bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Senin, 22 Oktober 2012

Elang, Let Me Be With You 17

**17**
http://i.istockimg.com/file_thumbview_approve/184895/2/stock-photo-184895-paper-notebook.jpg

6 Januari 2010
Elang pernah berkata inilah home plate baginya. Ia sudah puas berhenti di base-base sementara dan ingin lama di sini.  Aku menjadi takut dengan istilah itu. Home plate seluruh makhluk Tuhan sebenarnya adalah pulang kepada Tuhan. Apakah itu artinya ia sudah puas hidup dan ingin pulang kepada Tuhan?
Gelisa! Buang jauh-jauh pikiran itu. Elang masih punya segudang harapan sembuh dan hidup.


Tidak memerlukan banyak kata untuk menunjukkan bahwa kita peduli terhadap orang yang kita cintai, karena terkadang diam adalah cara terbaik untuk menunjukkan kepedulian kita terhadapnya.


--- HOME PLATE ---

Desember 2009
Kunjungan pertama Elang di rumah sakit khusus kanker ternyata membekas di hati Elang dan penghuni rumah sakit kanker, baik itu pasien, keluarga pasien, maupun pegawai dokter, perawat, dan pegawai di bagian admistrasi. Sejak hari itu, ketika aku tidak memiliki ide hendak membawa Elang kemana, ia selalu memilih berkunjung ke rumah sakit khusus kanker.
Seperti hari ini, Elang sedang sibuk mengobrol dengan penderita kanker yang tidak sedang menjalani kemoterapi ataupun radioterapi. Mereka berkumpul bercanda dan saling berbagi pengalaman dengan Elang.
“Jadi benar di diagnosa satu tahun saja hidupmu?” Tanya seorang pasien.
“Hei, dia sudah bercerita banyak kali untuk masalah itu. Aku bosan mendengarnya,” keluh pasien yang lain.
“Sebenarnya kamu sakit apa sekarang?”
“Iya, sakit apa? Stroke? Kaki dan tanganmu nggak bisa digerakkan?”
“Stroke? Di usia muda?”
“Apa kamu kecelakaan?”
“Bagaimana dia bisa menjawab pertanyaan kalian sekaligus?” Seorang perawat yang duduk di antara mereka langsung menengahi. Dari kejauhan aku dan Ramadhan hanya tersenyum melihat mereka.
Sore hari sepulangnya dari rumah sakit kanker, Elang ingin mampir ke toko buku. Ia ingin membeli beberapa buku untuk ia baca. Akhir-akhir ini Elang memang suka dibacakan buku.
Kami sudah ada di depan toko buku. Ramadhan menggotong Elang naik di kursi roda, lalu ia pamit pergi sebentar, entah kemana. Tanpa lama-lama, aku bergegas mmengajak Elang menuju pintu toko buku. Tepat di depan pintu toko aku berhenti, membuatnya bertanya.
“Nanti dulu, aku mau keluarkan pintu ajaib agar kita bisa ke toko buku,”  kataku sambil berpantomin mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong celana, lalu meletakkan sesuatu itu di depan pintu toko buku.
“Apa itu?”
“Ayo masuk, kalau kita buka pintu kemana saja yang itu, kita akan sampai ke toko buku,” kataku sambil menunjuk pintu toko.
“Anak kecil sekali, kita sudah ada di depan toko buku sekarang. Jelas saja kalau masuk pintu itu, kita akan ada di dalam toko buku,”
“Kamu nggak bisa pura-pura? Membosankan sekali,” umpatku sambil membuka pintu toko buku lebar-lebar, lalu menyuruh Elang yang duduk di kursi roda power elektrik masuk ke toko buku.
“Lagipula kantong doraemon itu di dada, bukan di kantong celana,”
“Hah? Otak mesum, apa maksud kamu? Kantong di dada? Seperti tukang jamu menyimpan uangnya?”
“Bukan itu maksudku,” kata Elang cepat. “Sepertinya kamu yang berotak mesum,”
Eh? Aku?
Aku melotot ke arahnya ketika ia menoleh ke arahku. Elang tertawa lalu menyuruhku terus mendorong untuk melihat buku di rak lain.
Eh, kalau diingat-ingat lagi, kantong doraemon itu di perut. Jadi, siapa yang berotak mesum?
Satu jam kemudian, Elang mengajakku ke kasir, karena buku yang ia inginkan sudah ada di pangkuannya. Aku menurut, masih dengan penuh semangat aku mengikuti Elang di belakang.
“Oh ya, Ramadhan kenapa belum kembali?” Tanyaku pada Elang sambil tengak-tengok ke sekeliling toko buku.
“Sa, ambil diary itu,” perintah Elang tiba-tiba ketika melewati sebuah rak yang tersusun banyak jenis diary di sana. “Ambil yang warna kuning muda itu,”
Eh? Kuning muda? Warna kuning muda itu adalah diary yang dari tadi aku lihat.
Tadi ketika Elang tengah membaca sinopsis buku yang hendak dia beli di rak sebelahnya, aku menatap diary itu sambil memutuskan untuk beli atau tidak.
Wah, dia mau menghadiahiku dengan itu? Sebenarnya aku juga tidak tahu pasti ingin menulis diary atau tidak.
“Ini hadiah anniversary kita,”
Hari ini? Bukan. Aku sudah bilang di setiap tahunnya kalau ini bukan hari jadi kita.
“Sudah mau pulang sekarang?” Tanya Ramadhan yang tiba-tiba muncul di dekat kasir. “Ini pesanan kamu, Lang,”
Elang mengambilnya dari tangan Ramadhan dengan tangan kirinya, lalu menyerahkannya kepadaku.
Apa ini?
“Buka, nanti akan tahu itu apa,”
Cincin? Kamu sudah tahu kalau cincin itu hilang? Sejak kapan?
“Kamu tahu kenapa aku nggak pernah tanya kemana cincin yang pernah aku berikan?” Tanya Elang padaku.
Aku kira hingga sekarang kamu tidak tahu tentang cincin itu. Aku sudah menyiapkan alasan bahwa cincin itu aku simpan di rumah jika suatu waktu kamu  bertanya.
Aku menggeleng.
“Karena aku tahu cincin itu ada dimana,”
“Dimana?” Tanyaku.
“Mungkin sekarang ada di tempat akhir pembuangan tinja. Waktu itu aku mencuri cincin dari tanganmu ketika kamu tidur, lalu membuangnya di toilet esok paginya,”
Hah?
“Waktu itu aku begitu frustasi,”
Jadi kamu sekarang melamarku lagi?
“Jangan terus memintaku menikahimu lagi. Hanya ingat ini saja, aku akan menikahimu jika aku sembuh,”
Baiklah. Kamu harus sembuh agar bisa menikahiku.

***

“Ada calon klien yang tertarik dengan rancangan kami di beberapa proyek sebelumnya dan sedang mempertimbangkan untuk bekerja sama. Aku ditunjuk menjadi ketua tim. Bagaimana menurutmu? Aku harus terima atau tolak?”
“Pertanyaan apa itu? Tentu saja terima,” jawab Elang.
Ya benar. Ini pertama kalinya aku ditawari menjadi ketua tim dalam suatu proyek kantor.
Sejak menerima menjadi ketua tim, aku lebih sering di rumah ketimbang di rumah sakit. Dan setelah klien menandatangi kontrak, dalam seminggu, hanya dua kali saja aku bisa menjenguk Elang sepulang kantor. Selebihnya aku habiskan untuk istirahat di rumah karena sepanjang hari selalu kesana-kemari menemui klien untuk berdiskusi atau meninjau lokasi proyek. Terkadang aku lembur di rumah hingga menjelang pagi dan esok paginya harus buru-buru ke kantor.
Sesibuk apapun, aku berusaha mengosongkan waktuku di hari minggu untuk bersama Elang. Aku harus selalu siap sedia ke tempat-tempat yang Elang ingin kunjungi.
“Hari ini benar ingin di rumah sakit saja?” Sekali lagi aku bertanya pada Elang yang duduk di kursi roda menghadap jendela.
“Aku lelah, mau bermain game saja,” jawabnya sambil menggerakkan kursi roda dan berputar menuju laptop yang tergeletak di atas meja samping ranjang.
“Aku bisa bosan kalau hanya melihat kamu bermain game sepanjang hari. Kita keliling rumah sakit saja, bagaimana?”
“Ide bagus,” jawab Elang.
Beberapa hari kemudian, Rabu pagi. Pintu rumahku diketuk dari luar. Aku mencoba bangkit dari ranjang kamarku, tapi rasanya kepalaku sedang tertimpa satu ton kantung beras. Berat sekali.
Pintu masih saja diketuk, sehingga dengan sekuat tenaga aku akhirnya bisa bangkit dan berjalan untuk membukakan pintu.
Prakoso? Ada apa?
“Ternyata Elang benar kalau kamu sedang sakit. Kenapa nggak berobat?”
“Hanya pusing sedikit, sedang flu,” jawabku sambil berjalan menuju sofa dan duduk di sana. Aku menyuruh Prakoso masuk.
“Elang meneleponku untuk mengecek kamu di rumah. Menurut Elang kemarin kamu nggak masuk kerja dan hari ini juga,”
Hari ini aku berencana masuk ke kantor. Sekarang jam berapa? Ya ampun, sudah jam sepuluh siang? Aku terlambat.
“Aku terlambat,” kataku cepat sambil bangkit dari sofa. Prakoso menahan badanku agar duduk kembali di atas sofa.
“Ayo kita berobat,” perintah Prakoso.
“Aku harus ke kantor,”
“Aku melarang kamu,”
Kamu siapa berani melarangku?
“Elang bilang, kamu harus segera mengaktifkan ponselmu. Dari kemarin nggak aktif,”
Tidak aktif? Mungkin baterenya habis dan aku tidak sempat men-charge-nya. Maafkan aku Elang, kamu pasti sangat khawatir sekarang sampai-sampai mengirim Prakoso untuk mengecek keadaanku.
“Aku benar kalau kamu sakit, Sa? Prakoso sudah sampai di sana?” Kata Elang ketika aku mengangkat panggilan ponselnya. Ponselku baru aku charge lalu langsung mengaktifkannya.
“Aku hanya flu,”
“Makanya jangan terlalu lelah,” kata Elang lagi.
“Sa, bukan itu maksud Elang, apa dia selalu kasar begitu padamu?” Suara sudah berganti menjadi suara Tante Ayu. “Berobat, ya, Sa,”
“Dia itu manja sekali. Nggak mau berangkat berobat sendiri, selalu mengkhawatirkan orang lain,” kata Elang dengan suara yang terdengar lebih kecil dari sebelumnya. Sepertinya Tante Ayu tidak mendekatkan ponsel ke mulut Elang.
“Kamu terlalu lelah,” kata Prakoso setelah panggilan dari Elang terputus.
Iya, urusan kantor memang melelahkan.
“Kamu terlalu bekerja keras untuk Elang. Harus lebih santai sedikit menghadapi sakit Elang, Sa,”
Iya, aku lelah dengan sakit Elang. Tapi jika aku lelah, maka Elang sudah pasti lebih lelah dariku. Aku tidak boleh lelah.

***
           
            Setelah sembuh dari sakitku dan bisa beraktivitas seperti biasanya, kurasakan aku menjadi cerewet dan banyak bertanya kepada dokter. Aku terus saja mencari-cari gejala-gejala penyakit yang ada di internet. Berharap bisa membantu dokter untuk mengetahui penyebab sakitnya Elang.
            “Dokter, bagaimana dengan penyakit ini? Gejalanya hampir sama dengan Elang,” kataku sambil memperlihatkan kertas berisi informasi tentang sebuah penyakit.
            “Tapi hasil tesnya tidak ditemukan zat tersebut dalam tubuh Elang dan bukan oleh limfosit T,” jawab dokter setelah membaca nama penyakitnya.
            “Bagaimana dengan yang ini, dok?”
            “Itu disebabkan oleh virus. Tidak ditemukan virus apa-apa,”
            “Kalau dengan ini,dok?”
            “Kamu pikir kami tidak memikirkan kemungkinan tentang penyakit-penyakit itu? Kami juga mempelajarinya, dan hasil menunjukkan, Elang terserang oleh sesuatu yang lain,”
            Iya, aku tahu itu. Tapi kapan kalian menemukannya?
            “Tapi, dok, kenapa masih dilakukan terapi-terapi tersebut?”
            “Kami memberikan obat penahan rasa sakit, karena beberapa kali dia mengeluh sakit di badannya,”
            “Apa fisioterapi bisa menyembuhkannya?”
            “Terapi itu hanya untuk memperlambat kemundurannya,”
Setelah lama berdebat, akhirnya aku kembali ke kamar Elang malam itu. Elang tampak sudah tertidur di ranjangnya. Lampu kamar dimatikan, sehingga stiker bintang-bintang tampak bersinar cantik sekali.
“Aku yakin dokter memarahimu,” kata Prakoso sambil menyiapkan bantal dan selimut untuk ia tidur di sofa. Malam ini Prakoso yang menginap di rumah sakit. “Ayo, aku antar pulang sekarang,”
Siapa bilang aku mau pulang?
“Aku ingin pulang,” kata Elang tiba-tiba.
Rupanya kamu belum tidur, Lang?
Prakoso mendekati Elang, sementara aku duduk di atas sofa.
“Kalian tahu permainan baseball?”
Tahu sedikit sekali. Ada apa?
“Tidurlah, Lang. Sudah waktunya kamu tidur,” kata Prakoso.
Elang menjelaskan seorang pemain baseball setelah memukul bola, maka ia akan berlari berlawanan arah dengan jarum jam melewati base-base untuk selanjutnya pulang ke tempat awal yang dinamakan home plate.
Apa yang ingin kamu katakan?
Home plate-ku adalah rumah masa kecilku. Tentu saja, aku akan kembali ke home plate seperti pemain baseball tersebut. Sepertinya sudah saatnya aku kembali ke home plate-ku, rumah masa kecilku,”
Rumah masa kecil? Di Surabaya?
“Aku ingin pulang,” 

***

Pagi ini aku mendapat telepon dari Nicholas bahwa punggung Elang sudah melemah. Elang harus menyandarkan punggungnya pada sesuatu untuk sekedar duduk. Mendengar kabar tersebut, aku bergegas ke rumah sakit.
Seperti waktu itu, dokter menjelaskan keadaan Elang ketika Elang sedang melakukan fisioterapi. Dengan seksama Aku dan Nicholas mendengarkannya. Kemarin Tante Ayu, Om Surya, dan Om Candara ke Melbourne karena ada acara keluarga besar yang harus mereka hadiri dan akan pulang setelah tahun baru. Karena itu beliau mempercayakan semuanya kepada aku dan keempat sahabat Elang yang berada di kota ini.
“Pada tes terakhir, kerusakan myelin masih terjadi bukan karena antibodi sebelumnya dan kami juga menemukan kerusakan di beberapa bagian otak dan sumsum tulang belakangnya. Dari hasil MRI terbaru dan sebelumnya, bisa dilihat bentuk dari sumsum tulang belakangnya mengalami perubahan,” kata dokter sambil menunjuk gambar hasil MRI kepada kami.
Saya sedikit mulai sedikit mengerti setelah banyak membaca tentang jaringan koordinasi.
“Gerak refleknya juga mengalami gangguan. Sesuatu memang sedang terjadi. Mereka perlahan telah merusak saraf pusat dan saraf tepi sekaligus,”
Merusak saraf pusat dan saraf tepi sekaligus?
“Selain itu, mereka juga merusak lebih cepat dari yang kami perkirakan. Jika saraf  pusatnya rusak, kemungkinan terburuk adalah suatu hari nanti otot jantungnya yang akan melemah,”
            Mendadak ruangan menjadi pengap, dadaku sesak sekali.
            “Kami sudah melakukan konsultasi melalui data hasil tes dan perkembangan pasien yang sudah kami kirim kepada mitra kami di Jepang dan Amerika Serikat. Mereka juga belum bisa menemukan penyebabnya,” kata dokter lagi. “Jika keluarga mau, pasien bisa dibawa kesana untuk penelitian lebih lanjut dan penangangan lain,”
            Tuhan, ada apa ini?
            “Tapi, saya bisa memastikan, penanganan pasien di sana akan sama saja dengan di sini. Karena selama ini memang belum ditemukan kasus seperti ini,”
            Apa yang harus kami lakukan?
            “Dalam dunia medis saat ini, Elang adalah pasien pertama yang mengalami keadaan seperti ini,”
            Jadi sekarang perbandingan kali ini adalah 1 : seluruh manusia di bumi?
            “Apa benar tidak ada cara lain, dok?”
            “Kami pasti berusaha memberikan cara pengobatan yang tepat setelah mengetahui sebabnya,”
            Ya Tuhan.
            Satu minggu kemudian, dua orang dokter dan beberapa pegawai salah satu rumah sakit di Amerika Serikat datang mengunjungi Elang. Mereka banyak bertanya tentang kondisi Elang dan melakukan banyak tes. Mereka menawarkan pengobatan gratis di sana kalau Elang bersedia pindah ke rumah sakit mereka.
            Beberapa hari kemudian giliran dokter dari Jepang yang menawarkan hal yang sama kepada Elang.
            “Ada apa sebenarnya?” Tanya Elang padaku dan Nicholas setelah mengantarkan kepergian dokter dari Jepang keluar dari rumah sakit hendak menuju bandara.
            “Mereka sudah mendengar bahwa kamu didiagnosa penyakit langka,” jawab Nicholas.
            Malam hari Elang mengetahui keadaan tubuh yang sebenarnya dari dokter. Elang menolak untuk pindah ke rumah sakit di Amerika Serikat atau di Jepang. Ia memilih pulang ke Surabaya, ke rumah masa kecilnya.
            “Malam itu aku juga menonton film tentang Aya dan penyakit ALS-nya. Aku pikir aku memang akan menjadi seperti dia. Lumpuh, dan akhirnya akan mati,” tiba-tiba Elang bercerita.
            Tidak, Elang! Ini bukan ALS seperti Aya. Kamu harus sembuh, kamu bisa sembuh, kita hanya butuh keajaiban sekali lagi. Perkara mati bukan ditangan dokter atau di tanganmu, tapi ditangan Tuhan.
            Dokter tidak bisa menolak keinginan Elang untuk pulang ke rumah masa kecilnya. Dokter menyarankan Elang agar setiap minggu harus mengecek keadaan terakhirnya ke rumah sakit di Surabaya yang sudah mendapat rujukan dari dokter. Selain itu, pihak keluarga juga harus sering memberikan terapi ringan kepada semua anggota tubuhnya, terutama tangan kirinya agar menjadi tidak cepat lumpuh total seperti tangan kanan.

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)