bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Sabtu, 09 Juli 2011

LOKER NOMOR 7 _ BAGIAN 7

cerita yang lalu ...

Laras gagal membuat pertemuan antara dirinya dan Karang untuk kedua kalinya. Hal ini terjadi karena Raras kecil harus dirawat dirumah sakit ketika Laras sedang mempir untuk melihat Raras kecil di rumahnya untuk pertama kali. Pertemuan jam setengah lima di pameran kerajinan tangan dunia gagal karena Laras datang terlambat. Sebelumnya di hari yang sama, Laras memasukkan surat dan tiket masuk ke dalam tas Karang ketika Karang sedang berlatih baseball. Tapi Karang dan Laras tak pernah tahu, kalau suratnya hilang, hanya menyisakan satu tiket masuk pameran. Sementara setelah akhirnya Raras dan Laras kembali berhubungan melalui loker nomor 7, Laras tahu kalau Karang tak pernah ingat pada Laras.

***
18 januari 2004, Minggu
09:00
Laras turun di halte setelah melalui satu jam perjalan menggunakan bus. Berhenti sebentar sambil berdiri untuk melihat salah satu foto yang sedari tadi ada digenggamannya, ia kemudian berjalan sambil menatap lahan kosong di kelilingi pagar seng yang tinggi. Di tahun 2010, seperti di foto, lahan tersebut akan berdiri sebuah apartemen dimana salah satunya akan ditinggali Karang ketika usianya 24 tahun nanti.


Laras melompat-lompat berusaha untuk melihat lahan kosong yang ada di balik pagar seng yang tinggi itu. Tapi sia-sia, akhirnya Laras pasrah dengan apa yang ada dihadapannya kini, pagar seng tinggi. Kemudian Laras membaca salah satu surat Raras.

Di samping apartemen ada kafe.
Karang sering mengajakku makan siang disana
atau minuman sebelum aku pulang

Disana, kamu akan Lihat trotoar di seberang apartemen
Kami berjalan bersama sepanjang trotoar itu sampai halte pulang
Pohon kirai payung berjejer rapi membatasi antara jalan raya dan trotoar.


Laras terus berjalan ke bangunan yang ada disamping lahan kosong. Ruko berhalaman luas itu bertuliskan konveksi Putra yang menerima pesanan kaos, jaket, dan baliho. Ruko ini akan disulap menjadi kafe seperti yang ada di foto tujuh tahun yang akan datang.

Lama Laras berdiam diri di depan ruko, Laras kembali menyeberang jalan dan berjalan di trotoar. Sekitar 100 meter ada halte di depan sana. Berjalan pelan, Laras membayangkan Karang ada di sampingnya, mengantarnya menuju halte di sana, sambil bercerita mengobrolkan tentang apa saja sambil menikmati daun-daun kerai payung yang bergoyang tertiup angin. Laras mendekati salah satu pohon kerai payung yang masih muda.

“Kamu akan setinggi ini tahun 2010 nanti, lihatlah,” kata Laras pada batang kerai payung muda sambil memperlihatkan sebuat foto. “Menurut kamu, kamu yang mana?” Tanya Laras sambil memperhatikan foto kerai payung yang berjajar ke belakang.

Setelah sampai di halte, Raras berdiri di samping tiang penyangga halte. Kemudian menyandarkan badannya ke tiang sambil mengamati lahan kosong yang masih tertutup pagar seng tadi. Lama Laras terdiam, akhirnya ia melihat bus melaju menuju halte di kejauhan. Sambil menunggu bus menghampiri halte, Laras kembali memandangi sekali lagi apa pun di sekitar tempat ia berdiri, mencoba memberi bekas di otaknya.

Entah pikiran darimana, Laras tiba-tiba dengan cepat mengambil sebuah batu dan menggoreskan sesuatu di tiang besi penyangga halte sebelum ia naik ke dalam bus.



***
23 Januari 2010, Minggu
14:00

Raras berjalan pelan mengikuti langkah Karang sambil menikmati daun-daun kerai payung dan hembusan angin yang sesekali lewat. Sudah banyak cerita tentang Laras yang sudah keluar dari mulutnya.

“Aku suka pohon ini,” kata Karang ketika Raras sudah kehabisan cerita. “Guru biologiku dulu pernah bilang, dengan bentuk daun itu, ia lebih banyak menyerap karbon dioksida ketimbang daun lain,” lanjutnya sambil menatap daun-daun salah satu pohon kerai payung. Raras hanya menanggapinya dengan mengeluarkan kata ‘uh’ sambil mengangguk berkali-kali tanda mengerti.

“Sudah sampai halte,” kata Raras setelah mereka berhenti di sebuah halte. Raras memberikan secarik kertas pada Karang sambil berjalan menuju salah satu tiang halte. Sementara Karang membaca kertas itu.

Tidak ada apartemen dan kafe di tahun 2003
tapi trotoar dan pohon yang masih muda ada disana
oh ya, aku menuliskan sesuatu di tiang halte
apa masih ada disana?


Raras segera memanggil Karang untuk mendekat pada tiang halte sambil tersenyum. Tak lama kemudian keduanya tersenyum lebih lebar lagi sambil mengusap-usap tulisan yang ada disana.

LARAS LOVE KARANG – goresan di di tiang halte

“Kenapa kita tidak menemui Laras?” Usul Karang kemudian yang ditanggapi dengan anggukan penuh semangat dari Raras. “Sabtu minggu depan?”

***
28 Januari 2004, Rabu
07:00

Sepertinya sabtu nanti kami akan menemuimu
“bersiaplah, dan tampil cantik di hari itu,”
seandainya bisa kuucapkan itu padamu di tahun 2010
aku menjadi penasaran sekali dengan kamu yang tua, hahaaa


apa kamu cemas?
sebaiknya alamat rumah yang pernah kamu berikan
tidak salah, hahaa
Laras dewasa akan bertemu dengan Karang dewasa


Laras membaca surat itu dengan hati yang berdegup. Ia hampir tak bisa bernafas. Dan hayalannya tentang ia dan Karang banyak sekali sekarang, dua kali lipat banyak ketimbang hari biasanya. Lalu Laras membalas surat Raras.

Aku membuat janji bertemu di bangku
penonton lapangan baseball jumat sore.
Jantungku seperti mau pecah menunggu hari itu
Karang suka sekali kentang goreng
aku akan memberikannya nanti




***
29 Januari 2010, Sabtu
08:00
Raras ada di dalam mobil bersama Karang pagi ini. Ia membolos kelas renang tanpa sepengetahuan Kak Anggun. Entah mengapa, jantungnya kini berdegup kencang dan badannya terasa dingin jika membayangkan pertemuan indah antara Laras dan Karang nanti. Raras agak menyesal juga mengapa tidak pernah berinisiatif untuk mengunjungi Laras sebelumnya, sehingga ia bisa tahu bagaimana Laras yang dewasa.

“Jangan tertawa, aku agak gugup,” kata Karang tiba-tiba.

“Sama,” jawab Raras singkat.

“Apa alamatnya benar?” Tanya Karang memastikan.

“Tentu saja,” jawab Raras singkat karena juga masih merasa gugup.

”Sebenarnya aku terharu dan senang, ada yang menyukaiku sebesar Laras. Apa menurutmu ia masih menyukaiku?”

“Tentu saja,” jawab Raras sambil tersenyum.



09.00
Raras mulai cemas dalam perjalanan. Seseorang yang sekarang menempati rumah Laras memberikan sebuah alamat rumah yang ditinggali Laras sekarang. Ternyata sudah empat tahun Laras pindah rumah. Untung saja penghuni rumah Laras yang lama masih menyimpan alamat rumah yang pernah diberikan oleh mama Laras.

“Rumah ini? Nomor 17?” Tanya Raras ketika mobil berhenti disebuah rumah yang sangat asri dan lebih kecil dibanding rumah Laras sebelumnya. Dengan cepat Raras turun dari mobil dan mendekati pintu gerbang. Tampak seorang perempuan memakai dress santai bermotif bunga kecil-kecil sedang memindahkan pot-pot kecil dari teras ke halaman depan.

“Permisi,” sapa Karang agak keras setelah puas mengamati perempuan itu. Perempuan itu menoleh ke arah kami dan tampaklah wajahnya. Perempuan agak tua dengan rambut keriting pendeknya mendekati kami.

“Ada apa?” tanya perempuan itu ramah sambil membuka gerbang.

“Kami mencari alamat ini. Apa ini benar rumahnya?” Karang memberikan secarik kertas bertuliskan alamat rumah.

“Iya, ini alamat rumah saya. Mencari siapa?” Tanya perempuan itu masih ramah namun terlihat sekali wajahnya penasaran.

“Kami teman Laras, tante,” jawab Karang. “Apa Laras ada?”

“Laras siapa?” Tanya perempuan itu mulai bingung.

“Tante yang punya rumah ini?” Tanya Raras yang dijawab dengan anggukan pelan perempuan itu. “Tante tidak punya anak bernama Laras?”

Perempuan itu menggeleng lemah dan bercerita kalau ia baru pindah setahun yang lalu. Tapi menurut ceritanya, penghuni rumah sebelumnya tidak memiliki anak, ia tinggal sendiri selama tinggal di rumah ini.

“Apa tante tahu, beliau pindah kemana?” Tanya Karang.

“Tidak tahu. Tapi saya kenal dengan adik iparnya,” jawab perempuan itu. “Mau kuberikan nomor teleponnya?”

11:00
Sudah kesekian kali Raras menekan bel, tapi tetap saja tak ada orang yang membukakan pintu. Karang sudah kembali di samping Raras sambil melongo sekali lagi ke jendela ruang tamu. Karang baru saja menglilingi rumah untuk mencari tahu apakah rumah ini benar-benar kosong. Tapi sepertinya benar-benar kosong.

“Coba telepon oom nya Laras lagi, apa benar ini alamatnya,” perintah Raras dengan wajah kesal. Dengan cepat Karang mengambil handphone dari kantong celananya dan mulai menelepon.

“Om, kami sudah sampai rumah Tante Maria, tapi rumahnya kosong. Apa benar alamatnya? Atau apa Tante Maria sudah pindah rumah lagi?”

bersambung ...

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)