bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Sabtu, 09 Juli 2011

Mati - "sahabat dua minggu"

Cerita ini persembahan untuk sahabat "dua minggu" saya. Saya bersamanya selama dua hari sejak saya pertama kali bertemu. Dan di hari ke 15 persahabatan kami, dia meninggalkan saya untuk mati.

Semoga dewi juga membacanya disana

****************

Mereka mendorong tubuh saya dengan pelan untuk melangkah masuk ke dalam sebuah kamar perawatan. Ibu terlihat sekali tengah memandangi saya dengan menahan air mata, sementara ayah menjinjing tas besar berisi beberapa pakaian saya. Mereka tahu keadaan saya, dan membawa saya menginap disini, bersama orang-orang penderita kanker lainnya.


Sebulan yang lalu saya tahu tentang kanker perut ini, bahkan mungkin sekarang sudah semakin parah karena sakitnya terasa semakin melilit. Saya kira hanya mag biasa, seperti yang orang lain alami pada awalnya. Sakit di perut sudah biasa ketika itu, dan nyeri yang sedikit makin bisa tertahan. Hingga suatu hari tubuh saya tidak bisa menahan sakit dan memilih untuk tak sadarkan diri. Waktu itu Saya harus operasi segera menurut dokter. Karena sudah parah, kemungkinan sembuhnya 2% dan dokter dengan yakin bisa mendapatkan 2% tersebut.

Hah, gila! Jika ini menyangkut dewi fortuna, sejak kecil hingga 25 tahun ini, saya tak pernah mendapat keberuntungan mendadak. Seperti lotere, undian hadiah yang tak pernah saya dapatkan. Jadi, sebenarnya saya memutuskan untuk meminum obat saja ketika merasakan sakit yang begitu dahsyat di perut saya, sampai tubuh saya lelah nanti. Ketimbang bertaruh dengan persentasi yang sangat kecil. Tapi kemarin dokter memberitahu orang tua saya karena saya tak kunjung mengiyakan untuk melakukan operasi.

Setelah orang tua saya pergi, saya diperkenalkan oleh seorang perawat kepada penghuni rumah sakit khusus ini. Beberapa dari mereka berwajah pucat dan berkursi roda. Tapi banyak sekali yang terlihat sehat dan sedikit yang masih berambut. Mereka semua tersenyum sangat ramah setelah menyapa saya.

Setelah itu, saya masuk ke kamar saya untuk merapikan pakaian ke dalam sebuah lemari kecil di samping ranjang.

"anda tahu, anda terlambat?" tanya dokter tiba-tiba sudah ada di dalam kamar. Saya hanya mengangguk sambil melanjutkan pekerjaan saya. "kenapa takut sekali dengan 2%?"

"saya tahu, sekarang saya hanya tinggal menunggu. Kenapa dokter memaksa saya tinggal disini?"

"disini anda tidak sendirian. Mereka bersama anda, dan bisa mengerti anda lebih dari orang lain. Lagipula disini saya bisa mengawasi anda,"

"ya. Nasib mereka mungkin sama. Kami disini sedang menunggu waktunya datang,"

"dokter!" seorang perawat muncul dengan terengah-engah. "Rakasiwi kesakitan di kamarnya!"

dokter berlari cepat diikuti perawat itu. Saya mengikuti mereka melewati koridor dan masuk ke sebuah kamar. Disana tampak ramai. Seorang anak tengah menangis memeluk laki-laki kurus yang terlentang di atas ranjang. Sementara yang lain menangis menyaksikan adegan itu. Beberapa pasien tampak berkerumun di luar ruangan berusaha melongo ke dalam. Sang dokter memeriksa bagian tubuh laki-laki kurus itu lalu menggendong sang anak. "papa cinta sudah pergi, sayang,"

keluarga yang ada di dalam ruangan menangis serentak dan beberapa pasien diluar juga menangis. Tapi pasien yang lain, dokter dan beberapa perawat yang hadir disana tampak sangat tegar. Seakan sudah terbiasa dengan adegan seperti itu.

Saya berjalan keluar kamar dengan melewati banyak kerumunan pasien itu sambil terdiam. Saya tiba-tiba berpikir tentang dokter dan perawat yang bekerja disini. Tidakkah mereka dibayar untuk melihat kami mati pada akhirnya? Dan kami membayar untuk menyaksikan adegan yang akan kami alami pada suatu hari nanti?

"dew!" seseorang memanggil nama saya. Saya berputar mencari suaranya, dan pencarian berakhir di ujung lorong, dimana terdapat banyak sinar matahari disana. Seorang gadis tomboi berdiri sambil tersenyum. Celana jins ketat sobek-sobek masih ia pakai seperti sejak pertama kali bertemu dua minggu lalu. Saya berlari menghampirinya.

"apa anda punya jins 1 lusin yang seperti itu?" tanya saya setelah sampai dihadapannya.

"jaket jins ini juga ada 1 lusin, jadi saya tetap akan tampak seperti ini, dengan pakian seperti ini jika sebulan lagi kita bertemu," jawabnya. Saya tertawa mendengarnya.

"anda pernah bilang tidak ingin kesini. Kenapa sekarang ada disini?"

"oh,anda mengikuti saya?" tanya saya.

"saya mencari alamat rumah anda, tapi adik anda mengatakan anda disini,"

"kapan kita jalan-jalan lagi dengan motor anda seperti waktu itu?" tanya saya tiba-tiba.

"sekarang?"

setelah itu saya sudah berada di jok belakang motor vespa antik milik si tomboy, teman yang baru saya kenal dua minggu yang lalu. Kami meninggalkan rumah sakit sambil menyanyikan lagu kebangsaan negara kami. Rasanya senang sekali jika bisa mengulang perjalanan dua hari kami dua minggu lalu. Perjalanan tanpa arah dengan banyak cerita. Ketika itu kami tampak seperti dua perempuan frustasi yang asik bergosip di atas vespa.

"percepat lagi jalannya!" teriak saya setelah merasa sangat jauh sekali dari rumah sakit. Vespa melaju dengan sangat cepat melewati pohon-pohon yang biasa hidup di pegunungan. Tempat ini benar-benar tempat yang sangat sejuk dan jauh dari keramaian kota.

Saya ingin menikmatinya. Merentangkan tangan seperti hendak terbang, merasakan hembusan angin kencang yang menampar-nampar wajah dan menarik-narik rambut saya. Saya berteriak sambil tertawa masih dengan mengangkat tangan saya, hendak memanggil malaikat di langit yang tengah waspada mengawasi saya. Lalu sambil tersenyum saya menjatuhkan diri dari vespa yang tengah berjalan kencang. Saya tak ingin mati merasakan sakit di perut, saya tak ingin mati karena kanker. Saya ingin mati seperti ini.

_____

saya mengerem dengan cepat ketika menyadari apa yang dilakukan dewi. Dengan cepat saya dan vespa tergelincir berdecit-decit ke jalan aspal. Tubuh saya terseret hampir 10 meter dan motor saya jatuh bebas ke dalam jurang. Beberapa saat kemudian saya tergopoh-gopoh berjalan mengampiri dewi yang tergeletak di tengah jalan jauh dari tempat saya berhenti. Darah tampak mulai mengalir dari belakang kepalanya. Saya hanya menangis melihatnya sambil terus berusaha menghampirinya.

"mbak, gak kenapa-kenapa, kan?" seorang bapak sedang berusaha menopang tubuh saya. Saya masih terus berjalan menghampiri sahabat baru saya itu. "mbak, kepala mbak berdarah, mbak terluka parah," kata bapak itu dengan nada cemas. Setelah samar-samar melihat beberapa orang mendekati dewi, mata saya terpejam tiba-tiba. Tak bisa melihat dan merasakan apa-apa.

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)