air dingin,”
“Aku nggak mau pakai selimut ini. Aku mau selimut yang ada di apartemen. Cepat ambilkan,”
            Om Candra yang sedari tadi hanya menyaksikan apa yang terjadi dari sofa, datang menghampiri Elang lalu menampar wajahnya.
            “Apa yang sedang kamu lakukan!” Teriak Om Candra.
            Elang menangis. Jenggot dan kumis Elang bergoyang-goyang.
“Apa yang dia cari dariku sekarang? Aku nggak seperti dulu lagi. Aku lumpuh, aku nggak punya gaji, dan mungkin saja sebentar lagi aku mati,” Jawab Elang dengan berteriak juga. “Jika dia kesal, dia akan memutuskanku dan pergi,”
            Inikah caramu agar aku meninggalkan kamu? Kamu pikir aku akan kesal dengan begitu? Aku tidak akan kesal. Teruskan saja. Aku akan bertahan bersamamu. Jika tidak diizinkan setelah memohon pun, aku akan terus bersamamu.

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)