bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Senin, 22 Oktober 2012

Elang, Let Me Be With You 18

**18**
http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg

28 Desember 2009
     Antara iya dan tidak. Antara keinginannya dan keinginan saya. Siapakah yang lebih egois? Saya atau dia? Sepertinya saya mengalah, saya akan membawanya ke Surabaya, seperti yang ia inginkan.


Memaksa cinta sebenarnya menyakiti, yaitu menyakiti seseorang dan diri sendiri. Sebaiknya ikuti saja perintah alam, hendak melaju ke jalan yang mana. Jika saatnya ia jatuh, maka tanpa dipaksa ia akan jatuh juga. Jika memang tidak akan pernah jatuh, ketika memaksa maka diri sendirilah yang pada akhirnya paling tersakiti.


--- ANTARA PELANGI, BINTANG, UANG, DAN RUMPUT ---

Januari 2010
Suara pramugari terdengar tanda pesawat hendak bersiap-siap landing. Para penumpang harus kembali menggunakan sabuk pengaman. Aku menatap Elang yang masih tertidur pulas di samping bangkuku.
Kami akan segera tiba di rumah masa kecil Elang, ia menyebutnya home plate. Dari kelima sahabat Elang, hanya Prakoso yang hari ini bisa mengantarkan Elang ke rumah sakit. Karena itu, aku juga mengajak Anang yang kebetulan memiliki waktu kosong tiga hari ke depan. Kami membutuhkan laki-laki untuk membantu mengangkat Elang dari bangku pesawat menuju kursi roda yang akan disiapkan di dekat pintu pesawat.
Abdul di Surabaya, sehingga ia bisa bertugas menjemput kami di bandara dan akan mengantarkan kami sampai ke rumah Elang. Di depan pintu arrival hall, tampak Abdul melambai-lambai ke arah kami. Ia masih memakai pakaian pegawai negeri sipil, mengingat sekarang masih siang, jam kerja.
“Lama sekali berputar-putar di atas bandara,” kata Abdul membuka percakapan. “Tiga puluh menit,”
“Antri landing,” jawab Anang cepat.
“Om Candra menitipkan kunci rumahnya kepadaku,” kata Abdul lagi.
“Iya, Om Candra sudah meneleponku,” kata Prakoso.
“Ya sudah, ayo segera naik,” aku mengajak mereka sambil mendorong kursi roda Elang. “Dimana mobilnya?”
 “Senangnya sudah sampai,” celetuk Elang tiba-tiba seperti tidak menghiraukan percakapan kami.
Ya, kita sudah sampai. Bersenang-senanglah dan kenanglah sebanyak mungkin hal-hal yang kamu inginkan di sini.
 Setelah sampai di depan rumah Elang, kami langsung segera turun dari mobil. Prakoso dan Anang mengangkat Elang dari kursi mobil ke kursi roda, sementara aku dan Abdul menurunkan koper berisi baju Elang dan tas berisi kamera kesayangan Elang.
Sesampainya di ruang televisi, Anang dan Prakoso langsung merebahkan diri di atas sofa. Sementara aku dan Abdul langsung mendorong koper dan tas kamera ke kamar Elang yang ada di samping ruang televisi. Setelah itu kami bergabung di ruang televisi.
“Abdul, kami semua belum makan, bisa carikan makan siang untuk kami, nggak?” Tanyaku pada Abdul dengan wajah memelas.
“Ide bagus,” kata Prakoso cepat.
“Maaf, Abdul. Apa kamu harus segera kembali ke kantor?”
Nggak harus,” jawab Abdul cepat. “Aku akan cari makanan untuk kalian,” kata Abdul sambil berjalan keluar rumah.
Ya, saat ini hanya kamu satu-satunya yang tahu jalan di daerah sini.
 “Rumah ini nggak berubah, Lang,” kata Prakoso sambil membuka pintu teras samping ruang televisi. Bersamaan dengan itu, angin segar masuk ke dalam rumah. “Om Candra masih suka berkebun ternyata,”
“Wah, pohon mangganya berbuah,” seru Anang tiba-tiba sambil menunjuk halaman samping teras ruang televisi. “Dijadikan petis akan nikmat sekali,”
Air liurku mendadak banyak sekali dimulut.
            “ Ayo pilih, antara pelangi, bintang, uang, dan rumput. Mana yang akan kalian pilih?” Tanya Elang tiba-tiba, membuat kami semua mengalihkan pandangan dari kebun samping rumah ke arah Elang yang duduk diam di atas kursi roda.
            Apa ini? Permainan tebak-tebakan? Oke, kita main.
            “Pelangi,” jawabku.
            “Kenapa?” Tanya Elang.
            Bukan permainan tebak-tebakan?
            “Pelangi itu warna-warni. Tahu nggak kalau warna-warna yang kita kenal digabung menjadi satu, akan menjadi putih,”
Aku mengarang. Biarlah.
“Elang, kisah kita seperti pelangi. Kadang senang, kadang bertengkar, dan kalau semua kenangan kita digabung menjadi satu, akan menjadi satu warna yang bersih, saling memaafkan. Dengan bersih itu kita akan kembali memberi warna-warna pelangi lagi, membuat kenangan lain lagi, dan nantinya akan menjadi putih kembali,”
Tidak saling terkait? Sepertinya terlalu memaksa.
            “Filosofi apa itu?”
            “Filosofi mendadak. Tapi filosofinya masuk akal, bukan?”
            Elang tersenyum kecil.
            “Prakoso, kamu pilih apa?”
            “Pelangi juga. Aku suka filosofi barusan, aneh tapi masuk akal,”
            “Nggak boleh sama,” kata Elang.
            “Hmmm, apa ya?” Prakoso tampak berpikir. “Bintang,”
            “Kenapa?”
            “Asal sebut saja. Harus ada alasan? Apa aku harus membuat filosofi juga?” Jawab Prakoso.
            “Aku tahu kamu akan pilih bintang,” kata Elang kemudian.
            “Sok tahu,” umpat Prakoso sambil tertawa kecil.
            “ Aku ingat senyum bahagia kamu waktu pertama kali kamu melihat wajah kampung Gelisa yang sedang takjub menatap bintang di basecamp kita,” ungkap elang.
            Akhir-akhir ini kamu selalu mengaitkan segalanya antara aku dan Prakoso. Ini maksud pertanyaanmu tadi?
“Seperti planetarium, ya,” Elang memperagakan wajah anak kecil yang begitu terkagum-kagum pada sesuatu. Setelah itu Elang tertawa kecil, sementara aku dan Prakoso terdiam menatap wajah Elang.
            “Aku nggak ditanya?” Tanya Anang kemudian.
            Bagus, Nang. Alihkan pembicaraan ini.
            “Oh ya, kamu pilih apa?” Tanya Elang sambil menoleh ke arah Anang. Sementara aku dan Prakoso saling melirik canggung sekali.
            “Aku pilih uang,” jawab Anang semangat sekali. “Bau uang itu menghilangkan stres,” tambah Anang sambil tertawa. Elang tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Aku dan Prakoso mencoba ikut tertawa, tapi sama sekali tidak menampakkan tawa yang alami.
            “Kamu harus tetap mencintai Gelisa seperti ini. Kamu harus lebih berusaha membuat dia jatuh cinta sama kamu,” kata Elang tiba-tiba sambil menoleh ke arah Prakoso. Serentak aku dan Prakoso saling pandang dan berhenti tertawa.
            “Kamu bicara apa, Lang?” Tanyaku cepat.
            “Aku ingin bicara ini sebelum aku mati,” jawab Elang.
Aku tahu yang kamu inginkan. Aku jatuh cinta pada Prakoso, lalu melepaskan kamu? Kamu sebegitu ingin pergi dariku? Jangan berharap aku akan melepaskan kamu. Aku tidak akan membiarkanmu pergi.
            “Kenapa nggak segera mati saja?” Kataku dengan geram sambil berjalan menuju dapur hendak menyiapkan teh hangat untuk kami berempat. “Aku akan segera menyukai Prakoso. Dia sehat, punya gaji, dan mencintaiku. Aku akan segera menyukainya seperti yang kamu inginkan, Lang,”
Semua terdiam, hanya terdengar suara dedaunan dari halaman samping yang tertiup angin.
Abdul memberikan suara lain dengan membuka pintu. Abdul muncul dengan membawa plastik berukuran besar berisi kotak makan. Aku merasakan berpasang-pasang mata saat ini tengah mengamati gerak-gerikku yang sedang sok sibuk meletakkan cangkir-cangkir ke atas meja dapur.
            “Aku pilih rumput,” kata Elang tiba-tiba. “Jika rumput nggak pernah ada, maka nggak akan ada orang yang datang ke halaman belakang sekolah untuk memotongnya. Untuk itulah aku bersyukur karenanya, aku bersyukur karena rumput telah membawa orang yang mencintaiku begitu besar hingga hari ini,”
            Aku menangis.
            Jika begitu, untuk apa kamu bicara hal bodoh tadi kepada Prakoso?
            “Lang, aku dipanggil Pak Bos ke kantor sekarang,” Abdul Muis mulai berbicara setelah lama terdiam karena bingung. “Nanti malam aku dan Reni akan mampir. Aku pamit sekarang, ya,” tambahnya sambil meletakkan plastik besar itu ke atas meja makan.
            “Hmm,” jawab Elang.
            “Ada apa ini?” Tanya Abdul setelah menyadari aku tengah terisak-isak.
            “Sebelum pergi minum teh dulu, ya,” kata Anang cepat sambil berjalan mendekat ke arahku. Anang sedang mencoba mengalihkan pembicaraan.
            “Pak Bos minta aku cepat. Aku mau langsung ke kantor sekarang,” tolak Abdul. “Oh, ya, mobil sudah aku masukkan ke garasi,” kata Abdul lagi sambil menyerahkan kunci mobil kepada Prakoso. Setelah itu ia benar-benar pergi dengan wajah bingung.

***

Anang dan Prakoso mengambil jadwal pagi-pagi sekali untuk pulang ke kota. Tiket pulang sudah dibeli bersamaan dengan tiket berangkat kemarin. Karena pagi-pagi sekali, Elang masih tertidur ketika aku mengantarkan Anang dan Prakoso ke bandara.
“Kalau mau kembali ke kota, jangan lupa kabari aku,” kata Prakoso setelah check in tiket.
“Tentu saja, hanya kalian yang bisa menggendong Elang saat ini,” jawabku sambil tersenyum. Prakoso juga tersenyum.
“Aku sebenarnya ingin lama di sini, say,” kata Anang sambil memelukku. “Kamu harus sehat, Sa, kalau mau kuat menemani Elang,”
Benar sekali.
Tak lama kami mengobrol, panggilan penumpang pesawat yang akan dinaiki Prakoso dan Anang terdengar, lalu keduanya berpamitan dan memberikan banyak pesan kepadaku. Aku hanya bisa mengangguk-angguk sambil mendorong-dorong tubuh mereka masuk ke pintu departure hall.
Hari masih sangat pagi ketika aku memarkirkan mobil di depan rumah Elang. Melihat jam di tanganku, saat ini pasti Pak Tomo baru akan memulai memandikan Elang. Pak Tomo adalah tetangga yang kami bayar untuk memandikan, mengganti pamper, dan menggendong Elang dari ranjang ke kursi roda selama Om Candra belum pulang dari Melbourne.
            “Oh, Bu Sri sudah datang,” kataku pada perempuan setengah baya yang sering membantu memasak dan membereskan rumah ini. Bu Sri tidak menginap. Ia datang pagi-pagi sekali menyiapkan sarapan lalu pulang sore hari setelah menyiapkan makan malam.
            “Iya,” jawab Bu Sri. “Dari mana, Mbak?”
            Aku mendengar suara tangis Elang dari dalam kamarnya.
            “Pak Tomo di kamar Elang, Bu?” Tanyaku pada Bu Sri.
            “Pak Tomo belum datang, Mbak,”
            Aku langsung berlari ke kamar Elang. Elang tampak sedang menangis terisak di atas ranjang.
            “Kamu kenapa? Merasakan sakit? Dimana?” Tanyaku sambil mengangkat Elang agar ia terduduk, lalu menyandarkan punggungnya ke tembok.
            “Maafkan aku, Sa. Jangan pergi,” isaknya.
            Ada apa? Apa maksudmu?
            “Aku nggak pernah merasa bersalah pada Prakoso telah merebut cinta pertamanya. Dia juga begitu terhadap Trisia. Aku menyukai Trisia sejak tahun pertama di SMA dan di tahun kedua Prakoso dan Trisia pacaran selama satu minggu saja. Dia juga merebut cinta pertamaku, jadi aku nggak merasa bersalah karena hal itu,”
            Aku tahu Trisia, teman sekelasmu adalah cinta pertamamu. Kamu juga tahu kalau cinta pertamaku adalah teman sekelasku di SMP. Jangan pernah berkata hal bodoh seperti kemarin kepada Prakoso. Tidak ada yang mencuri cinta pertamamu ataupun cinta pertama Prakoso. Semuanya takdir. Dan takdir kita adalah sekarang kita bersama dan saling mencintai.          
            “Aku mencintaimu, Sa,”
            Aku tahu. Aku juga mencintaimu.
            Setelah itu dia terus mengungkapkan segala isi hati dan kegundahannya. Elang berpikir aku marah dan meninggalkannya karena perkataannya kemarin kepada Prakoso. Ia pikir aku sedang pergi bersama Prakoso ke kota. Ia pikir aku akhirnya memilih Prakoso yang sehat, bergaji, dan mencintaiku, bukan memilih tinggal bersamanya. Mendengar Elang berkata agar aku tidak meninggalkannya berkali-kali, aku langsung memeluknya erat, dan mengusap-usap rambutnya dengan lembut.
            Elangku, Elangku yang manis. Aku tidak akan pergi, bodoh.
            “Aku di sini, Lang. Aku nggak akan pernah menyesal di sini, aku nggak akan meninggalkanmu,”
            Sejak hari itu, Elang selalu berkata manis kepadaku seperti anak kecil yang takut kehilangan ibunya. Semua perintahku ia turuti, semua saranku ia lakukan. Aku terkadang kesal dengan sikapnya yang begitu. Seolah aku benar sejahat itu, bahwa aku akan pergi jika ia tidak bersikap manis terhadapku.
Aku tak akan pernah meninggalkanmu walau kamu mengusirku. Tapi aku bisa mengerti tentang sikapmu ini.
Untung saja sikap Elang berubah dan kembali seperti dulu setelah Om Candra pulang dari Melbourne bersama Tante Ayu, Om Surya, dan dua sepupu Elang dari tante yang lain.
Suasana ramai dan menyenangkan selama beberapa hari, dan kembali sepi ketika semua pergi ke rumah masing-masing. Tawa, cerita, dan canda sekarang tinggal kami sendiri yang membuatnya. Aku, Elang, dan Om Candra.

***

Sore itu setelah hujan menyisakan rintikan kecil, Elang meminta didorong ke teras yang menghadap langsung halaman samping rumah. Ketika itu, kami melihat pelangi sedang tampak di langit.
“Pelangi itu cantik, ya,” seruku.
“Pelangi itu kamu,” kata Elang tiba-tiba.
Jadi maksudnya aku cantik?Hohoho
“Pelangi memiliki banyak warna sekaligus di setiap kemunculannya. Seperti kamu, yang membawa warna dalam hidupku, kamu membuat tertawa, marah, kesal, dan bahagia sekaligus ketika kamu muncul dalam hidupku,”
Manisnya.
Aku tersenyum tersipu.
“Wah, pelangi,” tiba-tiba Om Candra muncul dari pintu teras.
“Menurut papi, pelangi itu apa?”
“Pelangi itu gejala optik,” jawab Om Candra. “Pelangi itu hanya bisa dilihat oleh orang yang berada di antara matahari dan daerah hujan. Saat ini kita berada diposisi itu, membelakangi matahari,”
Oh, Om Candra pintar sekali!
“Papi mengarang,”
“Itu dulu pelajaran ilmu bumi di SMA,”
“Papi masih ingat pelajaran itu? Kenapa kuliahnya ambil jurusan sosial?”
“Papi juga nggak tahu,”
Setelah hujan benar-benar berhenti, Om Candra turun ke halaman samping. Ia mencabuti rumput liar disekitar tanaman bunga, lalu pindah ke tanaman lain yang tangkainya panjang menggelantung. Ia tampak serius menata posisi tangkai agar bunganya berada pada posisi yang Om Candra inginkan.
Berkebun itu merepotkan.
Tiba-tiba saja Elang bertanya padaku tentang kapan aku mengetahui namanya pertama kali. Lalu dengan penuh semangat aku menceritakannya, bahkan sampai memperagakan gaya bicara Anang ketika itu.
“Aku tahu nama kamu karena surat pink yang waktu itu,”
Iya, waktu itu kamu robek dan pungut lagi?
“Aku selalu ingat bagaimana rasanya naik motor. Aku merindukan saat-saat seperti itu. Akankah masih mungkin?” Tiba-tiba Elang berkata begitu setelah mengobrol banyak tentang banyak hal selama beberapa menit.
Aku juga merindukan saat-saat itu.
“Mungkin iya, mungkin nggak,” jawabku. “Kamu lupa kalau motor kamu sudah berubah menjadi mobil?”
Aku akan mulai mengalihkan pembicaraan.
“Aku lupa,” katanya sambil tertawa kecil. “Aku melakukan itu karena kamu, ingat itu, lalu perlakukan aku dengan baik,” kata Elang kemudian.
“Kamu ingin naik motor sekali lagi?” Tanyaku.
Itu bukan mengalihkan pembicaraan, Gelisa!
“Bagaimana?” Tanya Elang.
Aku memanggil Om Candra untuk membantuku mengangkat tubuh Elang ke sebuah kursi bundar menyerupai pohon sisa tebangan yang terbuat dari semen. Setelah duduk di sana, aku berdiri di belakang Elang, dan membiarkannya bersandar pada tubuhku.
Entah ini ide cemerlang atau bukan.
Aku membungkuk sedikit dengan hati-hati agar Elang tetap bisa bersandar di tubuhku, lalu aku memeluk pinggangnya.
“Begini kalau aku dibonceng di belakangmu,” bisikku.
Seperti naik motor, kan? Rasa rinduku sudah terhapuskan sekarang. Bagaimana dengan kamu?Kamu senang atau sedih? Kenapa ada setitik air mata di pipimu? Sepertinya ini ide yang salah.
Aku menghapus air mata itu dengan lembut, lalu kembali memeluk pinggangnya.
           
***
           
            Suatu pagi, Elang dengan tertawa kecil mengatakan kepada Om Candra bahwa tangan kirinya juga sudah tidak bisa digerakkan dan diangkat. Setelah Om Candra selesai memandikan Elang dan mendudukkan Elang di kursi roda, Om Candra pamit ke kamar mandi.
Om Candra menangis di dalam kamar mandi. Hari ini sudah tiba, dimana hampir seluruh tubuh Elang lumpuh. Sekarang ia hanya bisa menggerakkan leher dan kepalanya.
Good morning, handsome,” sapaku mencoba bersikap seperti biasa ketika Elang tengah terdiam di ruang televisi.
“Selamat pagi, jelek,”jawab Elang sambil tersenyum menoleh ke arahku. Aku memberikan ekspresi cemberut ke arahnya, membuatnya tertawa kecil.
“Aku membuat nasi goreng kesukaanmu,” kataku sambil membawa piring berisi nasi goreng. Aku hendak menyuapinya pagi ini.
“Itu bukan kesukaanku,”
Eh, kamu bilang itu makanan kesukaanmu.
“Karena kamu nggak bisa memasak, jadi aku bilang begitu. Itu makanan paling mudah yang bisa dibuat,”
Apakah pecel sayur juga bukan makanan kesukaanmu?
“Aku orang kampung. Aku suka sekali dengan pecel sayur,”
Pantas saja kamu lebih sering membeli itu kalau sedang bosan dengan makanan yang tersedia.
Sore hari sepulangnya dari kantor, Om Candra bergabung mengobrol bersamaku dan Elang di teras yang menghadap langsung halaman samping. Sore itu Elang tertawa terbahak-bahak ketika aku mengungkapkan keherananku tentang pindah profesi Elang,”
“Kamu pernah jadi calon jaksa, lalu berubah menjadi pelukis setelah keluar dari rumah sakit pasca kanker otak. Kamu menjadi fotografer setelah keluar dari rumah sakit akibat kecelakaan dari Bandara. Kamu menjadi manajer majalah fashion setelah keluar dari rumah sakit juga,”
“Oh , ya?” Kata Om Candra.
Elang tertawa lagi sambil mengangguk-angguk.
“Aku nggak pernah terpikirkan tentang hal itu,”
Om candra menambahkan bahwa Elang juga berubah dari anak kampung menjadi anak kota setelah keluar dari rumah sakit. Ketika itu ia terjatuh dari lantai dua ketika berkunjung ke rumah Tante Ayu di kota dan meminta melanjutkan SMA di kota setelah keluar dari rumah sakit.
Mendengar itu, Elang kembali tertawa terbahak-bahak.
“Kalau diingat-ingat, sepertinya memang begitu. Tapi aku benar-benar heran kenapa kebetulan itu bisa terjadi berulang-ulang dalam hidupku,”

***

Aku membuka gorden kamar Elang, memaksanya bangun. Berkali-kali aku membangunkannya untuk sarapan pagi, ia bilang masih ingin tidur sebentar lagi.
            Kamu ingin bermalas-masalan? Tidak akan kubiarkan.
            “Bangun, Elang!” Teriakku.
            “Biarkan aku nggak makan pagi hari ini,” keluhnya masih terpejam, tapi bola matanya bergerak-gerak.
            Semalam aku, Om Candra, dan Elang mengobrol banyak sekali hingga larut malam. Mungkin karena itu sehingga Elang masih merasa mengantuk. Semalam kami lupa waktu karena menceritakan banyak hal. Terkadang cerita lucu, lalu berubah menjadi cerita seram tentang kejadian aneh di rumah ini. Terkadang cerita sedih ketika Elang menceritakan perasaannya melihat kedua orang tuanya bercerai, lalu menjadi penuh haru ketika ayah dan anak itu saling mengucapkan maaf dan terima kasih.
            “Dudukkan aku, Sa,” kata Elang tiba-tiba sambil membuka matanya. Aku langsung mendekatinya lalu mengangkat tubuhnya agar posisinya menjadi duduk di atas ranjang. Aku menyandarkan punggungnya di tembok.
            “Aku teringat sebuah lagu. Bisa kamu putar? Aku menyimpan lagu mp3 di ponselku,”
            Aku mengambil ponsel Elang yang ada di meja samping ranjang dan membuka mp3 player di ponselnya.
            “Apa lagunya?”
            “Tak kan pernah menyesal, Sheila On 7,” jawabnya.
            Kami mendengarkan lagu itu bersama-sama, dan mengulangnya untuk kedua kali.
            Aku ingin menangis.
            “Aku ingin memainkan lagu ini dengan gitar, tapi nggak bisa,” kata Elang lagi sambil menoleh ke arahku. Aku hanya tersenyum ke arahnya, tapi dengan meneteskan air mata.
            Aku sudah menangis, maaf.
            “Cengeng,” umpat Elang.

Aku tahu, Kisah ini terasa berat di pundakmu
Aku tahu, Karena juga begitu berat di bahuku
Coba sayang, Berhentilah meratapi keadaanku
Jangan pernah, Menyerah pada keadaan busuk ini 

Reff :
Apapun yang akan terjadi
Tak kan pernah aku sesali
Bila menjalani semua denganmu
Bila memahami semua denganmu
Aku…
Tak kan pernah menyesal

***


Februari 2010
Setelah selesai mencuci piring sisa makan malam, aku ikut bergabung bersama Om Candra dan Elang yang sedang mengobrol di ruang televisi. Mereka tampak serius sekali, sehingga aku memutuskan untuk duduk agak menjauh di dekat jendela, melanjutkan membaca novel.
Tak lama kemudian, Om Candra pamit hendak tidur lebih dulu, sehingga Elang memintaku duduk mendekat.
“Novel apa?” Tanya Elang.
“Novel yang waktu itu, masih belum bisa kuselesaikan,”
“Bacakan untukku,” pintanya.
Aku tersenyum lalu mulai membacakan novel di halaman tempat aku tadi berhenti. Belum sampai satu halaman, Elang menyuruhku berhenti membacakan  novel untuknya. Ia memintaku mendengarkan apa yang hendak ia katakan saja.
“Aku sudah lama ingin mengatakan ini,” katanya pelan, tapi tetap mengalahkan suara malam yang sunyi.
“Hmm,” responku sambil menutup novel.
“Bagiku kamu bukan keluarga, tapi segalanya,” kata Elang. Ia tampak mengatur nafas sebentar seperti sedang merasa kelelahan.
“Apa kita istirahat saja sekarang? Besok saja kita lanjutkan,” aku mengusap tangan kanannya. Elang menggeleng pelan bersikeras hendak melanjutkan kata-katanya.
“Kamu bukan keluarga, tapi seperti ibu, seperti ayah, seperti adik, seperti kakak, seperti sahabat. Kamu memasak untukku, kamu yang membuatku memasak. Kamu mengkhawatirkanku,  kamu yang membuatku selalu khawatir. Kamu peduli padaku, kamu yang aku pedulikan. Kamu tempat keluh kesah dan bahagiaku, kamu yang menjadikanku tempat keluh kesah dan bahagiamu. Kamu terlalu manja, kamu yang memanjakanku. Kamu terlalu mengerti diriku, kamu yang aku mengerti setelah diriku sendiri. Kamu yang memarahiku, kamu juga yang membuatku memarahimu. Kamu yang mencintaiku, dan kamulah yang membuatku mencintaimu. Bagaimana bisa kamu adalah keluargaku? Kamu adalah segalanya bagiku,”
            Kamu membuat aku menangis. Kamu juga segalanya bagiku. Bukan, kamu jauh lebih segalanya bagiku.
“Apa kamu terharu?” Tanyanya. Aku mengangguk sambil mengusap air mata yang sejak tadi sudah mulai menetes tak terhenti.
            Aku terharu. Aku terharu. Aku terharu. Aku ingin memelukmu.
            “Aku ingin memelukmu, tapi aku nggak bisa. Bisakah kamu yang memelukku saja?”
            Aku mengangguk lalu mendekat memeluk kaki Elang. Aku mengusap-usap kedua pahanya dengan lembut lalu menyandarkan kepalaku di atasnya sambil berusaha menahan tangis.
            “Peluk pundakku,” pinta Elang.
            Aku mengangguk lalu bangkit untuk memeluk pundaknya. Aku mengusap-usap punggungnya dengan lembut sambil sesekali mengusap air-air mataku yang sudah mulai mengalir.
            “Kamu tahu? Saat ini aku benar nggak bisa merasakan pelukanmu,” kata Elang, kini sambil menangis. Mendengar itu, aku menjadi menangis keras sekali. Air mataku semakin tumpah ruah. Aku memeluk Elang lebih erat, semakin erat. Aku menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut, lalu detik kemudian aku menepuk pundaknya semakin kuat, agar ia bisa merasakan pelukanku.
            Apa kamu begitu menderita tidak bisa merasakan apa-apa?Jangan menangis, Lang. Jangan menangis. Nanti aku tidak bisa berhenti menangis.
            “Sebenarnya aku lebih ingin memelukmu saat ini,” Elang berkata sembari terisak-isak. “Tapi nggak bisa,”
            Apa yang harus aku lakukan? Aku menjadi semakin menangis.
            Aku mendengar suara tangis lain dari balik tembok. Ketika kutengok, diujung tembok terlihat pundak kanan Om Candra yang bergoyang-goyang karena sedang menahan tangis.

***

            Sejak mendapati lidahnya susah digerakkan dan bicaranya menjadi cadel, selama seminggu Elang berbicara seadanya, malas sekali untuk banyak membuka mulut seperti hari-hari kemarin. Hingga suatu malam Elang menangis sendirian karena ia tidak bisa bicara sama sekali. Ketika itu aku tengah tertidur pulas di kamarku. Om Candra yang mendapati Elang yang ketika itu tengah menangis.
            Esok paginya kami membawa Elang ke rumah sakit tempat Elang melakukan cek kesehatan. Elang kembali frustasi seperti dulu, sehingga cepat sekali tubuhnya menunjukkan gejala kemunduran yang lain. Elang terkadang menjadi agak susah menelan makanan dan air liurnya sendiri. Tapi untung saja Elang masih bisa menelan sesekali, walau lebih lama dari biasanya. Karena hampir setiap kali makanannya tertahan di mulut karena terkadang ia tidak bisa menelannya.
            Suatu kali ia menatapku tajam sekali ketika aku sedang mengupas apel kesukaanya. Ketika kutoleh, kulihat air liurnya mengalir sudah sampai di dagunya.
            Maafkan aku, aku tidak tahu kalau sedari tadi kamu memanggilku. Kamu ingin aku mengelap air liurmu?
            Beberapa hari kemudian, tiba-tiba Elang tidak bisa menelan makanan, sehingga makanan dimasukkan ke dalam infus. Selanjutnya Elang menjadi susah bernafas, sehingga dokter menggunakan selang oksigen untuk membantunya bernafas. Melihat keadaan Elang yang seperti itu, aku dan Om Candra memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit di kota, di bawah pengawasan dokter yang selama ini mengetahui pasti keadaan Elang.
            Setelah berhasil membawa Elang ke kota dengan menggunakan pesawat dikawal dokter serta perawat, tak lama kemudian setelah tiba di rumah sakit, nafas Elang semakin susah, sehingga dokter melakukan tracheostomy, yaitu membedah lehernya untuk membuat saluran nafas melalui trakeanya.
            Apa yang akan terjadi padamu, Lang?
            “Bapak jangan cemas, sekarang pasien sudah lebih baik,” begitu kata Dokter. Tapi dua hari kemudian, Elang menjadi tidak sadarkan diri dan harus masuk ke ruang ICU.
            Ketika mendapat kabar tentang hal ini, Tante Mirani dan Falia berusaha mencari waktu agar bisa kembali ke negeri ini untuk menjenguk Elang. Semua orang mencemaskan keadaan Elang saat ini.

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)