bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Sabtu, 09 Juli 2011

LOKER NOMOR 7 _ BAGIAN 5

cerita yang lalu ...

Raras dan Laras mulai menyadari apa yang terjadi. Loker nomor 7 bekerja seperti pintu ajaib doraemon, hanya saja bukan benda-benda yang dapat bertukar tempat, melainkan tinta. Sehingga mereka tidak bisa saling bertukar benda-benda canggih di tahun 2010 atau benda sebagai hadiah satu sama lain. Tapi, karena foto dicetak dengan tinta, mereka lebih sering mengirim foto-foto di tahun masing-masing.

***
19 Desember 2010, Minggu
10:00

Raras menjatuhkan diri di lantai dan duduk lemas menyandarkan punggungnya ke tembok setelah merasa pegal karena sudah hampir satu jam berdiri bersandar di samping pintu. Tadi pagi-pagi sekali Raras sudah keluar rumah dengan ijin jogging pada Kak Anggun, sehingga masih menggunakan celana panjang olahraga lengkap dengan jaket senada berwarna putih. Badannya terasa sangat gerah sekarang, sehingga ia membuka jaketnya dan membiarkan badan bagian atasnya kini berselimut tanktop putih.

“Siapa kamu?” Tanya seseorang yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu sambil memperhatikan Raras. Melihat itu, spontan Raras berdiri sambil menenteng jaketnya. Terlihat sedikit keringat tersebar di leher dan lengan Raras dan deru nafasnya yang stabil.


“Raras,” jawab Raras cepat. “Karang?” Tanya Raras memastikan.

“Iya. Saya Karang. Raras siapa?” Tanya seseorang itu.

“Temannya Laras. Tahu?”

“Laras siapa?” Tanya seseorang itu.

Raras bergumam sebentar sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu tesenyum ragu-ragu pada seseorang itu. “Dulu kamu pernah tinggal di alamat ini?” Tanya Raras akhirnya memiliki ide dengan memperlihatkan sebuah alamat yang ia tulis di salah satu halaman diarynya. Orang itu membacanya, lalu mengangguk heran sambil menatap Raras.

“Tidak kenal Laras? ini fotonya,” Raras memperlihatkan sebuah foto remaja perempuan yang dikucir satu. rambutnya yang pendek sebahu terlihat sekali walau dengan kuciran itu. Orang itu menggeleng pelan. Melihat itu, Raras mendesah agak kesal.

11:25

Raras kembali membaca surat Laras yang ia simpan di dalam tas olahraga setelah menyimpan rapat diary ke dalam tas. Setelah membacanya, matanya kembali menatap ke luar jendela bus yang berjalan agak lambat. Pemandangan di luar tidak Raras perhatikan, ia pun tak tahu ini daerah mana. Kurang lebih sudah 30 menit perjalanan, setengah perjalanan lagi akan sampai ke rumah Raras.

Sebut saja ini perjalanan mencari Karang. Berjuang menemukan Karang, orang yang Laras sukai. Keluarga Karang sudah pindah dari rumah yang dituliskan Laras dalam suratnya yang panjang. Keluarga Karang sudah pindah lagi ke Austria sejak Karang lulus SMA. Menurut informasi, Karang kuliah di Denmark. Untung saja salah satu tetangga yang mengaku teman satu komplek Karang memberi tahu kalau Karang sekarang di Indonesia, baru sebulan dan memberi alamat apartemen Karang.

“Karang tidak ingat kamu,” kata Raras pelan.

Raras memikirkan sosok Karang. Laki-laki dengan tinggi sekitar 170-an, berbadan lumayan kekar, berkacamata minus berbentuk persegi panjang yang mungil berwarna coklat. Laki-laki itu membiarkan bulu-bulu tipis menutupi kumis dan janggutnya. Menurut Raras, dengan pakaian yang Karang gunakan, ia baru saja berolahraga di suatu tempat. Mungkin di gym.

^^^
20 desember 2010, Senin
09:00

Raras menekan bel pintu rumah yang pernah ia datangi kemarin di hari Minggu. Laki-laki yang sempat Raras temui waktu itu muncul dari balik pintu ketika pintu akhirnya terbuka.

“Kamu lagi?” Sapa laki-laki itu sangat tidak ramah.

“Saya masuk, ya,” Raras memohon kemudian karena tampak sikap laki-laki itu tidak berniat mengajak Raras untuk bertamu di rumahnya. “Sebentar saja,”

09:20

Raras masih mengamati ekspresi wajah Karang yang masih membaca surat Laras. Wajah Karang tampak serius sekali sambil beberapa kali menengadahkan kepala ke atas untuk mengingat-ingat sesuatu.

“Saya ingat pernah dikejar anjing sepulang dari sekolah Taman Kanak-Kanak, dan memang teman saya menolong saya. Saya baru tahu kalau dia yang menolong saya,” kata Karang sambil tersenyum kecil.

“Baguslah,” Raras mencoba menanggapinya dengan bahagia. Mungkin sebentar lagi ia akan ingat tentang Laras.

“Oh, dia juga masih ingat kalau saya pernah hampir tenggelam di danau waktu ada camp sehari yang diakadan TK. Waktu itu saya mengejar katak, lalu peristiwa itu terjadi begitu saja. Untung saja salah seorang guru menyelamatkan saya. Rupanya dia juga yang melihat saya dan segera melapor pada guru,”

“Jadi, sudah ingat Laras?” Tanya Raras. Karang meletakkan surat Laras dan mengambil foto Laras yang sedari tadi tergeletak di atas meja. Ia mengamati foto Laras lama, lalu menggeleng. Raras bingung, tapi agak kesal. Raras menganggap daya ingat laki-laki ini kurang.

“Masih SMP, ya?” Tanya Karang setelah puas mengamati foto Laras. Matanya kini memandang ke Raras.

“SMA kelas X,” jawab Raras cepat.

20:00
Karang tidak kuliah di Denmark seperti yang diceritakan teman satu komplek Karang waktu itu. Karang kuliah di universitas swasta terkenal di daerahnya. Sudah lulus tahun lalu. Menurut penuturan laki-laki itu, ia tengah merintis suatu usaha bisnis kecil. Mengingat itu, Raras garuk-garuk kepala yang tidak gatal.

“Kamu melakukan apa dua hari ini?” Tanya Kak Anggun ketika serial drama yang ia tonton sedang rehat menampilkan iklan.

“Tidak melakukan apa-apa,” jawab Raras sambil pura-pura menonton iklan yang sedang diputar di televisi.

“Libur natal kita ke resort. Mama dan Papa besok pulang,” seru Kak Anggun berseri-seri. Raras ikut berseri sambil berteriak hore sekencang-kencangnya sambil membayangkan Surabaya.

Surabaya, kota kelahiran Raras, yang sejak berumur 7 tahun tidak ia tempati lagi. Di tahun itu, Orang tua Raras dan dua adiknya meninggal dunia karena kecelakaan dalam perjalanan liburan ke Bali. Sebuah keajaiban, memang, Raras selamat dalam kecelakaan tersebut walau dengan patah di kaki dan paha kirinya.

Sejak saat itu Om dan Tantenya merawat Raras. Raras dibawa ke ibukota negara setelah kesembuhannya. Resort yang om dan tante Raras punya berada di salah satu pantai di Surabaya, sehingga lumayan sering Raras bisa mengunjungi rumahnya yang dulu. Dengan kasih sayang om, tante, dan Kak Anggun, Raras lupa akan kesedihan ketika kehilangan itu. Ia sama sekali tidak merasakan sedih hingga sekarang.

bersambung ...

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)